• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Pola Asuh 1.1. Pengertian Pola Asuh Orang Tua - Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan Sosialisasi Remaja di SMA Negeri 15 Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Pola Asuh 1.1. Pengertian Pola Asuh Orang Tua - Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan Sosialisasi Remaja di SMA Negeri 15 Medan"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Pola Asuh

1.1.Pengertian Pola Asuh Orang Tua

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), pola asuh adalah suatu bentuk (struktur), sistem dalam menjaga, merawat, mendidik, dan membimbing anak kecil. Pola asuh adalah perlakuan orang tua dalam rangka memenuhi kebutuhan, memberikan perlindungan, dan mendidik anak dalam kehidupan sehari-hari.

Pengertian pengasuhan menurut Porwadarminto (dalam Amal, 2005) adalah orang yang melaksanakan tugas membimbing, memimpin, atau mengelola. Sedangkan pengertian mengasuh anak menurut Darajat (dalam Amal, 2005) adalah mendidik dan memelihara anak itu, mengurus makan, minumnya, pakaiannya, dan keberhasilannya dalam periode pertama sampai dewasa. Pengasuhan adalah kepemimpinan dan bimbingan yang dilakukan terhadap anak berkaitan dengan kepentingan hidupnya.

1.2. Tipe Pola Asuh Orang Tua

Menurut Diana Baumrind (1971, dalam Santrock, 2005), ada empat gaya pengasuhan, yaitu :

1. Pengasuhan Otoriter

(2)

menghormati pekerjaan dan upaya mereka. Orang tua yang otoriter menerapkan batas dan kendali yang tegas pada anak dan meminimalisir perdebatan verbal. Orang tua yang otoriter juga mungkin sering memukul anak, memaksakan aturan secara kaku tanpa menjelaskannya, dan menunjukan amarah pada anak. Anak dari orang tua yang otoriter sering kali tidak bahagia, ketakutan, minder ketika membandingkan diri dengan orang lain, tidak mampu memulai aktivitas, dan memiliki kemampuan komunikasi yang lemah. Putra dari orang tua yang otoriter mungkin berperilaku agresif. 2. Pengasuhan Demokrasi

Pengasuhan demokrasi mendorong anak untuk mandiri namun masih menerapkan batas dan kendali pada tindakan mereka. Tindakan verbal memberi dan menerima dimungkinkan, dan orang tua bersikap hangat dan penyanyang terhadap anak. Orang tua yang demokrasi mungkin merangkul anak dengan mesra. Orang tua yang demokrasi mungkin menunjukkan kesenangan dan dukungan sebagai respon terhadap perilaku anak yang dewasa, mandiri, dan ceria, bisa mengendalikan diri dan berorientasi, dan berorientasi pada prestasi; mereka cenderung untuk mempertahankan hubungan yang ramah dengan teman sebaya, bekerja sama dengan orang dewasa, dan bisa mengatasi stress dengan baik.

3. Pengasuhan yang Mengabaikan/Permisif

(3)

daripada diri mereka. Anak-anak ini cenderung tidak memiliki kemampuan sosial dan banyak diantaranya memiliki pengendalian diri yang buruk dan tidak mandiri. Mereka sering kali memiliki harga diri yang rendah, tidak dewasa, dan mungkin terasing dari keluarga. Dalam masa remaja, mereka mungkin menunjukan sikap suka membolos dan nakal.

4. Pengasuhan yang Menuruti/Neglectful

Pengasuhan yang menuruti adalah gaya pengasuhan dimana orang tua sangat terlibat dengan anak, namun tidak terlalu menuntut atau mengontrol mereka. Orang tua macam ini membiarkan anak melakukan apa yang ia inginkan. Hasilnya, anak tidak pernah belajar mengendalikan perilaku sendiri dan selalu berharap mendapatkan keinginannya. Beberapa orang tua sengaja membesarkan anak mereka dengan cara ini karena mereka percaya bahwa kombinasi antara keterlibatan yang hangat dan sedikit batasan akan menghasilkan anak yang kreatif dan percaya diri. Namun, anak yang memiliki orang tua yang selalu menurutinya jarang belajar menghormati orang lain dan mengalami kesulitan untuk mengendalikan perilakunya. Mereka mungkin mendominasi, egosentris, tidak menuruti aturan, dan kesulitan dalam berhubungan dengan teman sebaya.

Menurut Elizabet B. Hurlock (1999) ada beberapa sikap orang tua yang khas dalam mengasuh anaknya, antara lain :

1. Melindungi secara berlebihan.

(4)

2. Permisivitas

Permisivitas terlihat pada orang tua yang membiarkan anak berbuat sesuka hati dengan sedikit pengendalian.

3. Memanjakan

Permisivitas yang berlebih, memanjakan membuat anak egois dan menuntut 4. Penolakan

Penolakan dapat dinyatakan dengan mengabaikan kesejahteraan anak atau dengan menuntut terlalu banyak dari anak dan sikap bermusuhan yang terbuka.

