BAB II
TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DALAM UNDANG UNDANG NO.35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA
DARI PERSPEKTIF KEBIJAKAN HUKUM PIDANA
A. Peraturan yang berkaitan dengan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika sebelum lahirnya Undang-Undang No.35 Tahun 2009
Munculnya berbagai bentuk kejahatan dalam dimensi baru akhir-akhir
ini menunjukkan, kejahatan itu selalu berkembang. Demikian juga dengan
kejahatan narkotika tidak lepas dari perkembangan tersebut. Kejahatan narkotika
(the drug trafficking industry), merupakan bagian dari kelompok kegiatan
organisasi-organisasi kejahatan transnasional (Activities of Transnational
Criminal Organizations) di samping jenis kejahatan lainnya.
Jenis-jenis kejahatan tersebut sangat memprihatinkan masyarakat
internasional, karena apabila dikaitkan dengan ancaman atau akibat yang
ditimbulkannya sangat begitu dahsyat (insidious), dan dapat menembus ke
berbagai segi atau bidang, baik terhadap keamanan dan stabilitas nasional
maupun internasional, dan merupakan ancaman utama (frontal attack) terhadap
kekuasaan politik, dan ancaman bagi kewibawaan negara. Adapun tujuan utama
dilakukannya jenis kejahatan ini adalah untuk menghasilkan keuntungan baik
bagi individu maupun kelompok yang melakukan kejahatan tersebut. Dana-dana
gelap ini akan digunakan oleh pelaku untuk membiayai kegiatan kejahatan
Kejahatan narkotika yang merupakan bagian dari kejahatan terorganisasi,
pada dasarnya termasuk salah satu kejahatan terhadap pembangunan dan
kejahatan terhadap kesejahteraan sosial yang menjadi pusat perhatian dan
keprihatinan nasional dan internasional. Hal itu sangat beralasan, mengingat
ruang lingkup dan dimensinya begitu luas, sehingga kegiatannya mengandung
ciri-ciri sebagai organized crime, white-collar crime, corporate crime, dan
transnational crime. Bahkan, dengan menggunakan sarana teknologi dapat
menjadi salah satu bentuk dari cyber crime. Berdasarkan karakteristik yang
demikian, maka dampak dan korban yang ditimbulkannya juga sangat luas bagi
pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Bahkan dapat melemahkan
ketahanan nasional.
Saat ini Indonesia sudah mempunyai Undang-Undang No. 35 Tahun
2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor: 143), tanggal
12 Oktober 2009, yang menggantikan Undang-Undang No. 22 Tahun 2007
tentang Narkotika (lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 67), karena
sebagaimana pada bagian menimbang dari Undang-UndangNo. 35 Tahun 2009
huruf e dikemukakan: bahwa tindak pidana Narkotika telah bersifat
transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang
tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan
sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda
bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan
Negara, sehingga Undang-UndangNomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
berkembang untuk menanggulangi dan memberantas Tindak Pidana tersebut.
Oleh sebab itu, berdasarkan ketentuan 153 Undang-UndangNomor 35 Tahun
2009, bahwa dengan berlakunya Undang-UndangNomor 35 Tahun 2009, maka
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Undang-Undang No 35 Tahun 2009 disahkan pada 14 September 2009
merupakan revisi dari Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Pemerintah menilai Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 ini tidak dapat
mencegah tindak pidana narkotika yang semakin meningkat secara kuantitatif
maupun kualitatif serta bentuk kejahatannya yang terorganisir. Namun secara
substansial, Undang-UndangNarkotika yang baru tidak mengalami perubahan
yang signifikan dibandingkan dengan Undang-Undang terdahulu,56 kecuali penekanan pada ketentuan kewajiban rehabilitasi, penggunaan pidana yang
berlebihan, dan kewenangan BNN yang sangat besar.57
Peraturan perundang-undangan yang mengatur narkotika di Indonesia
sebenarnya telah ada sejak berlakunya Ordonansi Obat Bius (Verdoovende
Middelen Ordonnantie, Staatsblad Nomor 278 Jo. 536 Tahun 1927). Ordonansi
ini kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang
Narkotika yang mulai berlaku tanggal 26 Juli 1976. Selanjutnya
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 telah diganti dengan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1997 tentang Narkotika yang mulai berlaku tanggal 1 September 1997.
56
http://ilmuhukum.umsb.ac.id/?id=177 (diakses Pada Senin, 6 Desember 2010)
57
Ada beberapa revisi terhadap Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1997
tersebut karena masih ditemukan beberapa kelemahan selama pelaksanaan atau
penerapannya sehingga Undang- undang tersebut diratifikasi pada Tahun 2009
sehingga melahirkan Undang- undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
yang mana ada beberapa perbedaan dengan undang- undang sebelumnya.
Uraian masing- masing peraturan perundang-undangan tersebut yaitu ;
1. Ordonansi Obat Bius (Verdoovende Middelen Ordonnantie, Staatsblad
Nomor 278 Jo. 536 Tahun 1927).
Pada zaman penjajahan Belanda kebiasaan penyalahgunaan obat bius dan
candu, sudah mulai terasa membahayakan masyarakat, pemakainya terutama
masyarakat golongan menengah (khususnya keturunan cina) oleh sebab itu, pada
zaman tersebut pemerintah Hindai Belanda mengeluarkkan Verdoovende
Middelen Ordonnantie, Staatsblad Nomor 278 Jo. 536 Tahun 1927, yaitu
peraturan yang mengatur tentang obat bius dan candu.58 Selain itu, juga diberlakukan ketentuan mengenai pembungkusan candu yang disebut Opium
verpakkings Bepalingen(Staatsblad) 1927 No. 514). Setelah Indonesia Merdeka,
kedua intrumen hukum kolonial Belanda tersebut tetap diberlakukan
berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945.
Peraturan perundang-undangan ini, materi hukumnya hanya mengatur
mengenai perdagangan dan penggunaan narkotika, sedangkan tentang
58
pemberian pelayanan kesehatan untuk usaha penyembuhan pecandunya tidak
diatur.59
Perkembangan kejahatan di bidang narkotika pasca masa kemerdekaan
cenderung semaking meningkat dari tahun ke tahun, sehingga intrumen hukum
yang mengatur tindak pidana narkotika warisan Belanda tersebut dirasakan
sudah ketinggalan jaman. Karena itu, pada tahun 1976 pemerintah menetapkan
Undang-Undang No. 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal
Narkotika 1961 beserta Protokal Perubahannya. Kemudian, menyusul
diberlakukan Undang-Undangg No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika.60 2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika.
Ketidak puasan akan pelaksanaan kegiatan penanggulangan narkotika dan
obat-obat terlarang telah mengakibatkan bangsa Indonesia berpikir untuk
menyempurnakan peraturan/regulasi tentang Narkotika karena Ordonansi Obat
Bius (Verdoovende Middelen Ordonnantie, Staatsblad Nomor 278 Jo. 536
Tahun 1927) dirasa tidak lagi mampu untuk meredam pertumbuhan kejahatan
narkotika. Dimana Narkotika merupakan obat yang diperlukan dalam bidang
pengobatan dan ilmu pengetahuan, yang diketahui dapat menimbulkan
ketergantungan yang dangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pembatasan
dan pengawasan yang seksama. Dengan pemikiran bahwa perbuatan,
penyimpanan, pengedaran, dan penggunaan narkotika tanpa pembatasan dan
pengawasan yang seksama merupakan kejahatan yang sangat merugikan
59
Hari sasangkat, op.cit.,halaman 5.
