• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil Sosial Ekonomi Masyarakat Petani di Provinsi Riau

5.2 Profil Sosial Ekonomi Masyarakat

5.2.1 Profil Sosial Ekonomi Masyarakat Petani di Provinsi Riau

Jumlah penduduk total di Provinsi Riau sebanyak 5.543.031 jiwa, terdiri dari penduduk asli dan para pendatang dengan bermacam-macam suku bangsa. Mereka bermukim di wilayah perkotaan dan di pedesaan di seluruh pelosok Provinsi Riau. Adapun suku-suku yang terdapat di Provinsi Riau adalah Melayu, Jawa, Minang, Tionghoa, Batak, dan Bugis.

Suku Melayu merupakan penduduk asli Provinsi Riau dan merupakan suku mayoritas di provinsi ini yang keberadaannya tersebar di seluruh daerah Riau. Suku Jawa merupakan pendatang yang paling banyak terdapat di provinsi Riau, terutama daerah transmigran dan daerah perkotaan. Penduduk Suku Jawa ada yang bekerja sebagai petani, pegawai negeri, anggota TNI, buruh dan sebagainya. Penduduk Suku Minangkabau pada umumnya tinggal di Pekanbaru, Kampar, Kuantan Singingi, Rokan Hulu dan wilayah lainnya. Pada umumnya mereka hidup sebagai pedagang, namun banyak juga yang menjadi pegawai negeri, anggota TNI, dan lain-lain. Penduduk etnis Tionghoa pada umumnya tinggal di daerah pesisir Provinsi Riau seperti di Bagansiapiapi, Selatpanjang, Pulau Rupat dan Bengkalis. Namun sekarang ini banyak juga yang tinggal di daerah perkotaan seperti Pekanbaru dan Dumai. Masyarakat dari Suku Batak kebanyakan tinggal di daerah perkotaan. Banyak diantara mereka yang bekerja sebagai PNS, TNI, pedagang, dan lain-lain.

Pertumbuhan penduduk Riau relatif tinggi yaitu 3,79% per tahun selama periode 1998-2002. Angka ini lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan penduduk nasional sebesar 1,4% per tahun untuk periode yang sama. Penyebab pertumbuhan tersebut adalah tingginya migrasi dari daerah lain sebagai akibat perputaran roda perekonomian dan peluang lapangan kerja di Provinsi Riau*

Provinsi Riau merupakan salah satu dari lima provinsi kaya di Indonesia. Seperti halnya wilayah lain di Pulau Sumatera Riau juga merupakan daerah yang kaya dengan hasil bumi. Hasil utama dari Provinsi Riau minyak bumi yang dikelola PT Caltex dan kelapa sawit baik yang dikelola oleh perkebunan negara maupun oleh rakyat. Perkebunan sawit di provinsi Riau saat ini mencapai luas 1,34 juta hektar. Kegiatan pengolahan kelapa sawit didukung dengan adanya 116 pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS) yang beroperasi dengan produksi

CPO (crude palm oil) sebanyak 3.386.800 ton per tahun

(id.wikipedia.org/wiki/Riau)

Data dari Dinas Perkebunan Provinsi Riau menunjukkan bahwa selain kelapa sawit, di Provinsi Riau juga terdapat perkebunan karet seluas 516.474 ha, terdiri dari perkebunan karet rakyat seluas 496.181 ha; Perkebunan Besar Negara 10.901 ha; dan Perkebunan besar Swasta 9.392 ha. Gambar 21 menunjukkan salah satu contoh kondisi tanaman karet rakyat. Gambar 22 merupakan contoh tanaman sawit rakyat.

Gambar 21 Tanaman karet rakyat di Provinsi Riau

*

(http://www.bi.go.id/web/id/DIBI/Info_Publik/Ekonomi_Regional/Profil/Riau/ Demografi.htm)[14 Nov 2010]

Gambar 22 Tanaman sawit rakyat di Provinsi Riau

Serapan tenaga kerja khusus di sub sektor perkebunan sebagian besar berada di perkebunan kelapa sawit sebanyak 688.000 orang, karet 216.554 orang, kelapa 197.218 orang dan aneka tanaman 97.572 orang (Gambar 23)

aneka tanaman, 97,572, (8%) kelapa, 197,218, 16% karet, 216,554, 18% kelapa sawit, 688,000, 58%