5. Penerimaan

Penerimaan orang tua ditandai oleh perhatian besar dan kasih sayang pada anak, orang tua yang menerima, memperhatikan perkembangan kemampuan anak dan memperhitungkan minat anak.

6. Dominasi

Anak yang didominasi oleh salah satu atau kedua orang tua bersifat jujur, sopan dan berhati-hati tetapi cenderung malu, patuh dan mudah dipengaruhi orang lain, mengalah dan sangat sensitif.

7. Tunduk pada anak

(5)

8. Favoritisme

Meskipun mereka berkata bahwa mereka mencintai semua anak dengan sama rata, kebanyakan orang tua mempunyai favorit. Hal ini membuat mereka lebih menuruti dan mencintai anak favoritnya dari pada anak lain dalam keluarga. 9. Ambisi orang tua

Hampir semua orang tua mempunyai ambisi bagi anak mereka seringkali sangat tinggi sehingga tidak realistis. Ambisi ini sering dipengaruhi oleh ambisi orang tua yang tidak tercapai dan hasrat orang tua supaya anak mereka naik di tangga status sosial

Sedangkan Marcolm Hardy dan Steve Heyes (1986 dalam Yusniah, 2008) mengemukakan tiga macam pola asuh yang dilakukan orang tua dalam keluarga, yaitu :

a. Otoriter

Ditandai dengan adanya aturan-aturan yang kaku dari orang tua dan kebebasan anak sangat di batasi.

b. Demokratis

Ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua dan anak. c. Permisif

Ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas pada anak untuk berprilaku sesuai dengan keinginannya sendiri.

(6)

permisif. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar pembahasan menjadi lebih terfokus dan jelas.

1. Otoriter

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), otoriter berarti berkuasa sendiri dan sewenang-wenang. Menurut Singgih D. Gunarsa (2003 dalam Yusniah, 2008), pola asuh otoriter adalah suatu bentuk pola asuh yang menuntut anak agar patuh dan tunduk terhadap semua perintah dan aturan yang dibuat oleh orang tua tanpa ada kebebasan untuk bertanya atau mengemukakan pendapatnya sendiri.

Pola asuh otoriter adalah cara mengasuh anak yang dilakukan orang tua dengan menentukan sendiri aturan-aturan dan batasan-batasan yang mutlak harus ditaati oleh anak tanpa kompromi dan memperhitungkan keadaan anak, serta orang tualah yang berkuasa menentukan segala sesuatu untuk anak dan anak hanyalah sebagai objek pelaksana saja. Jika anak-anaknya menentang atau membantah, maka orang tua tak segan-segan memberikan hukuman. Jadi, dalam hal ini kebebasan anak sangatlah dibatasi karena apa saja yang dilakukan anak harus sesuai dengan keinginan orang tua. (Yusniah, 2008)

(7)

karena suatu kesadaran bahwa apa yang dikerjakannya itu akan bermanfaat bagi kehidupannya kelak.

Penerapan pola asuh otoriter oleh orang tua terhadap anak, dapat mempengaruhi proses pendidikan anak, terutama dalam pembentukan kepribadiannya karena disiplin yang dinilai efektif oleh orang tua (sepihak), belum tentu serasi dengan perkembangan anak. Prof. Dr. Utami Munandar (1992 dalam Yusniah, 2008) mengemukakan bahwa sikap orang tua yang otoriter paling tidak menunjang perkembangan kemandirian dan tanggung jawab sosial. Anak menjadi patuh, sopan, rajin mengerjakan pekerjaan sekolah, tetapi kurang bebas dan kurang percaya diri.

(8)

mempunyai perasaan rendah diri dan kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri. Anak tidak berani memikul tanggung jawab karena kepercayaan terhadap diri sendiri tidak ada. Setelah dewasapun anak akan terus mencari bantuan, perlindungan dan pengamanan (Yusniah, 2008).

Menurut Zahara Idris dan Lisma Jamal (1992 dalam Yusniah, 2008), ciri-ciri dari pola asuh otoriter adalah sebagai berikut :

1) Anak harus mematuhi peraturan-peraturan orang tua dan tidak boleh membantah.

2) Orang tua cenderung mencari kesalahan-kesalahan anak dan kemudian menghukumnya.

3) Orang tua cenderung memberikan perintah dan larangan kepada anak. 4) Jika terdapat perbedaan pendapat antara orang tua dan anak, maka anak

dianggap pembangkang.

5) Orang tua cenderung memaksakan disiplin.

6) Orang tua cenderung memaksakan segala sesuatu untuk anak dan anak hanya sebagai pelaksana.

