HUTAN TANAMAN RAKYAT :
ANALISIS PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN DAN
RANCANG BANGUN MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN
TUTI HERAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Hutan
Tanaman Rakyat : Analisis Proses Perumusan Kebijakan dan Rancang
Bangun Model Konseptual Kebijakan adalah karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2011
TUTI HERAWATI. Community Forest Estate: Policy Process Analysis and Design of Policy Conceptual Model Under direction of NURHENI WIJAYANTO, SAHARUDDIN, and ERIYATNO.
Community Forest Estate is a Ministry of Forestry policy launched at 2007. The program was intended to increase productivity of logged over area through development of plantation forest by community. The program is still on going and until 2010 has poor performance in implementation, even though it was supported by financial policy and many other facilities. This study was intended to find out some constrain factors of Community Forest Estate policy implementation. It used a policy process analysis and critical system thinking as practical research framework. The result of the study is conceptual policy models for Sustainable Community Forest Estate. The study revealed that the policy of CFE is centralistic and top down approach. Therefore some misinterpretation appeared between local stakeholder and policy maker in the implementation of CFE. Using the technique of Interpretative Structural Model critical constrains factors were identified such as institutional constrain, financial constrain, and management constrain. Conceptual policy model of sustainable CFE management was developed, that consist of Management Model, Institutional Model and Funding Model. In order to overcome coordination problem it is recommended to create a Working Group of CFE in District Level. Meanwhile, to increase benefit for local people it is suggested that Village Owned Enterprise might be established. In addition, the General Service Agency of Plantation Forest Development should improve the revolving fund process.
dan Rancang Bangun Model Konseptual Kebijakan. Dibimbing oleh NURHENI WIJAYANTO, SAHARUDDIN, dan ERIYATNO
Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang mulai dicanangkan tahun 2007 merupakan upaya Kementerian Kehutanan untuk membangun hutan tanaman di areal hutan bekas tebangan (LOA=logged over area). Hingga tahun 2010 kegiatan ini berjalan lambat. Berbagai permasalahan dalam implementasi program HTR menyebabkan pencapaian hasil kegiatan jauh dari target yang ditetapkan.
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis proses perumusan kebijakan HTR, analisis respon dan implementasi program HTR, serta melakukan rancang bangun model konseptual kebijakan untuk mendukung keberhasilan program HTR. Landasan teori yang digunakan adalah perbandingan antara model linier dan model non linier dalam proses perumusan kebijakan. Analisis proses perumusan kebijakan HTR dilakukan untuk mendapatkan pemahaman tentang latar belakang dirumuskannya kebijakan. Selanjutnya dilakukan kajian respon para pihak di daerah dan implementasi HTR di 3 provinsi terpilih yaitu Provinsi Riau, Kalimantan Selatan, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Rancang bangun Model Konseptual Kebijakan dilakukan melalui identifikasi masalah kunci dengan teknik Interpretative Structural Modelling.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses perumusan kebijakan HTR bukan merupakan model linier melainkan suatu proses incremental (bertahap) dengan melakukan perubahan sedikit demi sedikit terhadap kebijakan yang sebelumnya telah ada. Gagasan pembangunan HTR dilatarbelakangi oleh tingginya potensi lahan kosong yang terdapat di kawasan hutan negara berupa spot kecil yang tersebar. Di sisi lain sektor industri kayu tengah mengalami defisit pasokan bahan baku. Dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan hutan terdegradasi, maka dipilih pemecahan masalah berupa pemberian hak akses kepada masyarakat sekitar hutan. Kesempatan hak akses bagi masyarakat dilakukan melalui pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR).
Proses perumusan kebijakan HTR dilakukan pada lingkup internal Kementerian Kehutanan dengan diskursus tunggal yaitu pemberian hak konsesi. Proses penyusunan landasan hukum kebijakan dilaksanakan melalui revisi terhadap Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002 menjadi Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Prinsip pembangunan kehutanan yang diterapkan dalam kebijakan HTR adalah usaha hutan tanaman dengan pola serupa dengan HTI (Hutan Tanaman Industri), tetapi dalam skala kecil. Pengalaman di masa sebelumnya memberikan pelajaran kepada birokrat Kementerian Kehutanan bahwa pembangunan HTI menghadapi banyak hambatan dan permasalahan. Oleh karenanya HTR merupakan alternatif lain dalam rangka pembangunan hutan tanaman.
sasaran untuk menjalankan bisnis hutan tanaman.
Berdasarkan analisis sistem terhadap permasalahan kompleks yang dihadapi dalam implementasi program HTR dapat diketahui bahwa faktor utama yang harus ditangani dalam pelaksanaan program HTR adalah (1) sinkronisasi rencana pembangunan antara pusat dan daerah serta antar sektor (2) hubungan antar lembaga pengelola yang terlibat dalam HTR, serta (3) masalah ketersediaan modal untuk membangun HTR. Berdasarkan hasil identifikasi permasalahan tersebut, maka disusun model konseptual kebijakan HTR yang terdiri dari 3 bagian, yaitu : (1) model pengelolaan/manajemen HTR, (2) model hubungan antar lembaga, dan (3) model pendanaan HTR.
Model manajemen HTR merupakan upaya integrasi perencanaan pembangunan jangka menengah, rencana tata ruang wilayah, rencana kerja pemerintah baik pusat maupun daerah yang dillandasi asas komplementer. Model hubungan antar lembaga adalah perwujudan sistem kelembagaan yang ditujukan untuk mendukung implementasi kebijakan HTR. Dalam rangka merealisasikan model konsepsi kebijakan tersebut diperlukan adanya pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) HTR di tingkat kabupaten dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Sementara itu model pendanaan HTR ditujukan untuk menyediakan alternatif pendanaan bagi pembangunan HTR.
Kelompok Kerja HTR di tingkat Kabupaten yang direkomendasikan dari model merupakan lembaga antar muka yang menghimpun perwakilan dari berbagai komponen stakeholder yaitu Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat, masyarakat petani HTR, serta komponen petugas pendamping HTR. Fungsi Kelompok Kerja adalah untuk membangun koordinasi antar komponen lembaga yang terlibat dalam rangka pembangunan bisnis hutan tanaman rakyat. Dinas Kehutanan bertindak sebagai leading sector dalam pembangunan HTR, mengingat basis HTR adalah pembangunan kawasan hutan dan proses perizinan pemanfaatan hutan IUPHHK-HTR dilakukan di lingkup Dinas Kehutanan Kabupaten. Upaya lain yang dapat ditempuh untuk mendukung keberhasilan pembangunan HTR adalah pendirian Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Pemerintahan Desa. BUMDes dibentuk sebagai pendorong pembangunan ekonomi pedesaan yang untuk meningkatkan kapasitas pemerintah dan masyarakat desa menuju ke arah kemandirian. Pengembangan BUMDes diharapkan merupakan upaya sinkronisasi antara program pemerintah daerah dengan sektor kehutanan.
©
Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik,
atau tinjauan suatu masalah;
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
RANCANG BANGUN MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN
TUTI HERAWATI
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Tachrir Fathoni, M.Sc.
Prof. Dr. Ir. Haryadi Kartodihardjo, M.S.
Penguji pada Ujian Terbuka
: Dr. Ir. Harry Santoso
Kebijakan dan Rancang Bangun Model Konseptual
Kebijakan
Nama :
Tuti
Herawati
NIM :
E
061060151
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, M.S.
Ketua
Prof. Dr. Ir. Eriyatno, M.S.A.E.
Anggota
Dr. Ir. Saharuddin, M.Si.
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, M.S.
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Alhamdulilahi robbil alamin, disertasi yang berjudul “Hutan Tanaman Rakyat: Analisis Proses Perumusan Kebijakan dan Rancang Bangun Model Konseptual Kebijakan” dapat diselesaikan. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulisan disertasi bertujuan untuk mengkaji aspek proses perumusan kebijakan Hutan Tanaman Rakyat, implementasi kebijakan di 3 Propinsi yaitu Riau, Kalimantan Selatan, dan Daerah Istimewa Yogyakerta, serta Rancang Bangun Model Konseptual Kebijakan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, M.S. sebagai ketua komisi pembimbing serta kepada Dr. Ir. Saharuddin, M.Si. dan Prof. Dr. Ir. Eriyatno, M.S.A.E. sebagai anggota komisi, atas bimbingan dan
pengarahannya. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Imam Wahyudi, M.S selaku ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan
Kehutanan.
Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Kementerian Kehutanan, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program Doktor di Sekolah Pascasarjana IPB. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada CIFOR dan Fakultas Kehutanan IPB yang telah melibatkan penulis dalam proyek kerjasama CIFOR-IPB untuk melakukan kajian kebijakan HTR di Propinsi Kalimantan Selatan dan Riau, Ucapan terimakasih juga diucapkan kepada instansi-instansi yang telah memberikan dukungan data dan informasi bagi penyusunan disertasi ini, terutama kepada Dinas Kehutanan Provinsi Riau, Kalsel, DIY, Dinas Kehutanan Kabupaten Gunung Kidul, Kementerian Kehutanan, dan seluruh pakar yang telah berpartisipasi dalam proses penelitian dan penyusunan disertasi ini.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas masukan, saran, dan berbagai bentuk bantuan yang diberikan kepada penulis dalam mengikuti program studi Doktor hingga selesainya penulisan disertasi ini.
