• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKAN HUTAN TANAMAN RAKYAT HTR JALAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEBIJAKAN HUTAN TANAMAN RAKYAT HTR JALAN"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIJAKAN HUTAN TANAMAN RAKYAT (HTR) JALAN DITEMPAT

Maman Permana

Mahasiswa Magister Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB

I. Pendahuluan

Sebagaimana amanat Undang Undang Dasar 1945 pasal 33, hutan yang merupakan salah satu kekayaan sumberdaya alam di Indonesia dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Penguasaan hutan oleh negara tersebut memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menyelenggarakan urusan kehutanan yang dilakukan dengan asas manfaat dan lestari kerakyatan, keadilan, kebersamaan dan keterpaduan dengan dilandasi akhlak mulia dan bertanggung gugat (UU 41/1999).

Dalam pelaksanaannya penyelenggaran urusan kehutanan di Indonesia berkembang semakin kompleks, tantangan untuk mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestarian hutan tidak lagi hanya bisa dilakukan secara teknis kehutanan. Pergeseran permasalahan kehutanan yang dari semula berorientasi pada permasalahan teknis menuju masalah sosial (Pusliteksos, 2005).

Lyndayati (2002) dalam Tuti (2011) mengemukakan bahwa kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia dimulai pada masa awal pembangunan pasca kemerdekaan sampai dengan akhir tahun 1970-an dikenal dengan paradigma state based forest management dimana hutan dilihat sebagai sumber ekonomi negara yang identik dengan kayu dengan pengelola hutan adalah agen negara (BUMN), perusahan HPH. Pada periode ini terjadi pengabaian hak-hak masyarakat, keuntungan sumberdaya hutan hanya dinikmati segelintir pengusaha. Masyarakat sekitar hutan semakin terpinggirkan, padahal sebagian besar kehidupan mereka tergantung pada hutan sebagai sumber kehidupan, sumber pangan, bahan bakar dan sumber penghasilan. Perubahan paradigma state based forest management muncul setelah disadari terjadinya kegagalan pengelolaan hutan dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat disekitar hutan. Paradigma baru yang muncul adalah adanya kesadaran tentang perlunya keterlibatan masyarakat sekitar hutan dalam ikut mengelola hutan atau yang dikenal dengan paradigma

community forest based management (CFBM). Kebijakan CFBM sebenarnya telah muncul lama di Indonesia melalui berbagai nama misalnya seperti tumpangsari, pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) dan Hutan Kemasyarakatan.

(2)

II. Berhasilkah Kebijakan HTR ? A.Mengenal HTR

Yang menjadi dasar hukum pelaksanaan pembangunan HTR adalah :

1. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo PP No 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta pemanfaatan hutan;

2. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2011 jo Nomor P.31/Menhut-II/2013 tentang Tata Cara Permohonan IUPHHK pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman;

3. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.3/Menhut-II/2012 tentang Rencana Kerja pada IUPHHK-HTR;

4. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor P.6/VI-BUHT/2013 tentang Pedoman Tata Cara Verifikasi Permohonan IUPHHK-HTR;

5. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor P.4/VI-BUHT/2012 tentang Pedoman Budidaya Tanaman Hutan Tanaman Rakyat;

6. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor P.2/VI-BUHT/2013 tentang Pedoman Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat Pola Kemitraan dan Developer;

7. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor P.5/VI-BUHT/2012 tentang Tata Cara Seleksi dan Pendampingan Pembangunan HTR.

Berdasarkan PP 6 Tahun 2007 yang dimaksud Hutan Tanaman Rakyat adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan.

Kegiatan pembangunan HTR dilakukan melalui pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat yang diberikan kepada perorangan dan koperasi. Pemberian izin HTR kepada perorangan dan koperasi diatur melalui pembatasan luasan izin, dimana untuk izin perorangan paling maksimal seluas 15 hektar dan 700 hektar untuk izin berbentuk koperasi. Masa berlaku izin IUPHHK-HTR adalah paling lama 60 tahun dan dapat diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu 35 tahun.

Izin HTR merupakan izin pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan produksi, penetapan lokasi HTR memiliki kriteria tersendiri yaitu hanya dapat diberikan pada areal Hutan Produksi yang tidak produktif yang telah ditetapkan Menteri Kehutanan, tidak dibebani izin/hak lain dan tidak terdapat tanaman hasil reboisasi/rehabilitasi.