7) Tidak ada komunikasi dua arah antara orang tua dan anak 2. Demokratis

(9)

penuh pengertian antara orang tua dan anak. Dengan kata lain, pola asuh demokratis ini memberikan kebebasan kepada anak untuk mengemukakan pendapat, melakukan apa yang diinginkannya dengan tidak melewati batas-batas atau aturan-aturan yang telah ditetapkan orang tua (Yusniah, 2008)

Orang tua selalu memberikan bimbingan dan arahan dengan penuh pengertian terhadap anak. Orang tua bersikap sebagai pemberi pendapat dan pertimbangan terhadap aktivitas anak. Hal tersebut dilakukan orang tua dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang. Pola asuh ini ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua dan anak. Mereka membuat aturan-aturan yang disetujui bersama. Anak diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapat, perasaan dan keinginanya, serta belajar untuk dapat menanggapi pendapat orang lain. Jadi, dalam pola asuh ini terdapat komunikasi yang baik antara orang tua dan anak (Yusniah, 2008)

Pola asuh demokratis dapat dikatakan sebagai kombinasi dari dua pola asuh ekstrim yang bertentangan, yaitu pola asuh otoriter dan permisif. Dengan pola asuhan ini, anak akan mampu mengembangkan kontrol terhadap perilakunya sendiri dengan hal-hal yang dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini mendorong anak untuk mampu berdiri sendiri, bertanggung jawab dan yakin terhadap diri sendiri. Daya kreativitasnya berkembang baik karena orang tua selalu merangsang anaknya untuk mampu berinisiatif (Yatim, 1991 dalam Yusniah, 2008)

(10)

kesempatan berbicara atas suatu keputusan semampu yang diatasi oleh anak. Sasaran orang tua ialah mengembangkan individu yang berpikir, yang dapat menilai situasi dan bertindak dengan tepat, bukan seekor hewan terlatih yang patuh tanpa pertanyaan (Beck, 1992 dalam Yusniah, 2008)

Pendapat Fromm (dalam Yusniah, 2008) bahwa anak yang dibesarkan dalam keluarga yang bersuasana demokratik, perkembangannya lebih luwes dan dapat menerima kekuasaan secara rasional. Sebaliknya, anak yang dibesarkan dalam suasana otoriter, memandang kekuasan sebagai sesuatu yang harus ditakuti. Ini mungkin menimbulkan sikap tunduk secara membuta kepada kekuasaan, atau justru sikap menentang kekuasaan.

Indikasi dari hasil penelitian Lutfi (1991), Nur Hidayat (1993), dan Nur Hidayah dkk (1995) ( dalam Yusniah, 2008) adalah bahwa dalam pola asuh dan sikap orang tua yang demokratis terjadinya komunikasi yang dialogis antara anak dan orang tua dan adanya kehangatan yang membuat anak remaja merasa diterima oleh orang tua sehingga ada pertautan perasaan. Oleh sebab itu, anak remaja yang merasa diterima oleh orang tua memungkinkan mereka untuk memahami, menerima, dan menginternalisasi pesan nilai moral yang diupayakan untuk diapresiasikan berdasarkan kata hati.

Menurut Zahara Idris dan Lisma Jamal (1992 dalam Yusniah, 2008), ciri-ciri pola asuh demokratis adalah sebagai berikut :

(11)

2) Memberikan pengarahan tentang perbuatan baik yang perlu dipertahankan dan yang tidak baik agar di tinggalkan.

3) Memberikan bimbingan dengan penuh pengertian. 4) Dapat menciptakan keharmonisan dalam keluarga.

5) Dapat menciptakan suasana komunikatif antara orang tua dan anak serta sesama keluarga.

Dari berbagai macam pola asuh yang banyak dikenal, pola asuh demokratis mempunyai dampak positif yang lebih besar dibandingkan dengan pola asuh otoriter maupun permisif. Dengan pola asuh demokratis anak akan menjadi orang yang mau menerima kritik dari orang lain, mampu menghargai orang lain, mempunyai kepercayaan diri yang tinggi dan mampu bertanggung jawab terhadap kehidupan sosialnya. Tidak ada orang tua yang menerapkan salah satu macam pola asuh dengan murni, dalam mendidik anak-anaknya. Orang tua menerapkan berbagai macam pola asuh dengan memiliki kecenderungan kepada salah satu macam pola (Yusniah, 2008).

3. Permisif

(12)

menyalahkan anak. Akibatnya anak akan berprilaku sesuai dengan keinginanya sendiri, tidak peduli apakah hal itu sesuai dengan norma masyarakat atau tidak. Pada pola asuh ini anak dipandang sebagai makhluk hidup yang berpribadi bebas. Anak adalah subjek yang dapat bertindak dan berbuat menurut hati nuraninya. Orang tua membiarkan anaknya mencari dan menentukan sendiri apa yang diinginkannya karena kebebasan sepenuhnya diberikan kepada anak. Orang tua seperti ini cenderung kurang perhatian dan acuh tak acuh terhadap anaknya. Pola asuh ini cenderung membuahkan anak-anak nakal yang manja, lemah, ketergantungan dan bersifat kekanak-kanakan secara emosional (Yusniah, 2008).