Semoga disertasi ini dapat bermanfaat.
merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Hadi Suwarno (alm) dan Wartini (almh). Penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana S1 pada Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 1997. Pada tahun yang sama penulis mendapatkan beasiswa program unggulan DIKTI URGE Batch IV untuk melanjutkan studi di sekolah Pascasarjana IPB Program Studi Ilmu Kehutanan. Mulai tahun 1998 penulis bekerja sebagai pegawai Negeri Sipil di Kementerian Kehutanan, ditempatkan sebagai staf pada Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) di Jakarta. Tahun 2004 penulis mendapat SK alih tugas menjadi fungsional peneliti pada Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, dan tahun 2006 mendapatkan Tugas Belajar untuk menempuh pendidikan S3 pada program studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan IPB.
Selama mengikuti program S3, penulis aktif melakukan kegiatan penelitian di bidang analisis kebijakan dan kelembagaan dengan obyek kajian perhutanan sosial baik yang dilakukan pada Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, Ditjen RLPS, Balai Penelitian Kehutanan Ciamis, maupun dalam kegiatan kerjasama dengan perusahaan HTI, dan penelitian bersama team CIFOR (Centre for International Forestry Research).
ix Halaman
DAFTAR TABEL ……… iii
DAFTAR GAMBAR ……… iv
DAFTAR LAMPIRAN ………. v
I.
PENDAHULUAN
……….
1
1.1
Latar Belakang ………... 11.2 Perumusan Masalah ………... 5
1.3 Tujuan Penelitian ………... 9
1.4 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian ……… 9
1.5 Manfaat Penelitian ……… 10
1.6 Kebaruan ……….. 10
II.
TINJAUAN PUSTAKA ………... 112.1 Definisi Hutan Tanaman Rakyat ………. 11
2.2 Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat ... 12
2.3 Peraturan Perundangan Bidang Hutan Tanaman Rakyat... 15
2.4 Pembangunan Berkelanjutan ... 21
2.5 Kebijakan Publik ... 25
2.6 Analisis Kebijakan dan Riset Kebijakan ... 26
2.7 Analisis Proses Kebijakan ... 28
2.8 Teori Sistem dalam Riset Kebijakan ... 31
2.9 Permodelan Interpretasi Struktural ………. 37
2.10 Validasi Model ... 42
2.11 Disertasi yang Relevan ………. 44
III.
METODE PENELITIAN .... 493.1 Kerangka Pendekatan Penelitian ……… 49
3.2 Lokasi Penelitian ………..……….……… 54
3.3 Tahapan Kegiatan dan Waktu Penelitian …..……… 54
3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 56
3.5 Analisis Data ... 60
x
4.1 Tonggak Peristiwa Penetapan Kebijakan ………. 67
4.2 Proses Perumusan Kebijakan HTR... 86
4.3 Analisis Narasi dan Diskursus Kebijakan ... 91
4.4 Model Perumusan Kebijakan HTR... 93
V.
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN... 995.1 Implementasi Kebijakan HTR ... 99
5.2 Profil Sosial Ekonomi Masyarakat ... 109
5.3 Respon Pemangku Kepentingan terhadap kebijakan HTR ... 120
5.4 Respon Masyarakat terhadap kebijakan HTR ... 123
5.5 Hubungan Respon dan Implementasi Kebijakan ... 131
VI.
MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN
………
1376.1 Strukturisasi Elemen……….. 137
6.2 Pengembangan Kebijakan ... 156
6.3 Model Konseptual Kebijakan HTR Berkelanjutan... 159
6.4 Validasi Model dan Prospektif Dampak ……… 171
6.5 Implikasi Kebijakan ………... 174
VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 179
DAFTAR PUSTAKA ... 183
xi
2 Mekanisme Pencadangan Areal HTR ……… 16
3 Tata cara permohonan IUPHHK HTR ……….. 18
4 Ketentuan mengenai sanksi bagi pemegang IUPHHK-HTR ... 20
5 Definisi kebijakan publik ……….. 24
6 Perbedaan analisis, monitoring, evaluasi dan penelitian kebijakan ... 27
7 Hubungan kontekstual antar sub-elemen pada teknik ISM ... 41
8 Peubah dan sumber data penelitian ... 57
9 Jumlah informan penelitian ... 57
10 Proses konseptualisasi data wawancara ... 61
11 Proses kategorisasi data wawancara ... 61
12 Jumlah dan luas areal konsesi HPH dari tahun 1991 – 2009 ... 74
13 Timeline kebijakan yang mempengaruhi perumusan kebijakan HTR ... 84
14 Intisari dari proses perumusan kebijakan HTR ... 90
15 Kebijakan HTR dalam konsep cetak biru pembangunan dan perbandingannya dengan pembangunan berbasis inisiatif masyarakat lokal ... 96
16 Data kegiatan HTR di Provinsi Riau, Kalimantan Selatan dan Daerah Istimewa Yogyakarta ... 100
17 Luas kawasan hutan produksi dan areal HTR di Provinsi Riau, Kalimantan Selatan, dan Daerah Istimewa Yogyakarta ... 101
18 Bentuk izin pemanfaatan hutan produksi di Kalimantan Selatan ... 105
19 Pencadangan lokasi HTR di Provinsi Kalimantan Selatan ... 106
20 Persepsi pemangku kepentingan terhadap minat dan kemampuan Masyarakat ……….. 122
21 Analisis finansial beberapa jenis tanaman untuk kegiatan HTR ... 128
22 Analisis kondisi implementasi dan respon daerah ... 130
23 Elemen lembaga yang berpengaruh dalam pengelolaan HTR... 137
24 Elemen kebutuhan terhadap program Pengelolaan HTR berkelanjutan 143 25 Kategorisasi sub elemen kebutuhan akan program HTR ... 144
26 Elemen tujuan pengelolaan HTR ... ... 146
27 Elemen kendala utama pengelolaan HTR ... 148
28 Elemen kegiatan yang diperlukan ... 152
xii Halaman
1 Mekanisme penetapan peta pencadangan areal HTR ….………... 16
2 Tata cara permohonan IUPHHK HTR berdasarkan Permenhut P.23/Menhut-II/2007 jo. Permenhut P.5/Menhut-II/2008... 17
3 Lokus dan ruang kebijakan (Nugroho 2008) ... 27
4 Model linier kebijakan dari Grindle&Thomas (1990) ... 28
5 Overview pemodelan sistem untuk analisis kebijakan (Richardson & Pugh 1983) ……….. 34
6 Proses soft system methodology (Checkland 1999) ……… 36
7 Tahap analisis kebijakan HTR dimodifikasi dari model Blaikie & Soussan (2001) ... 51
8 Kerangka penelitian ... 53
9 Lokasi penelitian ... 54
10 Tahapan penelitian ... 55
11 Diagram teknik ISM (Saxena et al. 1992) ... 64
12 Periode pemanfaatan hutan di Indonesia ... 68
13 Periode pengelolaan hutan produksi di Indonesia... 73
14 Perbandingan produksi kayu dari HPH dan HTI di tahun 1997/1998 dengan tahun 2009 (sumber data: Santosa 2010) ... 74
15 Komposisi modal perusahaan HTI ... 76
16 Periodisasi kebijakan social forestry dalam proses perjalanan pemanfaatan dan pengelolaan hutan di Indonesia... 79
17 Tonggak kebijakan terkait perumusan kebijakan HTR ... 82
18 Persentase kawasan hutan di Propinsi Riau berdasarkan fungsinya ... 102
19 Persentase luas kawasan hutan di Propinsi Kalimantan Selatan berdasarkan fungsinya ... 105
20 Persentase kawasan hutan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan fungsinya ... 107
21 Tanaman karet rakyat di Provinsi Riau ... 110
22 Tanaman sawit rakyat di Provinsi Riau ... 111
23 Serapan tenaga kerja sub sektor perkebunan di Provinsi Riau ………. 111
xiii
27 Hutan jati di lahan HTR di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ... 119
28 Respon pemangku kepentingan terhadap kebijakan HTR ... 121
29 Respon pemangku kepentingan di daerah terhadap mekanisme perijinan HTR ... 122
30 Struktur sistem elemen lembaga yang berpengaruh dalam pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat ... 137
31 Matriks driver power dan dependence sub elemen lembaga yang terlibat dalam pengelolaan HTR ... 141
32 Struktur sistem elemen kebutuhan terhadap program HTR... 143
33 Matriks driver power-dependence sub-elemen pada elemen kebutuhan terhadap HTR... 144
34 Struktur hirarki elemen tujuan ... 146
35 Matriks driver power-dependence sub-elemen pada elemen tujuan .... 147
36 Struktur hirarki sistem elemen kendala utama ... 149
37 Matriks driver power-dependence sub-elemen kendala utama ……….. 149
38 Struktur hirarki sistem elemen kegiatan yang diperlukan ... 153
39 Matriks driver power-dependence sub-elemen pad elemen kegiatan yang diperlukan ... 154
40 Sistem pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat berkelanjutan ... 157
41 Pemodelan kebijakan berdasarkan konsep COMHAR (2007) ... 158
42 Sistem pengelolan HTR berkelanjutan ... 160
43 Model manajemen HTR ………. 161
44 Model lembaga pengelola HTR ... 164
45 Model pendanaan HTR ………. 167
46 Alokasi dana BLU Pusat P2H ... 169
47 Proporsi target dan realisasi kegiatan pencadangan lokasi HTR ……... 172
48 Proporsi pencapaian izin usaha HTR terhadap luas total HTR ... 172
49 Target dan realisasi kegiatan HTR ……….. 173
xiv Halaman
1 Proses Mekanisme Pencadangan Areal HTR ... 197
2 Proses Pengajuan Izin Usaha Hasil Hutan Kayu – Hutan Tanaman Rakyat... 198
3 Daftar Pertanyaan untuk Proses Perumusan Kebijakan HTR ... 199
4 Perjalanan sejarah kebijakan pengelolaan hutan produksi ... 201
5 Catatan Lapangan Hasil Wawancara ... 204
6 Hasil ISM untuk elemen lembaga yang terlibat ... 206
7 Hasil ISM untuk elemen kebutuhan akan HTR berkelanjutan ... 207
8 Hasil ISM untuk elemen tujuan ... 208
9 Hasil ISM untuk elemen tujuan ... 209
1.1 Latar Belakang
Analisis kebijakan sering disamakan pengertiannya dengan penelitian kebijakan atau kajian tentang suatu kebijakan. Beberapa ahli kebijakan tidak membedakan antara analisis kebijakan dengan penelitian kebijakan, misalnya Mayer & Greenwood (1980) dan Damin (1997). Menurut para ahli tersebut analisis kebijakan dan penelitian kebijakan dapat dipertukarkan untuk merujuk pada hal yang sama. Sementara itu, Weimer dan Vining (1999) memisahkan dengan jelas antara analisis kebijakan dengan penelitian kebijakan.
