• Tidak ada hasil yang ditemukan

Beberapa disertasi relevan digunakan sebagai rujukan dalam penulisan disertasi ini, meliputi: penelitian dengan menggunakan metode pengembangan sistem (Didu 2001; Mulyadi 2001; Baka 2001); penelitian yang terkait dengan pengembangan hutan dan masyarakat (Wijayanto 2001; Yusran 2005); penelitian tentang kelembagaan menggunakan pendekatan analisis sistem (Karyana 2007); dan penelitian mengenai penerapan soft system methodology untuk perumusan model kebijakan (Wibisono 2008; Kurniawan 2009; Adiprasetyo 2010)

Didu (2001) menggunakan analisa sistem untuk mengkaji pengembangan agroindustri kelapa sawit. Mulyadi (2001) mengaplikasikan pendekatan sistem untuk menganalisis pengembangan kelembagaan agroindustri rotan secara

terpadu. Baka (2001) menggunakan pendekatan ISM dalam mebangun kelembagaan perkebunan rakyat melalui rekayasa sistem di Sulawesi Tenggara. Ketiga hasil penelitian terkait pengembangan soft system methodology tersebut memberikan informasi dasar tentang metode analisis sistem untuk pengembangan kegiatan agroindustri. Melalui teknik ISM dibangun kelembagaan agroindustri yang didasarkan atas elemen lembaga yang terkait, elemen kebutuhan program, elemen kendala program dan tujuan program serta kebijakan pemerintah yang dibutuhkan. Elemen-elemen yang dikaji untuk pengembangan kelembagaan perkebunan dengan pendekatan wilayah antara lain lembaga pelaku program dan kebutuhan program.

Disertasi yang secara substansi relevan karena mengkaji hubungan antara hutan dan masyarakat dirujuk dari hasil penelitian Wijayanto (2001). Penelitian tersebut menganalisis sistem pengelolaan Hutan Kemasyarkatan di kawasan Repong Damar Lampung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan pengelolaan repong damar dipengaruhi oleh (1) faktor-faktor ekologi; yaitu kesesuaian tempat tumbuh, kemampuan peran dan fungsi ekosistem, keberadaan komposisi yang beranekaragam (2) faktor ekonomi-bisnis; yaitu kemampuan memberi jaminan bagi ekonomi ruamah tangga, kemapanan/berkembangnya sistem tata niaga dari produk yang dihasilkan, penggunaan input modal relatif rendah (3) faktor sosial budaya; yaitu kemampuan masyarakat memelihara institusi sistem pewarisan yang mendukung keberlanjutan, kemampuan masyarakat mendayagunakan pengetahuan asli, kemampuan kepemilikan untuk dijadikan simbol status sosial. Selanjutnya strategi pengembangan sistem repong damar sangat ditentukan oleh faktor organisasi yang kuat dan mandiri, ketersediaan infrastruktur jalan, dan kepastian jaminan hukum bagi masyarakat petani atas kawasan. Pengembangan sistem repong sebaiknya bertujuan kepada terbentuknya industri, terwujudnya peningkatan produktivitas lahan, dan fungsi ekosistem, dan terbentuknya kemandirian dan kerjasama petani. Pengembangan sistem repong damar menuntut keterlibatan dan dukungan penuh dari lembaga yang bersifat lintas sektoral dan multi disiplin. Aktivitas penting yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan adalah pengembangan sistem insentif seperti perpajakan dan perkreditan.

Kegiatan penelitian Yusran (2005) dalam analisis performasi dan pengembangan hutan kemiri rakyat di kawasan pegunungan Bulusaraung

Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa status penguasaan lahan mempengaruhi performansi hutan kemiri rakyat. Semakin kuat status lahan yang dikelola menunjukkan semakin intensif sistem pengelolaannya, semakin besar nilai ekonominya dan menjamin kelestarian nilai-nilai sosial budaya. Namun sebaliknya semakin kuat status lahan cenderung menurunkan nilai ekologinya. Pengakuan hak kelola masyarakat merupakan bentuk penguatan status lahan yang dapat menjamin keseimbangan aspek ekologi, ekonomi, sosial dan menghindari terjadinya fragmentasi lahan hutan. Hasil analisis dengan menggunakan SWOT, AHP dan skala Likert membuktikan bahwa ketidakpastian status penguasaan lahan merupakan kelemahan sekaligus menjadi ancaman utama dalam pengelolaan hutan kemiri di kawasan pegunungan Bulusaraung. Posisi usahtani kemiri rakyat yang berada pada sel 2 (support a diversification strategy) menunjukkan bahwa sistem pengelolaan hutan kemiri mempunyai kekuatan tetapi menghadapi ancaman yang tidak menguntungkan. Oleh karena itu strategi yang harus diterapkan adalah strategi ST (strength-threats) dengan menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman. Strategi ST yang harus diterapkan adalah (1) menjamin kepastian penguasaan lahan dengan mengakui hak kelola masyarakat (2) mengembangkan pola agroforestri untuk meningkatkan produktifitas lahan dan diversifikasi produk, dan (3) memperkuat kelembagaan dan kapasitas petani dalam sistem pemasaran.