Seorang anak yang belum pernah diajar untuk mentoleransi frustasi, karena ia diperlakukan terlalu baik oleh orang tuanya, akan menemukan banyak masalah ketika dewasa. Dalam perkawinan dan pekerjaan, anak-anak yang manja tersebut mengharapkan orang lain untuk membuat penyesuaian terhadap tingkah laku mereka dan ketika mereka kecewa, mereka menjadi gusar, penuh kebencian, dan bahkan marah-marah. Pandangan orang lain jarang sekali dipertimbangkan dan hanya pandangan mereka yang berguna. Kesukaran-kesukaran yang terpendam antara pandangan suami istri atau kawan sekerja terlihat nyata (Hauck, 1993 dalam Yusniah, 2008).

Menurut Zahara Idris dan Lisma Jamal (1992 dalam Yusniah, 2008), ciri-ciri pola asuh permisif adalah sebagai berikut :

1) Membiarkan anak bertindak sendiri tanpa memonitor dan membimbingnya. 2) Mendidik anak acuh tak acuh, bersikap pasif dan masa bodoh.

(13)

4) Membiarkan saja apa yang dilakukan anak (terlalu memberikan kebebasan untuk mengatur diri sendiri tanpa ada peraturan-peraturan dan norma-norma yang digariskan orang tua).

5) Kurang sekali keakraban dan hubungan yang hangat dalam keluarga

Menurut Mohammad Shochib (1998 dalam Yusniah, 2008), setiap tipe pengasuhan pasti memiliki resiko masing-masing. Tipe otoriter memang memudahkan orang tua, karena tidak perlu bersusah payah untuk bertanggung jawab dengan anak. Anak yang dibesarkan dengan pola asuh seperti ini mungkin memang tidak memiliki masalah dengan pelajaran dan juga bebas dari masalah kenakalan remaja. Akan tetapi, anak tersebut cenderung tumbuh menjadi pribadi yang kurang memiliki kepercayaan diri, kurang kreatif, kurang dapat bergaul dengan lingkungan sosialnya, ketergantungan kepada orang lain, serta memiliki depresi yang lebih tinggi.

Sementara pola asuh permisif membuat anak merasa boleh berbuat sekehendak hatinya. Anak memang akan memiliki rasa percaya yang lebih besar, kemampuan sosial baik, dan tingkat depresi lebih rendah, tetapi juga akan lebih mungkin terlibat dalam kenakalan remaja dan memiliki prestasi yang rendah di sekolah. Anak tidak mengetahui norma-norma sosial yang harus dipatuhinya.

(14)

dukungan, cinta dan kehangatan kepada anaknya. Melalui pola asuh ini anak juga dapat merasa bebas mengungkapkan kesulitannya, kegelisahannya kepada orang tua karena ia tahu, orang tua akan membantunya mencari jalan keluar tanpa berusaha mendiktenya (Shochib, 1998 dalam Yusniah, 2008).

2. Remaja

2.1. Pengertian Remaja

John W. Santrock (2007) mendefinisikan remaja sebagai periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Masa remaja dimulai sekitar usia 10 hingga 13 tahun dan berakhir pada sekitar usia 18 hingga 22 tahun. Sedangkan menurut PBB, remaja adalah individu yang berada dalam rentang usia 15-24 tahun.

2.2. Ciri-Ciri Masa Remaja

Menurut Hurlock (1999), seperti halnya dengan semua periode yang penting selama rentang kehidupan, masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya. Ciri-ciri tersebut adalah :

a. Masa remaja sebagai periode yang penting.

(15)

b. Masa remaja sebagai periode peralihan.

Peralihan berarti tidak terputus atau berubah dari yang telah terjadi sebelumnya, melainkan peralihan dari satu tahap ke tahap perkembangan berikutnya. Perubahan fisik yang terjadi sebelum tahap awal masa remaja mempengaruhi tingkat perilaku individu dan mengakibatkan diadakannya penilaian kembali penyesuaian nilai-nilai yang telah tergeser.

c. Masa remaja sebagai periode perubahan.

Ada empat perubahan yang hampir bersifat universal, yaitu :

1) Meningginya emosi yang intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi.

2) Perubahan tubuh, minat, dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial menimbulkan masalah baru.

3) Perubahan minat dan pola perilaku mengakibatkan perubahan nilai-nilai. 4) Sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap perubahan sikap.

Mereka menginginkan dan menuntut kebebasan tetapi takut bertanggung jawab.

d. Masa remaja sebagai usia bermasalah.

(16)

e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas diri.

Identitas yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa perannya didalam masyarakat, apakah ia seorang anak-anak atau orang dewasa. Awal masa remaja diperlihatkan dengan penyesuaian diri dengan kelompok masih tetap penting namun lambat laun mulai mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi dengan menjadi sama seperti temannya dalam segala hal.