Penentuan calon lokasi areal HTR dimulai dengan penetapan pencadangan areal HTR yang dilakukan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan atas usulan Bupati dengan pertimbangan teknis dari Dinas Kabupaten. Berdasarkan pencadangan tersebut selanjutnya Bupati atas nama Menteri Kehutanan dapat menerbitkan izin HTR kepada perorangan dan koperasi yang mengajukan permohonan setelah mendapatkan pertimbangan teknis dari Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi (BPPHP)1.

(3)

Gambar 1. Prosedur Tata Cara Permohonan Izin HTR

Tata cara permohonan izin HTR diatur berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2011 jo Nomor P.31/Menhut-II/2013 tentang Tata Cara Permohonan IUPHHK pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman adalah sebagai berikut :

1. Pemohon (perorangan melalui KTH atau koperasi) mengajukan permohonan IUPHHKHTR kepada Bupati melalui Kepala Desa;

2. Kepala Desa melakukan verifikasi keabsahan persyaratan atas permohonan IUPHHK HTR dan membuat rekomendasi kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Camat dan Kepala BPPHP;

3. Kepala BPPHP melakukan verifikasi persyaratan administrasi dan sketsa/peta areal yang dimohon dengan berkoordinasi dengan BPKH dan hasilnya disampaikan kepada Bupati sebagai pertimbangan teknis

4. Berdasarkan rekomendasi Kepala Desa dan pertimbangan teknis dari Kepala BPPHP, Bupati/Walikota atas nama Menhut menerbitkan Keputusan IUPHHK-HTR.

Pihak perorangan dan koperasi yang telah mendapatkan izin HTR dapat melakukan pembangunan HTR melalui pola mandiri, pola kemitraan atau pola developer. Pola perorangan adalah HTR yang dibangun oleh pemegang IUPHHK-HT, pola kemitraan adalah HTR yang dibangun oleh pemegang IUPHHK-HTR bersama dengan mitra berdasarkan kesepakatan bersama dengan difasilitasi oleh pemerintah/ pemerintah daerah agar terselenggara kemitraan yang saling menguntungkan, sedangkan pola developer adalah HTR yang dibangun oleh BUMN atau BUMS atas permintaan pemegang IUPHHK-HTR dan biaya pembangunannya menjadi tanggung jawab pemegang IUPHHK-HTR.

Biaya pembangunan HTR dapat dibiayai secara swadaya oleh pemegang izin, maupun melalui lembaga pembiayaan keuangan yang lain. Pemerintah menyediakan pembiayaan pembangunan HTR melalui mekanisme fasilitas dana bergulir pinjaman yang dikelola oleh Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (BLU Pusat P2H) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.36/Menhut-II/2012 tentang Tata Cara Penyaluran dan Pengembalian Dana Bergulir untuk Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. BLU Pusat P2H adalah satuan kerja Kementerian Kehutanan yang menerapkan pengelolaan Badan Layanan Umum untuk pembiayaan pembangunan Kehutanan. Sumber dana pembangunan hutan berasal dari Dana Reboisasi dengan alokasi penggunaannya hanya untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dan salah satunya adalah pembangunan HTR. Mekanisme penyaluran pinjaman dana bergulir pinjaman dapat melalui skema pinjaman, skema bagi hasil dan pola syariah.

(4)

yaitu rencana kerja untuk seluruh areal kerja IUPHHK-HTR yang berlaku daur tanaman pokok yang dominan, antara lain memuat aspek kelestarian hutan, kelestarian usaha, aspek keseimbangan lingkungan dan pembangunan sosial ekonomi setempat. Selanjutnya berdasarkan RKUPHHK tersebut pemegang HTR wajib menyusun rencana kerja tahunan yang disusun secara gabungan dalam satu kelompok pemegang IUPHHK-HTR dan/atau Koperasi dengan jangka waktu 1 (satu) tahun yang disusun berdasarkan HTR. RKUPHHK-HTR dan RKTUPHHK-RKUPHHK-HTR ini menjadi dasar dan acuan pelaksanaan pembangunan RKUPHHK-HTR.

