7
Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan (Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 1999). Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan No.67/M-DAG/PER/11/2013 mengatakan bahwa, label adalah setiap keterangan mengenai barang yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lain yang memuat informasi tentang barang dan keterangan pelaku usaha serta informasi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau makanan atau minuman (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 tahun 1999). Sedangkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan, bahwa label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau merupakan bagian kemasan pangan.
keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan kedalam, ditempelkan pada, atau merupakan bagian kemasan pangan.
Peraturan perundang-undangan menetapkan bahwa semua makanan yang dikemas harus mempunyai label yang memuat keterangan tentang isi, jenis dan jumlah bahan-bahan yang digunakan, tanggal kedaluarsa, komposisi zat gizi yang dinyatakan dalam jumlah dan sebagai persen angka kecukupan gizi yang dianjurkan untuk setiap takaran saji, serta keterangan penting lainnya (seperti kehalalan produk), dengan demikian konsumen dapat mengetahui kandungan gizi dan kelayakan makanan kemasan tersebut (Almatsier, 2011).
Pada dasarnya, suatu label memberikan keterangan lebih banyak tentang ciri khas suatu produk dari pada produk yang tidak berlabel. Setiap label harus memiliki pernyataan komposisi, berat bersih, dan alamat pengolah atau distributor, informasi nilai gizi, nomor telepon gratis, alamat situs web, informasi pemasaran dan nama produk yang dapat dimengerti dengan jelas oleh konsumen ( Shewfelt, 2009).
1. Tidak mudah lepas dari kemasannya 2. Tidak mudah luntur atau rusak
3. Terletak pada bagian kemasan yang mudah untuk dilihat dan dibaca
4. Keterangan yang dicantumkan harus benar dan tidak menyesatkan (Badan POM, 2004).
Label pangan salah satu sarana informasi mengenai pangan yang bersangkutan. Oleh karena itu label selayaknya dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk menyampaikan informasi yang perlu diketahui oleh konsumen (Badan POM, 2004). Dalam kaitannya tentang masalah label, masyarakat perlu memperoleh informasi yang benar, jelas, dan lengkap mengenai label pangan, baik dengan kuantitas, isi, kualitas, maupun hal-hal lain yang diperlukan dalam peredaran dipasar. Berdasarkan amanat dari Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dikaitkan dengan hak konsumen mendapatkan kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/ atau jasa; hak mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; serta hak mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
2. 2 Informasi pada Label Produk Pangan 2.2.1 Nama produk pangan
Dalam pedoman pelabelan pangan Badan POM (2004), nama produk
pangan adalah pernyataan atau keterangan identitas mengenai produk pangan
yang cukup memberikan penjelasan mengenai produk yang bersangkutan dan
harus tercantum pada bagian utama label. Menurut Siagian (2002), di samping
nama makanan bisa dicantumkan nama dagang (bila ada), misalnya coca cola.
Nama produk dalam negeri harus dalam bahasa Indonesia (dapat juga
ditambahkan dalam bahassa Inggris bila perlu), produk luar negeri boleh dalam
bahasa inggris atau bahasa Indonesia tetapi besar dan bentuk huruf harus sama
besar dengan bentuk huruf Indonesia (Badan POM, 2004). Nama suatu produk
harus menunjukkan sifat dan keadaan produk pangan yang sebenarnya, antara
lain seperti utuh, potongan, irisan, campuran, dikeringkan, dipekati, atau diasapi
(Badan POM, 2004).
Berdasarkan Badan POM (2004), nama suatu produk pangan harus
ditetapkan dalam SNI (Standar Nasional Indonesia), karena nama produk pangan
yang telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam SNI (Standar Nasional
Indonesia) dapat mencantumkan nama produk tersebut. Namun bila ada suatu
nama produk belum ditetapkan dalam SNI (Standar Nasional Indonesia), produk
pangan yang bersangkutan dapat menggunakan nama jenis sesuai kategori yang
ditetapkan oleh Kepala Badan POM, misalnya bila ada nama belum ditetapkan
dalam standar makanan, deskripsi yang cocok tidak menyesatkan contohnya mie
telur, tidak boleh digunakan untuk produk mie yang tidak mengandung telur.
merupakan bagian nama makanan, tetapi cukup dicantumkan pada label antara
lain: segar, alami, murni, dibuat dari, dan halal (Siagian, 2002).
