• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelanggaran HAM Terhadap Wanita Dalam Ko

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pelanggaran HAM Terhadap Wanita Dalam Ko"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN By : Muhammad Irsan

A. Latar Belakang

Hubungan antara perang dan kekerasan di dalam konflik adalah bersifat kompleks dan dinamis. Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) bisa disebabkan oleh sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensi dari sebuah konflik.1 Oleh

karenanya sangatlah kecil kemungkinan dalam sebuah konflik tidak terjadinya pelanggaran terhadap HAM, baik terhadap wanita maupun anak-anak. Salah satu kisah yang memilukan datang dari masa setelah perang dunia ke-dua, di mana banyak wanita-wanita Eropa yang mengalami perkosaan selama masa perang dunia ke-dua yang dilakukan oleh tentara Jerman, yang dikenal dengan NAZI pada saat itu. Hal ini tidaklah seburuk atas apa yang diterima oleh wanita-wanita Jerman terhadap perbuatan pemerkosaan sistematis dan perbudakan seksual yang dilakukan oleh tentara Rusia pada saat Rusia menyerbu Jerman, terutama dalam operasi penaklukan Berlin.

Perkosaan sistematis yang dilakukan oleh tentara Rusia ini adalah sebagai pesan terhadap Jerman atas apa yang telah mereka lakukan kepada Rusia selama perang dunia ke-dua.2 Oleh karena itu, banyak wanita-wanita Jerman yang

melarikan diri dari Berlin menuju kota Jerman lainnya, bahkan negara tetangga agar terhindar dari perkosaan yang dilakukan oleh tentara Rusia pada saat itu. Kenyataan pahit yang harus diterima adalah, perempuan merupakan korban utama dalam setiap konflik dimana terjadinya pelanggaran terhadap HAM.

Oleh karena itu, untuk mencegah segala jenis pelanggaran HAM dan diskriminasi terhadap hak asasi manusia, di dalam hukum internasional, dikenal 8 instrumen yang mengatur persoalan mengenai hak asasi, antara lain ; 1) Universal

1 Chandra Lekha Sriram, Olga Martin Ortega, Johanda Herman, War, Conflict,

(2)

Declaration of Human Rights (UHDR), 2) Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (CERD), 3) International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR), 4) International Convenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR), 5) Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Woman (CEDAW), 6) Covention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT), 7)

Convention on the Rights of the Child (CRC), 8) International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (ICRMW).

Instrumen yang mengatur perlindungan terhadap wanita dari pelanggaran HAM dan diskriminasi adalah Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Woman (CEDAW), ditetapkan dan dibuka untuk ditandatangani, diratifikasi dan disetujui oleh Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa No. 34/180 pada 18 Desember 1979, dan mulai berlaku pada 3 September 1981, sesuai dengan isi dalam pasal 27.3 Perjanjian

internasional ini khusus mengatur mengenai larangan diskriminasi terhadap perempuan dalam menciptakan konsep keadilan pada kesetaraan gender.

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu Hak Asasi Manusia dan apa itu pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia?

2. Bagaimana pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia di Indonesia? 3. Apa itu kekerasan seksual, perbudakan seksual, dan perkosaan sistematis? 4. Mengapa kekerasan seksual, perbudakan seksual, dan perkosaan sistematis

selalu terjadi ketika adanya konflik?

5. Mengapa wanita selalu menjadi pihak yang paling dirugikan ketika terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia?

(3)

C. Tujuan Makalah

1. Menjelaskan kepada pembaca pengertian Hak Asasi Manusia dan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia.

2. Menguraikan secara singkat mengenai landasan yuridis mengenai Hak Asasi Manusia yang terdapat di Indonesia.

3. Menjelaskan kepada pembaca pengertian kekerasan seksual, perbudakan seksual, dan perkosaan sistematis.

4. Menguraikan secara singkat mengapa kekerasan seksual, perbudakan seksual, dan perkosaan sistematis cinderung terjadi saat adanya konflik. 5. Menjelaskan kepada pembaca alasan mengapa wanita selalu menjadi pihak

(4)

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Hak Asasi Manusia dan Pelanggaran Terhadap Hak Asasi Manusia

Pasal 1 Universal Declaration of Human Rights selanjutnya akan disebut UDHR, menyebutkan bahwa semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan. Pasal 2 UDHR menyebutkan setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam pernyataan ini tanpa perkecualian apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain.