Kedua penelitian tersebut secara substansi memiliki relevansi yang kuat dengan kegiatan penelitian analisis kebijakan dan rancang bangun model konseptual HTR. Beberapa faktor sosial budaya masyarakat dalam hubungannya dengan kegiatan pengelolaan hutan dapat menjadi rujukan. Namun demikian, terdapat perbedaan yang cukup nyata jika membandingkan kedua penelitian tersebut dengan disertasi ini, karena sifat dari kebijakan HTR merupakan program dari pemerintah, sedangkan kegiatan repong damar di Lampung dan hutan kemiri rakyat di Sulawesi Selatan merupakan kegiatan yang tumbuh dari aspirasi masyarakat lokal.

Karyana (2007) menggunakan teknik Interpretative Structural Modelling dalam penelitian analisis posisi dan peran lembaga di Daerah Aliran Sungai Ciliwung. Analisis ISM dalam penelitian ini menghasilkan strukturisasi posisi lembaga yang memiliki pengaruh besar dalam pengelolaan DAS Ciliwung. Analisis terhadap tiga aspek kelembagaan menunjukkan bahwa (1) masalah kelembagaan tidak terletak pada lembaganya sebagai organisasi tetapi pada

masalah yang menyangkut hubungan antar lembaga; (2) lembaga pemerintah yang terlibat dalam pengelolaan DAS Ciliwung belum memiliki program dan kegiatan yang berorientasi pada pemecahan masalah kelembagaan DAS; (3) kebijakan dan peran pemerintah pusat belum efektif untuk mengatasi masalah yang terjadi di DAS Ciliwung. Disertasi ini memberikan informasi tentang aspek hubungan antar lembaga yang terlibat dalam pengelolaan DAS. Terdapat berberapa faktor yang dapat dipersamakan antara pengelolaan DAS dan HTR, diantaranya karena melibatkan berbagai lembaga lintas sektoral. Untuk itu teori koordinasi yang dikembangkan dalam disertasi ini menjadi rujukan bagi pengembangan koordinasi pengelolaan HTR.

Wibisono (2008) menggunakan teknik permodelan system dengan teknik Strategic Assumption Surfacing and Testing (SAST) serta teknik ISM untuk menyusun model kebijakan strategis pengelolaan pertambangan mineral yang berkelanjutan. Model konseptual pengelolaan lingkungan terdiri atas model pengendalian endapan pasir sisa tambang pada aliran sungai dan model Rehabilitasi lahan wilayah Mod-ADA. Model konseptual pengelolaan tambang merupakan model yang integratif menangani sektor hulu hingga hilir. Hal ini dapat menjadi teladan bagi perumusan model konseptual HTR agar terintegrasi mulai dari proses awal hingga akhir kegiatan bisnis hutan tanaman oleh rakyat.

Kurniawan (2010) melakukan analisis sistem pengelolaan kawasan karst di Maros-Pangkep Sulawesi Selatan. Model konseptual yang dirumuskan pada penelitian ini, secara prinsip harus memenuhi aspek kepastian batas penentuan lembaga pengelola hasil kesepakatan, penentuan sistem pengelolaan dan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan karst. Kebijakan yang disusun meliputi status kawasan, konservasi lingkungan, stabilisasi sosial-budaya, dan peningkatan nilai ekonomis. Seluruh model konseptual ini menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan COMHAR. Model yang dikembangkan serupa dengan model kebijakan strategi pengelolaan pertambanan mineral. Disertasi ini dilengkapi dengan analisis spasial tentang perubahan serial dari kawasan karst di Maros-Pangkep.

Adiprasetyo (2010) menggunakan metode soft system management untuk melakukan rancang bangun kebijakan pengelolaan Taman Nasional secara berkelanjutan di era otonomi daerah. Sistem dijabarkan ke dalam 3 model, yaitu model manajemen, kelembagaan dan pendanaan. Ketiga model yang disusun Adiprasetyo menjadi referensi utama dalam melakukan kegiatan rancang bangun

model konseptual kebijakan HTR. Hal ini disebabkan karena terdapat banyak kesamaan elemen sistem yang mendukung.

Pengelolaan tanaman nasional merupakan kebijakan nasional dalam hal ini program Kementerian Kehutanan yang pelaksanaannya berada di level daerah. Selain itu, pengelolaan taman nasional juga mengandung aspek sosial kemasyarakatan. Pengelolaan taman nasional harus mempertimbangkan keberadaan masyarakat sekitar guna menjalin hubungan yang harmonis antara sumberdaya hutan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Perbedaan mendasar antara pengelolaan taman nasional dengan kebijakan pembangunan HTR adalah posisi masyarakat pada program HTR merupakan pelaku utama kegiatan. Sementara itu pengelolaan taman nasional masih berada dalam kewenangan pemerintah dan posisi masyarakat sekitar sebagai aktor yang berpartisipasi dalam pembangunan.

Dengan demikian model konseptual pengelolaan HTR lebih menekankan pada peran masyarakat sebagai pelaku bisnis hutan tanaman. Strategi yang ditempuh adalah penguatan kapasitas masyarakat agar memiliki kemandirian dalam menjalankan bisnis hutan tanaman.