2.2.2 Komposisi atau daftar bahan pangan
Pada suatu produk pangan harus menyebutkan komposisi atau daftar
bahan yang digunakan, karena pengertian dari komposisi adalah keterangan
mengenai jenis bahan apa saja yang digunakan dan ditambahkan dalam proses
produksi pangan (Badan POM, 2004). Termasuk pencantuman bahan tambahan
atau pengawet yang digunakan, bahan tambahan makanan yang digunakan cukup
dicantumkan dengan nama golongan, misalnya anti kempal, pemutih, dan
seterusnya. Khusus untuk antioksidan, pemanis buatan, pengawet, pewarna, dan
penguat rasa, harus dilengkapi dengan nama jenis sedangkan untuk pewarna
juga perlu dicantumkan nomor indeks khusus (Siagian, 2002).
Bahan tambahan pangan bawaan yang biasanya terdapat pada formulasi
produk karena merupakan bahan dari bahan yang lain seperti MSG pada bumbu,
juga harus dicantumkan dalam komposisi. Informasi mengenai komposisi, dapat
diletakkan pada bagian utama atau bagian informasi pada label pangan dengan
tulisan yang jelas dan mudah di baca (Badan POM, 2004).
Keterangan tentang daftar bahan pada label sebagai komposisi, di
urutkan dimulai dari bagian yang terbanyak, kecuali untuk vitamin dan mineral.
Namun ada beberapa perkecualian, antara lain ingredien tidak perlu
dicantumkan adalah bila komposisi diketahui secara umum, dan pada makanan
dengan luas permukaan tidak lebih dari 100 cm² (Siagian, 2002). Nama ingredien
harus spesifik, bukan generik (kecuali untuk bumbu dan tepung), misalnya lemak
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 1999, mengatakan
bahwa penggunaan air yang ditambahkan harus dicantumkan sebagai komposisi
pangan, kecuali apabila air itu merupakan bagian dari bahan yang digunakan.
Air atau bahan pada pangan yang mengalami penguapan seluruhnya selama
proses pengolahan pangan, tidak perlu dicantumkan.
2.2.3 Berat bersih atau isi bersih pangan
Keterangan tentang berat bersih atau isi bersih harus ditempatkan pada
bagian utama label. Badan POM (2004), mengatakan berat bersih atau isi bersih
adalah pernyataan pada label yang memberikan keterangan mengenai kuantitas
atau jumlah produk pangan yang terdapat di dalam kemasan atau wadah.
Penulisan berat bersih dinyatakan dalam satuan metrik, contonya gram,
kilogram, liter atau mililiter. Untuk makanan padat dinyatakan dengan satuan
berat, sedangkan makanan cair dengan satuan volume. Untuk makanan semi
padat atau kental dinyatakan dalam satuan volume atau berat. Untuk makanan
padat dalam cairan dinyatakan dalam bobot tuntas (Siagian, 2002).
2.2.4 Nama dan alamat pabrik pangan
Keterangan yang harus dicantumkan pada bagian utama label mengenai
penulisan nama dan alamat dari importir dan distributor adalah nama kota, kode
pos, dan Indonesia. Sedangkan untuk keterangan tentang nama dan alamat pabrik
pembuat cukup dicantumkan pada bagian informasi (Badan POM 2004). Makan
impor harus dilengkapi dengan kode negara asal. Nama jalan tidak perlu
dicantumkan apabila sudah tercantum dalam buku telepon (Siagian, 2002).
Jika nama perusahaan yang dicantumkan bukan merupakan pabrik
menghubungkan antara nama perusahaan tersebut dengan produk yang
diperdagangkan, misalnya “dibuat untuk” (manufacture for) atau distribusikan
oleh (distributed by) (Badan POM, 2004).
2.2.5 Tanggal kedaluarsa pangan
Sebuah produk pangan harus dilengkapi dengan tanggal kedaluarsa yang
menyatakan batas atau umur pemakaian dan kelayakan pemakaian atau
penggunaan produk tersebut. Tanggal kedaluarsa adalah batas akhir suatu
pangan dijamin mutunya sepanjang penyimpanannya mengikuti petunjuk yang
diberikan produsen (Badan POM, 2004). Sedangkan menurut Shewfelt (2009)
mengatakan tanggal kedaluarsa adalah prediksi terbaik ahli pangan mengenai
beberapa lama pangan tersebut akan bertahan sebelum membusuk. Tanggal
kedaluarsa biasanya dibuat jatuh dalam waktu simpan berakhir, tetapi bukan
tepat pada suatu tanggal tertentu.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 1999 mengatakan
tanggal, bulan, dan tahun kedaluarsa wajib dicantumkan secara jelas pada label
dimana dilakukan setelah pendantuman tulisan “baik digunakan sebelum”, sesuai
dengan jenis dan daya tahan pangan yang bersangkutan. Dalam hal produk
pangan yang kedaluarsanya lebih dari 3 bulan diperbolehkan untuk hanya
mencantumkan bulan dan tahun kedaluarsa saja.
