5.5 Hubungan Respon dan Implementasi Kebijakan
6.2.2 Model Lembaga Pengelola HTR
Untuk meningkatkan efektifitas model manajemen HTR diperlukan pengaturan hubungan antar lembaga yang terlibat. Berdasarkan strukturisasi pada elemen pihak yang terkait dan lembaga yang terlibat mengidentifikasikan bahwa faktor kunci pada program adalah petani HTR. Lembaga yang terlibat terdiri atas: Level pusat yaitu Kementerian Kehutanan, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Dalam Negeri, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten, Perguruan Tinggi, LSM, kelompok tani, Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank. Hubungan antar lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan HTR digambarkan pada model lembaga pengelola HTR (Gambar 44).
Kelompok Tani/ Koperasi HTR Kementerian Kehutanan
Keterangan: usulan perubahan
- - - - koordinasi
BLU Pusat P2H
Kelompok Kerja Pengelolaan HTR
Pemerintah Kabupaten Kementerian Dalam Negeri
Pembinaan, pengendalian dan pengawasan Sinkronisasi Program Pembentukan Petani pemegang IUPHHK HTR Dukungan pembiayaan Pemerintah Propinsi Pem
binaan dan pengawasan
Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank Perguruan Tinggi Tim Ahli Representasi Stakeholder Badan Usaha Miilik Desa (BUMDes) Aspirasi Lembaga Swadaya Masyarakat Masukan Kebijakan Perencanaan dan Evaluasi Dinas Teknis Implementasi Pembinaa n Um pan bal ik Usaha Menengah dan Besar Kemitraan Duku ngan pemb iay aan Sinkronisasi Program Kementerian Keuangan Pelaporan keuangan Pem b inaan Dukun gan p embiaya an Pemb inaa n Pem bi n
aan dan pengawasan
Gambar 44 Model lembaga pengelola HTR
Model lembaga pengelola HTR dibangun untuk meningkatkan koordinasi. Model ini bertujuan untuk sinkoronisasi dan integrasi program antara pihak Kementerian Kehutanan, Kementerian Keuangan yang terkait dengan pendanaan BLU, serta Kementerian Dalam Negeri dalam hal program pembangunan di pemerintah daerah, serta berbagai pihak yang terkait dalam pelaksanaan program HTR,
Model lembaga pengelola HTR merekomendasikan dibentuknya Kelompok Kerja HTR di tingkat kabupaten yang merupakan lembaga koordinasi antar pemangku kepentingan yang berkepentingan dalam pengelolaan HTR. Pokja berperan untuk menjembatani dan mewadahi partisipasi para pihak. Anggota Pokja adalah pemerintah daerah, pelaku usaha, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan representasi dari masyarakat pemegang izin HTR. Pokja bertugas untuk menampung aspirasi dan menghasilkan konsensus dalam pengelolaan HTR.
Rekomendasi pembentukan Kelompok Kerja merupakan hasil pembelajaran dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan di Kabupaten Gunungkidul. Provinsi DIY telah memiliki Pokja Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan yang didirikan pada tangga 29 September 2005 melalui Surat Keputusan Gubernur DIY no. 84/KEP/2005. Pokja ini beranggotakan Dinas Kehutanan Provinsi, LSM, Dinas kehutanan Kabupaten, Dinas Pertanian, Dinas Perdagangan, Perindustrian, dan Koperasi, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, dan Universitas Gajah Mada sebagai wakil dari akademisi (Shorea 2010).
Pembentukan Kelompok Kerja di tingkat provinsi kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan kelompok kerja di tingkat kabupaten oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Gunungkidul. Kelompok kerja yang didirikan bernama Pokja HRL (Kelompok kerja Hutan Rakyat Lestari). Landasan hukum pembentukan Pokja adalah Surat Keputusan Bupati No 95/Kpts/2005. Anggota pokja HRL terdiri dari unsur dinas teknis, lembaga swadaya masyarakat, dan perguruan tinggi. Tujuan dibentuknya Pokja adalah untuk mendorong pengelolaan hutan rakyat lestari di Kabupaten Gunungkidul.
Keberadaan pokja di Provinsi DIY dan di Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu faktor penting dalam mendukung keberhasilan program pembangunan kehutanan di daerah tersebut. Hal ini terbukti dengan banyaknya program-program pemerintah yang dapat terselenggara dengan baik di wilayah tersebut. Pengalaman dari pelaksanaan program Hutan kemasyarakatan menunjukkan bahwa di Provinsi DIY terdapat 42 kelompok tani hutan yang telah memiliki izin HKM. Dari 42 kelompok tani tersebut 35 KTH berada di wilayah kabupaten Gunungkidul dan 7 KTH di kabupaten Kulon Progo. Luas areal HKM yang dikelola sekitar 1.117, 55 ha dengan melibatkan 3.282 Kepala Keluarga (Dephut 2009).
Bukti keberhasilan lain dalam pengelolaan hutan di Provinsi DIY dan Kabupaten Gunungkidul adalah pembangunan hutan rakyat. Hutan rakyat terbukti memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan rumah tangga petani. Dampak lainnya dari pembangunan hutan rakyat di Gunungkidul adalah meningkatkan perekonomian daerah dengan bergeraknya industri di sektor hasil hutan. Kabupaten Gunungkidul berkontribusi dalam pemenuhan suplai kayu jati untuk kebutuhan industri di Jawa. Data produksi kayu jati di Kabupaten Gunungkidul menunjukkan bahwa dari bulan Januari-November 2008 terdapat sebanyak 33.151 m3 kayu jati yang dipanen, data ini didasarkan pada jumlah Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Gunungkidul (Kurniawan et al. 2008). Kayu jati tersebut digunakan untuk memasok industri pengolahan kayu yang menghasilkan produk-produk seperti kayu lapis indah, mebel, ukiran kayu dan beragam olahan kayu lainnya.
Pencapaian tersebut cukup menunjukkan bahwa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Gunungkidul cukup berhasil dalam melaksanakan pembangunan di sektor kehutanan. Kelompok Kerja yang dibentuk efektif mendorong pelaksanaan program-program pembangunan yang dirancang oleh Kementerian Kehutanan. Visi pemerintah daerah Provinsi DIY adalah menjadikan DIY sebagai model dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Visi ini merupakan hasil kristalisasi dari kegiatan koordinasi dan konsultasi antar pihak.
Belajar dari keberhasilan tersebut maka peran Pokja menjadi penting untuk mendukung keberhasilan program HTR. Oleh karenanya daerah-daerah lain dapat mencontoh pengalaman Provinsi DIY dalam pembentukan pokja untuk mendukung kegiatan HTR. Kelompok kerja yang direkomendasikan untuk dibentuk adalah di tingkat kabupaten, karena kegiatan HTR merupakan kegiatan yang pelimpahan wewenangnya diserahkan kepada bupati. Sementara tingkat desa berada pada pemegang peran langsung dalam pelaksanaan kegiatan HTR.
Dengan demikian, dari dua model tersebut terdapat dua lembaga yang direkomendasikan untuk dapat mendukung keberhasilan program HTR, yaitu di tingkat desa berupa Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan Kelompok Kerja (Pokja) di tingkat kabupaten. Konsekuensi dari penerapan model managemen dan model kelembagaan lebih lanjut memerlukan dukungan mekanisme
pendanaan. Kebijakan mekanisme pendanaan untuk implementasi pengelolaan HTR berkelanjutan disusun dalam model pendanaan.