60
perorangan dan masyarakat dan merupakan bahaya besar bagi perikehidupan
menusia dan kehidupan Negara dibidang politik, keamanan, sosial, budaya, serta
ketahanan nasional bangsa Indonesia, maka terbitlah Undang-Undang Nomor
9 Tahun 1976 tentang Narkotika, yang mengatur cara penyediaan dan
penggunaan narkotika untuk keperluan pengobatan dan atau cara ilmu
pengetahuan serta untuk mencegah dan menanggulangi bahaya-bahaya yang
dapat ditimbulkan akibat sampingan dari penggunaan dan penyalahgunaan
narkotika serta mengatur rehabilitasi terhadap pecandu narkotika.61
Adapun perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam lingkup tindak pidana
penyalahgunaan narkotika dalam undang-undang ini diatur dalam Pasal 23 ayat
(1) sampai (7) adalah :
1. Pada Pasal 23 ayat (1) Dilarang secara tanpa hak menanam atau memelihara,
mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan atau menguasai
tanaman Papaver, tanaman Koka atau tanaman Ganja.
2. Pada Pasal 23 ayat (2) Dilarang secara tanpa hak memproduksi, mengolah,
mengekstraksi, mengkonversi, meracik atau menyediakan narkotika.
3. Pada Pasal 23 ayat (3) Dilarang secara tanpa hak memiliki, menyimpan
untuk memiliki atau untuk persediaan atau menguasai narkotika.
4. Pada Pasal 23 ayat (4) Dilarang secara tanpa hak membawa, mengirim,
mengangkut atau mentransito narkotika.
61
5. Pada Pasal 23 ayat (5) Dilarang secara tanpa hak mengimpor, mengekspor,
menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan,
menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika.
6. Pada Pasal 23 ayat (6) Dilarang secara tanpa hak menggunakan narkotika
terhadap orang lain atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain.
7. Pada Pasal 23 ayat (7) Dilarang secara tanpa hak menggunakan narkotika
bagi dirinya sendiri.
Ketentuan sanksi pidana atas perbuatan-perbuatan di atas diatur dalam Bab
VIII Pasal 36, yaitu :
1. Pasal 36 ayat (1) Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat (1) :
a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan
denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,-(sepuluh juta rupiah) apabila
perbuatan tersebut menyangkut tanaman Koka atau tanaman Ganja;
b. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan
denda setinggi-tingginya Rp. 15.000.000.- (limabelas juta rupiah)
apabila perbuatan tersebut menyangkut tanaman Papaver.
2. Pasal 36 ayat (2) Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat (2) :
a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 12 (dua belas) tahun
dan denda setinggi-tingginya Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah)
apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman
b. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun
dan denda setinggi-tingginya Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah)
apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.
3. Pasal 36 ayat (3) Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat (3) :
a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan
denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,-(sepuluh juta rupiah) apabila
perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;
b. dipidana dengan pidana penjara selama-selamanya 10 (sepuluh) tahun
dan denda setinggi-tingginya Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah)
apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.
4. Pasal 36 ayat (4) Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat (4) :
a. dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp.
30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut
menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;
b. dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
pidara penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda
setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (Iima puluh juta rupiah) apabila
perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.
5. Pasal 36 ayat (5) Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat (5) :
a. dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
30.000.000,- (tiga puluh jutan rupiah) apabila perbuatan tersebut
menyangkut daun Koka atau tanaman, Ganja;
b. dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda
setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) apabila
perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.
6. Pasal 36 ayat (6) Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat (6) :
a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan
denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,-(sepuluh juta rupiah) apabila
perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;
b. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun
dan denda setinggi-tingginya Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah)
apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.
7. Pasal 36 ayat (7) Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat (7) :
a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun apabila
perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;
b. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun apabila
perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.
8. Pasal 36 ayat (8) Barang siapa karena kelalaian menyebabkan dilanggarnya
ketentuan tersebut dalam Pasal 23 ayat (1) diatas tanah atau tempat miliknya
atau yang dikuasainya, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1
(satu) tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta
3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Dalam perkembangannya ternyata Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976
tentang Narkotika tidak juga bisa meredam ataupun memberantas peredaran
gelap narkotika secara signifikan, bahkan sasaran peredaran gelap narkoba telah
memasuki seluruh aspek dan lapisan masyarakat. Predaran narkotika tidak hanya
pada orang-orang yang mengalami broken home atau yang gemar dalam
kehidupan malam, tetapi telah merambah kepada mahasiwa, pelajar, bahkan
tidak sedikit kalangan eksekutif maupun businessmantelah terjangkit narkotika.
Seiring dengan perkembangan waktu Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1997 dirasa tidak mampu lagi untuk mengakomodir banyak hal dari kejahatan
narkotika. Kejahatan narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan
dengan menggunakan modus operandi yang tinggi dan teknologi yang canggih,
sedangkan peraturan yang ada sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi
dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi kejahatan tersebut,
sehingga akhirnya terbitlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika.62
Dalam konsideran Undang-Udang Nomor 22 Tahun 1997 antara lain
menyebutkan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan
upaya di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, pada satu sisi
mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan
62
sebagai obat dan di sisi lain melakukan tindakan pencegahan dan pemberantasn
terhadap bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.63
Latar belakang diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
dapat dilihat dalam penjelasan undang-undang tersebut, yakni peningkatan
pengendalian dan pengawasan sebagai upaya mencegah dan memberantas
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Kejahatan-kejahatan narkotika
pada umunya tidak dilakukan oleh secara perorangan secara berdiri sendiri,
melainkan dilakukan secara bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang
terorganisasi secara mantap, rapi, dan sangat rahasia.64
Didalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tujuan pengaturan
Narkotika adalah untuk :
a. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan
kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan
b. Mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika
c. Memberantas peredaran gelap narkotika
Narkotika digolongkan pada tujuan dan potensi ketergantungan yang
bersangkutan. Untuk pertama kali penggolongan tersebut ditetapkan dalam
undang-undang ini, dan selanjutnya akan ditetapkan dalam Keputusan Menteri
Kesehatan.65
Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana,Mandar Maju, Bandung, 2003, halaman 165
65
a. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan
untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan
dalam terapi, serta mempunyai potensi dangat tinggi mengakibatkan
keterantungan.
b. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan
digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi
dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan
c. Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat dan banyak
digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan.66
Perbuatan-perbuatan yang diklasifikasikan sebagai tindak pidana di dalam
Undang-Undang No.22 Tahun 1997 dinyatakan sebagai berikut:
1. Menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki,
menyimpan, atau menguasai narkotika dalam bentuk tanaman (Pasal
78-79)
2. Memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit atau
menyediakan narkotika (Pasal 80)
3. Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika tanpa
hak dan melawan hukum (Pasal 81)
66
4. Mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan,
menjual, membeli, menyerahkan menerima, menjadi perantara dalam
jual beli, atau menukar narkotika tanpa hak dan melawan hukum (Pasal
82)
5. Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana
narkotika (Pasal 78 a/d 82)
6. Menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika
untuk digunakan orang lain tanpa hak dan melawan hukum (Pasal 84)
7. Tanpa hak dan melawan hukum, menggunakan narkotika untuk diri
sendiri (Pasal 85)
8. Orang tua atau wali pecandu yang belum cukup umur yang sengaja tidak
melapor (Pasal 86)
9. Membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak
pidana narkotika (Pasal 87)
10. Pecandu narkotika yang telah cukup umur atau keluarganya
(orangtua/wali) dengan sengaja tidak melaporkan diri (Pasal 88)
11. Pengurus pabrik obat yang tidak melaksanakan kewajiban menurut
Pasal 41 dan 42, yaitu tidak mencantumkan label pada kemasan
narkotika dan mempublikasikan narkotika diluar media cetak ilmiah
kedokteran/farmasi (Pasal 89)
12. Menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan, penuntutan, atau
13. Nahkoda atau kapten penerbang yang tanpa hak dan melawan hukum
tidak melaksanakan ketentuan Pasal 24 dan 25, yaitu tidak membuat
berita acara muatan narkotika, tidak melapor adanya muatan narkotika
kepada Kantor Pabean setempat (Pasal 93)
14. Penyidik (PPNS/Polri) yang secara melawan hukum tidak melaksanakan
ketentuan Pasal 69 dan 71, yaitu tidak melakukan penyegelan dan
pembuatan berita acara penyitaan, tidak member tahu atau menyerahkan
barang sitaan, tidak memusnahkan tanaman narkotika (Pasal 94)
15. Saksi yang memberi keterangan tidak benar di muka sidang pengadilan
(Pasal 95)
16. Melakukan tindak pidana di luar wilayah Indonesia (Pasal 97)
Ketentuan pidana yang telah dirumuskan di dalam Undang-Undang No.22
Tahun 1997 memang sangat berat, ketat dan mengikat. Tujuan utama
ketentuan-ketentuan pidana adalah untuk membersihkan umat manusia dari akibat-akibat
buruk penyalahgunaan narkoba. Undang-undang tersebut merupakan salah satu
kebijakan dan upaya Pemerintah untuk mengatasi penyalahgunaan narkoba di
Indonesia.67 Tindak pidana di bidang Narkotika diatur dalam Pasal 78 sampai dengan Pasal 100 Undang-Undang Narkotika yang merupakan ketentuan
khusus.68
Setelah berbicara mengenai revisi Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1997
sehingga diratifikasi pada Tahun 2009 yang melahirkan Undang- undang Nomor
pembahasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika yang
memiliki kaitan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika.
Berdasakan Pasa153 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 mengatur
mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II sebagaimana
tercantum dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10),
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671) yang telah
dipindahkan menjadi Narkotika Golongan I menurut undang undang baru ini,
Dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.69
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
digolongkan kedalam empat golongan. Penggolongan ini didasarkan atas tingkat
ketergantungannya atau sindrom, yaitu :
a. Psikotropika Golongan I mempunyai potensi amat kuat yang
berakibat pada sindrom ketergantungan. Biasanya Psikotropika
Golongan I hanya diperuntukan untuk kepentingan ilmu
pengetahuan.
b. Psikotropika Golongan II mempunyai potensi kuat dan
mengakibatkan sindrom ketergantungan. Psikotroika Golongan II,
dapat dipergunakan dalam terapi, dan/atau ilmu pengetahuan.
c. Psikotropika Golongan III mempunyai potensi sedang terhadap
tingkat sindrom ketergantungan. Psikotropika Golongan III
69
dipergunakan untuk kepentingan terapi dan/atau tujuan ilmu
pengetahuan.
d. Psikotropika Golongan IV mempunyai potensi ringan terhadap
tingkat sindrom ketergantungan. Psikotropika Golongan IV ini
digunakan untuk kepentingan terapi, dan/atau ilmu pengetahuan.70 Dimana pada jenis Psikotropika Golongan I dan II diatas dicabut dan
dipindahkan menjadi Narkotika Golongan I pada undang-undang yang baru.
(Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009).
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
digolongkan kedalam tiga golongan, yaitu :
a. Narkotika Golongan I (narkotika yang hanya dapat digunakan
untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan
dalam terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan
ketrergantunggan).
b. Narkotika Golongan II (narkotika yang berkhasiat pengobatan
digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam
terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan).
c. Narkotika Golongan III (narkotika yang berkhasiat pengoatan dan
banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan
70
pengembangan imu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan ketergantungan).71
Berikut beberapa perbandingan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yaitu :
1. Perluasan Jenis dan Golongan
Sebagaimana yang kita ketahui, pada Undang-Undang mengenai Narkoba
sebelum Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 ini disahkan, Negara kita mengacu
pada Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan
Undang-Undang No 5 tahun 1997 tentang Psikotropika. Pada Undang-Undang-Undang-Undang terdahulu,
jenis golongan untuk masing-masing Narkotika dan Psikotropika dipisahkan
secara jelas melalui lampiran jenis golongan di tiap-tiap undang-undang.
Hal ini diatur pada Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 22 Tahun 1997
yang diikuti dengan lampiran untuk setiap jenis golongannya. Pada lampiran
Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 dinyatakan bahwa Narkotika Golongan I
terdiri dari 26 jenis Narkotika, sedangkan pada Undang-Undang No. 35 Tahun
2009 tentang Narkotika pada bagian lampirannya terdapat 65 jenis narkotika
golongan I. Penambahan pada jenis Narkotika Golongan I ini dikarenakan
digabungkannya jenis Psikotropika Golongan I dan II kedalam kategori
Narkotika Golongan I.
71
Jenis Psikotropika Golongan I dan II yang paling banyak diminati oleh
para pecandu narkoba adalah jenis shabu dan ekstasi. Hal ini diperkuat dalam
pasal 153 point b yang menyatakan bahwa Lampiran mengenai jenis
Psikotropika Golongan I dan Golongan II sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671) yang telah dipindahkan
menjadi Narkotika Golongan I menurut Undang-Undang ini, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Hal ini dimungkinkan karena maraknya penggunaan shabu dan ekstasi
dikalangan masyarakat Indonesia, sehingga secara serta merta ancaman pidana
yang mengatur mengenai penggunaan shabu dan ekstasi pada jenis Narkotika
Golongan I semakin bertambah berat dengan keluarnya Undang-Undang No. 35
Tahun 2009 ini. Hal ini dipertegas dalam Pasal 8 ayat (1) yang menyatakan
bahwa Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan
kesehatan. Dimana pada Pasal 8 ayat (2) dilanjutkan dengan pernyataan bahwa
dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk
reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan
persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan
Hal ini berarti ada upaya untuk menekan penggunaan Narkotika Golongan
I kepada hal yang mengarah pada penyalahgunaan, dimana selanjutnya pada
bagian penjelasan dikatakan bahwa Yang dimaksud dengan Narkotika Golongan
I sebagai:
a. Reagensia diagnostik adalah Narkotika Golongan I tersebut secara terbatas
dipergunakan untuk mendeteksi suatu zat/bahan/benda yang digunakan oleh
seseorang apakah termasuk jenis Narkotika atau bukan.
b. Reagensia laboratorium adalah Narkotika Golongan I tersebut secara
terbatas dipergunakan untuk mendeteksi suatu zat/bahan/benda yang disita
atau ditentukan oleh pihak Penyidik apakah termasuk jenis Narkotika atau
bukan.