Dalam pelaksanaannya pembangunan HTR harus menggunakan teknik silvikultur yang sesuai dengan kondisi tapak, persyaratan tempat tumbuh suatu jenis pohon, faktor sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat. Sistem silvikultur yang dapat digunakan adalah Tebang Habis Permudaan Buatan, Tebang Habis Tanam Jalur dan tebang rumpang. Jenis tanaman pada HTR berdasarkan P.55/Menhut-II/2011 pada prinsipnya terdiri dari tanaman pokok dan (tanaman hutan) dan tanaman budidaya tahunan, dengan komposisi tanaman budidaya tahunan maksimal 40% dari areal kerja. Pola tanam yang dapat dikembangkan adalah pola tanaman monokultur, pola tanam campuran dan pola tanam agroforestri yang disesuaikan dengan kondisi tapak setempat.

Dalam rangka mendukung keberhasilan pembangunan HTR sesuai P.55/Menhut-II/2011 dapat dilakukan pendampingan untuk memberdayakan pelaku utama dan pelaku usaha dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat sehingga tercapai kemandirian usaha dan kesejahteraan masyarakat yang dicita-citakan. Mekanisme seleksi Tenaga pendamping HTR dan pelaksanaan pendampingan pembangunan HTR diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor P.05/VI-BUHT/2012. Biaya operasional pendampingan HTR dibebankan pada anggaran pemerintah selama 3 (tiga) tahun dan selanjutnya dibebankan pada pemerintah kabupaten/kota.

Dalam rangka menjamin pelaksanaan pembangunan HTR sesuai dengan ketentuan maka setiap 2 tahun IUPHHK-HTR dilakukan evaluasi oleh BP2HP, dalam hal dimana pelaksanaan pembangunan HTR tidak sesuai dengan ketentuan, Bupati dapat membatalkan izin yang telah diterbitkan dan dapat menerbitkan perizinan kepada pemohon lain. Hal-hal yang menyebabkan dapat dicabutnya izin HTR berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.39/Menhut-I/2008 adalah (1) memindahkan izin HTR tanpa persetujuan tertulis pemberi izin (2) tidak melaksanakan kegiatan nyata di lapangan untuk paling lambat 1 (satu) tahun sejak izin diberikan, atau (3) tidak menyusun RKUPHHK-HTR paling lambat 2 tahun setelah izin diberikan.

B.Pencadangan Areal dan Penerbitan Izin HTR

Dalam Roadmap Pembangunan Industri Kehutanan Berbasis Hutan Tanaman, hutan tanaman diharapkan menjadi penopang utama bahan baku industri kehutanan nasional dimana diproyesikan hutan tanaman akan menghasilkan kayu bulat sebesar 362,5 juta m3 pada tahun 2020. Untuk menunjang kebutuhan industri kehutanan tersebut ditargetkan penambahan luas areal hutan tanaman dalam waktu 20 tahun (2011-2020) seluas 19,5 juta hektar yang berasal dari HTR seluas 1,7 juta hektar, Hutan Rakyat seluas 7,8 juta hektar dan HTI seluas 10 juta hektar.

(5)

ada proses pemberian izin HTR oleh Bupati kepada pemohon HTR baik perorangan maupun koperasi.

Tabel 1 dibawah ini menunjukan rasio perbandingan penetapan pencadangan HTR dan realisasi penerbitan izin HTR sejak tahun 2008 – 2014 berdasarkan per Provinsi. Berdasarkan tabel tersebut realisasi penerbitan izin HTR, sampai dengan tahun 2014 baru mencapai 194.195,09 juta hektar atau hanya 26,59% dari total luasan areal yang telah dicadangkan. Realisasi pencadangan terluas adalah Provinsi Sulawesi Tenggara seluas 68.945 hektar (9,39%) dan terendah adalah Bali seluas 375 hektar (0,05%). Rasio perbandingan antara pencadangan dan penerbitan izin yang terbesar adalah DIY yang mencapai 100% dan terkecil adalah Bali sebesar 0%.