Seperti yang tercantum dalam Permenkes No. 180/Menkes/1985, ada 13 jenis
makanan dan minuman yang diharuskan mencantumkan tanggal kedaluarsa,
seperti roti, makanan rendah kalori, nutrisi suplemen, coklat, kelapa, dan hasil
olahannya, minyak goreng, margarine, produk kacang, telur, saus dan kecap,
Badan POM (2004), Penulisan tanggal kedaluarsa ini harus dilakukan
oleh produsen atau pabrik yang memproduksi pangan, dimana cara pencantuman
tanggal kedaluarsa dan peringatannya dilakukan sebagai berikut :
a. Tanggal kedaluarsa dinyatakan dalam tanggal, bulan, dan tahun untuk pangan yang daya simpannya sampai 3 bulan.
b. Untuk yang lebih dari 3 bulan dinyatakan dalam bulan dan tahun.
c. Tanggal kedaluarsa dapat dicantumkan pada tutup botol, bagian bawah kaleng, bagian atas dos, dan tempat lain yang sesuai, jelas, dan mudah
terbaca, serta tidak mudah rusak atau dihapus.
d. Tanggal kedaluarsa dapat juga dicantumkan terpisah dari peringatan asal peringatan diikuti dengan petunjuk tempat pencantuman tanggal
kedaluarsa, misalnya “baik digunakan sebelum tanggal, lihat bagian bawah
kaleng”.
e. Jika tanggal kedaluarsa sangat tergantung dari cara penyimpanan,
petunjuk cara penyimpinan dari pangan harus ditulis pada label, sedapat
mungkin berdekatan dengan tanggal kedaluarsa.
2.2.6 Nomor pendaftaran pangan
Dalam rangka peredaran pangan, bagi pangan olahan yang wajib
didaftarkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik
yang diproduksi dalam negeri maupun yang dimasukkan ke dalam wilayah
Indonesia, pada label pangan olahan yang bersangkutan harus dicantumkan
nomor pendaftaran pangan (Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 1999).
Nomor pendaftaran adalah tanda atau nomor yang diberikan oleh Badan
keamanan, mutu, dan gizi serta label pangan dalam rangka peredaran pangan
(Badan POM, 2004).
2.2.7 Kode produksi pangan
Kode produksi adalah kode yang dapat memberikan sekurang-kurangnya
penjelasan mengenai riwayat produksi yang bersangkutan (Badan POM, 2004).
Suatu kode produksi pangan meliputi tanggal produksi dan angka atau huruf lain
yang mencirikan batch produksi. Produk-produk yang wajib mencantumkan kode
produksi adalah sebagai berikut susu, makanan atau minuman yang mengandung
susu, makanan bayi, makanan kalengan yang komersial, dan daging beserta hasil
olahannya (Siagian, 2002).
2.2.8 Cara penggunaan atau penyajian dan penyimpanan pangan
Suatu produk pangan akan dipengaruhi dengan cara penyimpanannya,
karena akan mempengaruhi sifat dan mutu pada produk pangan tersebut. Cara
penggunaan atau penyajian suatu produk pangan memiliki perhatian khusus
karena harus mencantumkan cara penyiapan atau penggunaannya, begitu juga
dengan cara penyimpanan produk pangan juga memiliki perhatian khusus
sebelum digunakan karena harus sesuai dengan keadaan produk pangan tersebut,
misalnya nugget harus disimpan pada tempat dingin atau beku (Badan POM,
2004).
2.2.9 Nilai gizi pangan
Nilai gizi yang dicantumkan pada label produk pangan yaitu nilai gizi
makanan yang diperkaya, nilai gizi makanan diet, dan makanan lainnya yang
protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral atau kadar komponen tertentu.
Untuk makanan lain, pencantumannya sukarela (Siagian, 2002).
2.2.10 Tulisan atau pernyataan khusus pada pangan
Menurut Siagian (2002) mengatakan, tulisan atau pernyataan khusus
dicantumkan untuk makanan yang berbahan tertentu yaitu pada produk sebagai
berikut:
a. Susu kental manis (perhatian, tidak cocok untuk bayi).
b. Makanan yang mengandung bahan yang berasal dari hewan, misalnya babi
(mengandung babi).
c. Makanan bayi.
d. Pemanis buatan.
e. Makanan dengan iradiasi ( radura) dan logo iradiasi. f. Makanan halal (tulisan bahasa Indonesia atau Arab). 2. 3 Klaim Pada Label Pangan
Setiap orang yang menyatakan dalam label bahwa pangan yang
diperdagangkan adalah sesuai dengan klaim tertentu bertanggung jawab atas
kebenaran klaim tersebut (Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012). Klaim pada
label pangan adalah pernyataan atau suatu gambaran yang menyatakan,
menyarankan bahwa produk pangan mengandung zat dan manfaat tertentu atau
bermanfaat terhadap kesehatan ( Badan POM, 2004). Klaim pada label pangan
harus benar, tidak menyesatkan, didukung oleh bukti ilmiah dan sesuai dengan
ketentuan peraturan.
