• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.1 Tonggak Peristiwa Penetapan Kebijakan

4.1.5 Sintesis Tonggak Kebijakan

Sintesis tonggak kebijakan merupakan hasil rangkuman dari uraian perjalanan pengelolaan hutan di Indonesia (Gambar 17).

Tonggak kebijakan ini difokuskan mulai periode pra-kemerdekaan Republik Indonesia, karena pada periode sebelum kemerdekaan titik berat pengelolaan hutan produksi masih di areal hutan jati Pulau Jawa. Sementara itu, kebijakan HTR erat kaitannya dengan pengelolaan kawasan hutan produksi di Luar Pulau Jawa.

Kegiatan pengelolaan hutan di luar Pulau Jawa mulai dicatat dalam sejarah kehutanan sejak tahun 1950. Pada tahun ini di Kalimantan terdapat beberapa sawmill dan di Pekanbaru-Riau dibangun sawmill besar untuk memenuhi kebutuhan kayu dalam rangka pembangunan perusahaan minyak Caltex.

Tonggak sejarah yang menjadi awal mula pengelolaan hutan terjadi pada tahun 1952 yaitu ketika FAO mengirimkan pakar industri kertas. Kedatangan mereka bertujuan untuk mengumpulkan data tentang kemungkinan pembangunan pabrik kertas di Indonesia. Pemerintah Indonesia kemudian menindak lanjuti kegiatan tersebut dengan membentuk Panitia Kertas. Tugas Panitia Kertas adalah mempelajari kemungkinan pembangunan industri kertas di Indonesia. Setahun kemudian Panitia Kertas diperluas menjadi Panitia Persiapan Hutan Industri (PPHI) yang bertugas mempelajari kemungkinan pembangunan berbagai industri kayu di Indonesia. Sejak saat itu terjadi perkembangan industri kehutanan meliputi pabrik fibre board, pabrik pensil, pabrik korek api, unit pengawetan kayu, pabrik peti, industri gondorukem & terpentin, industri minyak kayu putih, dan industri lak. Jumlah penggergajian mesin di Indonesia mencapai 284 unit.

Tonggak sejarah berikutnya adalah penerapan sistem konsesi HPH dan yang dimulai sejak tahun 1967 dengan dibukanya kesempatan Penanaman Modal Asing dan Modal Dalam negeri. Kegiatan HPHTI juga mulai dilaksanakan secara resmi pada tahun 1982. Kedua sistem koonsesi tersebut (HPH dan HTI) masih berlangsung hingga sekarang dengan berbagai dinamikanya. Kejadian penting yang berpengaruh besar terhadap sistem konsesi HTI adalah peristiwa penandatanganan Letter of Intent dari International Monetary Funds (IMF) tahun 1998. Dampak dari peristiwa adalah dicabutnya 15 perusahaan HTI patungan karena dinilai tidak layak akibat dihentikannya kucuran Dana Reboisasi (Iskandar et al. 2003). Kebijakan pencabutan SK HPHTI 15 perusahaan dilakukan oleh Menteri Kehutanan pada tanggal 24 Oktober 2002. Empat belas perusahaan ditutup karena alasan tidak layak finansial dan tidak layak teknis, sedangkan satu perusahaan ditutup karena mengalihkan saham tanpa persetujuan Menteri

Kehutanan. Kondisi ini menyebabkan sumberdaya hutan mulai menurun produktivitasnya.

Selain peristiwa-peristiwa penting yang menjadi tonggak sejarah dalam penetapan kebijakan pengelolaan hutan, kebijakan HTR juga sangat dipengaruhi oleh kebijakan yang sebelumnya telah ada. Sebuah kebijakan pada umumnya terbentuk karena warisan kebijakan di masa lalu (Blaikie & Soussan 2001). Kebijakan-kebijakan yang telah ada dan memiliki keterkaitan dengan proses perumusan kebijakan HTR disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13. Timeline kebijakan yang mempengaruhi kebijakan HTR

Tahun Bentuk Kebijakan Inti Kebijakan Terkait Pengelolaan

Hutan Produksi

1957 Peraturan Pemerintah No.64 Pemerintah Daerah mempunyai wewenang untuk mengeluarkan izin kap-persil, yaitu semacam izin hak pengusahaan hutan secara terbatas dengan luas maksimal 10.000 hektar. Hasil produksi kayu ada yang diekspor

1967 Undang Undang No 5 tentang Pokok-pokok Kehutanan

Hutan sebagai sumberdaya alam yang dapat digunakan untuk modal pembangunan nasional 1967 Peraturan Pemerintah No.22

