• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.1 Tonggak Peristiwa Penetapan Kebijakan

4.2.3 Proses Membangun Kebijakan

Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat mulai didiskusikan di lingkup birokrat kehutanan pada pertengahan tahun 2006. Ide membangun Hutan Tanaman Rakyat dilatarbelakangi oleh kondisi hutan LOA (logged over area) yang perlu untuk segera ditangani. Pada awalnya pengambil kebijakan mempertimbangkan untuk memberikan hak pengelolaan lahan hutan terdegradasi kepada pemegang ijin HTI terdekat.

“Luasan lahan tersebut terbatas tetapi menyebar dalam jumlah yang relatif banyak dan biasanya berdekatan dengan areal HTI “ (Wawancara 20 April 2009).

Namun, mengingat prosedur untuk penambahan areal HTI cukup panjang dan tidak efisien bagi perusahaan maka alternatif tersebut tidak dipilih sebagai solusi kebijakan. Selanjutnya dinyatakan bahwa lahan kosong di hutan produksi tersebut dapat diserahkan pengelolaannya kepada rakyat sekitar.

“Oleh karena itu munculah gagasan, bagaimana jika lahan kosong berupa splot-spot kecil itu diberikan haknya kepada rakyat. Kalau rakyat yang diberi hak lebih mudah dan tidak perlu ada Amdal (Analisis Dampak Lingkungan) karena skala luasannya kecil sehingga tidak merubah bentang alam. (Wawancara, 20 April 2009)

Perumusan kebijakan HTR sendiri dilakukan dalam internal Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan. Dukungan pihak luar terbatas pada rekomendasi aspek-aspek yang bersifat teknis. Rekomendasi tersebut dijadikan sebagai landasan ilmiah untuk pelaksanaan program yang bersifat teknis. Rekomendasi yan berasal dari pihak akademisi yan digunakan terkait luas lahan optimal untuk setiap kepala keluarga pemegang izin HTR seluas 15 ha. Rekomendasi dari institusi penelitian di lingkup Kementerian Kehutanan juga

berupa saran-saran teknis terkait kesesuaian jenis tanaman HTR untuk lokasi-lokasi HTR di seluruh Indonesia. Berdasarkan hasil wawancara, dapat teridentifikasi pula bahwa selama proses perumusan kebijakan HTR, tidak terjadi perdebatan mengenai alternatif-alternatif pemecahan masalah kebijakan.

Nomenklatur untuk program ini didiskusikan di tingkat Ditjen BUK bersama Menteri Kehutanan pada tahun 2006. Pada awalnya ada keinginan untuk memberikan nama Hutan Rakyat terhadap bentuk kebijakan ini. Akan tetapi Istilah hutan rakyat (HR) menurut UU Kehutanan No. 41/1999 identik dengan hutan hak, sehingga program ini tidak dapat menggunakan nama hutan rakyat. Namun, untuk mengedepankan misi kerakyatan maka istilah Hutan Tanaman Rakyat dipilih sebagai nama dari program HTI-skala mikro ini (Direktur BLU P2H, 20 April 2009, komunikasi pribadi).

Metode analisis proses kebijakan dari Blaikie & Soussan (2001) menyatakan bahwa faktor-faktor penting yang harus digali dalam analisis proses kebijakan meliputi; latar belakang ide atau gagasan kebijakan, situasi politik yang mendukung, tonggak peristiwa penetapan kebijakan, konteks politik pemerintahan, serta issu kunci kebijakan. Faktor-faktor penting tersebut disajikan pada Tabel 14 yang merupakan intisari dari hasil penelitian mengenai proses perumusan kebijakan HTR.