Pernyataan (klaim) tentang manfaat kesehatan di dalam peraturan
zat gizi dan atau zat non gizi tertentu yang bermanfaat jika di konsumsi atau tidak
dikonsumsi bagi kelompok tertentu, misalnya untuk anak-anak berusia dibawah
lima tahun, kelompok lanjut usia, ibu hamil dan menyusui, dan sebagainya. Yang
dimaksud bahwa pernyataan tersebut hanya dapat dicantumkan pada label atau
iklan apabila secara ilmiah hal tersebut dapat dipertanggung jawabkan adalah,
antara lain melalui uji laboratorium atau uji klinis (Peraturan Pemerintah Nomor
69 tahun 1999). Menurut FDA (Food and Drug Administration) pelabelan nutrisi
diperlukan apabila produk pangan mengandung nutrisi bahan pangan yang
ditambahkan atau apabila ada klaim nutrisi pada produk pangan tersebut pada
label atau dalam periklanannya.
Klaim yang tidak boleh di cantumkan pada label produk pangan adalah
sebagai berikut:
1. Memuat pernyataan bahwa konsumsi pangan tersebut dapat memenuhi
kebutuhan semua zat gizi esensial, dan/atau
2. Memanfaatkan ketakutan konsumen
3. Menyebabkan konsumen mengkonsumsi suatu jenis pangan secara
berlebihan, dan/atau
4. Menggambarkan bahwa suatu zat gizi atau komponen lain dapat mencegah,
mengobati atau menyembuhkan penyakit.
Contoh pernyataan label pangan yang tidak benar misalnya “ mie telur” namun
kenyataannya mie tersebut tidak mengandung telur (Badan POM, 2004).
Ketentuan mengenai klaim produk pangan di Indonesia mengacu kepada
ketentuan yaitu mengenai klaim gizi dan klaim kesehatan produk yang terbagi 2
1. Klaim gizi
Klaim gizi berdasarkan (Karmini, 2004) menyatakan Pernyataan yang
secara langsung maupun implisit yang menunjukkan kandungan zat gizi dalam
pangan adalah klaim gizi. Pangan yang menyatakan sebagai sumber suatu zat
gizi yang baik (good source of a Nutrients) hanya diperbolehkan apabila pangan
mengandung zat tersebut sedikitnya 10-19% dari angka kecukupan gizi yang
dianjurkan per saji.
Bila pangan menyatakan tidak mengandung suatu zat gizi, misalnya
natrium, lemak atau kolesterol, maka kandungan suatu zat gizi tersebut harus
dalam jumlah yang tidak bermakna sebagai zat gizi. Secara alami pangan tidak
mengandung suatu zat gizi tidak perlu menyatakan tidak mengandung zat gizi
tersebut (Karmini, 2004).
Produk pangan untuk anak dibawah dua tahun dan suplemen makanan
tidak diperkenankan untuk mencantumkan klaim gizi, kecuali persentase
kecukupan vitamin dan mineral (% AKG) (Karmini, 2004).
2. Klaim kesehatan
Klaim kesehatan berdasarkan (Karmini, 2004) menyatakan hubungan
pangan atau zat yang terkandung dalam pangan dengan kesehatan. Termasuk
klaim membantu mengurangi resiko penyakit, dimana hubungan konsumsi pangan
atau zat yang terkandung dalam pangan dengan pengurangan resiko
berkembangnya suatu penyakit. Zat tersebut dapat berupa pangan atau komponen
dalam pangan, termasuk vitamin, mineral, zat bioaktif atau lainnya (Karmini,
Jika keduanya diterapkan dengan tepat maka klaim dapat membantu
konsumen dalam memilih produk pangan dikaitkan pemenuhan gizi dan
kesehatannya. Klaim gizi dan kesehatan juga dapat dijandikan sebagai salah satu
strategi pemasaran bagi produsen pangan dan merupakan nilai tambah antara
produk pangan yang satu dengan produk pangan yang lainnya.
2. 4 Acuan Label Gizi Secara Umum
Acuan label gizi (ALG) adalah acuan untuk pencantuman keterangan
tentang kandungan gizi pada label produk pangan. Pencantuman keterangan
tentang kandungan gizi harus dinyatakan dalam presentase dari acuan label gizi.