Salah satu cara untuk mencoba mengangkat diri sendiri sebagai individu adalah dengan menggunakan simbol status dalam menggunakan mobil, pakaian, dan barang-barang mewah lain, sementara pada saat yang sama ia mempertahankan identitas dirinya didalam kelompok dengan mengikuti apa yang dilakukan kelompok seperti merokok dan minum minuman keras.

f. Masa remaja sebagi usia yang menimbulkan ketakutan.

Stereotip yang berlaku dalam masyarakat berfungsi sebagai cermin yang ditegakkan masyarakat bagi remaja yang menggambarkan citra diri remaja sendiri yang lambat laun dianggapnya sebagai gambaran yang asli dan remaja membentuk perilakunya sesuai gambaran ini. Dengan menerima stereotip tersebut dan adanya keyakinan bahwa orang dewasa mempunyai pandangan yang buruk tentang remaja, membuat peralihan ke masa dewasa menjadi sulit. g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistis.

(17)

h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa.

Semakin mendekatnya usia kematangan, para remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, yaitu merokok, minum minuman keras, menggunakan oabt-obatan, dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka menganggap bahwa perilaku tersebut akan memberikan citra yang mereka inginkan.

2.3 Tugas Perkembangan Remaja

Setiap fase perkembangan memiliki tugas-tugas perkembangan. Tugas-tugas perkembangan merupakan pengharapan atas apa yang akan dilakukan oleh individu pada masa perkembangannya. Tugas-tugas perkembangan bersifat normatif, tepat waktu, dan diharapkan, serta diantisipasi oleh individu. Tugas-tugas perkembangan harus dicapai sebelum seorang individu melangkah ke tahapan perkembangan selanjutnya. Apabila seorang individu gagal dalam memenuhi tugas perkembangannya, maka ia akan sulit untuk memenuhi tugas perkembangan pada fase perkembangan selanjutnya atau individu tersebut akan mengalami kesulitan untuk meyelesaikannnya di waktu yang lain atau melaksanakan tugas perkembangan pada tahap yang lebih lanjut (Hurlock, 1999).

Adapun tugas perkembangan remaja menurut Marheni (2004 dalam Soetjiningsih, 2004), yaitu :

1. Memperluas hubungan antar pribadi dan berkomunikasi secara lebih dewasa dengan teman sebaya dari kedua jenis kelamin.

2. Memperoleh peran sosial.

(18)

4. Memperoleh kebebasan emosional dari orang tua.

5. Mencapai kepastian akan kebebasan dan kemampuan berdiri sendiri. 6. Memiliki dan mempersiapkan diri untuk suatu pekerjaan.

7. Mempersiapkan diri untuk perkawinan dan kehidupan berkeluarga. 8. Mengembangkan dan membentuk kemampuan konsep-konsep moral. Menurut Hurlock (1999), tugas perkembangan pada masa remaja, yaitu :

1. Mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita.

2. Mencapai peran sosial pria dan wanita

3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif. 4. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab.

5. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya.

6. Mempersiapkan karier ekonomi.

7. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga.

8. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku dan mengembangkan ideologi.

3. Perkembangan Sosialisasi 3.1. Pengertian Sosialisasi Remaja

(19)

Soelaeman (2001 dalam Junita, 2006), sosialisasi diartikan sebagai proses yang membantu individu melalui belajar dan menyesuaikan diri bagaimana cara hidup dan bagaimana cara berpikir kelompoknya agar dapat berperan dan berfungsi dalam. Sosialisasi merupakan proses dimana kepribadian si anak ditentukan melalui interaksi sosial (Khairudin, 1997 dalam Junita, 2006). Sosialisasi tidak hanya berlangsung selama kanak-kanak saja, tetapi setiap siklus individu, yaitu untuk berperilaku sesuai dengan harapan-harapan normatif masyarakat dan lingkungan. (Munandar, 1985 dalam Junita, 2006).

3.2. Perubahan Sosial Remaja

Bertrand (1980 dalam Hurlock, 1999) proses sosialisasi membuat seseorang menjadi tahu bagaimana ia harus bertingkah laku di tengah-tengah masyarakat dan lingkungan budayanya. Melalui proses sosialisasi seorang anak akan menjadi masyarakat yang beradab (Hurlock, 1999).

Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus menyesuiakan dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah (Hurlock, 1999).

(20)

1. Kuatnya pengaruh kelompok teman sebaya

Karena remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman-teman sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti bahwa pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga. Misalnya, sebagian besar remaja mengetahui bahwa bila mereka memakai model pakaian yang sama dengan pakaian anggota kelompok yang popular, maka kesempatan untuk diterima oleh kelompok menjadi lebih besar. Demikian pula bila anggota kelompok mencoba minum alkohol, obat-obatan terlarang atau rokok, maka remaja cenderung mengikutinya tanpa memperdulikan perasaan mereka sendiri sebagai akibatnya.

