BAB 2
LANDASAN TEORI
Bab ini membahas tentang teori penunjang dan penelitian sebelumnya yang
berhubungan dengan penerapan metode Modified k-Nearest Neighbor untuk
mengidentifikasi diabetic retinopathy.
2.1. Diabetic Retinopathy
Diabetic retinopathy merupakan salah satu komplikasi mikrovaskuler dari penyakit
diabetes melitus. Penyakit ini menyerang pembuluh darah di retina yang dapat
menyebabkan penurunan fungsi penglihatan hingga kebutaan pada penderita (Khan et
al., 2011).
2.1.1. Karakteristik diabetic retinopathy
Karakteristik awal yang menandakan diabetic retinopathy adalah
ditemukannya mikroaneurisma pada retina (Singh, 2008). Mikroaneurisma merupakan
area berbentuk kantung-kantung kecil menonjol pada pembuluh darah di retina.
Karena berukuran kecil, mikroaneurisma sulit untuk dilihat secara langsung.
Karakteristik lain yang muncul adalah vena pada retina mulai mengalami dilatasi
berkelok-kelok dan adanya infiltrasi lipid ke dalam retina yang terlihat seperti bercak
kekuningan yang disebut dengan eksudat.
Pertumbuhan mikroaneurisma yang terjadi secara terus menerus
menyebabkan pembuluh darah yang memberi nutrisi ke retina tersumbat. Sebagian
pembuluh darah yang tersumbat pecah sehingga mengakibatkan munculnya titik atau
bercak pendarahan pada retina (haemorhages). Penyumbatan dan pecahnya pembuluh
kemudian memberikan sinyal pada tubuh untuk membuat pembuluh darah baru agar
nutrisi dapat didistribusikan kembali. Pembentukan pembuluh darah baru disebut
dengan neovaskularisasi. Adapun pembuluh darah baru yang terbentuk bersifat
abnormal, berukukan kecil dan tipis (NEI, 2012).
Diabetic retinopathy mempengaruhi fungsi penglihatan karena pembuluh
darah abnormal yang baru terbentuk rentan pecah dan dapat mengakibatkan
pendarahan. Jika pendarahan terjadi pada makula, yaitu bagian mata yang mengatur
ketajaman penglihatan, maka makula akan mengalami pembengkakan dan ketajaman
penglihatan akan terganggu. Kondisi ini dikenal dengan istilah macular edema. Tetapi
jika pendarahan terjadi pada permukaan retina, maka akan muncul bintik atau area
hitam yang menghalangi penglihatan. Pendarahan pada permukaan retina yang
semakin meluas menyebabkan area yang menghalangi penglihatan juga akan semakin
meluas, yang lama kelamaan akan menyebabkan kebutaan. Perbedaan penglihatan
orang normal dan penderita diabetic retinopathy ditunjukkan pada Gambar 2.1.
(a) (b)
Gambar 2.1. (a) penglihatan orang normal; (b) penglihatan penderita diabetic retinopathy (NEI, 2012)
2.1.2. Faktor resiko diabetic retinopathy
Beberapa faktor yang menyebabkan seseorang terkena diabetic retinopathy adalah
sebagai berikut.
1. Lamanya seseorang menderita diabetes melitus
Semakin lama seseorang menderita diabetes melitus maka semakin besar resiko
2. Tipe diabetes melitus
Penderita diabetes melitus tipe 2 lebih beresiko terkena diabetic retinopathy jika
dibandingkan dengan penderita diabetes melitus tipe 1.
3. Hipertensi
Penderita diabetes melitus yang memiliki tekanan darah yang tinggi lebih
beresiko terkena diabetic retinopathy.
4. Kehamilan
Wanita hamil yang menderita diabetes melitus memiliki resiko yang lebih besar
terkena diabetic retinopathy dibandingkan wanita yang tidak hamil.
5. Usia
Penderita diabetes melitus yang berusia 13 hingga 50 tahun lebih beresiko terkena
diabeticretinopathy.
6. Kolesterol
Penderita diabetes melitus yang memiliki kolesterol tinggi lebih beresiko terkena
diabetic retinopathy.
2.1.3. Gejala diabetic retinopathy
Diabetic retinopathy tidak memiliki gejala yang signifikan hingga kerusakan terjadi
pada retina. Adapun beberapa gejala yang muncul adalah sebagai berikut.