Selain itu, untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan
Narkotika dan mencegah serta memberantas peredaran gelap Narkotika, dalam
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 diatur juga mengenai Prekursor
Narkotika karena Prekursor Narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau
bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika. Dalam
Undang-Undang ini dilampirkan mengenai Prekursor Narkotika dengan
melakukan penggolongan terhadap jenis-jenis Prekursor Narkotika.
Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa Prekursor Narkotika adalah zat atau
bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan
Undang ini. Pengertian ini diikuti dengan dikeluarkannya lampiran (2)
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengenai golongan dan jenis
prekusor itu sendiri. Hal ini sebelumnya tidak diatur dalam Undang-Undang No.
22 Tahun 1997, namun seiring diketemukannya pabrik-pabrik pembuat narkoba
yang berada di Indonesia maka peredaran prekusor menjadi penting untuk
dikendalikan, hal ini juga diatur sebagaimana tercantum pada bagian VIII UU
No 35 Tahun 2009 yang membahas tentang Prekusor Narkotika (Pasal 48
sampai dengan Pasal 52). Selain itu, diatur pula mengenai sanksi pidana bagi
penyalahgunaan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika. Untuk
menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai pemberatan sanksi pidana,
baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (dua puluh)
tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati. Pemberatan pidana
tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran, dan
jumlah Narkotika.
2. Pengobatan dan Rehabilitasi
Dalam hal pengobatan, Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 secara tegas
menyatakan bahwa untuk kepentingan pengobatan dan indikasi medis jenis
Narkotika yang dapat dimiliki, disimpan atau dibawa hanyalah jenis narkotika
Golongan II dan Golongan III saja. Kemudian Undang-Undang No. 35 Tahun
dan rehabilitasi sosial bukan saja pecandu narkotika seperti pada
Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 namun juga terhadap korban penyalahgunaan.
Kemudian pada Pasal 55 ayat (2) dikatakan bahwa Pecandu Narkotika
yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya
kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
3. Pencegahan dan Pemberantasan
Dalam rangka mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan secara terorganisasi
dan memiliki jaringan yang luas melampaui batas negara, dalam
Undang-Undang ini diatur mengenai kerja sama, baik bilateral, regional, maupun
internasional. Kemudian dalam undang-undang terbaru ini juga mengatur
mengenai Badan Narkotika Nasional, dimana pada pasal 64 ayat (1) dikatakan
bahwa Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, dengan Undang-Undang ini
dibentuk Badan Narkotika Nasional, yang selanjutnya disingkat BNN. Tidak
hanya itu, undang-undang ini juga mengatur mengenai kewenangan dan
kedudukan BNN sampai dengan di tingkat daerah, hal ini tidak tercantum pada
Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 .
Pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 peranan Badan Narkotika
Nasional tidak diatur dalam perundang-undangan tentang narkotika. Pada
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, secara jelas peranan dan kewenangan dari
BNN sebagai badan Nasional diatur sedemikian rupa terutama mengenai
kewenangan penyidikan.
Pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1997, penyidikan hanya dilakukan
Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan PPNS sesuai pasal 65,
sedangkan pada undang-undang terbaru dikatakan pada pasal 81 bahwa
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN berwenang
melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika berdasarkan Undang-Undang ini, ditambah dengan
PPNS tertentu.
Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika yang modus operandinya semakin canggih,
Dalam Undang-Undang ini juga diatur mengenai perluasan teknik penyidikan
penyadapan (wiretapping), teknik pembelian terselubung (under cover buy), dan
teknik penyerahan yang diawasi (controlled delevery), serta teknik penyidikan
lainnya guna melacak dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Kemudian dalam hal lamanya waktu penangkapan, Undang-Undang. No
22 Tahun 1997 hanya memberikan waktu 24 jam dalam menangkap di ikuti
mencukupi (Pasal 67). Pada Undang- Undang 35 Tahun 2009, penangkapan
dapat dilakukan selama 3 x 24 jam kemudian dapat diperpanjang 3 x 24 jam lagi
apabila pemeriksaan dirasa belum mencukupi.
Begitu pula dalam hal penyadapan, pada Undang-Undang No. 22 Tahun
1997 waktu penyadapan hanya selama 30 hari (pasal 66), namun pada
Undang-Undang terbaru penyadapan terkait peredaran narkotika ini diperpanjang
menjadi 3 bulan (90 hari), hal ini diatur pada Pasal 77 ayat (1) yang menyatakan
bahwa Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf i dilaksanakan
setelah terdapat bukti permulaan yang cukup dan dilakukan paling lama 3 (tiga)
bulan terhitung sejak surat penyadapan diterima penyidik.
5. Peran Serta Masyarakat
Dalam Undang-Undang ini diatur juga peran serta masyarakat dalam usaha
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor
Narkotika termasuk pemberian penghargaan bagi anggota masyarakat yang
berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika
dan Prekursor Narkotika. Penghargaan tersebut diberikan kepada penegak
hukum dan masyarakat yang telah berjasa dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika.
Pada Pasal 105 dinyatakan bahwa Masyarakat mempunyai hak dan
dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Berbeda dengan
Undang-Undang sebelumnya dimana peran masyarakat hanya sebatas pada
kewajiban semata. Perluasan makna hak dan kewajiban disini memberikan
pertanggung jawaban dua arah antara masyarakat dan penegak hukum/BNN
dalam upaya bersama memberantas peredaran narkotika ini.
Selanjutnya adalah mengenai pemberian penghargaan terhadap upaya
pemberantasan narkotika ini, dimana pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1997
Pasal 58 dimana pemerintah memberikan penghargaan kepada masyarakat yang
telah berjasa dalam mencegah dan memberantas peredaran gelap narkotika,
sedangkan pada Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 pemerintah juga
memberikan penghargaan kepada penegak hukum (Pasal 109).