Dapat disimpulkan, bahwasannya hak asasi manusia selanjutnya disebut HAM, adalah hak-hak dasar yang melekat dalam setiap diri manusia, hak-hak dasar tersebut merupakan hak yang diberikan oleh Tuhan, hak tersebut merupakan harkat dan martabat setiap diri manusia yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun, dengan alasan apapun, dan dalam keadaan apapun.

(5)

sama dari pria maupun wanita, dan telah bertekad untuk menggalakkan kemajuan sosial dan taraf hidup yang lebih baik di dalam kemerdekaan yang lebih luas.”4

Menurut UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM menyebutkan pengertian pelanggaran terhadap HAM adalah, setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk juga aparat negara, yang baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, membatasi, menghalangi, dan mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin UU dan tidak didapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang benar dan adil, yang didasarkan pada mekanisme hukum yang berlaku. Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM membagi kejahatan HAM berat menjadi 2, yaitu ; 1) Kejahatan genosida, dan 2) Kejahatan terhadap kemanusian. Kejahatan genosida dalam pasal 8 UU No. 26 Tahun 2000 menyebutkan apa-apa saja yang dikatakan sebagai kejahatan genosida, antara lain ;

a. Membunuh anggota kelompok.

b. Mengakibatkan penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok.

c. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya.

d. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok, atau

e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 menyebutkan perbuatan apa-apa saja yang dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusian, antara lain ;

a. Pembunuhan; b. Pemusnahan; c. Perbudakan;

(6)

e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;

f. Penyiksaan;

g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;

h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang di dasari alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;

i. Penghilangan orang secara paksa; atau j. Kejahatan apartheid;

Jadi, dapat dipahami bahwa pembahasan selanjutnya di dalam makalah ini adalah mengenai kekerasan seksual, perbudakan seksual, dan perkosaan sistematis yang merupakan kejahatan HAM berat yang diklasifikasikan sebagai kejahatan terhadap kemanusian.

B. Pengaturan Hukum Mengenai Hak Asasi Manusia di Indonesia

Hak Asasi Manusia di Indonesia dijamin keberlangsungannya oleh UUD NRI 1945, tepatnya dari pasal 28A sampai pasal 28J. Perlidungan terhadap HAM ini tercermin dalam pembukaan UUD yang menjiwai keseluruhan pasal yang ada di dalam batang tubuhnya, terutama berkaitan dengan persamaan hak setiap warga negara, baik itu di dalam hukum dan pemerintahan, hak yang sama dalam mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak dalam memeluk agama dan kepercayaan, hak dalam memperoleh pendidikan, serta hak dalam mengeluarkan pendapat lisan dan tulisan.

(7)

aparatur negara untuk menghormati, menegakkan, dan menyebarluaskan pemahaman tentang HAM kepada seluruh masyarakat, serta meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang HAM selama tidak bertentangan dengan pancasila.

Untuk mencapai tujuan yang dicita-cita di dalam dua sumber hukum diatas, maka pemerintah merasa perlu mengeluarkan suatu undang-undang sebagai aturan pelaksana dalam perlindungan HAM, maka pada tanggal 23 September 1999, presiden Indonesia, B. J Habibie mengeluarkan UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.5

Selanjutnya dalam pasal 104 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, menyebutkan : “Untuk mengadili pelanggar HAM yang berat dibentuk pengadilan HAM di lingkungan peradilan umum.”6

Pasal inilah yang menjadi dasar pemerintah dalam menyusun suatu undang-undang untuk mengatur peradilan bagi pelanggar HAM berat. Maka pada tanggal 23 November tahun 2000, pemerintah Indonesia mengeluarkan satu undang-undang yang mengatur masalah peradilan bagi pelanggar HAM berat, yaitu UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Peradilan Hak Asasi Manusia.

