• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eriyatno & Sofyar (2007) menyatakan bahwa hasil riset kebijakan yang efektif harus mampu mewujudkan harapan normatif menjadi strategi tindakan yang diperlukan. Guna mendapatkan strategi yang komprehensif diperlukan analisis sistemik terhadap permasalahan kebijakan. Untuk itu diperlukan pemahaman tentang teori sistem dalam proses penelitian kebijakan.

Teori sistem dipelopori oleh Bertalanffy (1968) yang memperkenalkan suatu kerangka konsep dan teori yang dapat ditetapkan pada berbagai bidang ilmu. Kerangka tersebut dikenal sebagai General System Theory yang didasari oleh pemikiran perlunya generalisasi dan pendekatan lintas disiplin dalam memahami dunia nyata secara efisien.

Kompleksitas suatu permasalahan yang ditandai dengan keragaman yang begitu besar tidak mungkin dikaji atau dikendalikan oleh satu atau dua metode spesifik saja. Oleh karena itu perlu dicari pemecahan melalui keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh, yang memerlukan suatu kerangka fikir baru yang dikenal dengan pendekatan sistem. Sistem merupakan suatu agregasi atau kumpulan objek-objek yang saling menerangkan dalam interaksi dan saling tergantung. Konsep sistem merupakan awal dari studi sistem yang selanjutnya akan didesain dan dievaluasi (Dubrowsky 2004; Eriyatno & Sofyar 2007; Drack 2009).

Sistem didefinisikan sebagai sekumpulan komponen-komponen atau unsur-unsur yang saling berinteraksi dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja untuk mencapai suatu tujuan atau beberapa tujuan. Pengertian komponen atau unsur adalah benda, baik kongkrit atau abstrak yang menyusun suatu sistem. Tujuan sistem merupakan unjuk kerja sistem yang teramati atau diinginkan. Unjuk kerja dari sistem ditentukan oleh fungsi unsur dan keseluruhan interaksi antar unsur dalam batas lingkungan sistem. Gangguan salah satu unsur akan mempengaruhi unsur lain sehingga mempengaruhi unjuk kerja sistem secara keseluruhan. Interaksi antar komponen atau unsur merupakan ikatan atau hubungan antar unsur yang memberi bentuk atau struktur kepada suatu sistem sehingga dapat dibedakan dari sistem lainnya dan interaksi ini mempengaruhi perilaku sistem secara keseluruhan. Dengan demikian, sistem memiliki dua sifat utama yang berkaitan dengan aspek struktur dan aspek perilaku. Struktur sistem berkaitan dengan susunan dan rangkaian diantara elemen-elemen penyusunnya dan perilaku sistem yang berkaitan dengan input dan output sistem (Eriyatno 2003; Muhammadi et al. 2001).

Lebih lanjut Marimin (2005) menyebutkan bahwa sebuah sistem pada umumnya mempunyai beberapa sifat mendasar, antara lain:

1) berorientasi kepada tujuan dan dalam proses pencapaian tujuan akan terjadi perubahan yang terus menerus sehingga bersifat dinamis,

2) satu kesatuan usaha dimana hasil kerja sistem secara keseluruhan melebihi dari jumlah hasil kerja dari masing-masing bagian sistem secara sendiri-sendiri atau bersifat sinergis,

3) terbuka terhadap lingkungan, yang berarti bahwa lingkungan merupakan sumber kesempatan ataupun hambatan unjuk kerja sistem,

4) adanya transformasi, yang merupakan proses perubahan input menjadi output yang dilakukan oleh sistem,

5) interaksi antara bagian maupun subsistem, dan

6) adanya mekanisme pengendalian, yang menyangkut sistem umpan balik yang merupakan suatu bagian yang memberikan informasi kepada sistem mengenai efek dari perilaku sistem terhadap pencapaian tujuan atau pemecahan masalah yang dihadapi.