Tabel 1. Rasio Perbandingan Pencadangan HTR dan Realisasi Penerbitan Izin HTR Tahun 2008 s/d 2014

Total 734.397,33 195.270,43 26,59

Sumber : Data Diolah Ditjen BUK, 2014

(6)

Tabel 2. Realisasi Penerbitan Izin HTR Tahun 2008-2014

No Provinsi Koperasi Perorangan (KK) Total

Jml Luas Jml Luas Jml Luas 10.582.600 hektar sementara HTR hanya 195.270,43 hektar atau dengan kata lain total luas izin HTR hanya 1,85% dari total luas izin HTI.

Tabel 3. Perbandingan Total Luas Izin HTI dan HTR Tahun 2008-2014

Tahun HTI (ha) HTR (ha)

Sumber : Data Diolah dari Statistik Kemenhut

(7)

Rendahnya realisasi penerbitan izin HTR oleh Bupati menurut Tuti (2011) berdasarkan hasil penelitian di 3 lokasi yaitu Provinsi Riau, DI Yogya dan Kalimantan Selatan yang menjadi permasalahan adalah belum siapnya pemerintah daerah, kesiapan masyarakat calon petani HTR, ketidakserasian pemahaman kebijakan HTR antara pemerintah dan pemerintah daerah di lapangan (Kalsel). Hal lain yang menjadi permasalahan antara lain lambatnya proses verifikasi lokasi calon areal HTR yang dilakukan oleh BPPHP setempat, sebagai salah satu contoh adalah pengaduan salah satu koperasi ke Unit Kerja Koperasi Tani Hutan Makmur di Desa Silo Baru, Kecamatan Silau Laut, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, yang telah mendapat SK Menhut RI No. SK.381/Menhut-II/2011 (18 Juli 2011) tentang Pencadangan Areal untuk Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat seluas 335 Ha di Asahan, namun sampai dengan tahun 2012 belum dilakukan verifikasi lokasi oleh BPPHP Wilayah II Medan padahal masa berlaku SK pencadangan terbatas hanya 2 tahun.

Sedangkan Ardi (2011) mengungkapkan bahwa akses terhadap lahan pencadangan HTR dalam bentuk IUPHHK-HTR belum terwujud karena masyarakat belum mampu memenuhi persyaratan sebagaimana diamanatkan peraturan perundangan sebagai akibat kebijakan yang tidak memperhatikan karateristik sumberdaya lokal, kapasitas masyarakat dan efisiensi tata niaga sumberdaya.

Endang (2011) mengatakan bahwa masyarakat masih memandang hutan sebagai sumber penghidupan utama bagi keluarganya sehingga seharusnya ijin pengelolaannya dapat diwariskan walaupun tanah atau lahannya mereka sadari sebagai milik negara. Rendahnya persepsi responden terhadap ketentuan hak dan kewajiban menunjukkan bahwa masyarakat memandang ketentuan pelaksanaan HTR sebagai beban. Ketentuan HTR yang realistis baru sebatas pada pemberian ijin sedangkan ketentuan yang mengatur kegiatan setelah ijin keluar belum mempertimbangkan kemauan dan kemampuan masyarakat sebagai pelaksananya.

Dewi (2011) mengungkapkan bahwa rendahnya (a) terdapat perbedaan persepsi dalam menerjemahkan tujuan HTR antara Kementerian Kehutanan dan pemerintah daerah; (b) asumsi yang digunakan oleh Kementerian Kehutanan dalam menyusun kebijakan tersebut kurang sesuai dengan kondisi lapangan yang ada; dan (c) Ketidaksiapan para pemangku kegiatan (stakeholders) yang terdapat dalam struktur implementasi HTR dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut.

C.Realisasi Penanaman dan Produksi Kayu Bulat HTR

Direktorat Bina Usaha utan Tanaman (2014), mengungkapkan bahwa sejak tahun 2008 sampai dengan tahun 2014 dari izin HTR seluas 195.288,43 hektar realisasi penanaman HTR baru mencapai 13.722,78 hektar (7,03%) atau rata-rata hanya 2.287,3 hektar / tahun. Rendahnya realisasi penanaman HTR ini menurut Direktorat BUHT disebabkan karena permasalahan-permasalahan antara lain belum optimalnya pemanfaatan lahan (teknik pengolahan lahan), aspek kelembagaan dan manajemen belum kuat, kurangnya keterampilan teknis pelaku usaha HTR, kurangnya modal usaha, kurangnya pendampingan/fasilitasi dari instansi terkait.

