• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.1 Tonggak Peristiwa Penetapan Kebijakan

4.1.1 Sejarah Pemanfaatan Hutan di Indonesia

Secara umum pemanfaatan hutan di Indonesia dapat dibagi menjadi 3 periode, yaitu : 1) periode pra-kolonialisasi; 2) periode kolonialisasi; dan 3) periode kemerdekaan. Ilustrasi pembagian periode pemanfaatan disajikan pada Gambar 12. Uraian detail mengenai perjalanan sejarah pemanfaatan hutan di Indonesia disajikan pada paragraf berikutnya dari sub-bab ini.

Gambar 12 Periode pemanfaatan hutan di Indonesia

Nusantara pada periode pra sejarah mencakup suatu periode yang panjang kira-kira 1,7 juta tahun yang lalu. Hal ini disarkan pada pengetahuan yang didukung oleh temuan fosil hewan dan manusia serta sisa-sisa peralatan dari batu, bagian tubuh hewan, logam (besi dan perungu) serta gerabah. Encyclopaedia Britanica membahas tentang sejarah manusia Jawa dalam The Java Man. Berdasarkan temuan yang disebut homo erectus dan dikaji menggunakan pengukuran radiometri, para ahli palaentologi berpendapat bahwa fosil tersebut berasal dari era sekitar 1,7-1,5 juta tahun yang lalu

Perjalanan sejarah berikutnya mencatat masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Kerajaan ini mempunyai wilayah kekuasaan paling luas, mempunyai pengaruh sampai di luar negeri, dan memiliki angkatan perang yang disegani oleh negara lain. Kerajaan ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari kerajaan Singasari*. Kerajaan Majapahit sudah mampu mengembangkan sayap kekuasaannya ke wilayah di seberang lautan. Sudah dapat dipastikan bahwa kerajaan tersebut telah dapat membuat kapal-kapal, bangunan keraton, rumah-rumah penduduk maupun peralatan lainnya dari kayu. Kayu yang digunakan tentu saja diperoleh dari hasil menebang pohon di hutan.

* http://arie55history.blogspot.com/2010/02/ perang-paregreg-dalam-sejarah-indonesia. html diakses 20 Oktober 2010

Muljana (2008) dalam bukunya Tafsir Sejarah : Negara Kertagama menceritakan mengenai asal mula nama Majapahit terdapat dalam Pararaton dan Panji Wijayakrama IV/86-87. Cerita tentang asal mula Majapahit menunjukkan adanya hubungan hutan dengan sejarah kerajaan Majapahit. Konon nama Majaphit berasal dari buah Maja yang banyak tumbuh di hutan di sekitar Sungai Brantas. Adapun disebut kerajaan Majapahit disebabkan karena orang-orang yang datang ke wilayah ini berusaha membabat hutan, dan ketika lapar mereka memakan buah maja yang rasanya sangat pahit. Periode sejarah berikutnya dengan masa pemerintahan Kerajaan Mataram (tahun 1500an). Wilayah kekuasaannya meliputi sebagian besar di kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, dimana sebagian besar wilayahnya masih berupa hutan lebat. Menurut catatan sejarah, wilayah hutan tersebut ditumbuhi dengan pohon jati yang tumbuh dalam larikan-larikan yang teratur.

Pada tahun 1600-1900an atau selama abad 16 hingga abad 20, terjadi eksploitasi hutan jati di pulau Jawa oleh Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Praktik pemanfaatan hutan alam jati di Jawa inilah yang dapat dianggap sebagai salah satu tonggak sejarah dimulainya pengelolaan hutan di Indonesia. Vereenigde Oost Indische Compagnie telah menjadikan eksploitasi hutan alam jati di Jawa sebagai salah satu tambang bagi pemasukan keuntungan yang sebesar-besarnya. Rasionalitas VOC sebagai satu-satunya perusahaan dagang milik pemerintah Belanda telah menempatkannya sebagai sebuah institusi yang semata-mata mengejar keuntungan ekonomi dan tidak memperhitungkan daya dukung hutan yang ada. Dampaknya, kerusakan hutan alam di Jawa secara perlahan-lahan mulai terjadi (Iskandar et al. 2003; Simon 2006).

Cordes (1992) mencatat bahwa pada saat VOC dihapuskan di Indonesia, semua yang dimiliki VOC dijadikan milik negara. Hutan-hutan jati yang tidak termasuk dalam milik pribadi atau desa menjadi milik pemerintah penjajah Belanda, kecuali hutan jati yang berada di wilayah Kesultanan Surakarta dan Yogyakarta.

Iskandar et al. (2003) menguraikan bahwa ketika Herman Williem Daendels diangkat menjadi Gubernur Jenderal pada tahun 1807, hutan-hutan yang rusak akibat eksploitasi berlebihan oleh VOC mulai diperhatikan. Selama masa kekuasaan VOC, hutan-hutan di Jawa telah dieksploitasi berlebihan untuk kepentingan kolonial. Kayu jati yang diperoleh dari tebangan hutan alam di Jawa

menjadi favorit untuk diperdagangkan, terutama untuk diekspor. Kayu-kayu tersebut digunakan untuk membangun gudang, gedung, galangan kapal, bahtera, dan perabot rumah. Eksploitasi yang belebihan tidak diiringi tindakan pemeliharaan maupun penanaman kembali. Lahan-lahan bekas tebangan akhirnya menjadi penyebab terjadinya berbagai bencana.

