PENGERTIAN DELIK
Hukum pidana Belanda memakai istilah strafbaar feit, kadang-kadang juga delicht yang berasal dari bahasa Latin delictum. Perbuatan pidana atau delik ialah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum dan barangsiapa yang melanggar larangan tersebut dikenakan sanksi pidana. Selain itu perbuatan pidana dapat dikatakan sebagai perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, perlu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan, sedangkan ancaman pidananya ditujukan pada orang yang menimbulkan perbuatan pidana itu.
Menurut Van Hamel, delik adalah suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain. Sedangkan menurut Prof. Simons, delik adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan atau perbuatan yang dapat dihukum.
Berdasarkan rumusan Prof. Soimons maka delik memuat beberapa unsur yaitu: a. Suatu perbuatan manusia
b. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang
c. Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan
Berdasarkan pasal 1 ayat (1) KUHP maka seseorang dapat dihukum bila memenuhi hal-hal sebagai berikut:
a. Ada suatu norma pidana tertentu.
b. Norma pidana tersebut berdasarkan Undang-undang.
c. Norma pidana itu harus telah berlaku sebelum perbuatan itu terjadi.
Menurut Moeljatno, kata “perbuatan” dalam “Perbuatan Pidana” mempunyai arti yang abstrak yaitu merupakan suatu pengertian yang menunjuk pada dua kejadian yang kongkret yakni adanya kejadian tertentu dan adanya orang yang berbuat sehingga menimbulkan kejadian.
JENIS-JENIS DELIK
A. Berdasarkan Sistem KUHP 1. Kejahatan (Misdrijven)
Kejahatan merupakan perbuatan yang telah dianggap tercela sebelum ada Undang-Undang yang mengaturnya.
2. Pelanggaran (Overtredingen)
Pelanggaran merupakan perbuatan yang dianggap tercela setelah dimuat Undang-Undang yang mengatur perbuatan tersebut.
No. Perbedaan Kejahatan Pelanggaran
1. Dalam hal Percobaan Dapat dipidana Tidak dapat
dipidana
2. Dalam hal pembantuan Dapat dipidana Tidak dapat
dipidana
3. Delik aduan Ada Tidak ada
4. Masa daluarsa Panjang Pendek
5. Dihapusnya hak negara untuk melakukan penuntutan karena telah dibayar secara sukarela denda maksimum sesuai yang diancamkan
B. Berdasarkan Cara Merumuskannya 1. Tindak Pidana Formil (Formeel Delicten)
Adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehjingga memberikan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan suatu perbuatan tertentu, contohnya pencurian.
2. Tindak Pidana Materiil (Materieel Delicten)
Adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehjingga memberikan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan itu adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, contohnya pembunuhan.
C. Berdasarkan Bentuk Kesalahannya 1. Tindak Pidana Sengaja (Doleus Delicten)
Adalah tindak pidana yang dalam rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur kesengajaan.
2. Tindak Pidana Tidak Sengaja (Culpose Delicten)
Adalah tindak pidana yang dalam rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur culpa.
1. Tindak Pidana Aktif/Positif Atau Tindak Pidana Komisi (Dellicta Commissionis)
Adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan aktif (positif). Perbuatan aktif (disebut juga perbuatan materiil) adalah perbuatan yang untuk mewujudkannya disyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang yang berbuat.
2. Tindak pidana pasif/negatif atau tindak pidana omisi (dellicta ommissionis)
Adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan pasif (negatif) atau pembiaran. Terbagi menjadi dua yaitu:
a. Tindak pidana pasif murni, yaitu tindak pidana pasif yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang semata-mata unsur perbuatannya adalah perbuatan pasif.
b. Tindak pidana pasif tidak murni, yaitu tindak pidana yang pada dasarnya tindak pidana positif, tetapi dilakukan dengan cara tidak berbuat aktif.
E. Berdasarkan Saat Dan Jangka Waktu Terjadinya 1. Tindak Pidana Berlangsung Seketika (Aflopende Delicten)
Adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk terwujudnya atau terjadinya dalam waktu singkat.