Gambar 23 Serapan tenaga kerja sub sektor perkebunan di Provinsi Riau (Sumber : BPS Riau 2009)

Dalam skala rumah tangga kebanyakan masyarakat petani yang dituju oleh program HTR adalah petani yang selama ini mengelola tanaman karet atau tanaman sawit. Petani di Provinsi Riau memiliki minat yang tinggi untuk berusaha di bidang budidaya sawit, karena jenis ini merupakan komoditas andalan bagi masyarakat di Provinsi Riau (Sachiho 2008). Sementara itu usaha di sektor perkebunan karet masih juga tetap menjadi andalan bagi petani, meskipun posisinya mulai digeser oleh tanaman sawit. Nagata dan Arai (2006) sebagaimana dikutip dalam Sachiho (2008) menjelaskan proses peralihan

perkebunan di Riau dari yang semula didominasi tanaman karet (tahun 70-an) berubah menjadi perkebunan sawit. Program PIR-Trans yang dimulai di akhir tahun 70-an telah berhasil membangun perkebunan sawit di Provinsi Riau dengan mendatangkan tenaga kerja dari Pulau Jawa sejumlah lebih dari 132.000 Kepala Keluarga. Program ini telah menambah luas lahan perkebunan sawit. Hingga tahun 2000 tercatat data rata-rata penambahan luas lahan sawit sebesar 42,28%.

Pendapatan petani perkebunan sawit terbukti lebih tinggi dibanding sektor perkebunan lain. Data Statistik Provinsi Riau (BPS Riau 2009) mencatat terjadinya peningkatan pendapatan petani sejak tahun 1998 hingga 2005. Pada tahun 2005 pendapatan petani sawit sebesar Rp.18.000.000 per tahun, sedangkan petani karet Rp.11.856.000 per tahun.

Mempertimbangkan tingkat pendapatan yang tinggi dari usaha perkebunan rakyat, maka petani di Provinsi Riau lebih tertarik berusaha di sektor perkebunan dibanding di sektor tanaman kehutanan. Oleh karenanya kegiatan penanaman hutan oleh masyarakat di Provinsi Riau sangat terbatas. Pengalaman petani di Provinsi Riau dalam kegiatan penanaman tanaman kehutanan terdapat di beberapa lokasi, diantaranya di Desa Lubuk Kebun Kecamatan Logas Tanah Darat Kabupaten Kuansing yang menjadi salah satu desa yang diobservasi dalam penelitian. Petani memiliki program hutan rakyat atau hutan milik berupa penanaman 80% karet dan 20% mahoni, dimana bibit dan pupuk disediakan oleh pemerintah. Jenis tanaman yang dibudidayakan selain karet dan mahoni terdapat juga jenis akasia, dan sungkai (Peronema canescens Jack.) yang ditanam sebagai tanaman batas.

Di desa lain yaitu Desa Rambahan, yang juga diobservasi dalam kegiatan penelitian teridentifikasi adanya kegiatan penanaman tanaman akasia melalui kegiatan kemitraan dengan perusahaan HTI PT RAPP. Berdasarkan informasi dari tokoh masyarakat di Desa Rambahan, luas tanaman akasia yang dikelola dengan pola kemitraan adalah 350 ha. Pelaksanaan kegiatan kemitraan dilakukan melalui kelompok tani dan perusahaan untuk jangka waktu 30 tahun, dimulai sejak tahun 1996. Kewajiban perusahaan adalah memberikan bagi hasil panen di akhir daur tanaman akasia dengan proporsi 40% untuk petani dan 60% untuk perusahaan. Sedangkan kewajiban masyarakat adalah menyediakan lahan bagi kegiatan penanaman akasia, selain kewajiban tersebut masyarakat tidak memiliki tugas apapun dalam hal penanaman hingga kegiatan panen.

Dengan demikian, kegiatan ini lebih merupakan sewa lahan milik masyarakat oleh perusahaan HTI dalam rangka memperluas areal tanaman akasia. Masyarakat menganggap bahwa kontrak dengan PT RAPP merupakan tambahan bagi penghasilan keluarga dan bukan merupakan sumber mata pencaharian utama.

5.2.2 Profil Sosial Ekonomi Masyarakat Petani Hutan di Provinsi Kalsel