Definisi tentang analisis kebijakan banyak dikemukakan oleh para ahli diantaranya Quade (1982), Dye (1995), dan Dunn (2004). Pengertian umum dari analisis kebijakan adalah studi antar disiplin dengan penggunaan beragam teknik untuk meningkatkan atau merasionalkan proses pembuatan kebijakan agar ditemukan alternatif kebijakan terbaik guna mengatasi permasalahan yang dihadapi. Tujuan utama analisis kebijakan adalah membantu pengambil keputusan untuk membuat pilihan yang lebih baik (Quade 1976).
Nugroho (2008) dengan mengembangkan pemikiran Michael Hill dalam The Policy Process (2005), menyatakan ada dua jenis analisis kebijakan, yaitu analisis tentang kebijakan (studies of policies) dan analisis untuk merumuskan suatu atau beberapa kebijakan (studies for policies). Dengan demikian pemahaman tentang analisis kebijakan tidak serta merta berkenaan dengan analisis untuk merumuskan kebijakan saja namun juga analisis tentang kebijakan.
(2007) bahwa hasil riset atau studi kebijakan bukanlah sekedar rekomendasi dan pernyataan tentang dampak dari kebijakan. Hasil riset kebijakan yang efektif adalah upaya konkrit untuk mencapai tujuan dari sistem yang sedang dikaji. Oleh karena itu, hasil riset harus mampu mewujudkan harapan-harapan normatif menjadi strategi tindakan yang diperlukan dalam kebijakan.
Permasalahan kehutanan saat ini berkembang semakin kompleks. Tantangan untuk mewujudkan kelestarian hutan dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak lagi cukup didekati dengan solusi yang bersifat teknis kehutanan. Hal demikian merupakan tuntutan dari pergeseran peta permasalahan kehutanan dari yang semula berorientasi kepada masalah-masalah teknis menuju masalah-masalah sosial serta kebijakan sektor kehutanan (Puslitsosekhut 2005).
Peta permasalahan pembangunan kehutanan di Indonesia dapat dirunut berdasarkan paradigma yang mendasari kebijakan pengelolaan hutan. Lyndayati (2002) membagi periode kebijakan pembangunan kehutanan di Indonesia menjadi dua bagian. Periode pertama, yaitu pada masa awal pembangunan-pasca kemerdekaan hingga akhir tahun 1970-an, dengan paradigma State Based Forest Management. Periode kedua dimulai sekitar tahun 1980-an hingga sekarang dengan paradigma Community Based Forest Management (CBFM).
Pada periode State Based Forest Management hutan dilihat sebagai sumber ekonomi negara yang identik dengan kayu, serta pengelola hutan adalah agen negara (BUMN & Perum) serta perusahaan HPH dan HPHHTI sebagai perpanjangan tangan pemerintah. Secara politik, hutan Indonesia diusahakan dan dikelola atas dasar pemberian hak oleh pemerintah kepada lembaga pemerintah dan lembaga swasta, mengingat negara telah menafsirkan kekuasaan atas pengelolaan sumberdaya alam harus oleh negara bukan oleh masyarakat (Awang 2003).
1997 laju deforestasi dan degradasi di Indonesia mencapai 1,8 juta hektar per tahun. Periode 1997-2000 laju deforestrasi mengalami peningkatan yang cukup signifikan yaitu mencapai rata-rata sebesar 2,8 juta hektar dan menurun kembali pada periode 2000-2005 menjadi sebesar 1,08 juta hektar. Sementara itu, data yang dikeluarkan oleh State of the World’s Forests 2007 yang dikeluarkan The UN Food & Agriculture Organization (FAO), menunjukkan angka deforestasi Indonesia pada periode 2000-2005 mencapai 1,8 juta hektar/tahun.
Selain dampak deforestrasi dan degradasi sumber daya hutan di Indonesia, kebijakan dengan paradigma State Based Forest Management juga merupakan sebuah tindakan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat (Anshari et al. 2005; Lyndayati 2002). Keuntungan dari sumberdaya hutan sebagian besar dinikmati oleh para pengusaha. Masyarakat sekitar hutan terpinggirkan, padahal bagi mereka hutan merupakan sumber penghidupan, penyedia bahan pangan, bahan bangunan, kayu bakar, dan sumber penghasilan. World Research Institute dalam Lynch & Talbot (1995) melaporkan sekitar 60 juta orang atau sekitar 30% dari total penduduk Indonesia merupakan masyarakat yang hidupnya tergantung pada sumberdaya hutan.
Perubahan paradigma State Based Forest Management menjadi Community Based Forest Management (CBFM) dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam selama ini terbukti gagal meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengembangan CBFM melalui perhutanan sosial menjadi salah satu harapan penting dalam pengelolaan hutan yang berorientasi bukan hanya kepentingan produksi dan pelestarian hutan tetapi juga berpihak pada hak, martabat, dan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan berbasis CBFM di Indonesia telah dilaksanakan selama lebih dari 20 tahun (Lyndayati 2002). Sebuah rentang waktu yang cukup untuk dapat menelaah bagaimana dampak kebijakan tersebut terhadap kondisi hutan Indonesia dan terhadap kesejahteraan masyarakat. Berbagai program kegiatan telah dilakukan dengan beberapa nama atau istilah, misalnya tumpangsari, Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), hingga Hutan
* Perubahan nama Departemen Kehutanan menjadi Kementerian Kehutanan
untuk memberikan hak akses bagi masyarakat untuk mengelola kawasan hutan negara.
Bentuk kebijakan terbaru dari Kementerian yang mengatur hak akses masyarakat untuk mengelola hutan negara adalah HTR (Hutan Tanaman Rakyat). Kebijakan ini mulai digulirkan pada tahun 2007. HTR merupakan salah satu program strategis Kementerian Kehutanan dalam upaya peningkatan produksi kayu nasional yang saat ini mengalami kekurangan pasokan. Data dari kegiatan sintesa kebutuhan kayu nasional menunjukkan bahwa permintaan kayu saat ini sebesar 50-60 juta m3/tahun. Pemenuhan kayu secara lestari dari hutan
alam dan hutan tanaman yang saat ini ada baru mencapai 25-30 juta m3/tahun. Hal ini menunjukkan adanya praktek pemanenan kayu yang dilakukan secara tidak lestari sebesar 50% dari kebutuhan kayu nasional (CSREF 2005). Jika kondisi ini terus dibiarkan maka kelestarian sumberdaya hutan semakin terancam. Oleh karenanya perlu upaya-upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut. Kebijakan HTR dimaksudkan sebagai salah satu sumber alternatif upaya untuk menjawab masalah kekurangan pasokan kayu tersebut.
Meskipun program HTR telah dilengkapi dengan kebijakan mengenai akses lahan, akses pasar, dan akses permodalan, namun banyak pihak yang meragukan pelaksanaan program ini (Noordwijk et al. 2007). Dalam Is HTR a new paradigm in community based tree planting in Indonesia? Noordwijk et al. (2007) menyatakan bahwa kebijakan HTR pada dasarnya mirip dengan program HTI-plasma dan program HKM (Hutan Kemasyarakatan) yang belum menunjukkan hasil memuaskan. Permasalahan utama yang harus menjadi perhatian dalam pelaksanaan program HTR adalah: masalah tingginya alokasi anggaran pembangunan HTR, masalah akuntabilitas, dan tingginya potensi konflik lahan.
pembangunan Hutan Tanaman Rakyat masih rendah. Pada awal pencanangan program, Kementerian Kehutanan dalam hal ini Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan* menetapkan target pembangunan 5.400.000 ha Hutan Tanaman Rakyat (Dephut 2007; Emila & Suwito 2007). Akan tetapi data Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan pada akhir tahun 2010 menunjukkan bahwa Ijin Usaha HTR baru diterbitkan di 21 kabupaten, dengan total luas 87.299,89 ha atau 1,62% dari target yang ditetapkan. Beberapa kabupaten yang telah menerbitkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) HTR antara lain : Aceh Utara I, Mandailing Natal-Sumatera Utara, Sarolangun-Jambi, Ogan Komering Ilir-Sumatera Selatan, Kaur-Bengkulu, Tebo-Jambi, Kotawaringin Barat-Kalimantan Tengah, Gunungkidul-Daerah Istimewa Yogyakarta, Konawe Selatan dan Kolaka-Sulawesi Utara, Halmahera Selatan-Maluku Utara, dan Nabire-Papua.