C. Kekerasan Seksual, Perbudakan Seksual, dan Perkosaan Sistematis

Sebuah kisah dari wanita muda berumur tujuh belas tahun bernama Mirsada, seorang wanita berkulit putih pucat, berambut cokelat, setengah Kroasia, dan seorang Muslim menceritakan pengalaman pahit semasa konflik di Yugoslavia (Sekarang sudah terpecah menjadi Serbia, Kroasia, dan Bosnia). Bersama ibunya dan dua orang wanita di lantai dasar balai kota di kota asalnya, Teslic, di bagian utara-tengah Bosnia. Orang yang menahannya, pasukan Bosnia-Serbia (bukan militer), memperkosanya dan wanita lainnya dan memaksa mereka untuk melakukan seks dengan pasukan Bosnia-Serbia (bukan militer) yang berada 5 Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia, Dan Penegakan

Hukum, Bandung, Mandar Maju, 2001, Hal. 137.

(8)

di sekitar area. Dia dan ibunya masing-masing melihat salah satunya diperkosa oleh banyak orang sebanyak tiga kali sehari, setiap hari, selama empat bulan. Mirsada dilepaskan hanya ketika dia terlihat mengandung, dan pemerkosanya berkata, “Pergi besarkan anak-anak Serbia kita”.7

Perkosaan sebagai barang rampasan dalam pertempuran bisa ditemukan disepanjang sejarah. Dewasa ini perkosaan dan jenis kejahatan seksual lainnya telah menjadi sebuah strategi atas perang dan teror. Selama berabad-abad, praktek merebut perempuan sebagai rampasan perang, hampir tidak berbeda dari ternak dan jagung, mungkin telah digantikan oleh munculnya tradisi Judeo-Kristian dan perkembangan hukum dalam perang di Barat, tetapi hukum-hukum tersebut memiliki dampak yang kurang pada penerimaan masyarakat terhadap konsepsi bahwasannya perkosaan adalah sesuatu yang alami, dan terjadi pada saat ketika pria mengambil senjata untuk pertempuran. Dunia tidak mau tahu, pada dasarnya mengatakan bahwa pemerkosaan adalah bagian tak terhindarkan dari medan perang, yang menyebabkan cerita-cerita dari Bosnia akan dipandang sebagai hal yang biasa-biasa saja oleh masyarakat Barat (yang telah dikelirukan oleh perang itu sendiri) dan dihentikan oleh politisi di Barat.

Perkosaan telah dipandang sebagai sebuah kejahatan perang selama berabad-abad, dan pelakunya dapat dihukum. Pada tahun 1474, Sir Peter von Hagenbach dinyatakan bersalah oleh pengadilan militer internasional atas tuntutan perkosaan selama okupasi militer. Dia ditunjuk oleh Duke Charles untuk memerintah kota Austria, Breisach, and alat-alat brutalnya untuk menaklukkan sebuah kota termasuk menjarah, membunuh, dan memperkosa.8

Kisah perbudakan seksual juga tidak kalah memilukan, dimana sejarah kelam ini menimpa seorang wanita muslim Bosnia, di kota Foca selama tahun 1992 sampai 1993. Pada Juli 1992, bersama sekitar 72 wanita muslim, dia ditahan di Sekolah Menengah Atas di Foca. Untuk beberapa waktu, dia diperkosa setiap