Tentang Iuran HPH dan Iuran Hasil Hutan

Peraturan pelaksana dari diterapkannya kebijakan HPH dengan landasan hukum UU No 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing

1970 Peraturan Pemerintah No.21 Tentang HPH dan HPHH

Mengatur tentang pelaksanaan pengusahaan hutan yang didasarkan pada kegiatan perencanaan yang tepat

1990 Peraturan Pemerintah No 7 Tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri

Peningkatan produktivitas lahan hutan rawang dengan potensi rendah, semak belukar, dan tanah kosong

1996 Surat Keputusan Menhut No.622 Tentang Hutan Kemasyarakatan

Membuka peluang kepada masyarakt untuk melakukan kegiatan rehabilitasi hutan negara

1998 Surat Keputusan Menhutbun No.677 tentang HKM

Memberi peluang kepada masyarakat setempat melalui koperasi untuk mengelola konsesi hutan 1999 Undang-Undang No.41 Tentang

Kehutanan

Merubah istilah HPH-HTI menjadi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam dan Hutan Tanaman

2002 Peraturan Pemerintah No.34 Tentang Tata Hutan dan Rencana Pengelolaan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan

Aturan pelaksana dari UU No.41/1999, mengatur tentang tata hutan dan pengelolaan hutan melalui mekanisme pemberian izin usaha

2004 Peraturan menteri Kehutanan No. P.01 tentang pemberdayaan masyarakat dalam rangka Social Forestry

Social Forestry menjadi payung bagi setiap kegiatan pengelolaan hutan dalam rangka mewujudkan hutan lestari masyarakat sejahtera. SF tidak merubah status dan fungsi kawasan, hanya hak pemanfaatan

2007 Peraturan Pemerintah No.6 Tentang Tata Hutan dan

HTR ditempatkan sebagai salah satu bentuk kegiatan pengelolaan hutan produksi melalui mekanisme pemberian IUPHHK-HTR

Kebijakan yang pertama kali disusun di era pra-kemerdekaan menyangkut pengelolaan hutan produksi dikeluarkan pada tahun 1957. Kebijakan ini memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengeluarkan izin kap-persil. Izin ini serupa dengan izin hak pengusahaan hutan meskipun terhadap lahan terbatas dengan luas maksimal 10.000 ha. Kebijakan ini cukup efektif karena di beberapa provinsi telah dapat dilaksanakan dan hasil produksi kayu dapat diekspor.

Produk kebijakan yang berpengaruh besar terhadap pengelolaan hutan selanjutnya adalah undang Kehutanan No.5 Tahun 1967. Undang-undang ini diterbitkan setelah diterbitkannya Undang-Undang-undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang membuka luas peluang perusahaan swasta asing menanamkan investasi di Indonesia, antara lain dalam bentuk perusahaan HPH (Hak Pengusahaan Hutan). Produk kebijakan lainnya terkait pengelolaan hutan produksi adalah PP No.7 Tahun 1990 tentang Hutan Tanaman Industri. Kebijakan ini membuka bentuk konsesi lain selain HPH di hutan produksi.

Dari sisi Social Forestry, kebijakan yang menentukan diakuinya keberadaan masyarakat sekitar hutan dimulai dengan penetapan kebijakan tentang HKM (Hutan Kemasyarakatan). Kebijakan terkait SF mengalami beberapa kali perubahan peraturan, hingga ditetapkannya Permenhut P.01/2004 tentang pemberdayaan masyarakat dalam rangka SF. Inti dari kebijakan ini adalah dibukanya kesempatan masyarakat sekitar hutan untuk terlibat dalam pengelolaan hutan negara, tetapi tidak merubah status kawasan hutan dan tidak merubah hak kepemilikan atas sumberdaya hutan.

Undang-undang Kehutanan No.41 merubah istilah HPH dan HTI menjadi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu. Dalam UU 41 belum termuat kebijakan HTR, karena UU 41 ditetapkan tahun 1999, sementara kebijakan HTR mulai dirumuskan di akhir tahun 2006. Demikian pula Peraturan Pemerintah No. 34/2002 sebagai aturan turunan dari UU 41 juga belum memasukkan HTR sebagai bentuk kegiatan pengelolaan hutan. Oleh karenanya dilakukan revisi terhadap PP 34/2002 menjadi PP 6/2007.