2. Tindak Pidana Berlangsung Terus (Voortdurende Delicten)
Adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk terwujudnya atau terjadinya berlangsung dalam waktu lama.
1. Tindak Pidana Umum
Adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materiil.
2. Tindak Pidana Khusus
Adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materiil.
G. Dilihat Dari Sudut Subjek Hukumnya
1. Tindak Pidana Communia (Delicta Communia)
Adalah tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang.
2. Tindak Pidana Propria ( Delicta Propria)
Adalah tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu.
H. Berdasarkan Perlu Tidaknya Pengaduan Dalam Hal Penuntutan 1. Tindak Pidana Biasa (Gewone Delicten)
Yang dimaksudkan disini ialah tindak pidana yang untuk dilakukan penuntutan pidana terhadap pembuatnya tidak disyaratkan adanya pengaduan dari yang berhak.
2. Tindak Pidana Aduan (Klacht Delicten)
a. Tindak pidana aduan mutlak, adalah tindak pidana aduan yang setiap kejadian syarat pengaduan harus ada.
b. Tinda pidana aduan relatif, adalah tindak pidana yang menjadi aduan jika memenuhi syarat tertentu.
I. Berdasarkan Berat-Ringannya Pidana Yang Diancamkan 1. Tindak Pidana Bentuk Pokok (Eenvoudige Delicten)
2. Tindak Pidana Yang Diperberat (Gequalificeerde Delicten)
3. Tindak Pidana Yang Diperingan (Gepriviligieerde Delicten)
J. Berdasarkan Kepentingan Hukum Yang Dilindungi
Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi , maka tindak pidana ini tidak terbatas macamnya. Misalnya tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, tindak pidana terhadap harta benda, tindak pidana pemalsuan, dan masih banyak lagi.
K. Dari Sudut Berapa Kali Perbuatan Untuk Menjadi Suatu Larangan. 1. Tindak Pidana Tunggal (Enkelvoudige Delicten)
Adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang selesainya tindak pidana dan dapat dipidananya pelaku cukup dilakukan satu kali perbuatan saja.
Adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang selesainya tindak pidana dan dapat dipidananya, disyaratkan dilakukan secara berulang.
SEJARAH ASAS LEGALITAS
Pada Jaman Romawi Kuno dikenal adanya istilah criminal extra ordinaria,
yang berarti kejahatan-kejahatan yang tidak disebutkan dalam undang-undang.
Ketika hukum Romawi kuno diterima oleh raja-raja Eropa Barat, istilah criminal
extra ordinaria diterima pula. Kondisi ini kemudian memungkinkan raja-raja
yang berkuasa untuk bertindak sewenang-wenang terhadap perbuatan-perbuatan –
yang dikatakan jahat-, namun belum diatur di dalam undang-undang.
Lahirnya Magna Charta Libertatum di Inggris pada 1215 merupakan salah bentuk
reaksi terhadap praktik kesewenang-wenangan raja di masa itu. Ini adalah fase
pertama ketika manusia mulai memikirkan dan memperjuangkan hak-haknya
sebagai manusia. Upaya penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia
sebenarnya telah ada sebelum lahirnya Magna Charta. Kitab suci agama Hindu,
Veda, telah membicarakan perlunya penghormatan atas hak-hak asasi manusia
sejak 3000 tahun yang lalu. Piagam Madinah yang ditandatangani Nabi
Muhammad SAW pada abad ke 6 Masehi, sebenarnya juga merupakan deklarasi
kesepakatan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia.
Asas legalitas yang dikenal dalam hukum pidana modern muncul dari
lingkup sosiologis Abad Pencerahan yang mengagungkan doktrin perlindungan
rakyat dari perlakuan sewenang-wenang kekuasaan. Sebelum datang Abad
Pencerahan, kekuasaan dapat menghukum orang meski tanpa ada peraturan
terlebih dulu. Saat itu, selera kekuasaanlah yang paling berhak menentukan
apakah perbuatan dapat dihukum atau tidak. Untuk menangkalnya, hadirlah asas
legalitas yang merupakan instrumen penting perlindungan kemerdekaan individu
perbuatan yang dapat dihukum menjadi otoritas peraturan, bukan kekuasaan.