Tabel 14 Intisari dari proses perumusan kebijakan HTR

No Kategori Uraian

1. Latar Belakang Ide/ gagasan HTR

- Tingginya potensi kawasan LOA dengan luasan kecil - Ijin konsesi bisa diserahkan kepada masyarakat 2. Situasi

politik Nasional

Kebijakan pembangunan : pro growth, pro poor & pro job 3 Kebijakan Menhut Revitalisasi industri : Peningkatan suplai bahan baku kayu

melalui peningkatan produksi hutan tanaman Menhut gencar melakukan program penanama

4. Dukungan kebijakan permodalan bagi petani difasilitasi dengan pendirian BLU 5. Event /momentun Proses perumusan PP 6 sebagai pengganti PP 34 yang dinilai

tidak lagi relevan dengan situasi/kondisi yang berkembang 6. Filosofi program Masyarakat diberikan peluang usaha di bidang hutan tanaman.

Usaha skala kecil tidak akan merubah bentang alam tidak memerlukan Amdal sehingga kebutuhan modal kecil.

7. Pihak yang terlibat dalam proses perumusan kebijakan

- Sebagian besar merupakan hasil kristalisasi gagasan internal di Kementrian Kehutanan

4. 3 Analisis Narasi dan Diskursus Kebijakan HTR

Narasi Kebijakan atau Policy Narative adalah ”cerita” yang yang menjelaskan bagaimana suatu kejadian tertentu menjadi sebuah keyakinan, yang di dalamnya terdapat ideologi, pengetahuan dan pengertian yang sudah tertanam (Sutton 1999: Kartodiharjo 2006). Analisis narasi kebijakan merupakan tahap analisis teori dari proses perumusan kebijakan. Sedangkan diskursus merupakan cara pikir dan cara memberikan argumen yang dilakukan dari penamaan dan pengistilahan terhadap sesuatu yang dapat merupakan cerminan dari kepentingan tertentu (politik) (Kartodihardjo 2006)

Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2007 merupakan tonggak awal ditetapkannya kebijakan HTR. Peraturan Pemerintah No.6/2007 merupakan hasil revisi dari PP 34/2002. Ismanto (2010) menyatakan bahwa PP 34/2002 pada intinya merupakan upaya melanjutkan konsep HPH/HTI dengan mengganti nama menjadi IUPHHK, sebagaimana diamanatkan dalam UU Kehutanan 41/1999. Perubahan dari PP 34/2002 menjadi PP6/2007 tidak mengganti sistem konsesi hutan produksi. Adapun perubahan yang terjadi dari PP 34/2002 menjadi PP 6/2007 adalah pemisahan antara IUPHHK di hutan alam dengan IUPHHK di hutan tanaman. Hutan alam dan hutan tanaman dibedakan dengan cara menempatkan tegakan pada hutan tanaman sebagai asset bagi pemegang izin. Hal tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa untuk membangun tegakan pada hutan tanaman diperlukan modal yang harus diinvestasikan oleh para pemegang IUPHHK-HT. Dengan perbedaan tersebut maka implikasi yang muncul kemudian adalah terbukanya kesempatan bagi pemegang IUPHHK di hutan tanaman untuk menjadikan aset tanamannya sebagai agunan untuk memperoleh kredit modal dari BLU Pusat P2H.

Perubahan-perubahan yang dilakukan terhadap peraturan perundangan tersebut pada dasarnya tidak mencerminkan perubahan mendasar, karena diskursus yang melekat pada setiap peraturan perundangan yang diterbitkan tidak berubah. Diskursus tersebut adalah pengelolaan hutan produksi melalui pemberian izin konsesi. Diskursus tunggal ini pula yang mendasari terbitnya kebijakan HTR. Pada prinsipnya kebijakan HTR merupakan modifikasi kebijakan konsesi HPHTI (Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri). Perubahan yang terjadi hanya sasaran pemegang izin tidak lagi ditujukan bagi perusahaan besar melainkan rakyat secara perorangan/kelompok atau melalui koperasi.

Dalam konteks perhutanan sosial (social forestry), kebijakan HTR merupakan salah satu bentuk pembagian peran pemerintah dengan masyarakat. Pemerintah menyerahkan sebagian urusan pengelolaan hutan di kawasan hutan produksi kepada masyarakat sekitar hutan. Secara praktik kebijakan HTR mirip dengan kebijakan perhutanan sosial sebelumnya yaitu Hutan Kemasyarakatan (HKM).