Hasil diskusi kelompok kerja II pada Widyakarya Nasional Pangan dan
Gizi VII tahun 2004 menetapkan bahwa acuan label gizi (ALG) di buat untuk
berikut ini:
a. Makanan/pangan yang dikonsumsi untuk umum
Mengacu pada ALG pria dan wanita dewasa antara lain:
1. Energi
Kebutuhan energi yang ditentukan untuk ALG (acuan label gizi) pria dan
dewasa sampai usia lanjut berkisar antara 1600 kkal sampai 2550 kkal,
dimana nilai rata-rata dari kisaran tersebut 2031 kkal dan median 242 kkal.
Untuk AKG ditentukan 2000 kkal.
2. Zat gizi makro (karbohidrat, protein, dan lemak)
a) Karbohidrat: karbohidrat memiliki 63% kecukupan enegi atau 1260 kkal atau setara dengan 315 g karbohidrat. Untuk ALG (acuan label gizi)
1) Serat makanan 25 g dihitung berdasarkan 10-14 g serat per 1000 kalori atau bila dinyatakan sebagai serat kasar 35 g.
b) Protein: protein sebesar 12% kecukupan energi atau 240 kkal atau setara dengan 60 g protein.
c) Lemak: lemak dihitung berdasarkan perhitungan sisa energi karbohidrat dan protein yaitu 2000 – (1200 + 240) = 560 kkal atau setara dengan 62 g
lemak (sekitar 28% energi, memenuhi ketentuan 20 – 30% total energi).
Lemak jenuh ditentukan 8% dari total energi setara dengan 8 g. Untuk ALG
(acuan label gizi) kolesterol 2004 yang ditentukan masih sama dengan ALG
2003 yaitu < 200 mg per kkal.
3. Zat gizi mikro
a) ALG (acuan label gizi) kalium ditentukan dari nilai adequate intake (AI), kalium sebesar 4700 kkal.
b) ALG (acuan label gizi) natrium ditentukan dari nilai tolerable upper level intake (UL) natrium sebesar 2300 kkal.
c) ALG (acuan label gizi) asam panthotenat sebesar 7 mg (sesuai dengan referensi nilai asam panthotenat untuk dewasa).
b. Makanan untuk bayi usia 0-6 bulan.
1. ALG (acuan label gizi) protein ditentukan sesuai dengan nilai AKG (angka
kecukupan gizi). ALG (acuan label gizi) lemak (termasuk asam linoleat)
ditentukan berdasarkan komposisi dalam ASI (6,4 g per 100 kkal).
3. ALG (acuan label gizi) vitamin dan mineral ditentukan = nilai AKG (angka kecukupan gizi) tahun 2004.
4. ALG (acuan label gizi) asam panthotenat ditentukan berdasarkan
perbandingan kalori dengan bayi atau anak usia 7 – 23 bulan.
5. ALG ( acuan label gizi) kalium ditentukan dari nilai adequate intake kalium dan ALG (acuan label gizi) natrium ditentukan dari adequate intake
natrium.
c. Makanan untuk anak usia 7-23 bulan.
1. Acuan label gizi (ALG) ditentukan berdasarkan angka kecukupan gizi (AKG) untuk bayi 7–11 bulan dan anak usia 1-3 tahun, serta perbandingan
untuk protein dan lemak mengacu pada CAC/GL 08-1991 yaitu protein 2,5
g per 100 kkal setara dengan 20 g, lemak 3,2 g per 100 kkal setara dengan
25,6 g, karbohidrat dihitung dari sisa energi yaitu 15,3 g per 100 kkal
ditetapkan 122,4 g.
2. Pencantuman pada acuan label gizi (ALG) ditentukan untuk karbohidrat 120 g, protein 20 g dan lemak 27 g (untuk memenuhi 100% energi).
3. Acuan label gizi (ALG) vitamin dan mineral ditentukan = nilai AKG (angka
kecukupan gizi) tahun 2004, diperhitungkan berdasarkan rasio terhadap
energi.
4. Acuan label gizi (ALG) asam linoleat dihitung berdasarkan 10% lemak total
dan ditentukan sebesar 3 g. Acuan label gizi (ALG) asam panthotenat
5. Acuan label gizi (ALG) kalium ditentukan dari nilai adequate intake kalium dan acuan label gizi (ALG) natrium ditentukan dari adequate intake
natrium.
d. Makanan untuk anak usia 2-5 tahun.
1. Acuan label gizi (ALG) ditentukan berdasarkan angka kecukupan gizi (AKG) tahun 2004 untuk anak usia 1-3 tahun dan 4-56 tahun.