7 Thom Shanker di dalam buku Crimes Of War : What The Public Should Know

Revised And Updated Edition (Edited by Roy Gutman, David Rief And Anthony

(9)

malam oleh seorang prajurit atau lebih. Penyerangan berlanjut setelah dia dipindahkan dari Sekolah Menengah Atas Foca ke Aula Olahraga Partizan. Setelah itu, dia dibawa ke sebuah rumah dimana dia melayani mereka sebagai pelacur militer Serbia, dia juga menjadi budak sama seperti budak seks, dia mencuci, dan membersihkan baju untuk prajurit-prajurit yang memperkosanya. Berdasarkan dakwaan, penahannya bahkan menjualnya untuk 500 deutsche kepada dua prajurit dari Montenegro.9

Perkosaan sistematis juga tidak dapat dihindari selama terjadinya suatu konflik, perkosaan sistematis erat kaitannya dengan kekerasan seksual dan perbudakan seksual. Meskipun frasa “perkosaan sistematis” secara luas dan benar digunakan untuk mendeskripsikan beberapa bagian dari kekerasan seksual yang dilakukan terhadap wanita selama perang di Bosnia-Herzegovina, tidak ada kejahatan spesifik dari perkosaan sistematis di dalam hukum internasional. Akan tetapi membuktikan bahwa perkosaan itu dilakukan secara sistematis adalah penting untuk menetapkan bahwasannya itu merupakan kejahatan terhadap kemanusian.10

Menurut Alexandra Stiglmayer, untuk dinyatakan bersalah atas perkosaan sebagai sebuah kejahatan terhadap kemanusian, tidaklah perlu membuktikan bahwa perkosaan itu dilakukan secara sistematis, akan tetapi melihat dari penyerangan yang sistematis, dan perkosaan termasuk sebagai salah satu aksi dari penyerangan itu.

Oleh karena itu, kekerasan seksual yang terjadi semasa konflik merupakan hal yang tidak dapat dihindari lagi. Di dalam hal ini, posisi wanita selalu dirugikan atas konflik yang tidak diinginkan terjadi oleh banyak pihak. Kekerasan seksual yang dilakukan kepada wanita merupakan suatu strategi dalam menjatuhkan mental lawan, dan memberikan dampak moral yang sangat berat

9 George Rodrigue, di dalam buku Crimes Of War : What The Public Should

Know Revised And Updated Edition (Edited by Roy Gutman, David Rief And

Anthony Dworkin), New York, WW Norton, Hal. 373.

10 Alexandra Stiglmayer, di dalam buku Crimes Of War : What The Public

Should Know Revised And Updated Edition (Edited by Roy Gutman, David Rief

(10)

bagi korban. Disisi lain, kekerasan seksual yang dilakukan digunakan sebagai alat untuk meningkatkan moral pasukan. Mirisnya, hal ini sesuai atas apa yang menimpa wanita-wanita Jerman semasa perang dunia ke-dua. Dimana pasukan Rusia memperkosa dalam perjalanannya menyebrangi Prussia dan sampai masuk ke Berlin pada hari-hari akhir perang dunia ke-dua.

Pasal 27 Konvensi Jenewa 1949 Tentang Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang Yang Terluka Dan Sakit Di Medan Pertempuran menyebutkan bahwasannya “Wanita haruslah dilindungi dari segala penyerangan terhadap kehormatannya, secara khusus terhadap perkosaan, prostitusi secara paksa, atau dari segala jenis penyerangan yang tidak senonoh.” Perkosaan dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kehormatan, marabat, bukanlah kejahatan atas kekerasan. Maraknya kekerasan seksual yang terjadi semasa konflik terhadap perempuan karena perempuan dianggap sebagai makhluk yang lemah, dan lebih mirisnya, beberapa dari mereka menganggap wanita merupakan rampasan perang yang bisa dikuasai.

Pasal 27 Konvensi Jenewa 1949 berlaku terhadap konflik-konflik internasional yang sedang berlangsung. Oleh karena itu, masih sangat banyak pertanyaan-pertanyaan dan perdebatan yang belum terjawab mengenai kekerasan-kekerasan seksual yang terjadi setelah pasal 27 Konvensi Jenewa 1949 berlaku. Kehadiran pengadilan yang menangani permasalahan HAM internasional disini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan, dan menyeret setiap pelaku kejahatan HAM berat untuk diadili, pengadilan internasional yang menangani pelanggaran HAM berat antara lain seperti, International Criminal Tribunal of Rwanda (ICTR), International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia (ICTY), dan

International Military Tribual at Nuremberg.