6. Ketentuan Pidana
Pada bagian ketentuan pidana ini telah terjadi beberapa perubahan yang
cukup prinsipal dan mendasar dari Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 ke
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 ini, dimana pada undang-undang terdahulu
jumlah pasal dalam ketentuan pidana ini hanya berjumlah 23 pasal (Pasal 78
samapai dengan Pasal 100) dan berkembang menjadi 35 pasal pada
undang-undang terbaru (Pasal 111 sampai dengan Pasal 148). Secara umum
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 ini memiliki ancaman hukuman pidana penjara
yang lebih berat daripada Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 demikian pula
dengan ancaman hukuman denda yang diberikan juga lebih berat. Beberapa
a. Penggunaan sistem pidana minimal
Pada undang-undang terbaru dikenal sistem pidana minimal dimana pada
undang-undang sebelumnya hal tersebut tidak ada. Hal ini terutama pada
para pelaku penyalahgunaan narkotika Golongan I.
b. Semakin beratnya hukuman bagi pelaku yang melanggar penggunaan
narkotika baik jenis Golongan I , II ,maupun III dibandingkan
Undang-Undang No. 22 Tahun 1997, misalnya untuk Golongan I baik itu
menyimpan, membawa maupun memiliki dan menggunakan menjadi
minimal 4 tahun dan maksimal 12 tahun, kemudian di ikuti dengan
semakin beratnya pidana denda dari Rp.500.000.000 (lima ratus juta
rupiah) menjadi minimal Rp 800.000.000 (delapan ratus juta rupiah) dan
maksimal Rp.8.000.000.000 (delapan milyar rupiah).
c. Semakin beratnya hukuman bagi para pelaku dengan jumlah barang bukti
yang banyak/jumlah besar, misalnya untuk pelanggaran terhadap
narkotika Golongan I yang melebihi berat 1 kg atau 5 batang pohon (jenis
tanaman) atau barang bukti melebihi 5 gram (untuk jenis bukan tanaman)
maka pelaku di pidana dengan pidana seumur hidup atau minimal 5 tahun
dan maksimal 20 tahun dan pidana dendanya ditambah 1/3.
d. Selanjutnya bagi penyalahguna narkotika yang merupakan korban
rehabilitasi sosial (Pasal 127 ayat (3) Undang-Undang No. 35 Tahun
2009).
e. Yang cukup menarik adalah apa yang tertera dalam pasal 128 Undang
Undang No.35 Tahun 2009 dimana orang tua atau wali pecandu yang
belum cukup umur yang tidak melaporkan maka dapat dipidana dengan
pidana kurungan 6 bulan atau denda 1 juta rupiah (ayat 1), sedangkan
untuk pecandu narkotika dibawah umur dan telah dilaporkan sebagaimana
pasal 55 ayat (1) maka dia tidak dapat dipidana, kemudian untuk pecandu
narkotika yang telah cukup umur dan sedang menjalani rehabilitasi medis
juga tidak dituntut pidana (ayat 3).
f. Adanya ancaman hukuman bagi PPNS dan Penyidik Polri/BNN yang
tidak menjalankan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada pasal 88
dan 89 (PPNS) dan pasal 87,89,90,91(2,3),dan pasal 92 (1,2,3,4).72
B. Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika dari Perspektif Kebijakan Hukum Pidana
1. Perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam Lingkup Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika menurut Undang-Undang No.35 Tahun 2009 dan Perumusan Ancaman Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika
Dalam kenyataan dewasa ini tindak pidana narkotika di dalam masyarakat
menunjukkan kecendrungan yang semakin meningkat baik secara kuantatif
72
maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama dikalangan anak-anak,
remaja, dan generasi muda pada umumnya
Tindak pidana narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan
melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama bahkan
merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang
berkerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional dan internasional.
Berdasarkan hal tersebut guna peningkatan upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana narkotika perlu diakukan pembaharuan terhadap
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.73
Perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam lingkup tindak pidana
penyalahgunaan narkotika di atas telah diatur diatur mulai Pasal 111 sampai
dengan Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
yakni :74
a. Tindak Pidana yang berkaitan dengan penggolongan narkotika, dan prekusor
narkotika, meliputi :
1. Menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan
narkotika golongan I dalam bentuk tanaman, dan bukan tanaman,
narkotika golongan II.
2. Pengadaan dan peredaran narkotika golongan I, II, dan golongan III,
yang tidak menaati ketentuan perundang-undangan yang berlaku, yaitu :
73
Ibid., halaman 60. 74
a. Memproduksi, mengimpor, mengespor, atau menyalurkan narkotika
golongan I, narkotika golongan II, narkotika golongan III.
b. Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,menerima, menjadi
perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan narkotika
golongan I, narkotika golongan II, narkotka golongan III.
c. Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransit narkotika
golongan I, narkotika golongan II, narkotika golongan III.
d. Menggunakan narkotika golonngan I terhadap orang lain, atau
memberikan narkotika untuk digunakan orang lain, narkotika
golongan I, narkotika golongan II, narkotika golongan III.
e. Setiap penyalahguna narkotika golongan I, golongan II, dan
golongan III bagi diri sendiri.
b. Tindak Pidana yang berkaitan dengan Orang tua atau wali dari pecandu yang
belum cukup umur yang belum sengaja tidak melapor atau setiap orang yang
dengan sengaja adanya tindak pidana Pasal 111 sampai dengan Pasal 129.
c. Dalam hal tindak pidana dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 129 yang
dilakukan oleh Korporasi, atau dilakukan secara terorganisasi.
d. membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakuka tindak pidana
dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 126 dan Pasal 129 Undang-Undang
ini.
e. Pecandu narkotika yang sudah cukup umur dan dengan sengaja tidak
melaporkan diri atau keluarga dari pecandu narkotika yang dengan sengaja
f. Tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh para pejabat yang berkaitan
dengan narkotika meliputi :
1. Pengurus indutri farmasi yang tidak melaksanakkan kewajiban dalam
Pasal 45.
2. Pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan,
sarana penyimpanan persediaan farmasi milik pemerintah, dan apotek
yang mengedarkan narkotika golongan II dan III bukan untuk
kepentingan masyarakat.
3. Pimpinan, lembaga ilmu pengetahuan yang menanam, membeli,
menyimpan atau menguasai tanaman narkotika bukan untuk kepentingan
ilmu pengetahuan.
4. Pimpinan industri farmasi tertentu yang memproduksi narkotika
golongan I bukan untuk kepentingan lembaga ilmu pengetahuan.
5. Pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan narkotika golongan
I yaitu bukan untuk kepentingan pengemangan ilmu pengetahuan.
6. Mengedarkan narkotika golongan II dan III bukan untuk kepentingan
pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk kepentingan pengembangan
ilmu pengetahuan.
7. Nahkoda atau kapten penerbang yang secara melawan hukum tidak
melaksanakan ketentuan dalam Pasal 27 atau Pasal 28.
8. Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang secara melawan hukum tidak
9. Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN yang
tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90, Pasal
91 ayat (2), dan ayat (3), dan Pasal 92 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat
(4).
10. Kepala Kejaksaan Negeri yang secara melawan hukum tidak
melaksanakan ketentuan dalam Pasal 91 ayat (1) ipidana penjara dan
pidana denda.
11. Petugas Laboratorium yang memalsukan hasil pengujian atau secara
melawan hukum tidak melakkan kewajiban tidak melaporkan hasil
pengujiannya kepada penyidik atau penuntut umum, dipidana dengan
pidana penjara dan pidana denda.
g. Ketentuan lain dalam rangka pemeriksaan terhadap tindak pidana Narkotika,
meliputi :
1. Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana
narkotika dan prekusor narkotika dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal
126 dan Pasal 129.
