• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori model linier menyatakan bahwa sebuah kebijakan disusun berdasarkan sejumlah langkah serial, dimulai dengan merumuskan isu dan masalah serta diakhiri sejumlah kegiatan untuk memecahkan masalah tersebut.

Urutan dalam model linier dalam pembuatan kebijakan adalah sebagai berikut :

1. Mengenali dan merumuskan isu yang diperkirakan sebagai masalah. Dalam tahap ini biasa juga dilakukan dengan menentukan kesenjangan atau gap antara kondisi saat ini dengan kondisi harapan yang diinginkan.

2. Merumuskan segenap tindakan untuk mengatasi masalah atau gap

3. Memberi bobot terhadap alternatif tindakan dengan mengenali resiko dan hambatan yang terjadi

4. Memilih tindakan sebagai kebijakan yang dianggap paling tepat 5. Pelaksanaan kebijakan

6. Evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan

Dalam model linier pembuat kebijakan diasumsikan bertindak rasional dalam mengikuti tahap demi tahap pelaksanaan pembuatan kebijakan dan dapat menggunakan seluruh informasi yang diperlukan untuk menetapkan keputusan (Sutton 1999)

Jawaban atas pertanyaan ”Apakah perumusan kebijakan HTR merupakan sebuah model linier?”. Dapat diduga sejak awal sebagaimana hipotesis dalam penelitian ini, bahwa perumusan kebijakan HTR bukan merupakan sebuah model linear. Proses perumusan kebijakan HTR tidak mempertimbangkan semua resiko dan hambatan yang akan terjadi. Faktor-faktor yang menjadi penyebab kegagalan dalam implementasi kebijakan sebelumnya masih digunakan dalam pelaksanaan kebijakan HTR.

Kebijakan HTR bukan merupakan program baru dalam dalam hal pelibatan masyarakat sekitar untuk berperan serta dalam pengelolaan hutan. Berbagai bentuk program pengelolaan hutan berbasis masyarakat telah banyak dilakukan seperti program Hutan Kemasyarakatan (HKM) dan Hutan Desa (HD). Hasil evaluasi terhadap pelaksanaan berbagai program tersebut memang menunjukkan bahwa program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan berhasil meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan (Poffenberger 2006) namun tidak sedikit yang gagal (Raharjo et al. 2006; Suryamihardja 2006; Lyndayati 2002).

Pagdee et al. (2006) melakukan sebuah meta-study untuk mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan Community Forest Management (CFM) Subjek kajian adalah 31 artikel yang membahas 69 kasus pengelolaan hutan masyarakat di seluruh dunia. Dari kajian tersebut teridentifikasi 43 variabel yang

berpengaruh yang meliputi faktor internal dari pihak masyarakat sendiri hingga faktor-faktor luar yang mempengaruhi. Hasil kajian menunjukkan bahwa variabel yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan CFM adalah kepastian lahan, hak kepemilikan yang jelas, penegakan aturan yang tegas, adanya monitoring, sanksi, dan kepemimpinan yang kuat, minat masyarakat yang tinggi didukung oleh adanya manfaat yang jelas dari kegiatan CFM dan adanya kewenangan di tingkat masyarakat lokal.

Contoh keberhasilan pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang telah dilaksanakan selama ini antara lain :

1. Kegiatan PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) yang dilakukan oleh Perum perhutanai di Jawa. Kegiatan PHBM pada awalnya merupakan kegiatan tumpangsari yaitu menanam tanaman palawija di bawah tegakan pokok. Kesempatan ini digunakan oleh masyarakat sekitar hutan untuk memanfaatkan lahan di bawah tegakan. Mereka memperoleh hasil berupa tanaman semusim untuk menunjang kebutuhan subsisten. Di beberapa daerah kegiatan PHBM telah dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat petani hutan dalam membantu meningkatkan perekonomian rumah tangga (World Agroforestry Centre 2009).

2. Kegiatan Hutan Rakyat, yaitu pembangunan hutan di lahan milik. Hutan rakyat dilakukan oleh masyarakat secara perorangan dengan menanami lahan miliknya dengan tanaman kayu-kayuan. Kegiatan ini pada awalnya dilakukan dalam rangka rehabilitasi lahan dengan bantuan bibit dari pemerintah. Ketika kayu dari hutan rakyat mulai memiliki nilai ekonomis tinggi, maka kegiatan penanaman hutan di lahan milik menjadi lebih luas. Beberapa daerah yang berhasil mengembangkan hutan rakyat adalah di kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Ciamis, Sukabumi, dan Sulawesi Tenggara.

Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan program perhutanan sosial atau program pengelolaan hutan berbasis masyarakat adalah pelaksanaan program yang tidak sesuai dengan konteks lokal. Hal ini biasa terjadi karena program bercorak sentralistik, top-down, dan cetak biru (Korten & Klauss 1984). Karakteristik ini melekat pula pada kebijakan HTR. Program HTR mengulang pola kebijakan bersifat cetak biru dan sentralistik. Ide dan perangkat peraturan pelaksanaan program secara detail dirumuskan oleh pemerintah pusat. Bentuk peraturan perundangan tersebut dituangkan mulai dari Peraturan Pemerintah

hingga Keputusan Direktur Jenderal yang mengatur mengenai petunjuk teknis di lapangan.

Berbagai karakteristik kebijakan HTR sebagai program cetak biru sebagaimana pemikiran Korten & Klauss (1984) adalah: 1) Gagasan kebijakan berasal dari pemerintah pusat dan tidak merupakan inisiatif masyarakat lokal; 2) Langkah awal kegiatan dilakukan melalui pengumpulan data dan perencanaan calon lokasi kegiatan dan bukan merupakan kegiatan yang diawali dari kesadaran dan tindakan nyata masyarakat; 3) Pelaksanaan kegiatan dilakukan oleh organisasi yang telah ada atau organisasi baru bentukan pemerintah; 4) Sumber daya bergantung pada pembiayaan pemerintah pusat; dan 5) Managemen berfokus pada penyerapan anggaran dan target pencapaian kegiatan sesuai rencana tata waktu. Tabel 15 menyajikan hasil analisis proses perumusan kebijakan HTR berdasarkan kerangka perbandingan pembangunan cetak biru dan inisiatif masyarakat lokal

Tabel 15 Kebijakan HTR dalam konsep cetak biru dan perbandingannya dengan pembangunan berbasis inisiatif masyarakat lokal

Aspek Cetak Biru Inisiatif Masyarakat Kebijakan HTR

Gagasan Pemerintah pusat Masyarakat lokal Pemerintah Pusat c.q Kementerian Kehutanan Langkah awal Pengumpulan data dan

perencanaan

Kesadaran dan tindakan nyata

Perencanaan calon lokasi HTR oleh Baplan

Organisasi pelaksana

Organisasi yang sudah ada atau bentukan baru dari Pemerintah Pusat

Dibangun oleh kebutuhan lokal

Dilaksanakan oleh Ditjen BPK, Baplan dan UPT di daerah, dan membentuk BLU P2HP untuk

penyaluran dana pinjaman Sumber daya Pembiayaan dan

fasilitasi pemerintah pusat

Aset lokal Sumber biaya dari Anggaran Pemerintah

Fokus Management

Penyerapan anggaran, target pencapaian proyek sesuai rencana tata waktu

Pengembangan berkelanjutan untuk menuju performa yang lebih baik

Target luas HTR setiap Tahun ditetapkan 1,4 juta ha. Anggaran yang disediakan diserap. Bantuan kredit tersalurkan. Sumber : Analisis data menggunakan kerangka analisis Korten & Klauss (1984)

Meskipun kebijakan HTR mengedepankan paradigma CBFM namun dalam praktiknya kebijakan yang disusun sama sekali tidak mempertimbangkan proses inisiatif lokal. Hasil kajian telah menunjukkan bahwa pembangunan kehutanan berbasis masyarakat seringkali mengalami kegagalan karena tidak melalui

proses belajar yang tumbuh berkembang dalam lingkungan masyarakat lokal (Chambers 1993; Agrawal & Gibson 1999; Twyman 2000; Agrawal 2001).

Berdasarkan teori-narasi-kebijakan Roe (1994), maka kebijakan HTR dapat disebut sebagai proses perumusan kebijakan yang tidak berdasar pada pengamatan yang cermat. Hal ini karena penetapan kebijakan HTR tidak merujuk pada hasil evaluasi program sebelumnya yang pada umumnya mengalami kegagalan. Pengalaman pelaksanaan program Hutan Kemasyarakatan menunjukkan bukti bahwa masyarakat lokal berada pada posisi yang lemah di dalam mata rantai sistem perizinan dan sistem usaha konsesi hutan (Suryamihardja 2006).