Perlindungan terhadap hak-hak rakyat banyak yang pada mulanya dilakukan
melalui perjuangan dengan asas politik, yakni dengan menghadapkan kepentingan
rakyat vis a vis kekuasaan raja yang absolut. Akar gagasan asas legalitas berasal
dari ketentuan Pasal 39 Magna Charta (1215) di Inggris, yang menjamin adanya
perlindungan rakyat dari penangkapan, penahanan, penyitaan, pembuangan, dan
dikeluarkannya seseorang dari perlindungan hukum/undang-undang, kecuali ada
putusan peradilan yang sah. Ketentuan ini diikuti Habeas Corpus Act (1679) di
Inggris yang mengharuskan seseorang yang ditangkap diperiksa dalam waktu
singkat. Pasca lahirnya Magna Charta dan Habeas Corpus Act, jaminan atas hak
dan kewajiban rakyat kemudian berubah menjadi asas-asas hukum. Asas-asas
hukum ini dirumuskan dalam hukum tertulis, agar memiliki jamian kepastian
hukum (rechtszekerheid). Pelopor perjuangan politik dan hukum di Inggris adalah
John Locke (1760).
Perjuangan rakyat Inggris tersebut kemudian berkembang hingga ke Perancis,
sebagai bentuk perlawanan atas kesewenag-wenangan raja Louis XIV, dengan
simbol Penjara Bastille sebagai simbol kekuasaan raja yang despotis. Perjuangan
rakyat Perancis dipengaruhi oleh dua orang filsuf paling terkemuka Abad
Pencerahan, Charles Montesquieu (1689-1755) dan Jean Jacques Rousseau
(1712-1778). Montesquieu lewat bukunya L’esprit des Lois (1748) dan bukunya
Rousseau “Dus Contrat Social, ou principes du droit politique” (1762)
memperkenalkan pemikiran asas legalitas, sebagai bentuk perlawanan terhadap
konsep Let’s ces moi, yang didengungkan Raja Louis. Selain dipengaruhi oleh
kedua filsuf tersebut perkembangan asas legalitas di Perancis juga dipengaruhi
oleh Marquis de Lafayette, seorang sahabat George Washington, yang membawa
pemikiran asas legalitas dari Amerika ke Perancis. Di Amerika, ketentuan asas
disebutkan tiada seorang pun boleh dituntut atau ditangkap selain dengan, dan
karena tindakan-tindakan yang diatur dalam, peraturan perundang-undangan.
Pemikiran asas legalitas kemudian diimplementasikan sebagai undang-undang
dalam Pasal 8 Declaration des droits de L’homme et du citoyen (1789). Asas ini
kemudian dimasukkan dalam Pasal 4 Code Penal Perancis pada masa
pemerintahan Napoleon Bonaparte (1801). Bunyi ketentuan ini adalah bahwa
“ Tidak ada sesuatu yang boleh dipidana selain karena suatu wet yang ditetapkan
dalam undang-undang dan diundangkan secara sah.” Beccaria, dalam “Dei delitti
e drllee pene” (Over misdaden en straffen 1764) juga menyatakan bahwa individu
harus dilindungi dari perbuatan sewenang-wenang. Oleh karenanya perlu dibuat
suatu hukum sebelum delik itu terjadi. Hukum itu harus mengatur dengan jelas
dan tegas, sehingga bisa memberi petunjuk dalam menjalankan peradilan pidana.
Perjalanan selanjutnya, Von Feuerbach seorang sarjana Jerman, merumuskan
adagium “Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali.” Bahwa tidak
delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu. Adagium ini terkandung
dalam bukunya Lehrbuch des peinlichen Rechts (1801). Asas legalitas yang
dikemukakan oleh Feuerbach mengandung tiga pengertian:
