• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini menggunakan kerangka pendekatan berdasarkan teori Sutton (1999) untuk mengkaji kebijakan HTR mulai dari tahap proses perumusan kebijakan hingga implementasi. Sutton (1999) dalam The Policy Process: An Overview, mengajukan kritik terhadap model linier kebijakan. Model linier dinyatakan sebagai suatu model yang jauh dari realita, karena terdapat sejumlah asumsi yang sulit untuk dipenuhi.

Menurut Sutton (1999) proses perumusan kebijakan adalah proses acak tanpa harus mengikuti tahapan seperti yang dirunut dalam model linier. Model linier berimplikasi bahwa jika kebijakan tidak mencapai tujuan yang diharapkan, maka kesalahan dirahkan pada proses implementasi kebijakan semata dan bukan melihat faktor formulasi kebijakan. Kegagalan implementasi ditimpakan pada kurangnya “political will”, kelemahan pengelolaan atau keterbatasan sumberdaya. Oleh karena itu sering disebut dengan ungkapan bahwa “Kebijakan sudah baik, hanya pelaksanaannya yang buruk”. Hal seperti ini merupakan tindakan pemisahan antara kebijakan dan implementasinya.

Lebih lanjut Sutton (1999) menyatakan bahwa untuk mengkaji faktor keberhasilan atau kegagalan suatu kebijakan harus mempertimbangkan berbagai faktor, diantaranya dogma di masa lalu, isu-isu yang berkembang, adanya hasil studi, adanya kesepakatan internasional, kepentingan kelompok tertentu yang ikut menentukan ide pembaruan kebijakan dan proses pembuatannya. Sejalan dengan pemikiran tersebut, Winter (1990) menyatakan bahwa variable kunci yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan adalah : proses formulasi kebijakan dan respon kelompok target kebijakan serta perilaku organisasi pelaku implementasi.

Analisis terhadap proses perumusan kebijakan dicontohkan oleh Springate-Baginski & Soussan (2002) dalam : A Methodology for Policy Process Analysis. Metode untuk analisis proses perumusan kebijakan juga dikembangkan oleh Institute Development Study (IDS). Menurut IDS (2006) perumusan kebijakan merupakan suatu proses yang kompleks dengan karakteristik sebagai berikut : 1) Bertahap, pembuatan kebijakan merupakan proses yang berulang, berdasarkan pengalaman, dan belajar dari kesalahan sebelumnya; dan 2) Diwarnai oleh berbagai kepentingan; ada pihak yang diakomodir ada juga yang diabaikan.

Lebih detail Blaikie & Soussan (2001) merinci metode analisis proses perumusan kebijakan menjadi 6 tahap, yaitu :

1) Tonggak peristiwa penetapan kebijakan. Pada umumnya suatu kebijakan dibangun dari kebijakan yang telah ada, dikombinasikan dengan keilmuan dan perspektif yang baru berkembang, serta prioritas-prioritas yang dihadapi. Sangat jarang ditemukan kebijakan yang benar-benar baru. Oleh karenanya penting mengkaji dan memahami perjalanan sejarah kebijakan. Peristiwa di masa lalu perlu diidentifikasi guna memahami kebijakan saat ini.

2) Konteks politik dan pemerintahan. Proses kebijakan dipengaruhi oleh bentuk birokrasi dan kapasitas agen pemerintah, juga oleh kerangka sosial politik yang lebih luas dan trend perubahan yang terjadi. Contoh yang dikemukakan oleh Blaikie & Soussan (2001) adalah kebijakan zona pesisir di Banglades yang sangat terkait erat dengan issu mengenai desentralisasi dan demokrasi pada level lokal.

3) Permasalahan kunci kebijakan. Peneliti harus mengidentifikasi permasalahan kunci kebijakan yang terkait dalam perumusan kebijakan. Oleh karenanya menjadi sebuah tantangan untuk memahami situasi sebelum sebuah kebijakan diperdebatkan.

4) Proses pengembangan kebijakan. Pusat kajian dari analisis proses kebijakan adalah proses pengembangan kebijakan. Untuk memahami proses ini, peneliti harus mengidentifikasi dan memahami apa yang sesungguhnya terjadi meliputi interaksi dan respon para aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan. Beberapa aspek yang perlu dikaji adalah :

- pemahaman tentang struktur organisasi formal terkait dengan kebijakan yang disusun dan proses implementasinya

- identifikasi dari aktor kunci dalam proses perumusan kebijakan

- strategi yang digunakan oleh para aktor untuk mengajukan kasus masalah yang dihadapinya agar dapat diakomodir dalam kebijakan yang disusun

5) Hasil dan dampak dari kebijakan. Setelah mempertimbangkan proses pembuatan kebijakan, perhatian selanjutnya dialihkan pada proses implementasi kebijakan. Penilaian terhadap proses implementasi memungkinkan peneliti untuk menguji apakah kebijakan benar-benar memenuhi tujuan kebijakan secara keseluruhan. Analisis hasil dan dampak kebijakan perlu dibuktikan dari hasil lapangan.