2. Acuan label gizi (ALG) asam linoleat dihitung berdasarkan 10% lemak total. Acuan label gizi (ALG) asam panthotenat ditentukan = ALG tahun
2003
3. Acuan label gizi (ALG) kalium ditentukan dari nilai adequate intake kalium dan acuan label gizi (ALG) natrium ditentukan dari adequate intake
natrium.
e. Makanan untuk ibu hamil dan menyusui.
1. Acuan label gizi (ALG) ditentukan berdasarkan angka kecukapan gizi (ALG) untuk wanita usia 19-29 tahun. Hal tersebut mengingatkan ibu hamil
dan ibu menyusui mungkin akan terkonsentrasi pada usia 25-30 tahun.
2. Energi untuk acuan label gizi (ALG) ibu hamil merupakan penjumlahan kebutuhan energi dasar yaitu 1900 kkal dengan rata-rata tambahan energi
untuk ibu hamil dan ditentukan nilai 2160 kkal. Dengan cara perhitungan
yang sama maka kecukupan energi untuk ibu menyusui sebesar 2425 kkal.
3. Karbohidrat ditetapkan berdasarkan 60% total energi dan untuk protein ditetapkan berdasarkan 15% total energi. Penentuan acuan label gizi
(ALG) lemak dihitung dari total energi dikurangi energi karbohidrat dan
4. Zat gizi mikro ditentukan berdasarkan kecukupan zat gizi pada kelompok wanita usia 19-29 tahun ditambah rata-rata tambahan zat gizi tersebut
untuk ibu hamil dan ibu menyusui.
5. Acuan label gizi (ALG) asam panthotenat ditentukan sebesar 7 mg (sesuai
dengan referensi nilai asam panthotenat untuk dewasa).
Acuan label gizi (ALG) natrium ditentukan dari nilai adequate intake (AI)
natrium untuk ibu hamil dan acuan label gizi (ALG) natrium ditentukan dari
Tolerable Upper Level intake (UL) natrium untuk ibu menyusui, karena ibu hamil
memiliki kecenderungan terjadi timbunan cairan (bengkak-bengkak), ( Karmini
dkk, 2004).
2. 5 Kebiasaan Membaca Label Produk Pangan
pasar kebayoran lama Jakarta Selatan, mengatakan bahwa tingkat kepatuhan konsumen dalam membaca label pangan masih cukup rendah yaitu 45% dari 120 konsumen sebagai responden. Penelitian Zahara (2009) pada mahasiswa UI menunjukkan tingkat kepatuhan responden untuk membaca label informasi zat gizi sebesar 39,1%, label komposisi sebesar 38,6%, dan label kedaluarsa sebesar 92,1%.
Berdasarkan hasil survey The Food and Drug ( FDA) pada tahun 2005, mengatakan bahwa dimana 60% sampai 80% konsumen di Amerika membaca produk label pangan sebelum membeli produk makanan baru dan 30% sampai 40% konsumen mengaku bahwa label produk pangan yang mempengaruhi keputusan mereka dalam membeli jenis produk pangan (Philipson, 2005). Berdasarkan penelitian kuantitatif yang dilakukan pada tahun 2003 oleh International Food Information Council (IFIC) mengatakan bahwa masyarakat
2. 6 Dampak Tidak Membaca Label Produk Pangan
Seseorang yang tidak membaca informasi pada label makanan akan
berdampak buruk pada kesehtan antara lain:
2.6.1 Obesitas
Saat ini obesitas merupakan salah satu masalah kesehatan di dalam
negeri maupun diluar negeri. Kecendrungan terjadinya obesitas pada umumnya
berhubungan erat dengan pola makan, status sosial, ketidakseimbangan antara
aktivitas tubuh dan konsumsi makanan. Obesitas atau kegemukan dari segi
kesehatan merupakan salah satu penyakit salah gizi, sebagai akibat konsumsi
makanan yang jauh melebihi kebutuhannya. Berdasarkan hal tersebut diatas,
setiap orang perlu memperhatikan banyaknya masukan makanan (disesuaikan
dengan kebutuhan sehari-hari) dan aktivitas fisik yang dilakukan (Misnadiarly,
2007).
Menurut WHO (2010), obesitas adalah keadaan dimana terjadi
penumpukan lemak tubuh yang berlebih, sehingga berat badan seseorang jauh
dari atau diatas normal. Kegemukan (overweight) adalah keadaan dimana berat
badan seseorang melebihi berat badan normal. Pengukuran berat badan dapat
dilakukan dengan membagi berat badan dengan tinggi badan kuadrat, hal ini
dinamakan dengan Indeks Massa Tubuh. Di Indonesia, angka pasti penderita
obesitas belum ada. Memang ada beberapa penelitiannya yang dilakukan
terhadap subjek yang mengalami obesitas, tetapi secara epidemiologis belum
dijumpai laporan yang bersifat komprehensif. Namun demikian dapat diduga
bahwa obesitas banyak dijumpai di daerah perkotaan. Di negara-negara maju,
dengan obesitas cukup banyak dilakukan. Dari survei yang dilakukan sekitar satu
dasawarsa yang lalu terhadap populasi dewasa umur 20-74 tahun di Amerika
Serikat, dilaporkan bahwa obesitas lebih banyak dijumpai pada kaum wanita
dibandingkan pria (Misnadiarly, 2007).