2. Pemberantasan pidana tersebut tidak berlaku bagi tindak pidana yang
diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara 20 Tahun.
3. Mengahalang-halangi atau mempersulit penyidikan serta penuntutan dan
pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika dan/atau tindak pidana
4. Narkotika dan prekusor narkotika serta hasil-hasil yang diperoleh dari
tindak pidana prekusor narkotika dan/atau tindak pidana prekusor
narkotika, baik berupa aset dalam bentuk benda bergerak maupun tidak
bergerak, berwujud atau tidak berwujud serta barang-barang atau
peralatan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana narkotika dan
tindak pidana prekusor narkotika dirampas untuk Negara.
5. Saksi yang memberikan keterangan tidak benar dalam pemeriksaan
perkara tindak pidana narkotika dan prekusor narkotika di muka
pengadilan dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda.
6. Apabila pidana denda tidak dapat dibayar oleh pelaku tindak pidana
narkotika dan tindak pidana pelaku prekusor narkotika, pelaku dijatuhi
pidana penjara paing lama dua tahun sebagai pengganti pidana denda
yang tidak dapat dibayar.
7. Setiap orang yang dalam jangka waktu tiga tahun melakukan
pengulangan tindak pidana narkotika dalam Pasal 111 sampai dengan
Pasal 129 pidana maksimumnya ditambah dengan sepertiga.
8. Melakukan kejahatan money londering yang diduga ada kaitaanya
dengan tindak pidana narkotika, meliputi :
1. Menempatkan, membayarkan, atau membelanjakan, menitipkan,
menukarkan, menyembunyikan atau menyamarkan,
menginvestasikan, menyimpan, menghibahkan, mewariskan, dan/atau
mentransfer uang, harta, dan benda, atau aset baik dalam bentuk
berwujud, yang berasal dari tindak pidana narkotika dan/atau tindak
pidana prekusor narkotika.
2. Menerima penempatan, pembayaran, atau pembelanjaan, penitipan,
penukaran, penyembunyian, atau penyamaran investas, simpanan atau
transfer, hibah, waris, harta atau uang, benda atau aset, baik dalam
bentuk benda bergerak mapun tidak bergerak, berwujud maupun tidak
berwujud, yang diketahui berdasar dari tindak pidana narkotika
dan/atau tindak pidana prekusor narkotika.
9. Terhadap Warga Negara Asing yang melakukan tindak pidana narkotika
dan/atau tindak pidana prekusor narkotika dan telah menjalani pidananya,
dilakukan pengusiran ke luar wilayah Negara Republik Indonesia, dan
setelah Warga Negara Asing yang telah diusir dilarang masuk kembali ke
wilayah Negara Republik Indonesia. Demikian pula, Warga Negara Asing
yang perah melakukan tindak pidana narkotika dan/atau tindak pidana
prekusor narkotika di luar negeri, dilarang memasuki wilayah Negara
Republik Indonesia.
Di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
terdapat 4 (empat) kategorisasi tindakan melawan hukum yang dilarang oleh
undang-undang dan dapat diancam dengan sanksi pidana, yakni :75
a. Kategori pertama, yakni perbuatan-perbuatan berupa memiliki, menyimpan,
menguasai, atau meneyediakan narkotika dan prekusor narkotika ;
75
b. Kategori kedua, yakni perbuatan-perbuatan berupa memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika dan prekusor
narkotika;
c. Ketegori ketiga, yakni perbuatan-perbuatan berupa menawarkan untuk
dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
menukar, atau menyerahkan narkotika dan prekusor narkotika;
d. Kategori keempat, yakni perbuatan-perbuatan berupa membawa, mengirim,
mengangkut, atau mentransit nerkotika dan prekusor narkotika.
Untuk kepentingan pengobatan dan berdasarkan indikasi medis, dokter
dapat memberikan narkotika golongan II dan golongan III dalam jumlah terbatas
dan sediaan tetentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Pasien dapat memiliki, menyimpan dan atau membawa narkotika
untuk dirinya sendiri. Pasien tersebut harus mempunyai bukti yang sah bahwa
narkotika yang dimiliki, disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan diperoleh
ssecara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Orang tua wali dari pecandu narkotika
yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat,
rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang
ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan
melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Pecandu narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau
dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk
pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.76
Rehabilitasi medis pecandu narkotika dilakukan di rumah sakit yang
ditunjuk Menteri. Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh
instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis
pecandu narkotika setelah mendapat persetujuan Menteri. Selain melalui
pengobatan dan/atau rehabilitasi medis, penyembuhan pecandu narkotika dapat
diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau mayarakat melalui pendekatan
keagamaan dan tradisional.
Rehabilitasi sosial mantan pecandu narkotika diselenggarakan baik oleh
instansi pemerintah maupun oleh masyarakat. Pelaksanaan ketentuan dimaksud
diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang sosial.77
Di bidang pembinaan dan pengawasan, pemerintah melakukan pembinaan
terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan narkotika. Pembinaan
dimaksud melalui upaya :
a. Memenuhi ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan
dan/atau pengembangan pelayanan ilmu pengetahuan dan teknologi;
b. Mencegah penyalahgunaan narkotika;
76
Ibid.,halaman 257.
c. Mencegah generasi muda dan anak usia sekolah dalam penyalahgunaan
narkotika, termasuk dengan memasukkan pendidikan yang berkaitan dengan
narkotika dalam kurikulum sekolah dasar sampai lanjutan atas;
d. Mendorong dan menunjang kegiatan penelitian dan/atau pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang narkotika untuk kepentingan
pelayanan kesehatan; dan
e. Meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis bagi pecandu
nakotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat.
Pemerintah melakukan pengawasan terhadap segala kegiatan yang
berkaitan dengan narkotika, Pengawasan dimaksud, meliputi : narkotika dan
prekusor narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; alat-alat potensial yang dapat
disalahgunakan untuk melakukan tindak pidana narkotika dan prekusor
narkotika; evaluasi keamanan, khasiat, dan mutu produk sebelum diedarkan,
produksi, impor dan ekspor, peredaran, pelabelan, informasi, dan penelitian dan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ketentuan lebih lanjut
pembinaan dimaksud diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pemerintah mengupayakan kerjasama dengan Negara lain dan/atau badan
internasional secara bilateral dan multilateral, baik regional maupun
internasional dalam rangka pembinaan dan pengawasan narkotika dan prekusor
narkotika sesuai dengan kepentingan nasional.78
78
Berikut akan dijelaskan menganai perumusan sanksi pidana dan jenis
pidana penjara dan jenis pidana denda terhadap perbuatan-perbuatan tindak
pidana penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, yaitu :
1. Perbuatan tanpa hak melawan hukum yang berkaitan dengan penggolongan
Narkotika (golongan I, II dan III) meliputi 4 (empat) kategori, yakni (1)
berupa memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika dan
prekusor narkotika; (2) memproduksi, mengimpor, mengekspor atau
menyalurkan narkotika dan prekusor narkotika; (3) menawarkan untuk
dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual-beli,
menukar atau menyerahkan narkotika dan prekusor narkotika; (4) membawa,
mengirim, mengangkut, atau mentransit narkotika dan prekusor narkotika.