Pendekatan sistem merupakan suatu pendekatan cara penyelesaian persoalan yang sangat berbeda dari pendekatan konvensional. Pendekatan konvensional menekankan pada aspek analisis elemen-elemen secara parsial atau tereduksi. Sedangkan pendekatan sistem menekankan pada aspek analisis interaksi elemen dan perilaku sistem secara keseluruhan atau holistik. Pendekatan sistem dimulai dengan dilakukannya identifikasi kebutuhan-kebutuhan pemangku kepentingan sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari suatu sistem yang dianggap efektif. Pendekatan sistem memiliki dua hal utama, yaitu pencarian semua faktor penting yang terdapat dalam sistem untuk mendapatkan solusi penyelesaian masalah yang baik serta pembuatan suatu model konseptual dan kuantitatif untuk membantu pengambilan keputusan secara rasional (Eriyatno 2003).

Menurut Richardson & Pugh (1983) pendekatan sistem untuk formulasi kebijakan dan penyelesaian persoalan yang kompleks terfokus pada pemahaman proses interaksi yang terjadi dalam sistem. Hal ini dilandasi oleh filosofi bahwa struktur sistem bertanggung jawab terhadap terjadinya perubahan dalam sistem dengan berjalannya waktu. Premisnya adalah perilaku dinamik merupakan konsekuensi dari struktur sistem. Pendekatan sistem cenderung untuk melihat sebab dan konsekuensi dari perilaku di dalam sistem. Persoalan atau output yang tidak dikehendaki dari sistem tidak dipandang sebagai akibat dari agen atau komponen di luar sistem. Sedangkan tahapan pendekatan sistem dalam penyelesaian persoalan yang kompleks meliputi: 1) definisi dan identifikasi masalah, 2) konseptualisasi sistem, 3) formulasi model, 4) analisis perilaku model, 5) evaluasi model, 6) analisis kebijakan dan 7) implementasi atau penggunaan model. Secara skematis, proses pendekatan sistem untuk formulasi kebijakan atau penyelesaian persoalan ditunjukkan pada Gambar 5.

Analisis kebijakan Simulasi Formulasi model Konseptualisasi sistem Definisi masalah Pemahaman sistem Implementasi kebijakan

Gambar 5 Overview pemodelan sistem untuk analisis kebijakan (Richardson & Pugh 1983)

Menurut Jackson (2000) pendekatan sistem dalam aplikasi system thinking untuk penelitian dan intervensi kebijakan dapat dibedakan menjadi pendekatan sistem: 1) fungsionalis, 2) interpretasi, 3) emansipatori, dan 4) postmodern. Pengklasifikasian ini didasarkan atas metodologi yang digunakan. Sedangkan Checkland (2000) dengan berdasarkan atas keterkaitan antara systems thinking dan systems practice membedakan pendekatan sistem menjadi hard system dan soft system. Hard system thinking dengan landasan paradigma optimasi sangat tepat digunakan pada pemecahan masalah teknis yang tersturktur dan tujuannya telah diketahui sebelumnya, sedangkan soft system thinking dengan paradigma pembelajaran lebih tepat digunakan pada situasi pemecahan persoalan yang tidak terstruktur dan melibatkan aspek manusia dan sosial budaya. Pendekatan sistem lunak dapat dilakukan dengan menggunakan Soft System Methodology (SSM) yang bersifat interpretasi jika situasi permasalahan yang dihadapi bersifat kompleks dan messy atau ill-defined (Christis 2005).

Metodologi SSM dikembangkan oleh Checkland (1999) dengan landasan pemikiran bahwa dalam rangka perbaikan sistem di dunia nyata, setiap tindakan oleh manusia pasti memiliki makna bagi dirinya sehingga pemodelan sistem aktifitas manusia akan menggambarkan karakteristik tujuan tertentu yang diinginkannya. Selanjutnya, dalam pemodelan sistem aktifitas manusia dalam rangka mengeksplorasi tindakan manusia di dunia nyata memungkinkan munculnya beragam interpretasi terhadap suatu tujuan tertentu sehingga dapat

dibangun banyak model. Oleh karena itu, sebelum melakukan pemodelan perlu dipilih pandangan (world view) yang paling relevan sebagai landasan dalam pemodelan untuk mengekplorasi situasi masalah sehingga dapat diperoleh konsep yang dapat digunakan (usable concept). SSM digunakan pada situasi dimana karena berbagai alasan merupakan situasi yang problematik bagi pihak yang berkepentingan dan melalui pemodelan konseptual yang relevan akan dapat teridentifikasi tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menyelesaikan situasi problematik tersebut. Metodologi SSM mencakup 7 langkah atau tahapan proses (Gambar 6) dimana dapat dibedakan antara aktifitas di dunia nyata yang melibatkan para pihak terkait situasi problematik dan aktifitas system thinking yang dapat berkaitan maupun tidak dengan situasi problematik. Tahapan proses tersebut meliputi:

1) Situasi permasalahan tidak terstruktur. 2) Situasi permasalahan terekspresikan. 3) Definisi mendasar sistem yang relevan. 4) Model konseptual.