Mengingat program HTR relatif baru, maka data dan informasi hasil penelitian HTR masih sangat terbatas. Beberapa hasil kajian yang terkait dengan kebijakan HTR adalah aspek dan prinsip-prinsip dasar kebijakan HTR (Emila & Suwito 2007), efektifitas dan strategi Kebijakan HTR (Nugroho 2009), paradigma kebijakan HTR (Noordwijk et al. 2007), kajian penetapan harga dasar kayu rakyat untuk mendukung program HTR (Irawati et al. 2008) dan strategi pengelolaan HTR di Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi (Masyithah 2009). Oleh karena itu penelitian ini akan memberikan kontribusi bagi ketersediaan data dan informasi terkait kebijakan Hutan Tanaman Rakyat.
1.2 Perumusan Masalah
Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat mendapat dukungan kuat dari para pengambil kebijakan di tingkat pusat. Menteri Kehutanan dalam beberapa kesempatan† menegaskan bahwa program HTR harus berhasil, sehingga segala faktor yang bisa menghambat keberhasilannya harus dapat diatasi. Salah satu masalah yang diprediksikan dapat menghambat program HTR adalah aspek
* Nama Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan menggantikan nama Direktorat
Jenderal Bina Produksi Kehutanan berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 130/M Tahun 2010 tanggal 16 September 2010. Penyebutan Dirjen BPK digunakan jika berkaitan dengan produk perundangan atau sumber rujukan yang dikeluarkan sebelum Kepres ditetapkan.
† Dua diantaranya dinyatakan dalam Sambutan Menteri Kehutanan pada dialog Dephut
Layanan Umum (BLU) Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (P2H) yang bertugas antara lain untuk menyalurkan pinjaman modal bagi para petani pemegang izin usaha HTR.
Di satu sisi kebijakan HTR mendapat dukungan kuat di tingkat nasional, namun dalam implementasi di lapangan berjalan lambat. Kondisi kontradiksi ini menarik untuk diteliti. Pertanyaan umum yang muncul dari kondisi seperti ini adalah mengapa sebuah program yang mendapat dukungan kuat di tingkat nasional, namun pada tahap implementasi berjalan lambat.
Patton dan Savicky (1993) sebagimana dikutip dalam Nugroho (2008) menyatakan kesalahan yang sering terjadi dalam memandang implementasi kebijakan adalah bahwa proses implementasi merupakan masalah manajemen semata. Oleh karena itu Patton dan Savicky sangat menekankan bahwa implementasi merupakan bagian dari proses kebijakan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa sebuah kebijakan yang didukung oleh otoritas tertinggi sekalipun belum tentu efektif karena bisa jadi birokrasi pelaksana di tingkat bawah (street level bereucrats) tidak mampu ataupun tidak mau melaksanakannya karena kendala di tingkat mereka.
Pendapat tersebut sejalan dengan pandangan Sutton (1999) yang menyatakan adanya dikotomi antara proses perumusan kebijakan dengan implementasinya. Sutton mengungkapkan bahwa implementasi sebuah kebijakan tidak bisa dilihat secara parsial pada aspek pelaksanaan saja, melainkan harus dikaji secara menyeluruh mulai dari tahap awal perumusan kebijakan.
menggunakan seluruh informasi yang diperlukan untuk menetapkan keputusan. Oleh karena itu model linier disebut juga sebagai model rasional, artinya pengambil keputusan menetapkan permasalahan secara rasional dan mengambil pilihan terbaik untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dengan demikian pilihan kebijakan yang ditetapkan merupakan solusi terbaik dari berbagai alternatif solusi pemecahan masalah yang tersedia.
Inti dari kritik yang dikemukakan oleh Sutton (1999) dan IDS (2006) adalah bahwa asumsi-asumsi yang diperlukan untuk terpenuhinya model linier sulit untuk dipenuhi. Model rasional atau model linier dipandang oleh Sutton (1999) dan IDS (2006) sebagai: (1) sebuah proses murni dari kegiatan administrasi dan birokrasi; (2) fase implementasi sepenuhnya merupakan masalah prosedur teknik; (3) peran para ahli merupakan faktor penting dalam proses pemilihan keputusan yang rasional; dan (4) kepakaran para ilmuwan dinilai bersifat objektif dan independent (bebas nilai). Model linier juga mengasumsikan adanya pemisahan yang jelas antara fakta dengan nilai-nilai yang berpengaruh dalam proses perumusan kebijakan. Pendapat Sutton dan IDS tersebut memperkuat pernyataan Juma & Clark (1995) yang menyatakan bahwa jika kebijakan tidak mencapai apa yang diharapkan maka kesalahan senantiasa dialamatkan pada fase implementasi. Faktor penyebabnya bisa karena keterbatasan sumberdaya atau karena kurangnya “political will” atau keengganan untuk melaksanakan kebijakan.
Berdasarkan perdebatan tersebut Sutton (1999) dan IDS (2006) menyajikan pandangan lain tentang proses perumusan kebijakan. Sebuah kebijakan dirumuskan melalui mekanisme yang kompleks dan tidak beraturan dengan karakteristik sebagai berikut : (1) proses pembuatan kebijakan perlu difahami sebagai sebuah proses politik; (2) proses pembuatan kebijakan bersifat incremental (bertahap), iterative (berulang), dan experimental (uji coba), serta belajar dari kesalahan.
kebijakan telah mengumpulkan informasi yang memadai untuk menetapkan alternatif pilihan terbaik untuk menyelesaikan permasalahan. Beberapa indikasi mengarah pada dugaan sementara bahwa proses dan asumsi tersebut tidak dipenuhi. Penelitian ini bertujuan untuk menggali data dan informasi untuk mendapatkan jawaban atas hipotesis tersebut.
Untuk mendapatkan informasi menyeluruh tentang kinerja kebijakan HTR maka perlu pula dikaji bagaimana kebijakan HTR diimplementasikan di tingkat lapangan. Winter (1990) menyatakan selain proses formulasi kebijakan faktor lain yang perlu dipertimbangkan dari sebuah kebijakan adalah respon pihak pelaksana kebijakan. Keberhasilan pelaksanaan kebijakan sangat ditentukan oleh respon dari kelompok target kebijakan . Kelompok sasaran dari kebijakan HTR adalah masyarakat sekitar hutan dan para pemangku kepentingan di daerah. Untuk itu pertanyaan penelitian kedua yang diajukan adalah bagaimana para pihak di daerah merespon kebijakan HTR serta bagaimana hubungan respon tersebut dengan keberhasilan implementasi HTR. Pertanyaan penelitian kedua ini menghasilkan rumusan hipotesis penelitian adanya hubungan antara respon para pemangku kepentingan di daerah dengan tingkat keberhasilan implementasi kebijakan HTR.
Quade (1982) menyatakan bahwa tujuan utama analisis kebijakan adalah membantu pembuat keputusan untuk membuat pilihan yang lebih baik. Oleh karena itu, setelah mengkaji tahap proses perumusan kebijakan dan tahap evaluasi terhadap implementasi kebijakan HTR, penelitian ini selanjutnya mempertanyakan upaya apa yang harus dilakukan untuk mendukung keberhasilan implementasi kebijakan HTR. Jawaban atas pertanyaan penelitian tersebut dilakukan melalui kegiatan rancang bangun model konseptual kebijakan.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk melakukan analisis terhadap kebijakan Hutan Tanaman Rakyat.
Tujuan umum tersebut dijabarkan menjadi tiga tujuan khusus, yaitu: 1. melakukan analisis proses perumusan kebijakan HTR
2. melakukan analisis respon pemangku kepentingan dan analisis implementasi kebijakan HTR di daerah
Hutan Tanaman Rakyat yang dimaksud dalam kajian ini merujuk pada Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan jo PP No.23 Tahun 2008 dan seluruh aturan di bawahnya yang menjadi landasan dalam pelaksanaan kegiatan HTR di lapangan. Definisi HTR menurut peraturan perundangan adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan.
Lingkup kajian meliputi penelitian kebijakan berupa analisa proses perumusan kebijakan, analisis respon para pihak di daerah terhadap kebijakan HTR, evaluasi dari implementasi program HTR di lapangan dan perumusan model konseptual kebijakan HTR.