Perumusan kebijakan Hutan Tanaman Rakyat terjadi dalam suasana psikologis yang dilandasi oleh paradigma pengelolaan hutan berbasis masyarakat (Community Based Forest Management). Terlebih 3 pilar pembangunan nasional secara jelas menunjukkan keberpihakan pada rakyat yaitu strategi pro-poor, pro-job dan pro-growth. Paradigma CBFM sendiri merupakan perubahan dari paradigma pembangunan kehutanan yang sebelumnya lebih berorientasi pada Timber Extraction dan State Based Forest Management. Perubahan ini dilatarbelakangi oleh kesadaran bahwa pembangunan kehutanan yang selama ini dilakukan telah mengakibakan masyarakat sekitar hutan terpinggirkan (Poffenberger 2006; Engel & Palmer, 2006). Berbagai bukti menunjukkan bahwa pembangunan tanpa melibatkan masyarakat sekitar hutan menimbulkan banyak kerugian baik dari sisi degradasi sumberdaya hutan (FWI/GWF 2002; Yadav et al. 2003) maupun marginalisasi masyarakat sekitar hutan (Bromley & Cernea 1989; Lynch & Talbot 1995, Malla 2000; Lyndayati 2002).

”Keberpihakan pada masyarakat” inilah yang mempengatuhi diterapkannya kebijakan HTR oleh Kementerian Kehutanan, khususnya oleh Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan diyakini sebagai suatu keharusan mengingat pengelolaan hutan oleh negara yang selama ini dilakukan telah terbukti tidak mampu menjamin kelestarian sumberdaya hutan dan tidak pula meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.

Tujuan dari Program Perhutanan Sosial sebagaimana menjadi visi pembangunan kehutanan di Indonesia adalah terwujudnya kelestarian hutan dan terciptanya masyarakat yang sejahtera. Kebijakan perhutanan sosial yang telah banyak diupayakan juga belum mencapai hasil seperti yang diharapkan (Peluso 1992; Moniaga 2000; Lyndayati 2002; Sardjono 2006; Raharjo et al. 2006; Suryamihardja 2006).

Kebijakan yang kurang sesuai dan tidak mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat sekitar hutan justru dapat membuat keadaan semakin memburuk. Dapat pula dikatakan bahwa krisis yang terjadi pada sumber daya hutan pada dasarnya bersumber dari ketidaksesuaian institusi yang digunakan negara dalam kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan hutan, kurangnya sistem pengaturan penguasaan dan manajemen pemanfaatan sumber daya hutan (Peluso 1992; Simon 2006).

Keberpihakan kepada masyarakat dalam pembangunan kehutanan mulai muncul pada Konges Kehutanan Dunia kedelapan di Jakarta tahun 1978. Pada kongres tersebut diperkenalkan konsep perhutanan sosial (social forestry) dan retorika “forest for people”. Istilah social forestry menurut Kartasubrata (2003) untuk pertama kali digunakan pada tahun 1968.

Konsep perhutanan sosial memang telah diterima dan diakui sebagai salah satu pendekatan yang baik dalam rangka mencapai kelestarian hutan. Kegiatan ini difokuskan kepada upaya penyediaan mata pencaharian dan peningkatan kesejahteraan masyarakat guna mempertahankan kelestarian sumberdaya hutan. Pemikiran tersebut tersebut didasarkan pada sejumlah fakta bahwa masyarakat lokal terbukti mampu mengatur pembagian peran diantara mereka, memberi jaminan keadilan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya hutan, serta tanggung jawab dalam mempertahankan kelestarian sumberdaya hutan (Borrini-Feyerabend et al. 2003).

Noronha & Spears (1998) menyatakan bahwa arti perhutanan sosial tidak dapat dikumpulkan dari suatu gambaran berbagai kegiatan yang dilakukan di bawah program-program. Inti baru dari program-program ini terletak pada kata “sosial” yaitu program-program melayani kebutuhan lokal melalui keterlibatan aktif pemanfaat dalam rancangan dan pelaksanaan upaya penghutanan kembali dan bersama-sama memanfaatkan hasil hutan.