1. Tidak ada perbuatan dapat dipidana, apabila belum diatur dalam undang-undang.
2. Dalam menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut (non retroaktif).
Ketentuan asas legalitas diakui pertama kali oleh konstitusi Amerika Serikat tahun
1783, dicantumkan dalam Article I Section 9 yang berbunyi: “No bill of attainder
or ex post pacto law shall be passed”. Lalu diikuti oleh Perancis di
dalam Declaration des droits de L’homme et du citoyen 1789. Selanjutnya
ketentuan ini diikuti oleh negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa
Tujuan yang ingin dicapai dari asas legalitas itu sendiri adalah
memperkuat kepastian hukum, menciptakan keadilan dan kejujuran bagi
terdakwa, mengefektifkan fungsi penjeraan dalam sanksi pidana, mencegah
penyalahgunaan kekuasaan, dan memperkokoh rule of law. Di satu sisi asas ini
memang dirasa sangat efektif dalam melindungi hak-hak rakyat dari
kesewang-wenangan penguasaa. Namun, efek dari pemberlakuan ketentuan asas legalitas
adalah, hukum kurang bisa mengikuti perkembangan pesat kejahatan. Ini menjadi
kelemahan mendasar dari pemberlakuan asas legalitas. E Utrecht mengatakan,
asas legalitas kurang melindungi kepentingan-kepentingan kolektif (collectieve
belangen), karena memungkinkan dibebaskannya pelaku perbuatan yang sejatinya
merupakan kejahatan tapi tidak tercantum dalam peraturan perundang-undangan.
Jadi, paradigma yang dianut asas ini adalah konsep mala in prohibita (suatu
perbuatan dianggap kejahatan karena adanya peraturan), bukan mala in se (suatu
perbuatan dianggap kejahatan karena tercela).
DELIK DOLUS
Dalam pasal 18 KUHP dengan tegas ditentukan: Barangsiapa melakukan perbuatan dengan mengetahui dan menghendakinya maka dia melakukan perbuatan itu dengan sengaja. Tentang apakah arti kesengajaan tidak ada keterangan sama sekali dalam KUHP.
Dalam Memorie van Toelicting (M.v.T), semacam Penjelasan Umum dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapt suatu rumusan mengenai pengertian “sengaja” kurang lebih sebagai berikut:
mengajarkan perbuatan pidana seseorang sudah dapat dikatakan sengaja dilakukan jika saat berbuat pelaku tersebut mengetahui/ menyadari bahwa perbuatan itu merupakan perbuatan yang dilarang oleh hukum.
2. Keadaaan batin si pelaku terhadap perbuatan pidana yang dilakukannya yang tidak saja ia sadari bahwa perbuatan itu dilarang oleh hukum, tetapi juga memang dikehendaki terjadinya oleh si pelaku tersebut. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan “Teori Kehendak” atau “Wills Theorie”. Inti teori ini mengajarkan perbuatan pidan seseorang baru dapat dikatakan sengaja dilakukan jika saat berbuat pelaku tersebut tidak saja mengetahui / menyadari terlarangnya perbuatan, tetapi juga memang menghendaki terjadinya perbuatan itu.
Berdasarkan kedua ajaran teori di atas maka dapat disimpulkan bahwa pengertian sengaja (dolus) ialah orang yang mengetahui atau menyadari perbuatannya dan atau menghendaki terjadinya perbuatan tersebut. Inilah yang biasa dipahami sebagai arti sengaja dalam makna yang sebenar-benarnya (Dolus Malus / Sengaja yang Bersifat Pasti).
ada perbedaan sama sekali, dalam peradilan adalah dipandang sama yakni merupakan bentuk sikap batin sengaja yang ada pada diri pelaku saat ia berbuat suatu tindak pidana.
DELIK CULPA
Kealpaan (culpa) diartikan sebagai keadaan batin si pelaku perbuatan pidana yang bersifat ceroboh/ teledor/ kurang hati-hati hingga pebuatan dan akibat yang dilarang hukum itu terjadi. dalam culpa ini pelaku sama sekali tidak ada niat sedikitpun untuk melakukan tindak pidana. Akan tetapi ia tetap patut dipersalahkan atau dicela karena sikapnya yang ceroboh atau teledor. Hal tersebut mengingat bahwa nilai-nilai dalam masyarakat mengharuskan setiap orang memiliki sikap hati-hati dalam bertindak, alias tidak ceroboh atau teledor.
Kealpaan dapat dikelompokkan menjadi dua: 1. On Bewuste Culpa