Penelitian proses perumusan kebijakan dibatasi pada analisis terhadap latar belakang ide dan gagasan digulirkannya kebijakan HTR, aktor yang terlibat dalam proses perumusan kebijakan HTR dan kondisi yang mendukung untuk diwujudkannya HTR sebagai kebijakan nasional. Sementara itu kegiatan respon dan implementasi kebijakan HTR dibatasi dengan mengambil sampel lokasi penelitian di tiga provinsi, yaitu Provinsi Riau, Kalimantan Selatan, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Perumusan strategi untuk mendukung keberhasilan implementasi kebijakan HTR dibatasi pada kegiatan rancang bangun model konseptual kebijakan. Model ini merupakan rekomendasi bagi para pelaksana kegiatan HTR.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat praktis dari hasil penelitian ini adalah untuk memberikan masukan bagi para pengambil keputusan baik di tingkat pusat maupun di daerah dalam pelaksanaan kebijakan Hutan Tanaman Rakyat.
konsep pembangunan hutan tanaman oleh masyarakat sebagai salah satu inovasi dalam rangka meningkatkan produktivitas lahan hutan yang terdegradasi dan dalam rangka meningkatkan produksi kayu. Di samping itu kegiatan penelitian ini juga dapat dijadikan bahan rujukan bagi mereka yang sedang atau akan meneliti topik yang berkaitan dengan analisa proses kebijakan, pengelolaan hutan berbasis masyarakat, dan pengembangan ilmu permodelan.
1.6 Kebaruan
Kebaruan dari penelitian mengenai kebijakan Hutan Tanaman Rakyat ini adalah :
1) Penerapan metodologi penelitian proses perumusan kebijakan. .
2) Pengembangan kebijakan pengelolaan HTR didasarkan pada pemodelan pengelolaan melalui pendekatan soft system methodology yang mengintegrasikan aspek ekologi, sosial dan ekonomi, yang dilakukan melalui pendekatan sistem
2.1 Definisi Hutan Tanaman Rakyat
Hutan Tanaman Rakyat merupakan salah satu bentuk kebijakan
Kementerian Kehutanan untuk memberikan hak akses bagi masyarakat dalam
mengelola hutan negara. Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR)
berdasarkan pada Peraturan Pemerintah No 6/2007 jo PP No.3/2008. Pasal 37
pada PP 6/2007 berbunyi ”Pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman pada hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf d dapat dilakukan pada : a. HTI (Hutan Tanaman Industri); b. HTR (Hutan Tanaman Rakyat); atau c. HTHR (Hutan Tanaman Hasil Reboisasi)”.
Definisi Hutan Tanaman Rakyat menurut Peraturan Pemerintah No.6
Tahun 2007 adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh
kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi
dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumberdaya
hutan (Bab 1 pasal 1 ayat 19).
Hutan tanaman secara umum didefinisikan sebagai tegakan hutan yang
dibangun melalui kegiatan penanaman dalam rangka proses penghijauan atau
penghutanan kembali (FAO 2001; Carley & Holmgren 2003; Farrelly 2007;
Schirmer 2007).
Evans (1992) mendefinisikan hutan tanaman sebagai hutan yang dibangun
dan dikelola melalui kegiatan permudaan buatan atau penaburan/penanaman
bibit pohon dengan sengaja (artificial forest atau man-made forest). Hutan tanaman merupakan tegakan hutan dan pohon berkayu jenis tertentu yang
ditanam secara khusus untuk keperluan penyediaan kayu bakar dan bahan baku
untuk industri pengolahan kayu, atau menyediakan jasa untuk mencegah erosi,
konservasi tanah dan sebagainya. Hutan tanaman merupakan sumber daya
yang tumbuh (growing resources) yang tidak dapat dibiarkan tumbuh tanpa memeliharanya. Pemeliharaan yang sesuai dan pada saat yang tepat, dapat
mengarahkan pertumbuhan tegakan agar mendapatkan hasil akhir yang
diinginkan, baik dalam kualitas maupun kuantitasnya. Karenanya pertimbangan
dalam pemilihan jenis pohon yang ditanam umumnya terbatas dan memiliki
karakteristik khas, seperti cepat tumbuh, persyaratan pengelolaan yang tidak
Hutan tanaman telah dijadikan cara untuk menghasilkan kayu bulat
sekaligus mengurangi deforestrasi. FAO (2001) menyatakan bahwa 48%
pembangunan hutan tanaman dilakukan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku
bagi industri pengolahan kayu (industri pulp & paper dan industri penggergajian), 26% untuk keperluan non industri (bangunan rumah tangga, kayu bakar,
konservasi air dan tanah, dan lainnya).
Pengembangan hutan tanaman di Indonesia pada awalnya merupakan
bagian kegiatan penghijauan dan rehabilitasi dengan tujuan utama memperbaiki
keadaan areal kritis dalam daerah-daerah sumber air, serta menggunakan jenis
cepat tumbuh seperti kalianda (Caliandra spp.), sengon (Paraserianthes falcataria), Eukaliptus (Eucalyptus deglupta; E.uropylla), akasia (Acacia spp), dan lainnya. Seiring dengan semakin menurunnya kemampuan hutan alam untuk
memasok kebutuhan bahan baku untuk industri pengolahan kayu, maka
pembangunan hutan tanaman semakin tumbuh dan berkembang, khususnya
guna memasok kebutuhan industri pulp (Kartodihardjo & Supriono 2000; FAO
2001, Ngadiono 2004).
2.2 Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat
Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang mulai digulirkan tahun 2007
merupakan produk kebijakan Kementerian Kehutanan untuk memberikan akses
kepada masyarakat dalam mengelola hutan produksi (milik negara). Pemerintah
memberikan pengakuan kepada masyarakat yang menjadi peserta program HTR
dengan aspek legal berupa Surat Keterangan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK HTR).
Dalam tataran pembangunan nasional, kebijakan ini terkait dengan tiga
agenda strategi ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu (2004-2009) yaitu agenda
pertumbuhan ekonomi (pro-growth), penyediaan lapangan kerja (pro-job), dan pengentasan kemiskinan (pro-poor). Hutan Tanaman Rakyat merupakan bentuk kebijakan operasional dari revitalisasi industri kehutanan. HTR dimaksudkan
untuk menambah sumber pemasok bahan baku kayu bagi industri kehutanan.
Selain itu HTR juga ditujukan sebagai upaya pembangunan kehutanan yang
berpihak pada masyarakat, dengan memberikan peluang usaha dan bekerja
sebagai pengelola sumber daya hutan (Emila & Suwito 2007)
Kawasan hutan yang dapat menjadi sasaran lokasi HTR adalah hutan
diutamakan dekat dengan industri hasil hutan serta telah ditetapkan
pencadangannya sebagai lokasi HTR oleh Menteri Kehutanan. Luas lahan hutan
produksi yang dicadangkan untuk HTR adalah 5,4 juta ha dengan kategori lahan
hutan bekas tebangan (LOA=logged over area) dan lahan hutan terdegradasi (degraded forest land). Lokasi HTR ditetapkan oleh KementerianKehutanan dengan proses konsultasi bersama pemerintah daerah. Tabel 1 menyajikan data
rencana pembangunan HTR melalui pencadangan alokasi lahan hutan untuk
kegiatan HTR periode 2007 – 2010 yang bersumber dari Direktorat Jenderal Bina
Usaha Kehutanan. Target penanaman HTR ditetapkan oleh Direktorat Jenderal
Bina Usaha Kehutanan mulai tahun 2007 seluas 200.000 ha setiap tahun dan
diharapkan pada tahun 2016 seluruh areal pencadangan HTR dapat tertanami
Tabel 1 Alokasi lahan untuk HTR periode 2007 – 2010
No Tahun Luas Lahan
(Ha)
Jumlah Kepala Keluarga (KK)
1. 2007 1.400.000 93.333
2. 2008 1.400.000 93.333
3. 2009 1.400.000 93.333
4. 2010 1.200.000 80.000
Total 5.400.000 360.000
(sumber : Emila & Suwito 2007)
Untuk mengantisipasi masalah permodalan dalam pembangunan HTR,
masyarakat diberi kesempatan untuk memperoleh pinjaman modal kepada
Badan Layanan Umum (BLU) Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan. Bantuan
modal yang diberikan kepada masyarakat sebesar Rp 8 juta per ha. Jumlah
kepala Keluarga yang akan terlibat dalam program ini diperkirakan sebanyak
360.000 KK (Dephut 2007).
Ada 3 pola yang dikembangkan dalam pelaksanaan program HTR, yaitu;
pola kemitraan, pola mandiri, dan pola developer (Permenhut P.23/2007 pasal 5).
1. HTR Pola Mandiri dilakukan berdasarkan inisiatif masyarakat setempat
dengan membentuk kelompok kemudian mengajukan izin. Pemerintah
kemudian mengalokasikan areal dan SK IUPHHK-HTR untuk setiap individu
dalam kelompok dan masing-masing ketua kelompok bertanggung jawab
atas pelaksanaan HTR, pengajuan kredit, pasar, dan pendampingan dari
Proses penyelenggaraan kegiatan HTR dengan pola mandiri, melalui 6
ketentuan sebagai berikut : 1) Pencadangan lokasi HTR oleh Menteri
Kehutanan; 2) Penerbitan IUPHHK-HTR kepada perorangan atau koperasi,
perorangan diutamakan membentuk kelompok untuk memudahkan
pelayanan dalam proses permohonan izin dan pinjaman biaya pembangunan
HTR; 3) Ketua kelompok mengkoordinir pelaksanaan HTR, pengajuan dan
pengembalian pinjaman, pemasaran hasil hutan tanaman rakyat serta
kegiatan lain termasuk pendampingan anggota kelompok dari Pemerintah,
Pemerintah Daerah dan Lembaga Swadaya Masyarakat; 4) Pembangunan
HTR dilaksanakan sendiri oleh pemegang Izin (perorangan atau koperasi)
dengan biaya sendiri baik yang berasal dari modal sendiri atau dana
pinjaman; 5) Akad kredit untuk modal yang berasal dari pinjaman dilakukan
atas nama perorangan atau koperasi; 6) Petani mengangsur pokok dan
bunga sampai dengan lunas setelah panen.