Sistem pemidanaan penjara untuk narkotika golongan I, II, III paling
minimal 2 tahun dan paling maksimal 20 tahun penjara, pengenaan pidana
denda diberlakukan kepada semua golongan narkotika, dengan denda
minimal Rp 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah) dan paling maksimal Rp
8.000.000.000 (delapan miliar rupiah), untuk jenis-jenis pelanggaran
terhadap narkotika dengan unsur-unsur pemberatan maka penerapan denda
maksimum dari tiap-tiap pasal yang dilanggar ditambah dengan 1/3 (satu
pertiga. Penerapan pidana penjara dan pidana denda menutrut
undang-undang-undang ini bersifat kumulatif, yakni pidana penjara dan pidana
denda.
2. Ancaman Sanksi Pidana bagi Orang Tua/Wali dari Pecandu Narkotika yang
masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh pemerintah, untuk menapatkan
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial tersebut, dapat dikenai ancaman pidana kurungan. (Pasal 128 ayat 1)
Sedangkan bagi pecandu narkotika yang sudah cukup umur yang sedang
menjalani rehabilitasi medis 2 (dua) kali masa perawatan dokter di rumah
sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang ditunjuk oleh pemeerintah
tidak dituntut pidana. (Pasal 128 ayat 2)
3. Ancaman Sanksi Pidana bagi Orang yang Tidak Melaporkan adanya Tindak
Pidana Narkotika diatur dalam ketentuan Pasal 131 Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun dan pidana dendan paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh
juta rupiah), yang tidak melaporkan terjadinya perbuatan melawan hukum,
yang meliputi : (1) memiliki, memyimpan, menguasai, menyediakan
narkotika ; (2) memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan; (3)
menawarkan untuk dijual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual
beli, menukar, atau menyerahkan; (4) menngunakan, memberikan untuk
digunakan orang lain. Penerapan sanksi pidana tersebut, adalah bertujuan
untuk memberikan efektivitas dari peran serta masyarakat. Peran serta ini
mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya di mana masyarakat
mempunyai hak dan tanggung jawab untuk membantu pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor
4. Ancaman Sanksi Pidana terhadap Percobaan atau Permufakatan Jahat
Melakukan tindak Pidana Narkotika dan Prekusor Narkotika diatur dalam
ketentuan Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, menurut ketentuan Pasal tersebut pelakunya dipidana sesuai
dengan pidana penjara yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal-pasal tersebut
5. Ancaman Sanksi Pidana bagi Menyuruh, Memberi, Membujuk, memaksa
dengan Kekerasan, Tipu Muslihat, Membujuk Anak diatur dalam ketentuan
Pasal 133 ayat (1) dan (2)
6. Ancaman Sanksi Pidana bagi Pecandu Narkotika yang tidak melaporkan diri
ataupun keluaaganya kepada instalasi rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial diatur dalam ketentuan Pasal 134 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 6 (enam) bulan dan pidana denda paling banyak Rp
2.000.000.000,-(dua miliar rupiah). Demikian pula keluarga dari pecandu narkotika dengan
sengaja tidak melaporkan pecandu narkotika diatur dalam Pasal 134 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan dan pidana denda paling banyak
Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah). Penerapan ketentuan pasal ini, adalah
bertujuan untuk menghindari adanya perbuatan penyembuhan diri sendiri
7. Ancaman Sanksi Pidana bagi Hasil-hasil Tindak Pidana narkotika dan/atau
Prekusor Narkotika, yang terdapat dugaan kejahatan money loundering
antara Rp 1000.000.000,- (satu miliar rupiah) sampai Rp
10.000.000,-(sepuluh miliar rupiah) atau Rp 500.000,- (lima ratus juta rupiah atau Rp
5.000.000.000 (lima miliar rupiah), yang terdapat dalam pasal 137 ayat (1)
dan (2). Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang, telah disusun secara limitatif tentang
perbuatan tindak pidana yang ada kaitannya dengan perbuatan pencucian
uang, antara lain : tindak pidana korupsi, tindak pidaa narkotika, tindak
pidana psikotropika, dan sebagainya.
8. Ancaman Sanksi Pidana bagi Orang yang Menghalangi atau Mempersulit
Penyidikan, Penuntutan dan Pemeriksaan Perkara terhadap tindak pidana
narkotika dikenakan ancaman paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) yang terdapat dalam
Pasal 138 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Tujuan penetapan pasal ini ialah, agar tujuan hukum dalam Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika agar terjaminnya ketersediaan
narkotika untuk kepentingan pengobatan dan pengembangan ilmu
pengetahuan teknologi, mencegah adanya penyalahgunaan narkoyika, dan
pemberantasan peredaran gelap narkotika dapat tercapai. Untuk membuat
terang suatu perkara maka dibutuhkan keterangan saksi dan korban sehingga
dapat mengungkapan pelaku tindak pidana. Pada umumnya para saksi dan
korban takut memberikan kesaksian karena adanya ancaman atau intimidasi
mengahalangi dan menghasut, sert mempersulit jalannya penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di depan persidangan
9. Ancaman Sanksi Pidana bagi Nahkoda atau Kapten Penerbang Tidak
Melaksanakan ketentuan Pasal 27 atau Pasal 28 pengangkutan narkotika dan
pengangkutan udara diatur dalam ketentuan Pasal 139 Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dengan ancaman pidana paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun, serta pidana
denda paling sedikit Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling
banyakRp 1000.000.000,- (satu miliar rupiah). Ketentuan undang-undang
ini bertujuan untuk kepentingan pengawasan dan pengendalian serta
kepentingan pelaporan pengangkutan narkotika antara Negara
pengimpor/pengekspor narktika kepada Negara tuuan. Disamping itu,
ketentuan ini untuk mencegah terajadinya kebocoran dalam pengangkutan
narkotika yang mudah disalahgunakan oleh para pihak pengangkut narkotika
dan prekusor narkotika.
10. Ancaman Sanksi Pidana bagi PPNS, Penyidik Polri, Penyidik, BNN yang
tidak Melaksanakan Ketentuan tentang Barang Bukti diatur dalam ketentuan
Pasal 140 ayat (1), di mana bagi PPNS untuk melaksanakan ketentuan Pasa
88 dan Pasal 89, yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun. Kewajiban PNS menurut Pasal 88
dan Pasal 89 yang melakukan penyitaan terhadap Narktika dan Prekusor
Narkotika wajib membuat berita acara penyitaan dan menyerahkan barang
Polri, dengan tembusan Kepala Kejaksaan negeri setempat, Ketua
Pengadilan Negeri setempat, Menteri dan Kepala Badan Pengawas Obat dan
makanan dan pada Pasal 140 ayat (2) Penyidik Polri atau Penyidik BNN
yang melakukan penyitaan dan prekusor narkotika wajib melakukan
penyegelan dan membuat berita acara penyitaan, dan wajib memberitahukan
penyitaan yang dilakukannya kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat
dalam waktu paling lama 3 x 24 jam sejak dilakukan penyitaan dan
tebusannya disampaikan kepada Kepala Kejaksaan negeri setempat, Ketua
Pengadilan Negeri setempat, Menteri dan Kepala Badan Pengawas Obat dan
makanan, dan penyidik Polri atau Penyidik BNN bertanggung jawab atas
penyimpanan dan pengamanan barang sitaan yang berada dibawah
penguasaanya.