(11)
(12)

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Pengakuan terhadap perlindungan HAM dewasa ini merupakan hal yang terpenting dalam sebuah negara, perlindungan HAM menjadi perhatian yang sangat penting dewasa ini karena telah banyaknya terjadi pelanggaran HAM di dunia ini, mulai dari semasa sebelum perang dunia ke-dua dan setelah perang dunia ke-dua. Dimana waktu itu kita mengenal kata “Holocaust” yang dilakukan oleh Nazi Jerman, misinya pada waktu itu diberi nama “The Final Solution”. Sebuah operasi genosida yang dilakukan oleh Hitler terhadap masyarakat yahudi dunia, dengan memasukkan mereka ke dalam kamp konsentrasi, maupun dieksekusi dengan cara ditembak. Juga perlakuan tentara Rusia terhadap wanita-wanita Jerman, dengan melakukan kekerasan seksual dan perkosaan sistematis dimana perbuatan itu dibenarkan dengan dalil bahwa perbuatan itu adalah sebuah strategi perang untuk menjatuhkan moral dan mental rakyat Jerman, dan juga untuk mengirimkan pesan dendam atas apa yang dilakukan Jerman terhadap Rusia pada saat itu.

(13)

Menceritakan kembali sejarah pelanggaran HAM, berarti membuka kembali luka lama. Oleh karena itu harus dipastikan adanya solusi yang ditimbulkan ketika kita kembali membukan luka lama tersebut. Pelaku pelanggar HAM berat tidak boleh dibiarkan bebas menghirup udara tanpa mendapatkan hukuman yang setimpal. Hukuman yang seberat-beratnya pantas dijatuhkan kepada para komandan-komandan, pejabat negara, bahkan pemimpin negara yang mengetahui terjadinya pelanggaran HAM berat, akan tetapi memilih untuk diam dan tidak berbuat apa-apa.

(14)

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Chandra Lekha Sriram, dkk. 2010. War, Conflict, And Human Right : Theory And Practice. New York. Routledge.

Romli Atmasasmita. 2001. Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia, Dan Penegakan Hukum. Bandung, Mandar Maju.

Roy Gutman, dkk. 2007. Crimes Of War : What Public Should Know (Revised and Updated Edition). New York. Norton & Company Ltd.

Undang-Undang :

Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Woman

Universal Declaration of Human Right

Sumber Lain :

Referensi

Dokumen terkait

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA BARAT. RESOR

3.Kemiringan lereng, relief relatif, penutup lahan, kebasahan tanah, litologi dan curah hujan merupakan parameter yang digunakan untuk menentukan tingkat kerawanan longsor lahan

Berdasarkan hasil tindakan, analisis, dan pembahasan yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa penerapan pendekatan SAVI dan media gambar seri yang dilaksanakan

Pemilu dalam negara demokrasi Indonesia merupakan media atau sarana yang diberikan oleh Negara untuk pergantian pemegang kekuasaan baik dieksekutif maupun

Status Desa Menjadi Kelurahan yang telah ditetapkan oleh Bupati. sebagaimana dimaksud pada huruf k,

Kesimpulan: Hasil uji analisis yang telah dilakukan menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara persalinan lama dengan kasus Caput Succedaneum pada bayi baru lahir di RS.. Permata

Berdasarkan data dari Puskesmas Turikale dan Mandai diperoleh distribusi rumah berdasarkan pencahayaan menunjukkan bahwa distribusi rumah penderita Kusta berdasarkan

Kabupaten Ciamis tepatnya di daerah wisata Situ Lengkong sebagai tempat1. daerah