2. HTR Pola Kemitraan: Masyarakat setempat membentuk kelompok diajukan
oleh Bupati kepada Menteri Kehutanan. Pemerintah kemudian menerbitkan
SK-IUPHHK-HTR dan menetapkan mitra. Mitra bertanggung jawab atas
pendampingan, input/modal, pelatihan dan pasar.
Beberapa tahapan yang dilalui dalam pelaksanaan HTR pola kemitraan
adalah sebagai berikut : 1) Pencadangan lokasi HTR oleh Menteri
Kehutanan; 2) Penerbitan IUPHHK-HTR kepada perorangan atau koperasi;
3) Penentuan mitra (BUMN, BUMS, BUMD, atau industri) dengan difasilitasi
oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; 4) Pembuatan perjanjian kerja
antara pemegang IUPHHK-HTR dengan mitra difasilitasi oleh Pemerintah
dan Pemerintah Daerah; 5) Pembangunan HTR dilaksanakan oleh
pemegang izin dengan biaya dari mitra; 6) Pemerintah dan Pemerintah
Daerah memfasilitasi kegiatan kemitraan HTR agar terselenggara kemitraan
yang menguntungkan kedua belah pihak; 7) Perusahaan mitra bertanggung
jawab atas saprodi, pelatihan, pendampingan dan pemasaran; 8) Perjanjian
kerjasama kemitraan harus fleksibel agar bisa mengakomodir perubahan.
3. HTR pola developer; BUMN atau BUMS sebagai developer membangun
hutan tanaman rakyat dan selanjutnya diserahkan oleh pemerintah kepada
masyarakat sebagai pemegang IUPHHK-HTR yang selanjutnya biaya
pembangunnannya diperhitungkan sebagai pinjaman pemegang
Beberapa ketentuan dalam pembangunan HTR pola developer adalah :
1) Pencadangan lokasi HTR oleh Menteri Kehutanan; 2) Penerbitan
IUPHHK-HTR kepada perorangan atau koperasi; 3) Penunjukkan developer oleh
pemegang izin dengan difasilitasi oleh Pemerintah; 4) Permohonan kredit
kepada BLU Pusat P2H (kesepakatan dengan pemegang izin dan diketahui
oleh Bupati); 5) Akad kredit dengan developer; 6) Pembangunan HTR oleh
developer (sampai dengan akhir masa pembangunan sesuai daur atau hanya
sampai tahun ketiga); 7) Penilaian tanaman dalam rangka konversi oleh tim
penilai independen satu tahun sebelum pengalihan akad kredit; 8)
Pengalihan akad kredit dari developer kepada petani pemegang izin
difasilitasi oleh Pemerintah; 9) Petani mengangsur pokok dan bunga sampai
dengan lunas setelah panen; 10) Petani melanjutkan sendiri pembangunan
HTR pada rotasi II dan seterusnya.
2.3 Peraturan Perundangan Bidang Hutan Tanaman Rakyat
Nugroho (2009) menyatakan bahwa paling tidak terdapat 6 peraturan dan
perundang-undangan yang secara langsung terkait dengan pembangunan HTR,
yaitu: 1) Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; 2) Peraturan
Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan jo. Nomor 3 Tahun 2008; 3)
Permenhut No P. 23/Menhut-II/2007 tentang Tata Cara Permohonan IUPHHK
pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman diubah dengan Permenhut
No. P.5/Menhut-II/2008; 4) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:
P.62/Menhut-II/2008 tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan
Tanaman Industri dan Hutan Tanaman Rakyat (perubahan terakhir dari
Permenhut P.9/Menhut-II/2007 dan P.41/Menhut-II/2007); 5) Permenhut No.
P.9/Menhut-II/2008 tentang Persyaratan Kelompok Tani untuk Mendapatkan
Pinjaman Dana Bergulir Pembangunan HTR; dan 6) Permenhut No.
P.16/Menhut-II/2008 tentang Kriteria Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan
Koperasi yang dapat memperoleh fasilitas kredit/pembiayaan dengan
penjaminan
Peraturan perundangan tersebut pada umumnya menekankan kepada
pengaturan mekanisme pencadangan areal, permohonan IUPHHK-HTR, hak dan
kewajiban, dan sanksi-sanksi seperti diuraikan dalam bagian selanjutnya dari sub
2.3.1. Mekanisme pencadangan areal HTR
Program HTR ditempuh melalui proses awal berupa pencadangan lokasi kegiatan. Mekanisme pencadangan lokasi diatur dalam Permenhut P.05/2008 yang merupakan perubahan atas Permenhut Nomor P.23/2007. Mekanisme pencadangan areal HTR dilakukan dengan tahapan sebagaimana disajikan pada Gambar 1 dan diuraikan pada Tabel 2.
Gambar 1 Mekanisme pencadangan areal HTR (P.05/2008)
Tabel 2. Uraian mekanisme pencadangan areal HTR
No. Uraian
1 dan 1 A
Kepala Badan Planologi atas nama Menteri kehutanan menyiapkan dan menyampaikan peta arahan indikatif lokasi HTR kepada Bupati dengan tembusan kepada Dirjen BPK, Sekjen, Gubernur, Kadishut Provinsi, Kadishut Kabupaten/Kota, dan kepala BPKH (Balai Pemantapan Kawasan Hutan)
2 Kepala BPKH memberikan asistensi teknis perpetaan kepada Dinas Kehutanan
Provinsi dan Kabupaten/Kota berdasarkan petunjuk teknis yang ditetapkan oleh Kepala Badan Planologi
3 Kadishut Kabupaten/Kota menyampaikan pertimbangan teknis kawasan areal
tumpang tindih perizinan, tanaman reboisasi dan rehabilitasi, dan program pembangunan daerah Kabupaten/Kota kepada Bupati/Walikota, dilampiri peta alokasi HTR skala 1 : 50.000
4 dan 4 A
Berdasarkan pertimbangan teknis Kadishut, Bupati/Walikota menyampaikan rencana pembangunan HTR kepada Menhut dilampiri peta usulan lokasi HTR skala 1 : 50.000 dtembuskan kepada Dirjen BPK dan Kepala Badan Planologi
5 Kepala Badan Planologi melakukan verifikasi peta usulan lokasi HTR yang
disampaikan oleh Bupati/Walikota dan menyiapkan konsep peta pencadangan areal HTR , hasilnya disampaikan kepada Dirjen BPK
6 Dirjen BPK melakukan verifikasi rencana pembangunan HTR yang disampaikan
oleh Bupati/Walikota dari aspek teknis dan menyiapkan konsep Keputusan Menhut tentang alokasi areal HTR dilampiri konsep peta pencadangan areal
7 dan 7A
Proses pencadangan areal HTR melibatkan 9 lembaga/organisasi
(Nugroho 2009). Berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat bahwa tahapan yang
dilakukan terdiri dari 7 langkah. Sementara itu, terhadap mekanisme yang sama
Nugroho (2009) melakukan pendekatan berbeda sehingga menyatakan bahwa
langkah yang harus ditempuh dalam proses pencadangan areal HTR ini terdiri
dari 29 tahapan, sebagaimana digambarkan secara rinci dalam Lampiran 1.
Analisis Nugroho (2009) terhadap proses mekanisme pencadangan areal HTR
merinci secara detail tahapan kegiatan dan memperhitungkan proses tembusan
surat sebagai aktivitas yang perlu dipertimbangkan. Kegiatan tersebut pada
kenyataannya menjadi panjang dan membutuhkan waktu yang lama. Proses ini
menjadi salah satu titik simpul penyebab keterlambatan proses pelaksanaan
kegiatan HTR di lapangan (Gumilar 2010)
2.3.2 Permohonan IUPHHK HTR
Tata cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu HTR
ditetapkan dengan Peraturan Menteri Kehutanan No.23/Menhut-II/2007 yang
kemudian diperbaharui dengan Permenhut No. P.5 Menhut-II/2008. Mekanisme
perizinan HTR melalui tahapan administrasi seperti disajikan pada Gambar 2,
dan Tabel 3 menyajikan keterangan proses permohonan IUPHHK-HTR
Tabel 3 Tata cara permohonan IUPHHK HTR
Kegiatan Uraian 1 Pemohon (perorangan atau kelompok atau koperasi) mengajukan
permohonan IUPHHK HTR kepada Bupati melalui kepala Desa, pada areal yang telah dialokasikan dan ditetapkan oleh Menhut untuk pembangunan HTR
2 Berdasarkan permohonan IUPHHK-HTR Kepala Desa melakukan verifikasi keabsahan persyaratan permohonan dan membuat rekomendasi kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada camat dan kepala Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi (BP2HP)
3 Kepala BP2HP berdasarkan tembusan dari kepala Desa melakukan verifikasi administratif dan sketsa/peta areal yang dimohon dengan berkoordinasi dengan BPKH (Balai Pemantapan Kawasan Hutan) dan hasilnya disampaikan kepada Bupati sebagai pertimbangan teknis
4 Berdasarakan rekomendasi Kepala Desa dan pertimbangan teknis dari Kepala BP2HP Bupati/Walikota atas nama Menteri Kehutanan menerbitkan Keputusan IUPHHK HTR dilampiri peta areal kerja skala 1:50.000 kepada pemohon dengan tembusan kepada Menhut, Dirjen BPK, Kepala Baplan dan Gubernur
Analisis yang dilakukan oleh Nugroho (2009) terhadap proses tersebut
memperlihatkan bahwa untuk permohonan IUPHHK-HTR melibatkan 10
lembaga/organisasi kehutanan dan non-kehutanan dengan 29 langkah/kegiatan
yang harus ditempuh. Gambaran detail tentang hasil analisis tersebut disajikan
pada Lampiran 2. Serupa dengan kegiatan pencadangan lahan HTR, proses
pengajuan IUPHHK-HTR pun dinilai rumit. Oleh karenanya aspek tersebut dapat
menjadi bahan pertimbangan bagi Kementerian Kehutanan untuk melakukan
penyederhanaan birokrasi perizinan (Gumilar 2010)
2.3.3 Hak, kewajiban dan sanksi peserta HTR
Hak pemegang IUPHHK-HTR sebagaimana diatur dalam Permenhut
P.23/Menhut-II/2007 jo. P.5/Menhut-II/2008 pasal 19 terdiri dari 4 hal, yaitu : 1)
dapat melakukan kegiatan penanaman hutan di areal hutan produksi sesuai izin,
2) mendapatkan kemudahan fasilitas pendanaan untuk pembiayaan
pembangunan HTR, 3) mendapatkan bimbingan dan penyuluhan teknis, serta 4)
mendapatkan peluang ke pemasaran hasil hutan.