Horrocks dan Benimoff (dalam Hurlock, 1999) menjelaskan pengaruh teman sebaya pada masa remaja sebagai berikut :

(21)

menemukan dunia yang memungkinkannnya bertindak sebagai pemimpin apabila mampu melakukannya. Selain itu, kelompok kelompok sebaya merupakan hiburan utama bagi anak-anak belasan tahun. Kelompok sebaya terdiri dari anggota-anggota tertentu dari teman-temannya yang dapat menerimanya dan yang kepadanya remaja bergantung.

Keremajaan memiliki sifat yang selalu maju, maka kelompok sebaya pun mulai akan berkurang. Ada dua faktor penyebabnya. Pertama, sebagian besar remaja ingin menjadi individu yang berdiri di atas kaki sendiri dan ingin dikenal sebagai individu yang mandiri. Upaya bagi penemuan identitas diri yang tadi sudah dibahas melemahkan pengaruh kelompok sebaya pada remaja. Faktor kedua timbul dari akibat pemilihan sahabat. Remaja tidak lagi berminat dalam berbagai kegiatan besar seperti pada waktu berada pada masa kanak-kanak. Pada masa remaja ada kecenderungan untuk mengurangi jumlah teman meskipun sebagian besar remaja menginginkan menjadi anggota kelompok sosial yang lebih besar dalam kegiatan-kegiatan sosial. Karena kegiatan sosial kurang berarti dibandingkan dengan persahabatan pribadi yang lebih erat, maka pengaruh kelompok sosial yang besar menjadi kurang menonjol dibandingkan pengaruh teman-teman.

2. Perubahan dalam perilaku sosial

(22)

daripada teman sejenis. Berbagai kegiatan sosial, baik kegiatan dengan sesama jenis atau lawan jenis biasanya mencapai puncaknya selama tahun-tahun tingkat sekolah menengah atas.

Dengan meluasnya kesempatan untuk melibatkankan diri dalam berbagai kegiatan sosial, maka wawasan sosial semakin membaik pada remaja yang lebih besar. Sekarang remaja dapat menilai teman-temannya dengan lebih baik sehingga penyesuaian diri dalam situasi sosial bertambah baik dan pertengkaran menjadi berkurang.

Semakin banyak partisipasi sosial, semakin besar kompetensi sosial remaja, semakin terlihat dalam kemampuan berdansa, dalam mengadakan pembicaraan, dalam melakukan olahraga dan permainan yang popular, dan berperilaku baik dalam berbagai situasi sosial. Dengan demikian, remaja memiliki kepercayaan diri yang diungkapkan melalui sikap yang tenang dan seimbang dalam situasi sosial.

(23)

cenderung tidak memperdulikan dan tidak menyatakan perasaan superioritasnya sebagaimana dilakukan anak yang lebih besar.

3. Pengelompokan sosial baru

Geng pada masa kanak-kanak berangsur-angsur bubar pada masa puber dan awal masa remaja ketika minat individu beralih dari kegiatan bermain yang melelahkan menjadi minat pada kegiatan sosial yang lebih formal dan kurang melelahkan sehingga terjadi pengelompokan sosial baru. Pengelompokan sosial anak laki-laki biasanya lebih besar dan tidak terlampau akrab dibandingkan dengan pengelompokan anak perempuan yang kecil dan terumus lebih pasti. Pengelompokan sosial yang paling sering terjadi selama masa remaja, yaitu:

a. Teman dekat

Remaja biasanya mempunyai dua atau tiga orang teman dekat atau sahabat karib. Mereka adalah sesama jenis kelamin yang mempunyai minat dan kemampuan yang sama. Teman dekat saling mempengaruhi satu sama lain meskipun kadang-kadang juga bertengkar.

b. Kelompok kecil

Kelompok biasa ini terdiri dari kelompok teman-teman dekat. Pada mulanya terdiri dari seks yang sama, tetapi kemudian meliputi kedua jenis seks.

c. Kelompok besar

(24)

pesta dan berkencan. Karena kelompok ini besar, maka penyesuaian minat berkurang dia antara anggota-anggotanya sehingga terdapat jarak sosial yang lebih besar di antara mereka.

d. Kelompok yang terorganisasi

Kelompok pemuda yang dibina oleh orang dewasa, dibentuk oleh sekolah dan organisasi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sosial para remaja yang tidak mempuyai kelompok besar. Banyak remaja yang mengikuti kelompok seperti itu merasa diatur dan berkurang minatnya ketika berusia enam belas atau tujuh belas tahun.

e. Kelompok Geng

Remaja yang tidak termaksud kelompok besar dan yang merasa tidak puas dengan kelompok yang terorganisasi mungkin mengikuti kelompok geng. Anggota geng yang biasanya terdiri dari anak-anak sejenis dan minat utama mereka adalah untuk menghadapi penolakan teman-teman melalui perilaku antisosial dengan berlangsungnya masa remaja, terdapat perubahan pada beberapa pengelompokkan sosial ini. Minat terhadap kelompok yang terorganisasi yang kegiatannya direncanakan dan diawasi oleh orang dewasa dengan cepat menurun karena remaja yang dewasa dan merdeka tidak mau diperintah. Hanya kalau pengendalian kegiatan diserahkan kepada remaja dengan sedikit orang campur tangan dan nasihat orang dewasa, minat ini dapat terus berlangsung.