Saat ini telah diketahui bahwa prevalensi kelebihan berat badan dan
obesitas meningkat sangat drastis (tajam) di seluruh dunia yang mencapai
tingkatan yang membahayakan. Mulai tahun 1980 kejadian obesitas meningkat 3
kali lipat bahkan lebih, seperti di negara-negara Amerika Utara, Inggris dan
Eropa Timur. Obesitas disebabkan karena adanya peningkatan jumlah konsumsi
energi dari makanan lemak jenuh, gula serta adanya penurunan aktivitas fisik
(Drichoutis et. al, 2006a).
Berdasarkan laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada
tahun 2013, mengungkapkan bahwa prevalensi obesitas umum secara Nasional
mencapai 28,9%, dimana 13,5% berat badan lebih, dan 15,4% obesitas. Pada
tahun 2013, prevalensi obesitas pada laki-laki dewasa (> 18 tahun) sebanyak
19,7% lebih tinggi dari tahun 2007 (13,9%), dan tahun 2010 (7,8%). Sedangkan
pada tahun 2013, prevalensi obesitas pada perempuan dewasa (> 18 tahun)
32,9%, naik 18,1% dari tahun 2007 (13,9) dan 17,5% dari tahun 2010 (15,5%).
Adanya data dari Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS), kita dapat
menyimpulkan bahwa jumlah penderita obesitas setiap tahunnya khususnya di
Indonesia jumlahnya semakin meningkat (bertambah). Dengan semakin
pula kalori dan gula yang terkandung dalam makanan tersebut. Selain menerapkan pola makan yang sehat, dapat pula dengan memberikan dan memperkenalkan informasi mengenai zat gizi yang di konsumsi oleh individu dengan sejelas mungkin dan mudah dimengerti, misalnya sebelum membeli produk makanan terlebih dahulu membaca label yang tercantum pada produk tersebut, seperti zat gizi yang terkandung di dalam. Agar konsumen dapat mengatur asupan zat gizi di dalam tubuhnya dan terhindar dari obesitas.
2.6.2 Alergi
Alergi adalah respon abnormal dari sistem kekebalan tubuh. Alergi dapat
terjadi karena terjadinya penurunan imunitas seseorang karena disebabkan zat
bahan makanan sehingga menyebabkan tubuh orang tersebut menjadi menurun
akibat mengkonsumsi bahan makanan tertentu. Pencegahan akan terjadinya
kekambuhan alergi dapat dilakukan dengan penghindaran diri terhadap makanan
pemicu (Arisman, 2009).
Seiring dengan peningkatnya jumlah dan jenis produk pangan yang
beredar, maka tindakan pencegahan dapat dilakukan dengan membaca terlebih
dahulu label yang terdapat pada kemasan produk pangan sebelum
mengonsumsinya, terutama bagian informasi mengenai komposisi bahan. Bagian
ini, mencantumkan berbagai bahan yang digunakan dalam kegiatan atau proses
produksi, mulai dari bahan baku hingga bahan tambahan pangan (Badan POM,
2004). Agar konsumen dapat menghindari reaksi alergi dalam tubuhnya,
misalnya seorang konsumen alergi terhadap udang, jadi konsumen dapat
2. 7 Konsep Perilaku
Perilaku manusia sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang
sangat luas. Menurut Benyamin Bloom dalam Notoatmodjo (2003) ahli psikologi
pendidikan membagi prilaku itu ke dalam tiga domain (kawasan). Pembagian
kawasan ini dilakukan untuk kepentingan tujuan pendidikan. Dalam
perkembangan selanjutnya oleh para ahli pendidikan, dan untuk kepentingan
pengukuran hasil pendidikan, ketiga domain ini diukur dari pengetahuan
(knowledge), sikap (attitude), dam praktek atau tindakan (practice).
2.7.1 Pengetahuan
Menurut Bloom yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, yakni dengan indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba sebagai besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Ada enam tingkatan pengetahuan yaitu:
a. Tahu (know), diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
b. Memahami (comprehension), diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
d. Analisis (analysis), adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
e. Sintesis (synthesis), menunjukan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
f. Evaluasi (evaluation), berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden (Notoatmodjo, 2007).