Sementara itu kewajiban pemegang IUPHHK-HTR diuraikan dalam
pemegang yang dicantumkan dalam pasal tersebut, yaitu : 1) pemegang
IUPHHK-HTR wajib menyusun RKU IUPHHK-HTR dan RKT yang dapat
dilaksanakan oleh UPT, konsultan, atau LSM dengan biaya yang dibebankan
kepada pemerintah; 2) dalam hal pemegang IUPHHK HTR-meminjam dana
pembangunan HTR kepada BLU maka berkewajiban untuk melunasi pinjaman
tersebut.
Selain kewajiban yang tercantum dalam Permenhut P.23/2007, pemegang
IUPHHK-HTR juga dikenai kewajiban sebagaimana yang tercantum dalam
Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 jo PP 23/2008 pasal 75 (Nugroho
2009). Terdapat 9 kewajiban yang harus dipatuhi pemegang IUPHHK-HTR, yaitu
: 1) melaksanakan penatausahaan hasil hutan; 2) melakukan pengukuran atau
pengujian hasil hutan; 3) melaksanakan sistem silvikultur sesuai lokasi dan jenis
tanaman yang dikembangkan; 4) menyediakan dan memasok bahan baku kayu
kepada industri hasil hutan; 5) melakukan penanaman paling rendah 50% (lima
puluh perseratus) dari luas areal tanaman, bagi pemegang IUPHHK pada HTI
dalam hutan tanaman berdasarkan daur dalam waktu paling lambat 5 (lima)
tahun sejak diberikannya izin; 6) menyusun rencana kerja usaha pemanfaatan
hasil hutan kayu (RKUPHHK) jangka panjang untuk seluruh areal kerja paling
lambat 1 (satu) tahun setelah izin diberikan untuk diajukan kepada bupati atau
pejabat yang ditunjuk guna mendapatkan persetujuan; 7) menyusun rencana
kerja tahunan (RKT) diajukan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum RKT tahun
berjalan, 8) melaksanakan RKT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b
yang menjadi wewenang dan tanggung jawabnya bila telah memenuhi kriteria
dan indikator yang ditetapkan oleh Menteri, tanpa memerlukan pengesahan dari
pejabat yang berwenang (self approval; 9) menyampaikan laporan kinerja secara periodik kepada Menteri.
Jika pemegang IUPHHK-HTR tidak dapat melaksanakan kewajiban yang
telah ditetapkan diatas, maka terdapat sanksi yang dapat diterapkan. Ketentuan
mengenai sanksi - sanksi yang dapat diberlakukan kepada pemegang
Tabel 4. Ketentuan mengenai sanksi bagi pemegang IUPHHK-HTR
Jenis sanksi Kewajiban yang dilanggar Keterangan
Penghentian sementara pelayanan administrasi
Menyusun rencana kerja untuk seluruh areal kerja sesuai jangka waktu berlakunya izin berdasarkan rencana pengelolaan hutan yang disusun oleh KPH Melaksanakan perlindungan hutan di areal kerjanya
PP 6/2007 Pasal 71 (a)
Melaksanakan perlindungan hutan di areal kerjanya Pasal 71 (d)
Menyusun rencana kerja usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (RKUPHHK) jangka panjang untuk seluruh areal kerja paling lambat 1 (satu) tahun setelah izin diberikan untuk diajukan kepada bupati atau pejabat yang ditunjuk guna mendapatkan persetujuan
Pasal 75 (a)
Penghentian sementara kegiatan
Menggunakan peralatan pemanfaatan hasil hutan yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku
PP 6/2007 Ps 71 (h)
Denda sebesar 15x PSDH
Menebang kayu untuk pembuatan koridor sebelum ada izin atau tidak sesuai dengan izin pembuatan koridor
PP 6/2007 Ps 75 (5 h)
Pengurangan jatah produksi
Menyusun rencana kerja tahunan (RKT) diajukan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum RKT tahun berjalan
PP 6/2007 Ps 75 (3 b)
Pencabutan izin
Izin pemanfaatan hutan dipindahtangankan tanpa mendapat persetujuan tertulis dari pemberi izin
PP 6/2007 Ps 20 (1)
Areal izin pemanfaatan hutan dijadikan jaminan, agunan, atau dijaminkan kepada pihak lain
Ps 20 (2)
Tidak melaksanakan kegiatan nyata di lapangan untuk paling lambat 1 (satu) tahun untuk IUPHHK dalam hutan alam, IUPHHK restorasi ekosistem dalam hutan alam maupun hutan tanaman
Ps 71 (b angka 3)
Tidak membayar iuran atau dana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
Ps 71 (i))
Meninggalkan areal kerja Ps 75 (5b)
Melanggar ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78
UU 41 1999
Dinyatakan pailit oleh pengadilan negeri Sumber : Nugroho (2009)
Berdasarkan uraian pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa sanksi yang
dikenakan bagi pemegang IUPHHK HTR merujuk pada aturan setingkat
Peraturan Pemerintah, yaitu PP 6/2007 jo PP 23/2008. Peraturan Menteri
Kehutanan yang khusus mengatur HTR yaitu Permenhut P.23/Menhut-II/2007 jo
23 dan 24 pada Permenhut tentang HTR mengatur mengenai hapusnya Izin
Usaha HTR. Izin usaha HTR hapus karena beberapa sebab, yaitu :
1) dikembalikan oleh pemegang izin; b) dicabut oleh pemberi izin; c) berakhirnya
masa berlaku izin, dan d) meninggalnya pemegang izin HTR perorangan.
2.4 Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan merupakan model pembangunan yang
berusaha mengintegrasikan tiga aspek yakni pertumbuhan ekonomi, kelestarian
lingkungan dan kesejahteraan sosial. Model pembangunan ini menjadi acuan
untuk penyusunan model konseptual kebijakan Hutan Tanaman Rakyat.
Adham (2010) menyatakan bahwa kegagalan program pembangunan
berkelanjutan di Indonesia disebabkan karena kurangnya integrasi dari ketiga
aspek tersebut. Aspek ekonomi seringkali lebih mendominasi sementara aspek
lingkungan dan sosial kemasyarakatan tidak jarang terabaikan. Pembangunan
HTR diarahkan untuk dapat menyeimbangkan baik aspek ekonomi melalui
pertumbuhan produktivitas lahan hutan, aspek ekologi lingkungan melalui
terpeliharanya kondisi lahan hutan, maupun aspek sosial kemasyarakatan
melalui pelibatan masyarakat sekitar hutan.
Konsepsi tentang pembangunan berkelanjutan muncul sebagai perwujudan
dari keprihatinan masyarakat dunia terhadap aktifitas manusia yang berdampak
pada lingkungan. Keprihatinan tersebut berkembang menjadi kesepakatan politik
internasional untuk mengarahkan pembangunan menjadi pembangunan yang
berkelanjutan. Definisi pembangunan berkelanjutan untuk pertama kalinya
didiskusikan dalam World Conservation Strategy (IUCN 1980). Pembangunan
berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang mempertimbangkan
faktor sosial, ekologi dan ekonomi, basis sumber daya biotik dan abiotik,
keuntungan dan kerugian tindakan yang akan dilakukan dalam jangka pendek
maupun jangka panjang.
Selanjutnya berkembang definisi pembangunan berkelanjutan yang lebih
luas, WCED (1987) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai
kemampuan manusia yang memastikan bahwa pemenuhan kebutuhan
masyarakat generasi sekarang dapat dipenuhi tanpa mengorbankan kemampuan
generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya.
Barbier (1987) menekankan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan
langsung terkait dengan pertumbuhan agregat ekonomi nasional, tetapi lebih
diarahkan secara langsung untuk meningkatkan standar hidup penduduk miskin
di akar rumput yang dapat diukur dengan pemenuhan kebutuhan pangan,
peningkatan pendapatan, penyediaan akses terhadap pendidikan, kesehatan,
sanitasi dan suplai air bersih.