5) Perbandingan model dengan dunia nyata. 6) Perubahan yang diharapkan dan layak.

7) Tindakan untuk memperbaiki situasi problematik.

Tahapan 1 dan 2 merupakan fase pengungkapan situasi yang dipersepsikan sebagai masalah. Analisis yang dilakukan dalam fase ini menyangkut identifikasi elemen kunci dari struktur dan proses, serta interaksi antar elemen dan proses dari situasi masalah. Tahap 3 merupakan tahapan pendefinisian sistem yang relevan untuk memperbaiki situasi masalah. Formulasi ini dapat dimodifikasi kembali dalam proses iterasi dan pendalaman. Selanjutnya berdasarkan definisi sistem yang telah terbentuk maka dilakukan tahap 4, yaitu membangun model konseptual dari sistem aktifitas manusia yang memuat sekumpulan aktifitas minimal yang diperlukan. Jika dijumpai kekurangan dan diperlukan transformasi untuk pembentukan model konseptual maka dapat digunakan konsep sistem formal dan pemikiran sistem yang lain. Pada tahap 5 dilakukan pembandingan model konseptual dengan persepsi yang ada di dunia nyata. Pembandingan ini sebagai tahapan 6, dilakukan melalui perdebatan diantara para pihak yang berkepentingan sehingga dapat diidentifikasi kemungkinan-kemungkinan perubahan yang memang diharapkan dan layak atau dapat diterima oleh semua

pihak. Tahap 7 menyangkut pengambilan tindakan untuk memperbaiki situasi masalah.

Gambar 6 Proses soft system methodology (Checkland 1999)

Eriyatno (2003) menyatakan bahwa kesalahan terbesar dalam proses perencanaan jangka panjang yang bersifat strategis adalah menerapkan secara langsung teknik penelitian operasional dan atau aplikasi deskriptif. Hal ini umumnya disebabkan kebiasaan yang sulit diubah dari perencanaan jangka pendek yang konservatif atas keahlian yang dipunyai. Kebiasaan tersebut menjebak proses perencanaan strategis menjadi rencana operasional jangka pendek tanpa arahan (direktif yang terprogram).

Menurut Eriyatno (2003) pendekatan sistem merupakan metodologi yang bersifat rasional sampai bersifat intuitif untuk memecahkan masalah guna mencapai tujuan tertentu. Pendekatan sistem digunakan ketika permasalahan yang dihadapi memiliki karakteristik: 1) kompleks, yaitu interaksi antar elemen cukup rumit, 2) dinamis, dalam arti faktornya ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan, dan 3) probabilistic, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi.

Tiga pola pikir yang menjadi pegangan pokok dalam menganalisis permasalahan dengan pendekatan sistem, yaitu (1) cybernetic artinya berorientasi pada tujuan (2) holistic yaitu cara pandang yang utuh terhadap keutuhan sistem, dan (3) efektif yaitu prinsip yang lebih mementingkan hasil guna yang operasional serta dapat dilaksanakan daripada pendalaman teoritis untuk mencapai efisiensi keputusan. Telaahan permasalahan dengan pendekatan sistem ditandai oleh ciri-ciri : (1) mencari semua faktor penting yang terkait dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah dan (2) adanya model kuantitatif untuk membantu keputusan secara rasional (Eriyatno 2003)

Berbagai teori kemudian dikembangkan untuk perencanaan strategis dimana informasi kualitatif mendominasi input kebijakan. Salah satu dari teori tersebut adalah Interpretative Structural Modelling (ISM). Teknik ISM adalah proses pengkajian kelompok (group learning process) dimana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem,