5.5 Hubungan Respon dan Implementasi Kebijakan
6.1.4 Elemen Kendala Utama
Elemen kendala utama pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat yang dijabarkan menjadi 11 sub elemen seperti ditampilan pada Tabel 27. Hubungan kontekstual yang digunakan untuk menganalisis keterkaitan antar peubah kendala utama adalah hubungan pengaruh, yaitu eliminasi suatu kendala utama akan membantu mengurangi kendala yang lainnya. Struktur hirarki dari elemen yang menggambarkan posisi masing-masing sub elemen disajikan dalam Gambar 36. Gambar 37 menunjukkan klasifikasi masing-masing sub elemen berdasarkan driver power dan dependence. Sedangkan hasil analisis data ISM dapat dilihat pada Lampiran 9.
Tabel 27 Sub elemen kendala utama pengelolaan HTR
No. Sub elemen
1 Kurangnya koordinasi antar sektor dalam pengelolaan HTR 2. Lemahnya dukungan kebijakan dari sektor lain
3. Interest pemerintah daerah yang rendah terhadap program HTR 4. Penyaluran kredit modal yang rendah dari BLU P2H
5. Rendahnya minat petani terhadap usaha tanaman hutan 6. Kurangnya kegiatan pendampingan
7. Rendahnya kapasitas organisasi/kelompok tani 8 Rendahnya kapasitas petani
9. Kurangnya pemahaman pemerintah daerah terhadap kebijakan HTR 10. Terbatasnya kapasitas pemerintah daerah dalam implementasi HTR 11. Rendahnya dukungan LSM
Gambar 36 Struktur hirarki sistem elemen kendala utama
Hasil pengelompokan 11 elemen kendala utama menunjukkan adanya 4 elemen yang berada dalam posisi linkage, 4 elemen pada posisi independent dan 3 elemen pada posisi dependent. Pada analisis ini tidak terdapat sub elemen yang berada pada kuadran autonomous. Artinya semua elemen yang teridentifikasi sebagai kendala tujuan merupakan benar-benar permasalahan yang terkait dalam sistem.
Keempat elemen yang berada pada posisi independent adalah elemen yang menjadi kunci pada struktur hirarki kendala utama. Keempat elemen tersebut adalah : 1) kurangnya koordinasi antar sektor 2) Terlambatnya penyaluran kredit dari BLU P2H untuk permodalan pembangunan HTR 3) Kurangnya kegiatan pendampingan, dan 4) Rendahnya kapasitas Kelompok Tani. Keempat elemen tersebut memiliki faktor penggerak yang tinggi untuk berlangsungnya kegiatan HTR. Oleh karenanya perlu diperhatikan dengan serius oleh para pengambil kebijakan untuk segera ditangani dengan alternatif kebijakan yang sesuai. Upaya untuk mengeliminasi kendala yang terdapat pada posisi ini akan menjadi langkah penting untuk dapat mengatasi kendala-kendala lainnya.
Elemen yang terletak pada kuadran dependent adalah :1) minat masyarakat yang rendah terhadap kegiatan HTR, 2) rendahnya kapasitas petani dan 3) kurangnya pemahaman aparat pemerintah daerah terkait terhadap kebijakan HTR. Sub elemen yang terdapat pada kuadran dependent memiliki tingkat dependency atau ketergantungan yang tinggi terhadap elemen lainnya akan tetapi driver-factor atau tingkat penggeraknya rendah. Oleh karena dependency yang tinggi maka ketiga elemen ini bukan merupakan prioritas utama untuk ditangani, karena jika elemen kendala lain lebih dulu dipecahkan, maka akan berdampak pada elemen di kuadran dependence ini.
Sementara itu, kendala utama yang terdapat pada kuadran linkage adalah : 1) lemahnya dukungan kebijakan dari sektor lain 2) perhatian
pemerintah daerah yang rendah terhadap pelaksanaan kebijakan HTR 3) kapasitas pemerintah derah yang belum memadai untuk melaksankan
kebijakan HTR, dan 4) kurangnya dukungan LSM di daerah untuk mendorong implementasi kegiatan HTR. Kuadran linkage adalah posisi dimana sub elemen yang berada di dalamnya memiliki kekuatan penggerak tinggi dan memiliki ketergantungan yang sangat erat dengan sub-sub elemen lain. Oleh karena itu
sub elemen pada kuadran ini menjadi faktor yang harus mendapat penanganan serius.