Goodland & Ledoc (1987) mendefinisikan konsep pembangunan
berkelanjutan sebagai pembangunan atau transformasi struktur ekonomi dan
pola sosial yang mengoptimalkan manfaat ekonomi dan sosial bagi generasi
sekarang tanpa mengurangi potensi manfaat serupa untuk generasi yang akan
datang. Tujuan utama dari pembangunan berkelanjutan adalah untuk mencapai
tingkat kesejahteraan masyarakat yang terdistribusi secara adil dan dapat
dipertahankan secara berkelanjutan untuk beberapa generasi mendatang.
Sejak sekitar tahun 1990, perubahan kondisi objektif ekosistem global,
seperti pemanasan iklim global, penipisan lapisan ozon, kerusakan sumber daya
terbarukan dan kerusakan komponen lingkungan lainnya menyebabkan
masyarakat dunia semakin yakin untuk mengarahkan kegiatan ekonomi global
menuju ke arah pembangunan berkelanjutan. Isu lingkungan hidup dan
pembangunan diangkat pada KTT Bumi di Rio de Janeiro pada tahun 1992
(UNCED 1992).
Kesepakatan internasional untuk mempromosikan pembangunan
berkelanjutan tertuang dalam Agenda 21 yang berisikan kesepakatan dan
program kerja global yang intinya menyepakati bahwa pembangunan ekonomi
yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan manusia tidak
dapat dipisahkan dengan pembangunan lingkungan itu sendiri. Partisipasi aktif
dari seluruh pihak dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan merupakan
salah satu kunci keberhasilan dari pembangunan. Evaluasi terhadap
pelaksanaan Agenda 21 dilakukan pada pertemuan dunia tentang pembangunan
berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development) yang diselenggarakan di Johannesberg pada tahun 2002. Pertemuan ini
menghasilkan tiga dokumen penting, yaitu:
1) Deklarasi Johannesberg untuk pembangunan berkelanjutan, yang memuat
tantangan dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan dan komitmen
dunia internasional untuk menghadapinya.
setiap negara memiliki tanggung jawab yang sama dengan porsi yang
berbeda. Millenium Development Goals (MDGs) merupakan dokumen acuan untuk rencana implementasi.
3) Dokumen kerjasama, yang dimaksudkan untuk mempercepat pembangunan
berkelanjutan merata secara internasional melalui dukungan negara maju
dan lembaga internasional.
Prinsip keberkelanjutan menurut Schleicher-Tappeser et al. (1997) terdiri dari 3 dimensi, yaitu:
1) Dimensi pembangunan, yang mencakup tiga hal, yaitu: a) menghargai
integritas ekologi dan warisan budaya lingkungan manusia (dimensi
lingkungan), b) pemenuhan kebutuhan manusia melalui efisiensi
pemanfaatan sumber daya (dimensi ekonomi), dan c) konservasi dan
pengembangan manusia dan potensi sosial (dimensi sosial budaya).
2) Dimensi keadilan, yang mencakup: a) kesetaraan sosial dan gender
(kesetaraan antar manusia), b) kesetaraan antar wilayah dan negara
(kesetaraan spasial), dan c) kesetaraan antar generasi sekarang dan yang
akan datang.
3) Prinsip-prinsip sistemik, yang mencakup keanekaragaman, subsidiaritas,
kemitraan dan partisipasi.
Konsep keberlanjutan terbaru dinyatakan dalam Comhar (2007) yang
menekankan upaya implementasi keberlanjutan pembangunan dengan
memperhatikan tujuh tema, yaitu:
1) Kepuasan pemenuhan kebutuhan manusia dengan efisiensi penggunaan
sumber daya
2) Keadilan antar generasi
3) Menghargai integritas ekologi dan keanekaragaman hayati
4) Keadilan antar negara dan daerah
5) Keadilan sosial
6) Menghormati warisan dan keanekaragaman budaya
7) Pengambilan keputusan yang baik
Konsepsi pembangunan berkelanjutan Comhar pada dasarnya melengkapi
model pembangunan berkelanjutan yang telah ada sebelumnya, yaitu
mempertimbangkan aspek ekonomi, ekologi, dan sosial. Prinsip penting yang
dikembangkan Comhar adalah adanya aspek pengambilan keputusan yang baik.
model HTR terkait dengan pengambilan keputusan di tingkat pemerintah sebagai
aktor utama dalam penentuan kebijakan publik.
2.5 Kebijakan publik
Kebijakan publik yang dalam kepustakaan internasional disebut public policy adalah peraturan yang dibuat untuk mengatur kehidupan bersama dalam suatu wilayah negara dan bersifat mengikat. Sebuah kehidupan bersama harus
diatur dengan tujuan supaya satu dengan lainnya tidak saling merugikan
(Nugroho 2008).
Nugroho (2008) telah menginventarisir definisi kebijakan publik, dan
mendapatkan 12 definisi tentang kebijakan publik sebagaimana dicantumkan
[image:41.595.82.487.243.813.2]pada Tabel 5.
Tabel 5 Definisi kebijakan publik
No Sumber Definisi
1. James Anderson
(2004)
Tindakan beraturan/sistematis yang dilakukan oleh pelaku kebijakan dalam rangka menyelesaikan suatu permasalahan atau kepentingan
2. Steven AP
(2003)
Tindakan pemerintah untuk menyelesaikan suatu masalah
3. James Lester &
Robert Steward (2000,18)
Serangkaian proses atau pola aktivitas pemerintah atau keputusan yang dirancang untuk memperbaiki permasalahan publik
4. Austin Ranney (2000)
Serangkaian tindakan atau pernyataan tentang suatu tujuan
5. www.cdc.gov Sejumlah tindakan atau aturan yang mengatur tindakan
yang dihasilkan dari pemerintah
6. Lib.ucr.edu Proses menuju tercapainya tujuan politik pemerintahan
7. Thomas R Dye
(1995,2)
Segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah
8. Willian Jenkins
(1978)
Keputusan yang diambil oleh pemerintah berupa sejumlah cara atau tindakan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu
9. Harold Laswell &
Abraham Kaplan (1970)
Kebijakan adalah suatu program yang diproyeksikan dengan tujuan-tujuan tertentu, nilai-nilai tertentu, dan praktik-praktik tertentu
10. David Easton (1965)
akibat dari aktivitas pemerintah
11. Carl I Friederick (1963)
Serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, dengan ancaman dan peluang yang ada ditujukan untuk memanfaatkan potensi sekaligus mengatasi hambatan yang ada dalam rangka mencapai tujuan tertentu
12. Michael Howlett & M Rammesh (1957)
Fenomena kompleks yang terdiri dari sejumlah keputusan yang dibuat oleh sejumlah individu atau organisasi
Definisi tentang kebijakan publik sangat beragam dan terdapat banyak ahli
yang merumuskannya sesuai dengan sudut pandang masing-masing.
Keseluruhan definisi yang dikemukakan para ahli tersebut dapat melengkapi satu
sama lain. Namun demikian, pengertian kebijakan publik yang sesuai dengan
kondisi politik dan pemerintahan di Indonesia dapat dilihat dari definisi yang
disampaikan oleh Nugroho (2008). Kebijakan publik adalah keputusan yang
dibuat oleh pemerintah sebagai strategi untuk merelaisasikan tujuan.
Dengan demikian kebijakan publik adalah fakta strategis daripada fakta
politis ataupun teknis. Sebagai sebuah strategi, dalam kebijakan publik sudah
terangkum preferensi politis dari para aktor yang terlibat dalam proses kebijakan,
khususnya pada proses perumusan. Sebagai sebuah strategi, kebijakan publik
tidak saja bersifat positif, namun juga negatif, dalam arti pilihan keputusan selalu
bersifat menerima salah satu dan menolak yang lain. Meskipun terdapat ruang
bagi win-win dan sebuah tuntutan dapat diakomodasi, pada akhirnya ruang bagi win-win sangat terbatas sehingga kebijakan publik lebih banyak pada ranah zero sum game, yaitu menerima alternatif yang satu dan menolak alternatif yang lainnya (Nugroho, 2008). Pendapat ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh
Sutton (1999) dan IDS (2006) bahwa proses perumusan kebijakan publik terkait
dengan pertarungan argumentasi diantara para aktor yang memiliki kepentingan
tertentu.
2.6 Analisis Kebijakan dan Riset Kebijakan
Analisis kebijakan terkait erat dengan penggunaan beragam teknik untuk
meningkatkan atau merasionalkan proses pembuatan kebijakan. Quade (1982)
menyatakan bahwa tujuan utama analisis kebijakan adalah membantu pembuat
keputusan untuk membuat pilihan yang lebih baik. Untuk melakukan hal ini
analisis harus melalui tiga tahap; pertama penemuan, yakni usaha untuk menemukan alternatif yang memuaskan dan terbaik di antara alternatif-alternatif
yang tersedia; kedua, penerimaan, yakni membuat temuan itu agar bisa diterima dan dimasukan ke dalam kebijakan atau keputusan: ketiga, implementasi, yakni menerapkan keputusan kebijakan tanpa ada perubahan terlalu banyak yang bisa
membuat alternative itu menjadi tidak memuaskan (Parson 2005).
Dunn (2004) mengemukakan metodologi analisis kebijakan menyediakan
informasi yang berguna untuk menjawab lima pertanyaan; apa hakekat