Rangkaian perjalanan sejarah tersebut memperlihatkan bahwa diskursus yang berkembang dalam pengelolaan hutan produksi di Indonesia tidak mengalami perubahan. Diskursus yang digunakan adalah pola pengelolaan hutan produksi melalui pemberian izin konsesi. Sejak awal masa kemerdekaan

sistem pengelolaan hutan selalu dilakukan dengan pola HPH/HTI. Bahkan merunut sejarah panjang pengelolaan hutan di Indonesia, sistem konsesi telah diterapkan sejak zaman penjajahan Belanda. Pemerintah Indonesia mewarisi sistem tersebut dan diterapkan di era kemerdekaan. Pada perumusan kebijakan HTR, diskursus ini pula lah yang mendasari proses perumusan kebijakan.

4. 2 Proses Perumusan Kebijakan HTR 4.2.1 Konteks Politik dan Pemerintahan

Peristiwa penandatanganan LoI Indonesia dengan IMF berdampak sangat besar terhadap pembangunan kehutanan di Indonesia. Dana Reboisasi yang selama ini dikelola di Kementerian Kehutanan harus masuk sebagai penerimaan negara bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sejak saat itu pasokan DR untuk PMP (penyertaan modal pemerintah), pinjaman 0%, dan pinjaman komersial bagi pembangunan HTI dihentikan. Akibatnya 15 perusahaan HTI patungan ditutup karena tidak layak finansial. Akibat lanjutan dari penutupan HTI tersebut adalah peningkatan angka pengangguran (Iskandar et al. (2003)

Di tengah kemelut pengelolaan hutan produksi, kondisi politik pemerintahan mengalami perubahan era kepemimpinan dan arah kebijakan pembangunan. Situasi nasional pada saat itu mengarah pada pembangunan berorientasi kerakyatan. Tuntutan arah pembangunan nasional pada era Kabinet Indonesia Bersatu (2004-2009 dan 2009-2014) berlandaskan pada 3 pilar yaitu; pro growth (pro pertumbuhan), pro poor (pro kemiskinan), and pro job (pro penciptaan lapangan kerja). Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) oleh Presiden RI sebagai salah satu dari “Triple Track Strategy” Kabinet Indonesia Bersatu dicanangkan pada tanggal 11 Juni 2005 di Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat (Deptan 2005; Pelengkahu et al. 2006)

Kementerian Kehutanan kemudian menindaklanjuti di tingkat sektoral dengan mengaktualisasikan program besar Pemerintah tersebut dengan menetapkan Program Revitalisasi Kehutanan yang terdiri dari tiga pilar utama, yaitu : (1) percepatan pembangunan Hutan Tanaman Industri, (2) peningkatan pemanfaatan Hasil Hutan Non Kayu (HHNK), dan (3) peningkatan pemanfaatan jasa lingkungan (Dephut tanpa tahun; Palengkahu et al. 2006).

Oleh karena itu, strategi pembangunan yang dirancang oleh Kementerian Kehutanan juga kemudian diselaraskan dengan 3 agenda tersebut, yaitu (1) agenda pertumbuhan sektor kehutanan dengan tujuan meningkatkan ekspor hasil hutan kayu dan non kayu serta masuknya investasi baru yang proporsional antara pengusaha besar dan usaha kecil dan menengah berbasis pengelolaan hutan lestari, (2) agenda bergeraknya sektor riil kehutanan dan usaha kecil menengah, melalui pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat dengan pemberian akses kepada masyarakat dalam pemanfaatan hutan produksi, dan (3) agenda pemberdayaan ekonomi rakyat (pro poor) dengan tujuan mengurangi kemiskinan masyarakat sekitar hutan melalui penciptaan kesempatan kerja dan berusaha dan menurunkan angka kriminalitas penjarahan hutan (Dephut tanpa tahun).

Berdasarkan strategi tersebut, kemudian disusun kerangka kebijakan dan langkah operasional. Salah satunya dengan pembinaan dan pengembangan sumber bahan baku pada hutan tanaman melalui intensifikasi kawasan hutan produksi yang tidak dibebani ijin atau hak melalui pemberian IUPHHK HTR. Adapun langkah operasional tersebut dilandasi dengan penguatan aspek legal (yuridis formal) melalui revisi terhadap PP 34/2004 menjadi PP 6/2007 agar dapat selaras dengan arah kebijakan yang akan dilaksanakan (Dephut tanpa tahun).

Selanjutnya untuk mendukung strategi operasional intensifikasi pembangunan hutan tanaman pada kawasan hutan produksi, Kementerian Kehutanan menggariskan kebijakan penunjang yang terkait dengan fasilitas pembiayaan. Maka disusunlah lembaga keuangan berupa Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (BLU – Pusat P2H) untuk mendukung fasilitasi pembiayaan pembangunan HTI dan HTR.