(25)

hubungannya tidak terlampau akrab. Hal ini terutama terdapat pada remaja yang bekerja setelah menyelesaikan sekolah menengah atas. Di tempat kerja kelompok berhubungan dengan orang-orang dari segala usia yang sebagian besar mempunyai teman dan keluarga sendiri di luar pekerjaan, kecuali jikalau remaja mempunyai bekas teman-teman sekolah yang tinggal atau bekerja di dekat tempat kerjanya sehingga masih dapat berhubungan. Teman-temannya akan terbatas pada beberapa teman sekerja saja dan kehilangan hubungan dengan kelompok yang cukup besar.

Pengaruh dari geng cenderung meningkat selama masa remaja. Perilaku ini sering diungkapkan dengan perilaku pelanggaran yang dilakukan anggota-anggota geng. Seperti yang diterangkan oleh Friedman, dkk, yaitu bahwa kekuasaan yang mempengaruhi anggota-anggota geng jalanan hampir menuntut pengawasan mutlak dari kelompok terhadap perilaku seseorang. Hanya diperlukan sedikit contoh untuk meyakinkan setiap anggota kelompok bahwa mereka harus mengikuti keputusan geng, atau kalau tidak, mereka harus menghadapi akibat yang lebih parah.

4. Nilai baru dalam memilih teman

(26)

masalah-masalah dan membahasa hal-hal yang tidak dibicarakan orang tua ataupun guru.

Dalam suatu penelitian mengenai apa yang diinginkan remaja sebagai teman, Joseph menunjukan bahwa sebagian besar remaja mengatakan mereka ingin “seseorang yang dapat dipercaya, seseorang yang dapat diajak berbicara, seseorang yang dapat diandalakan”. Karena adanya perubahan nilai, maka teman semasa kanak-kanak belum tentu menjadi teman di masa remaja.

Para remaja juga tidak lagi hanya menaruh minat pada teman-teman sejenis. Minat pada lawan jenis bertambah besar selama masa remaja. Dengan demikian, pada akhir remaja sering kali para remaja lebih menyukai lawan jenis sebagai teman meskipun tetap masih melanjutkan persahabatan dengan beberapa teman sejenis.

Bagi sebagian besar kawula muda, popularitas berarti mempunyai teman banyak. Semakin remaja bertambah tua, maka jenis teman menjadi lebih penting daripada jumlah. Namun terlepas dari jenis teman yang “benar”, nilai remaja cenderung berubah dari tahun ke tahun, bergantung pada nilai-nilai yang dianut kelompok dengan siapa mereka mengidentifikasikan diri saat itu.

(27)

sesuai, tidak seperti yang diharapkan sehingga pertengkaran sering terjadi dan kemudian persahabatan mereka bubar.

Kedua, seperti halnya dalam bidang-bidang kehidupan lainnya, remaja cenderung tidak realistis dengan standar yang ia tetapkan untuk teman-temannya. Remaja menjadi kritis bila teman-teman tidak memenuhi standar dan kemudian berusaha memperbaiki teman-temannya. Biasanya hal ini juga menyebabkan pertengkaran dan mengakhiri persahabatan. Lambat laun remaja menjadi lebih realistis terhadap orang-orang lain dan diri sendiri. Dengan demikian, remaja tidak sekritis sebelumnya dan lebih menerima teman-temannya.

5. Nilai baru dalam penerimaaan sosial

Seperti halnya adanya nilai baru mengenai teman-temannya, remaja juga mempunyai nilai baru dalam menerima atau tidak menerima anggota-anggota berbagai kelompok sebaya seperti kelompok besar atau geng. Nilai ini terutama didasarkan pada nilai kelompok sebaya yang digunakan untuk menilai anggota-anggota kelompok. Remaja segera mengerti bahwa ia dinilai dengan standar yang sama dengan yang digunakan untuk menilai orang lain.

(28)

Demikian pula, tidak ada satu sifat atau pola perilaku yang menjauhkan remaja dari teman-teman sebayanya. Namun ada pengelompokkan sifat sindroma aliensi yang membuat orang lain tidak menyukainya atau menolaknya. Beberapa unsur yang umum dari sindroma penerimaan dan sindroma aliensi dalam masa remaja, yaitu :

a. Sindroma Peneriman

- Kesan pertama yang menyenangkan sebagai akibat dari penampilan yang menarik perhatian, sikap yang tenang, dan gembira.

- Reputasi sebagai seorang yang sportif dan menyenangkan.

- Penampilan diri yang sesuai dengan penampilan teman-teman sebayanya. - Perilaku sosial yang ditandai oleh kerja sama, tanggung jawab, panjang

akal, kesenangan bersama orang lain, bijaksana dan sopan.