(8)

bulat sebesar 63-72 juta m3 atau hampir setara 31-36 triliun rupiah dengan asumsi harga Sengon Rp.300.000,- / m3.

Data mengenai produksi kayu bulat yang berasal dari HTR masih sangat sulit diperoleh sehingga tidak diketahui gambaran dan trend perkembangn produksi kayu bulat yang berasal dari HTR.

D.Fasilitas Pembiayaan Dana Bergulir

Fasilitas pembiayaan pinjaman dan bergulir (PDB) yang disediakan pemerintah melalui Pusat P2H BLU nampaknya belum banyak dimanfaatkan oleh para pemegang izin HTR. Berdasarkan data Direktorat BUHT dari 103 pemegang izin berbentuk koperasi yang telah memanfaatkan dana bergulir hanya 35 koperasi dengan total akad kredit mencapai Rp.53.666.500.000,- sedangkan realisasi penyalurannya baru mencapai Rp.8.121.620.000,-.

Brasmantoro (2010) mengungkapkan bahwa kebijakan PDB HTR menunjukkan potensi kelemahan berupa (1) sempitnya pilihan bagi petani akibat skema yang tunggal (one size fits all) dan hanya berorientasi pada pembangunan tanaman, tata cara permohonan yang kompleks dan jauhnya lokasi pengurusan pinjaman (BLU Pusat P2H berkantor di Jakarta) berisiko salah sasaran karena hanya individu atau lembaga yang memiliki kemampuan finansial cukup yang dapat mengurusnya, (2) kelemahan lainnya adalah pengembangan PDB-HTR yang mengandalkan laporan laporan administratif tanpa menghadirkan organisasi khusus pengelola program di level tapak, dikhawatirkan akan mengganggu efektivitas program. Dalam pemanfaatan kredit, ketiadaan unit pengelola program pinjaman dapat menimbulkan persepsi bahwa uang yang dipinjamkan merupakan “uang yang tidak bertuan”. (3) tidak adanya pendampingan pada pemberian kredit berkelompok (mekanisme tanggung renteng) sebagaimana pendampingan yang dilakukan oleh Grameen Bank (Yunus 2007) dan kemitraan industri pengolahan kayu bersama petani HR di Pulau Jawa (Prihadi 2010).

Hasil penelitian Entin (2012) menunjukkan bahwa kinerja PDB HTR buruk, dan tujuan PDB HTR belum tercapai yaitu tepat lokasi, tepat pelaku, tepat kegiatan, tepat penyaluran dan pengembalian. Ketidaktepatan pelaku dan lokasi karena dari 2 koperasi yang sudah menerima penyaluran PDB HTR keduanya tidak terbebas dari konflik. Tidak tepat kegiatan dan penyaluran karena dana PDB HTR digunakan oleh penerimanya untuk kepentingan selain penanaman. Buruknya kinerja PDB HTR dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

1. Karakteristik. Karakteristik yang mempengaruhi kinerja PDB HTR terdiri dari karakteristik kredit, karakteristik petani dan karakteristik usaha sebagai berikut: (A) karakteristik kredit, seperti: (a) risiko kredit sangat tinggi karena rentan terkena hama penyakit, mudah terpengaruh oleh gangguan alam dan manusia seperti kemarau, kebakaran hutan, dan pencurian, (b) pinjaman cukup besar yaitu Rp.68 juta per 8 Ha (Rp 8.5 juta x 8 Ha) atau 2.5 Milyar untuk satu kelompok tani (luas maksimal kelompok tani adalah 300 Ha), dan (c) tidak ada pendanaan dari penerima pinjaman (self financing). (B) Karakteristik penerima pinjaman, meliputi: (a) karakteristik penerima pinjaman bervariasi, (b) pengalaman kredit investasi minim, (c) kemampuan manajerial rendah (kapasitas), (d) aset yang dimiliki beragam, dan (e) karakteristik informasi sulit (karakteristik pasar), dan (C) karakteristik usaha HTR bervariasi, terdiri dari: (a) areal yang dekat dengan pemukiman penduduk ataupun yang jauh dari pemukiman (remote). (b) areal yang datar hingga curam, (c) sarana dan prasarana yang beragam, (d) karakteristik lahan yang berlainan, dan areal sudah diokupasi oleh masyarakat dan (D) karakteristik informasi pasar yang rendah. 2. Aturan main pinjaman belum mendukung, yaitu belum adanya: (a) kebijakan yang sesuai,

(9)

dimana kebijakan yang dibuat sangat tidak sederhana sehingga tidak sesuai dengan karakteristik penerima pinjaman. Diskursus PDB HTR adalah diskursus pesanan dari pemerintah (state endangered order) tanpa memperhatikan karakteristik atau situasi petani sebagai salah satu subyek pembangunan HTR.

3. Organisasi pengelola dana PDB HTR belum didukung oleh kebijakan yang sesuai dengan karakteristik dan persepsi masyarakat penerima PDB HTR, yaitu: (a) sistem insentif dan keleluasaan dalam pengambilan keputusan di level tapak, (b) keberhasilan dalam menentukan lokal agen, (c) pembinaan yang intensif. BLU Pusat P2H sebagai pengelola dana PDB HTR hanya berlokasi di Jakarta sehingga sulit dalam menentukan lokal agen yang tepat melakukan pembinaan yang intensif, dan,

4. Persepsi terhadap PDB HTR. Persepsi petani terhadap PDB HTR umumnya belum paham tentang PDB HTR. Sedangkan persepsi para pihak umumnya pesimistis terhadap perkembangan PDB HTR jika kelembagaan yang dimaksud tidak diperbaiki.

III. Kesimpulan dan Saran

Hasil pembahasan sebagaimana tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pembangunan HTR tidak dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan antara lain karena faktor-faktor sebagai berikut :

1. Kebijakan HTR dipandang tidak memperhatikan karateristik sumberdaya lokal, kapasitas masyarakat dan efisiensi tata niaga sumberdaya.

2. Rendahnya tingkat partisipatif pemerintah daerah (Kabupaten) untuk mendorong pelaksanaan pembangunan HTR sebagai salah satu bagian upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayahnya.

3. Koordinasi antar stakeholder terkait lemah, perbedaan persepsi dan pemahaman regulasi dan kebijakan HTR di tingkat pusat dan daerah.

4. Kurangnya fasilitasi sosialisasi dan pendampingan sampai pada tingkat tapak. 5. Kelembagaan masyarakat belum kuat.

6. Masih rendahnya tingkat pemahaman masyarakat terhadap program HTR, antara lain : a. Masyarakat memandang izin dan areal HTR sebagai hak yang dapat diwariskan b. Ketentuan peraturan prosedur pelaksanaan HTR masih dipandang sebagai beban 7. Aspek teknis : kemampuan managerial, keterampilan teknis pelaku usaha rendah 8. Pembiayaan :

a. persepsi petani terhadap mekanisme PDB HTR pada umumnya belum paham

b. tata cara permohonan yang kompleks dan jauhnya lokasi pengurusan pinjaman (Pusat P2H BLU berada di Jakarta)

c. tidak adanya pendampingan pada pemberian kredit berkelompok

Harapan dari terbangunnya HTR adalah meningkatnya produktifitas hutan produksi secara optimal, perekonomian masyarakat berputar dan pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Untuk mendorong peningkatan kinerja dan produktifitas HTR upaya sinergis dari semua pihak yang terlibat mutlak sangat diperlukan.

Berikut ini adalah beberapa saran yang perlu digarisbawahi dalam rangka percepatan pembangunan HTR :

(10)

2. Mengotimalkan dukungan pemda dalam percepatan implementasi melalui percepatan proses perijinan, pendampingan dan sosialisasi secara intensif mengenai pentingnya HTR untuk masyarakat.

3. Kelembagaan

a. Penguatan kelompok lokal sebagai organisasi yang akan mengusulkan kawasan kelola dan usaha untuk mendapatkan IUPHHK-HTR melalui pembinaan dan pendampingan yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat oleh pemerintah daerah dan dibantu dengan lembaga swadaya masyarakat.

b. membentuk forum komunikasi, koordinasi dan layanan informasi antar stakeholders

dalam pembangunan HTR sebagai sarana untuk mencari solusi permasalahan pembangunan HTR, pengembangan peluang kemitraan dan pemasaran, serta pusat informasi pembangunan HTR.

c. Membentuk kelompok pemasaran

4. Asistensi teknis dan permodalan untuk pembangunan HTR yang lebih mudah diakses oleh masyarakat untuk mendapatkan IUPHHK-HTR maupun pembangunannya.