2.7.2 Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek. Menurut Allport (1954), yang dikutip oleh Notoatmodjo (2007) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok, yaitu:
Ketiga konponen diatas scara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh, pengetahuan, berfikir, keyakinan dan
emosi memegang peranan penting. 2.7.3 Praktik atau Tindakan
Menurut Bloom dalam Notoatmodjo (2003), mengatakan bahwa sebelum sikap otomatis terwujud dalam suatu tindakan (over behavior). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan antara lain adalah fasilitas. Disamping faktor fasilitas juga diperlukan faktor dukungan dari pihak lain.
Praktik ini memiliki beberapa tingkatan, yaitu: a. Persepsi (perception)
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama. Misalnya, seorang ibu dapat memilih makanan yang bergizi tinggi bagi anak balitanya.
b. Respon terpimpin (quided response)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktik tingkat dua. Misalnya, seorang ibu dapat memasak sayur dengan benar, mulai dari cara mencuci dan memotong-motongnya, lamanya memasak, menutup pancinya, dan sebagainya.
c. Mekanisme (mecanism)
d. Adopsi (adoption)
Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. artinya tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut. Misalnya, ibu dapat memilih dan memasak makanan yang bergizi tinggi berdasarkan bahan-bahan yang murah dan sederhana (Notoadmodjo, 2007).
2.8 Faktor-Faktor Mempengaruhi Membaca Label 2.8.1 Jenis kelamin
Berdasarkan beberapa studi mengatakan bahwa jenis kelamin mempunyai pengaruh dalam menggunakan label informasi zat gizi, menggunakan label informasi zat gizi secara umum lebih dominan pada wanita. Selain itu pria lebih focus pada membaca label komposisi yang dinyatakan oleh Bender dan Derby (1992) dalam (Drichoutis et. al, 2006b), berlawanan dengan hal tersebut wanita lebih memperhatikan zat gizi kalori, vitamin dan mineral dan memperhatikan label informasi baik zat gizi dan komposisi (Drichoutis et. al, 2006b). Dalam penelitian Mannel et. al (2006) di Perancis yang melibatkan 355 konsumen, sebanyak 56% dari seluruh responden perempuan membaca label informasi nilai gizi, sedangkan responden laki-laki hanya sebanyak 25%.
wanita lebih sering melakukan pembacaan label informasi dalam pemilihan makanan kemasan.
2.8.2 Pengetahuan label pangan
Menurut Devi, dkk (2013) dalam penelitiannya praktek pemilihan makanan mengatakan bahwa ada hubungan positif antara tingkat pengetahuan dengan praktek pemilihan makanan kemasan, dimana semakin tinggi tingkat pengetahuan responden semakin baik pula praktek responden dalam pemilihan makanan. Dimana 48,5% memiliki tingkat pengetahuan sedang tentang label makanan kemasan. Pada penelitian Drichoutis et. al (2006b) pada penelitian label terdahulu menemukan bahwa adanya hubungan antara pengetahuan gizi atau persepsi mengenai pengetahuan dengan prilaku membaca label informasi zat gizi tertentu.
Menurut Levy dan Fein (1998) dalam (Drichoutis et. al, 2006b) juga menggungkapkan terdapat hubungan positif antara pengetahuan dan kemapuan konsumen dalam menggunakan label informasi nilai gizi. Selain itu menurut Moorman (1998) dalam (Drichoutis et. al, 2006b) menemukan bahwa konsumen dengan pengetahuan lebih tinggi akan memilih tingkat keraguan yang lebih rendah terhadap informasi nilai gizi
2.8.3 Persepsi tentang label pangan
pikiran dan lingkungan sekitarnya dan secara substansi bisa sangat berbeda dengan realitas, dengan kata lain persepsi tidak hanya bergantung pada rangsangan fisik tetapi juga pada rangsangan yang berhubungan dengan lingkungan sekitar dan juga keadaan individu yang bersangkutan (Setiadi, 2003). Sehingga persepsi yang telah seseorang miliki selama ini terhadap produk pangan tertentu akan terus mereka percayai, membuat mereka lebih cenderung untuk mengabaikan informasi baru terkini sehingga persepsi seseorang terhadap suatu produk pangan mempengaruhi perilaku mereka dalam membaca label.
2.9 Kerangka Konsep
Gambar 2.1 Kerangka konsep
Berdasarkan gambar diatas, kerangka konsep penelitian tersebut menggambarkan hubungan kebiasaan membaca label kemasan pangan berdasarkan jenis kelamin, pengetahuan label pangan dan persepsi tentang label pangan pada mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Jenis kelamin
Kebiasaan membaca label pangan kemasan Pengetahuan label
pangan