- Matang, terutama dalam hal pengendalian emosi serta kemauan untuk mengikuti peraturan-peraturan.

- Sifat kepribadian yang menimbulkan penyesuaian sosial yang baik seperti jujur, setia, tidak mementingkan diri sendiri.

- Status sosial ekonomi yang sama atau sedikit di atas anggota-anggota lain dalam kelompok dan hubungan yang baik dengan anggota-anggota keluarga.

(29)

b. Sistem Aliensi

- Kesan pertama yang kurang baik karena penampilan diri yang kurang menarik atau sikap menjauhkan diri, dan yang mementingkan diri sendiri. - Terkenal sebagai seorang yang tidak sportif.

- Penampilan yang tidak sesuai dengan standar kelompok, dalam hal daya tarik fisik atau tentang kerapihan.

- Perilaku sosial yang ditandai oleh perilaku menonjolkan diri, mengganggu, dan menggertak orang lain, senang memerintah, tidak dapat bekerja sama, dan kurang bijaksana.

- Kurang kematangan, terutama terlihat dalam hal pengendalian emosi, ketenangan, kepercayaan diri, dan kebijaksanaan.

- Sifat-sifat kepribadian yang menggangu orang lain seperti mementingkan diri sendiri, keras kepala, gelisah, dan mudah marah.

- Status sosial ekonomi berada di bawah status sosial ekonomi kelompok dan hubungan yang buruk dengan anggota-anggota kelompok keluarga. - Tempat tinggal yang terpencil dari kelompok atau ketidakmampuan untuk

berpartisispasi dalam kegiatan kelompok karena tanggung jawab keluarga atau karena kerja sambilan.

6. Nilai baru dalam memilih pemimpin

(30)

macam kelompok pada masa remaja, seperti kelompok atletik, sosial, intelektual, agama, kelas atau masyarakat, dan pemimpin satu kelompok tidak perlu mempunyai kemampuan untuk memimpin kelompok lain. Kepemimpinan sekarang merupakan fungsi dari situasi seperti halnya dalam kehidupan orang dewasa.

Remaja mengharapakan pemimpinnya mempunyai sifat-sifat tertentu, karena jikalau hanya fisik yang baik pada dirinya tidak membuat seorang menjadi pemimpin. Hal ini memberikan prestise dan memberikan konsep diri yang baik. Pemimpin remaja harus mempunyai kesehatan yang baik sehingga bersemangat dan bergairah untuk melakukan sesuatu, dimana hal ini akan menentukan mutu inisiatif.

Remaja yang sangat memperhatikan pakaian mengharapkan seorang pemimpin yang menarik dan rapih. Ciri lain dari pemimpin adalah tingkat intelegensi sedikit di atas rata-rata, prestasi akademik yang baik dan tingkat kematangan di atas rata-rata.

(31)

Pemimpin biasanya berperan lebih aktif dan berpartisipasi dalam kelompok sosial dibandingkan dengan remaja bukan pemimpin, sehingga pemimpin mengembangkan wawasan sosial dan wawasan diri yang lebih mendalam. Pemimpin juga dapat menilai diri sendiri secara realistik dan dapat memperhitungkan minat serta kehendak anggota-anggota kelompok yang dipimpinnya. Pemimpin tidaklah “terikat pada diri sendiri” dalam artian sangat memikirkan minat dan masalah pribadi sehingga tidak sempat memperhatikan minat dan masalah anggota kelompok yang lain.

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Martiningsih yang berjudul Pengaruh Pendidikan Kesehatan tentang Kanker Serviks Terhadap Perubahan

Berdasarkan latar belakang tersebut maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh efektivitas iklan terhadap sikap konsumen, efektivitas iklan terhadap keyakinan

Band : Sekumpulan yang terdiri atas dua atau lebih musisi yang memainkan alat musik atau pun bernyanyi. Sriwedari Boot Bois : komunitas skinhead dan punk di Solo. gleyer : Dalam

Berdasarkan keputusan Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan Barang/Jasa Nomor: 015/Pokja-FAH/X/2016 tanggal 05 Oktober 2016 tentang Penetapan Pemenang Pengadaan

Ada beberapa hal positif yang dapat dilihat dari penggunaan gadget yaitu: mempermudah menyelesaikan pekerjaan dengan cepat, memberikan berbagai macam informasi diseluruh

1) Kelompok fauna daratan / terestrial yang umumnya menempati bagian atas pohon mangrove, terdiri atas: insekta, ular, primata, dan burung. Kelompok ini tidak memiliki sifat

Setiap anak yang berkebutuhan khusus seperti tuna rungu yang berada dalam komunitas deaf art community akan menunjukan kepada masyarkat sekitar bahwa anak tuna rungu bukanlah

Ibnu Khaldun (1332-1406 M) melihat peradaban sebagai organisasi sosial manusia, kelanjutan dari proses tamaddun (semacam urbanisasi), lewat ashabiyah (group feeling),