Daendels menyadari bahwa hutan jati di Jawa akan berkurang jika tidak diiringi dengan kegiatan penanaman kembali,. Setahun setelah pengangkatannya, Daendels mengangkat seorang Inspektur Jenderal Kehutanan dan membuat rumusan pengelolaan hutan. Targetnya, hutan-hutan alam yang telah ditebang segera ditanam kembali. Saat itulah pertama kalinya pengelolaan hutan memiliki personil yang khusus dan terdapat ketentuan yang harus diikuti dalam pengelolaan hutan. Meskipun tujuan itu lebih kepada pengaturan produksi kayu untuk kepentingan pelaku bisnis, setidaknya aspek kelestarian produksi mulai diterapkan. Di era tersebut tepatnya tahun 1808 dibentuk Organisasi Pengurusan Hutan Jati dimana titik beratnya pada pasokan jati bagi kepentingan ekonomi Belanda. Sistem silvikultur yang diperkenankan adalah hutan tanaman dan tumpangsari lamtorogung sebagai tanaman sela (Iskandar et al.2003; Simon 2006).

Upaya tersebut menghadapi kendala karena adanya kegiatan cultuurstelsel (tanam paksa) yang dikembangkan oleh Van den Bosch (Simon 1993). Kegiatan ini berupaya untuk memperoleh hasil tanaman pertanian dan perkebunan yang dianggap cepat menghasilkan. Semua lahan yang ada harus dimanfaatkan, termasuk kawasan hutan jati. Cultuurstelsel menyebabkan terjadinya konversi besar-besaran kawasan hutan produksi menjadi lahan perkebunan, seperti perkebunan tebu, karet, kopi, atau tanaman palawija. Akibat konversi hutan menjadi lahan perkebunan dan pertanian, maka luas kawasan hutan menyusut drastis bahkan banyak yang berubah menjadi lahan kritis (Iskandar et al. 2003)

Untuk mendukung pelaksanaan reforestasi dan pengelolaan hutan dengan menggunakan pengetahuan dan teknologi modern, maka pada tahun 1873 Jawatan Kehutanan membentuk organisasi teritorial kehutanan. Berdasarkan Staatsblad No. 215 maka kawasan hutan di Jawa dibagi menjadi 13 daerah hutan yang masing-masing mempunyai luas 70.000-80.000 ha untuk kawasan jati dan lebih dari 80.000 ha untuk daerah hutan di luar kawasan hutan jati. Selanjutnya Pemerintah Belanda mendirikan Perusahaan Hutan Jati (Djatibedrijf) untuk mengintensifkan pengelolaan hutan jati di Jawa dan Madura, sedangkan

pengelolaan kawasan hutan rimba non jati diserahkan wewenangnya kepada Dinas Hutan Rimba (Dienst de Wildhoutbossen). Pengelolaan hutan di bawah pemerintah Hindia Belanda terus berjalan dengan penyempurnaan undang-undang dan berbagai peraturan yang telah dihasilkannya. Untuk meningkatkan pengelolaan hutan, kemudian dibangun Lembaga Penelitian Hutan pada tahun 1913 (Bosbouw Proefstation) (Departemen Kehutanan 1986)

Di masa pendudukan Jepang kondisi sumber daya hutan semakin rusak dengan kondisi kawasan yang semakin parah. Pada masa ini hampir tidak ada kegiatan penanaman. Kebijakan yang ada hanyalah pemanfaatan segala potensi sumberdaya alam untuk tujuan perang. Hutan-hutan yang ada dieksploitasi untuk memasok kebutuhan armada perang Jepang. Untuk lebih memperlancar berbagai kepentingan, maka Jawatan Kehutanan dilebur ke dalam Departemen Urusan Perkapalan. Selanjutnya, Jawatan Kehutanan dimasukkan dan menjadi bagian dari Kantor Pemenuhan Kebutuhan Perang pada akhir tahun 1945 (Iskandar et al. 2003).

Eksploitasi hutan semakin merajalela. Dengan dalih melipatgandakan hasil bumi, rakyat diperbolehkan membuka hutan seluas 4.428 ha untuk ditanami palawija. Lahan yang dibuka menjadi lahan kritis. Selain itu, terbit kewajiban menanami jenis kapas dan jarak yang ditanam diantara tanaman jati. Kegiatan itu justru makin merusak tanaman pokok jati. Dengan demikian, kebijakan pemanfaatan lahan yang dilandasi untuk kepentingan perang pada akhirnya kian menyusutkan kawasan hutan. Jepang meninggalkan 500.000 ha kawasan hutan yang rusak akibat kebijakan tersebut (Iskandar et al. 2003; Nurjaya 2006). .

Proklamasi Kemerdekaan RI tahun 1945 memberikan kewenangan dan kesempatan bagi Pemerintah Indonesia untuk membangun hutan dan merehabilitasi kawasan hutan yang rusak. Selain itu terbuka kesempatan memanfaatkan sumberdaya hutan untuk pembangunan nasional terutama hutan di luar Pulau Jawa. Aspek penting yang harus disoroti dalam pengelolaan hutan pasca kemerdekaan adalah eksploitasi sumber daya hutan. Hutan diposisikan sebagai sumber pendapatan dan devisa negara (state-revenue) yang paling diandalkan setelah minyak dan gas bumi (Repetto 1988; Zerner 1990; Peluso 1992; Nurjaya 2005). Dengan demikian dari sudut pandang pembangunan ekonomi, eksploitasi sumber daya hutan yang dilakukan pemerintah telah memberi kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Pemerintah mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional melalui kebijakan pemberian

konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH), atau konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI), (Nurjaya 2005; Iskandar et al. 2003). Statistik tahun 1992-1997 menunjukkan bahwa tidak kurang dari tujuh hingga delapan milyar dolar devisa per tahun diperoleh dari sektor kehutanan (Iskandar et al. 2003).