6) Prospek di masa yang akan datang. Mengingat kebijakan merupakan suatu yang dinamis maka penting untuk dikaji bagaimana prospek kebijakan di masa depan dan bagaimana kebijakan tersebut dikembangkan.

Berpedoman pada metode yang dikembangkan oleh Blaikie & Soussan (2001) dan dipadukan dengan argumentasi dari Winter (1990) maka dalam penelitian ini dilakukan 3 tahap kegiatan penelitian yaitu : 1) proses perumusan kebijakan HTR; 2) respon dan implementasi HTR; dan 3) rancang bangun model konseptual kebijakan HTR. Modifikasi dari model analisis Blaikie & Soussan (2001) dan tahap analisis kebijakan HTR disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7 Tahap analisis kebijakan HTR dimodifikasi dari model Blaikie & Soussan (2001)

Tahapan analisis seperti disajikan dalam Gambar 7 menjadi bagian dari kerangka pemikiran yang dibangun untuk menjelaskan kegiatan penelitian secara keseluruhan (Gambar 8). Adapun penjelasan dari kerangka pemikiran pada Gambar 8 diuraikan dalam paragraf berikut ini.

Penetapan kebijakan HTR dilandasi oleh fakta bahwa kondisi sumberdaya hutan telah terdegradasi. Di sisi lain, masyarakat sekitar hutan pada umumnya memerlukan pengakuan secara legal atas hak akses untuk mengelola sumberdaya hutan. Kebutuhan akan akses terhadap sumberdaya hutan diperlukan dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh karena

itu kebijakan HTR dimaksudkan sebagai solusi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

Kinerja kebijakan HTR sejak digulirkan pada tahun 2007 hingga akhir tahun 2010 menunjukkan tingkat implementasi yang rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari tingkat pencapaian kegiatan baik berupa pencadangan lahan HTR yang baru mencapai 11,65%, maupun proses penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu HTR sebesar 1,62% dari target total seluas 5,4 juta ha. Berdasarkan fakta tersebut, maka dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menggali data tentang faktor kendala dan faktor pendukung bagi keberhasilan implementasi HTR. Data-data tersebut dikumpulkan mulai dari tahap proses perumusan kebijakan hingga tahap implementasi kebijakan di lapangan.

Proses kajian dilakukan melalui analisa proses perumusan kebijakan HTR melalui kajian terhadap kondisi yang melatarbelakangi keluarnya kebijakan, aktor yang berperan dalam proses perumusan kebijakan, situasi yang mempengaruhi, serta konsep dasar yang dikandung dalam kebijakan HTR. Hasil dari kegiatan analisis proses perumusan kebijakan ditujukan untuk menjawab hipotesis penelitian pertama bahwa perumusan kebijakan HTR tidak memenuhi kaidah proses perumusan model linier atau model rasional. Sementara itu, analisis terhadap respon para pihak di lapangan serta evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan di lapangan dimaksudkan untuk menjawab hipotesis penelitian kedua yaitu. Berdasarkan hasil analisis dan evaluasi selanjutnya dilakukan analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap implementasi kebijakan, sehingga dapat dirumuskan model konseptual kebijakan HTR. Model tersebut dimaksudkan sebagai jawaban atas pertanyaan bagaimana strategi implementasi HTR agar berhasil mencapai tujuan yang diharapkan.

Pemberian hak akses kepada masyarakat sekitar hutan berupa IUPHHK HTR dimaksudkan untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Keberlanjutan pengelolaan hutan dicirikan dengan 3 kriteria, yaitu pemenuhan aspek ekologi, aspek ekonomi, dan aspek sosial. Kegiatan HTR memenuhi kriteria ekologi dari terwujudnya kegiatan penanaman hutan di lahan-lahan logged over area. Kriteria ekonomi dicapai melalui terbukanya kesempatan usaha dan bekerja bagi masyarakat sekitar hutan. Sementara itu kriteria sosial tercapai dari terbangunnya kegiatan bersama diantara masyarakat pemegang IUPHHK-HTR. Kemandirian masyarakat dalam pengelolaan HTR

merupakan kondisi yang diperlukan untuk terwujudnya kegiatan bisnis hutan tanaman.

Prinsip pembangunan berkelanjutan menurut Comhar (2007) mensyaratkan adanya pilar pendukung berupa pengambilan keputusan yang tepat, pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui efisiensi penggunaan sumberdaya, dan pemerataan pembangunan. Proses verifikasi dan validasi dimaksudkan untuk mendapatkan keputusan model konseptual kebijakan HTR yang tepat. Model yang disusun mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait secara komprehensif, baik aspek ekologi, ekonomi, maupun sosial sehingga tercapai pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui efisiensi penggunaan sumberdaya lahan hutan.