Beberapa faktor yang membuat kebijakan HTR serupa dengan kebijakan sebelumnya adalah : 1) Ide program tidak muncul dari masyarakat sekitar hutan yang akan menjadi sasaran kegiatan HTR, melainkan melalui pendekatan proyek yang bersifat top-down; 2) Lemahnya partisipasi para pihak dalam proses perumusan kebijakan HTR. Terbukti dengan tidak adanya keterlibatan pihak luar dalam proses penyusunan program HTR. Aktor yang terlibat dalam proses perumusan kebijakan HTR adalah pihak birokrat Kementerian Kehutanan dan tidak melibatkan kalangan di luar Kementerian Kehutanan.

Hasil ini mendukung teori Sutton (1999) bahwa model linier jauh dari realitas, karena menggunakan asumsi yang sulit untuk dipenuhi. Fakta empiris tentang proses perumusan kebijakan HTR sebagai model yang tidak memenuhi kaidah linier adalah tidak dipertimbangkannya informasi tentang faktor-faktor yang menjadi penyebab ketidakberhasilan program sebelumnya. Faktor-faktor tersebut adalah : a) Proses perizinan HTR serupa dengan perizinan HKM, pengalaman dari program HKM menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kemampuan terbatas untuk menempuh prosedur perizinan yang relatif panjang b) Kebijakan HTR digulirkan dengan filosofi membangun bisnis hutan tanaman oleh masyarakat, sementara dari pengalaman program sebelumnya dapat teridentifikasi bahwa masyarakat memiliki keterbatasan kapasitas untuk menjalankan bisnis hutan tanaman; c) Kebijakan tentang kegiatan pendampingan belum ditangani dengan baik, sementara proses pendampingan merupakan faktor penting untuk membangun kapasitas masyarakat.

Berlandaskan pada pemikiran Korten & Klauss (1984) maka dapat dikatakan bahwa perumusan kebijakan HTR merupakan proses pengulangan dari kebijakan yang telah dibuat sebelumnya. Kebijakan seperti ini bersifat

incremental atau hanya melakukan perubahan secara bertahap, sedikit demi sedikit dalam sistem pelaksanaannya saja. Sementara paradigma yang melandasinya tidak mengalami perubahan mendasar. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Noorwidjk et al. (2007) bahwa pada prinsipnya paradigma yang digunakan dalam perumusan kebijakan HTR sama dengan kebijakan yang sebelumnya telah ada seperti HKM (Hutan Kemasyarakatan).

Dari analisis proses perumusan kebijakan HTR, dapat diambil pelajaran bagi para pengambil kebijakan. Faktor yang harus diperhatikan oleh para perumus kebijakan adalah menggunakan data dan fakta yang komprehensif untuk dapat merumuskan kebijakan yang baik. Peran para ahli, peneliti, dan akademisi sangat penting untuk memberikan landasan pengetahuan yang memadai.

Salah satu variabel kunci dalam menilai keberhasilan implementasi sebuah kebijakan menurut Winter (1990) adalah respon kelompok target kebijakan. Variabel lain yang juga penting untuk dikaji adalah formulasi atau proses penyusunan kebijakan. Variabel tersebut telah diuraikan pada Bab IV. Dari hasil analisis proses perumusan kebijakan dapat diketahui bahwa proses perumusan kebijakan HTR tidak memenuhi asumsi model linier, karena penentuan kebijakan tidak didasarkan pada informasi yang memadai untuk menentukan alternatif pilihan terbaik. Berbagai kendala di lapangan tidak diperhitungkan sebagai faktor yang harus ditangani dalam kebijakan yang disusun.

Pada bab kelima ini, akan diuraikan kondisi di lapangan dan respon para pemangku kepentingan terkait pelaksanaan kebijakan HTR. Kajian ini dilakukan dengan studi kasus di tiga provinsi yang dipilih secara sengaja (purposive). Tiga provinsi yang menjadi lokasi penelitian adalah Riau, Kalimantan Selatan, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Tujuan yang ingin dicapai dari kajian implementasi kebijakan HTR adalah untuk menemukan jawaban atas pertanyaan penelitian kedua yaitu bagaimana para pemangku kepentingan di daerah merespon kebijakan HTR dan bagaimana hubungan antara respon tersebut dengan keberhasilan implementasi kebijakan.