5. Sosialisasi sampai dengan tingkat tapak untuk meningkatan persepsi masyarakat terhadap alokasi lahan untuk HTR, jangka waktu dan luasan penguasaan lahan HTR.

6. Peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga pendamping

7. mengakomodir pola pemanfaatan kawasan hutan yang ada saat ini (misalnya tanaman Karet) sebagai motivasi agar masyarakat mau berpatisipasi dalam kebijakan HTR;

8. Mendorong pengusaha HTI untuk bermitra dengan pemegang izin HTR sebagai salah satu bentuk pemberdayaan masyarakat dan resolusi penyelesaian konflik.

9. Pemberian jaminan pemasaran dan pengolahan produk HTR

(11)

Daftar Pustaka

Agus Wibowo Dwi Saputro, 2012. Modal Sosial dan Persepsi Masyarakat Dalam Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Ogan Komering Ilir. Sekolah Pascasarjana IPB. Ardi, 2012. Pengembangan Institusi Pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat Pola Agroforestri

(Studi Kasus Lamban Sigatal, Kabupaten Sarolangun Jambi). Sekolah Pascasarjana IPB. Bambang Hendroyono , 2014. Arah Kebijakan dan Evaluasi Pembangunan HTR (paparan pada

rapat pembahasan percepatan pembangunan HTR 2014). Ditjen BUK.

Bramasto Nugroho, 2010. Pembangunan Kelembagaan Pinjaman Dana Bergulir Hutan Rakyat. Dewi Febriani, 2011. Evaluasi Proses Implementasi Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat Di

Kabupaten Sarolangun, Jambi. Sekolah Pascasarjana IPB,

Ditjen BUK, 2011. Road Map Pembangunan Industri Kehutanan Berbasisi Hutan Tanaman. Kemenhut.

Endang Pujiastuti, 2011. Persepsi dan Partisipasi Masyarakat Dalam Kegiatan Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Sarolangun, Jambi. Sekolah Pascasarjana IPB.

Haruni dkk, 2011. Paraserianthes falcataria(L.) Nielsen Ekologi, Silvikultur dan Produktivitas. CIFOR.

Kemenhut, 2014. Statistik Kementerian Kehutanan Tahun 2013.

Tuti Herawati , 2011. Hutan Tanaman Rakyat : Analisis Proses Perumusan Kebijakan dan Rancang Bangun Model Konseptual Kebijakan. Sekolah Pascasarjana IPB.

www.lapor.ukp.go.id/id/26588/realisasi-hutan-tanaman-rakyat-%28htr%29-tersendat-di-asahan.html

Gambar

Gambar 1. Prosedur Tata Cara Permohonan Izin HTR
Tabel 1 dibawah ini menunjukan rasio perbandingan penetapan pencadangan HTR dan realisasi penerbitan izin HTR sejak tahun 2008 – 2014 berdasarkan per Provinsi
Tabel 2. Realisasi Penerbitan Izin HTR

Referensi

Dokumen terkait

[r]

ElT

Surat Pernyataan bahwa Perusahaan yang bersangkutan dan manajemennyaatau peserta perorangan, tidak dalam pengawasan pengadilan, tidak bangkrut dan tidak sedang dihentikan

Pokja Pengadaan Barang ULP Barang/Jasa Pemerintah di Lingkungan Pemerintah Provinsi Bali akan melaksanakan Pelelangan Umum dengan pascakualifikasi untuk paket pekerjaan

penyalahgunaan wewenang oleh Panitia Pengadaan Pekerjaan Konstruksi Paket-Paket Pembangunan, Peningkatan Jalan Dan Jembatan Pada Dinas Bina Marga Dan Tata Ruang Provinsi

Universitas Negeri

When programming with ZooKeeper, developers design their applications as a set of clients that connect to ZooKeeper servers and invoke operations on them through the ZooKeeper

Data yang tercantum dalam Lembaran Data Keselamatan Bahan didasarkan pada pengetahuan terkini kami dan pengalaman dan menggambarkan produk hanya berkaitan dengan