11. Ancaman Sanksi Pidana bagi Kepala Kejaksaan Negeri tidak Melaksanakan
Ketentuan Pasal 91 ayat (1) dianggap telah melakukan perbuatan melawan
hukum,di mana Kepala Kejaksaan Negeri memiliki kewajiban untuk
melaksanakan ketentuan setelah menerima pemberitahuan tentang penyitaan
barang narkotika dan prekusor narkotika dari Penyidik Polri dan Penyidik
BNN dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari wajib menetapkan status
barang sitaan narkotika dan prekusor narkotika untuk kepentingan
pembuktian perkara, kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, kepentingan pendidikan dan pelatihan dan/atau dimusnahkan
maka dapat dikenakan ancaman pidana paling singkat 1(satu) tahun dan
100.000.000 (seratus juta rupiah) dan paling banyakk Rp 100.000.000,- (satu
miliar rupiah) yang diatur dalam Pasal 141 Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009.
12. Ancaman Sanksi Pidana bagi Petugas Laboratorium yang Memalsukan Hasil
Pengujian diatur aam Pasal 142 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009,
dimana petugas tidak melaporkan hasil pengujian kepada penyidik dan
penuntut umum, merupakan perbuatan melwan hukum dan dikenakan
ancaman sanksi pidana berupa pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan pidana denda paling banyak lima ratus ribu rupiah. Penyidikan terhadap
penyalahgunaan narkotika atau prekusor narkotika, maka peranan
laboratorium amat menentukan bagi kebenaran terjadinya tindak pidana
narkotika, sehingga dapat menentukan unsur kesalahan sebagai dasar untuk
menentukan pertanggungajawaban pidannya. Dalam kasus tertentu sering
terjadinya pemalsuan hasil tes laboratorium, untuk mengehindarkan diri
pelaku tindak pidana terhadap hasil tes laboratorium telah mengkonsumsi
narkotika, atau menukarkan hasil tes laboratorium tersebut menjadi milik
orang lain.
13. Ancaman Sanksi Pidana bagi Saksi yang Memberikan Keterangan Tidak
Benar damal pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika dan prekusor
narkotika di muka pengadilan yang diatur dalam Pasal 143 Undang-Undang
nomor 35 tahun 2009 tentang Nerkotika diancam dengan penjara paling
paling sedikit Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah).
14. Ancaman Sanksi Pidana bagi Setiap Orang yang Melakukan Pengulangan
Tindak Pidana diatur dalam Pasal 144 Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009, di mana dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun melakukan pengulangan
tidak pidana maka ancaman pidana maksimum dari masing-masing pasal
ditambah dengan 1/3 (sepertiga). Ketentuan ini mempunyai tujuan untuk
membuat jera pelaku tindak pidana, agar tidak mengulangi perbuatan pidana
lagi.
15. Ketentuan Pidana bagi Setiap Orang yang Melakukan Tindak Pidana di Luar
Wilayah Negara Republik Indonesia yang diatur dalam Pasal 145
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Warga Negara Indonesia
yang berbuat salah satu dari kejahatan-kejahatan sebagaimana disebut dalam
sub I pasal ini (termasuk tindak pidana narkotika) meskipun diluar
Indonesia, dapat dikenakan undang-undang pidana Indonesia.
16. Putusan Pidana Denda yang tidak dapat dibayar oleh Pelaku Tindak Pidana
yang diatur dalam Pasal 148 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang
Narkotika maka dilakukan penggantian pidana denda dengan pidana penara
menurut ketentuan ini paling lama 2 (dua) tahun.
17. Ancaman sanksi bagi Pimpinan Rumah Sakit, Pimpinan Lembaga Imu
Pengetahuan, Pimpinan Industri Farmasi, Pimpinan Pedagang Farmasi yang
Malakukan Tindak Pidana yang diatur dalam pasal 147 Undang-Undang
(satu) tahun dan paling lama 10 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1000.000.000,-(satu miliar rupiah).
2. Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Pengadilan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika menurut Undang-Undang No.35 Tahun 2009
Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika dengan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 dibentuk Badan Narkotika Nasional yang selanjutnya
disingkat dengan BNN.79
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tersebut, BNN
diberikan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana narkotika dan
prekusor narkotika. Berdasarkan undang-undang tersebut pula status
kelembagaan BNN menjadi Lembaga Pemerintah Non Kementrian (LPNK)
dengan struktur vertikal ke provinsi dan kabupaten/kota. Di provinsi dibentuk
BNN Provinsi, dan di kabupaten/kota dibentuk BNN kabupaten/kota. BNN
dipmpin oleh seorang kepala BNN yang diangkat dan diberhentikan presiden.
BNN berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada presiden.80
Tugas dari BNN secara spesifik diatur dalam Pasal 2 angka 1 Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 dan Pasal 70
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 yaitu :
79
ibid., halaman 297.
80
a. Menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaaran gelap narkotika dan
prekusor narkotika
b. Mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika
dan prekusor narkotika
c. Berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Republik Negara Indonesia dalam
penyalahgunaan dan pencegahan dan peredaran gelap pemberantasan
nerkotikda dan prekusor narkotika
d. Meningkatan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial
pecandu narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun
masyarakat
e. Memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika
f. Memantau mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam
pencegahan penyalahgunaa dan peredaran gelap narkotika dan prekusor
narkotika
g. Melakukan kerja sama bilateral dan multilateral,baik regional maupun
internasioal, guna mencegah dan memberantas perearan gelap narkotika dan
prekusor narkostika
h. Mengembangkan laboratorium narkotika dan prekusor narkotika
i. Melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara
penyelahguaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika
dilakukan berdasarkan berdasarkan peraturan perundang-undangan, kecuali
ditentukan lain dalam undang-undang ini. Perkara penyalahgunaan narkotika
dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika, termasuk perkara yang
didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke pengadilan guna penyelesaian
secepatnya. Penyidikan terhadap penyalahgunaan narkotika dan peredaran gelap
narkotika dan prekusor narkotika, dilakukan oleh pejabat Penyidik PNS,
Penyidik Polri dan penyidik BNN.81
Pengaturan Penyidik dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, diatur
sebagai berikut :
a. Penyidik dari Badan Narkotika Nasional, yang diatur mulai Pasal 75
sampai dengan pasal 81 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009
tentang Narkotika
b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diatur mulai Pasal 82
sampai dengan Pasal 86 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika
c. Penyidik kepolisian Negara Republik Indonesia diatur mulai Pasal 87
sampai dengan Paal 95 tentang Narkotika
81