Secara umum hasil pengklasifikasian sub elemen memberikan arti bahwa kendala utama dalam mewujudkan pengelolaan HTR adalah 1) kurangnya koordinasi antar sektor 2) aspek permodalan untuk pembangunan HTR 3) lemahnya kapasitas kelompok dalam mewujudkan kegiatan HTR yang berkaitan dengan kurangnya kegiatan pendampingan oleh pihak lain.
Koordinasi antar sektor di level pemerintah pusat hingga pemerintah daerah merupakan peubah kunci yang penting. Peubah ini menjadi penggerak utama bagi perbaikan implementasi kebijakan HTR. Koordinasi perlu dilakukan di level pemerintah pusat, yaitu antara Kementerian Kehutanan dan Kementerian Dalam Negeri. Hal ini karena kegiatan sektor HTR dilimpahkan kewenangan pengaturannya kepada Pemerintah Kabupaten. Sehingga dukungan dari level pemerintah pusat di Kementerian Dalam Negeri sangat diperlukan, agar kebijakan HTR mendapat perhatian dan ditempatkan sebagai salah satu program penting dalam pembangunan daerah.
Permasalahan koordinasi juga menjadi kendala utama dalam pembangunan berbagai bidang, diantaranya pengelolaan DAS (Karyana (2007) dan pengelolaan Taman Nasional (Prasetyo 2010). Sebagai sebuah konsep, pentingnya koordinasi telah disadari oleh berbagai pihak, namun sebagai sebuah proses nyata, koordinasi cenderung menjadi slogan yang mudah diucapkan namun sulit diimplementasikan dan menjadi penyebab bagi kegagalan berbagai institusi dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya (Karyana 2007).
Koontz et al. (984) mendefinisikan koordinasi sebagai metoda pencapaian keselarasan dari usaha individu dan kelompok/organisasi ke arah pencapaian maksud atau tujuan kelompok/organisasi. Malone dan Crowton (1993) mendefinisikan koordinasi sebagai proses mengelola saling ketergantungan (managing dependencies) antar berbagai aktivitas. Koordinasi bisa terjadi pada setiap sistem, seperti sistem manusia, sistem organisasi, sistem biologi dan lainnya. Definisi di atas tampaknya sederhana, namun mengandung implikasi yang sangat dalam. Kegagalan dalam koordinasi disebabkan karena kegagalan di dalam membangun konstruksi tujuan organisasi. Koordinasi membutuhkan perukaran informasi yang intensif antar semua pihak untuk mengkonfirmasikan sejumlah data mengenai detail sumberdaya untuk mencapai tujuan (Moekayar 1994).
Kendala kedua adalah aspek permodalan berupa keterlambatan penyaluran kredit modal HTR dari BLU Pusat P2H. Uraian mengenai perkembangan penyaluran kredit dan faktor-faktor yang mempengaruhi telah dijelaskan pada sub bab yang membahas mengenai lembaga BLU.
Sedangkan kendala ketiga adalah lemahnya kapasitas kelompok akibat tidak adanya kegiatan pendampingan. Program HTR merupakan bentuk kelembagaan baru dalam pengelolaan hutan oleh masyarakat sekitar. Kelembagaan baru tersebut dicirikan oleh pengakuan hak akses masyarakat dalam bentuk IUPHHK-HTR. Kendala muncul ketika masyarakat sekitar hutan harus mengajukan IUPHHK yang prosedurnya panjang. Nugroho (2009) mengidentifikasi adanya 29 langkah/kegiatan yang harus dilakukan untuk mendapatkan izin HTR dengan melibatkan 10 lembaga/organisasi kehutanan maupun non kehutanan.
Kemampuan masyarakat untuk memenuhi persyaratan administrasi IUPHHK-HTR menjadi kendala tersendiri untuk tercapainya kegiatan HTR di lapangan. Prosedur yang panjang tidak dapat ditempuh oleh petani sekitar hutan tanpa adanya pendampingan. Faktor-faktor ini telah teridentifikasi pula dari pengalaman melaksanakan kegiatan Hutan Kemasyarakatan (HKM) (Lyndayati 2002; Suryamihardja 2006) bahwa masyarakat belum siap menjalankan prosedur perizinan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa pemberian hak akses kepada masyarakat tanpa disertai penguatan kelembagaan dan pendambingan akan cenderung mengalami kegagalan.