1. Penglihatan menjadi kabur.
2. Muncul objek-objek hitam yang menghalangi penglihatan.
3. Kehilangan sebagian atau keseluruhan fungsi penglihatan.
4. Sakit pada area mata.
2.1.4. Pemeriksaan diabetic retinopathy
Pemeriksaan diabetic retinopathy dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu visual
acuity test, tonometry, dan dilated eye exam (NEI, 2006). Visual acuity test merupakan
pengukuran kemampuan penglihatan standar menggunakan eye chart sedangkan
tonometry merupakan pengukuran tekanan pada bagian dalam mata. Dilated eye exam
sehingga memungkinkan dokter mata untuk melihat keadaan bagian dalam mata,
termasuk retina.
Pemeriksaan lain yang dilakukan untuk mengidentifikasi diabetic retinopathy
adalah menggunakan fundus photography, fluorescein angiography, dan optical
coherence tomography (OCT) (Mahesh, 2013). Fundus photography memanfaatkan
pantulan sinar cahaya pada gelombang tertentu yang dipancarkan ke pupil mata. Citra
yang didapat dari fundus photography memberikan informasi tentang keadaan retina
seperti mikroaneurisma, eksudat, pendarahan, dan pembuluh darah. Citra hasil fundus
photography ditunjukkan pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2. Fundus photography
Citra fluorescein angiography terbentuk dari sejumlah foton yang
dipancarkan dari zat pewarna fluorescein. Sebelum angiography dilakukan, zat
pewarna fluorescein disuntikkan kepada penderita terlebih dahulu. Zat pewarna
fluorescein akan beredar ke seluruh tubuh, termasuk retina. Ketika zat pewarna
fluorescein berada di retina, maka proses angiography dilakukan. Citra fluorescein
angiography dapat memberikan informasi tentang pembuluh darah, mikroaneurisma,
makula, dan pendarahan pada retina secara lebih jelas jika dibandingkan dengan citra
hasil fundus photography. Citra fluorescein angiography ditunjukkan pada Gambar
Gambar 2.3. Citra fluorescein angiography
Optical Coherence Tomography (OCT) merupakan metode yang digunakan
untuk menghitung ketebalan jaringan dengan cara mengukur waktu pembiasan dari
satu lapisan jaringan ke lapisan jaringan berikutnya. OCT dapat dianalogikan sebagai
ultrasonography yang menggunakan sinar cahaya, bukannya gelombang suara. Citra
yang didapat dari OCT memberikan informasi mengenai saraf optik dan struktur
retina. Citra OCT dapat digunakan untuk melihat lapisan retina, pembengkakan
makula, kerusakan saraf optik, dan pembengkakan saraf optik. Citra OCT ditunjukkan
pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4. Citra Optical Coherence Tomography (OCT)
2.1.5. Pencegahan diabetic retinopathy
Semua penderita diabetes melitus, baik tipe 1 atau tipe 2, beresiko menderita diabetic
retinopathy. Semakin lama seseorang menderita diabetes melitus, maka akan semakin
pada seseorang yang telah menderita penyakit diabetes melitus selama lebih dari 15
tahun (Klein et al., 1984). Hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terkena diabetic
retinopathy bagi penderita diabetes melitus adalah dengan cara mengontrol kadar gula
dalam darah, tekanan darah, dan kolesterol darah.
Deteksi dini diabetic retinopathy juga dapat dilakukan guna mencegah
diabetic retinopathy. Deteksi dini yang dapat dilakukan oleh penderita diabetes
melitus adalah sebagai berikut.
1. Orang dewasa dan anak-anak berumur lebih dari 10 tahun yang menderita
diabetes melitus tipe 1 harus menjalani pemeriksaan mata lengkap dalam waktu
lima tahun setelah didiagnosis menderita diabetes melitus.
2. Penderita diabetes melitus tipe 2 harus segera menjalani pemeriksaan mata
lengkap segera setelah didiagnosis menderita diabetes melitus.
3. Pemeriksaan mata bagi penderita diabetes melitus tipe 1 atau tipe 2 harus
dilakukan secara rutin setiap tahun.
4. Frekuensi pemeriksaan mata dapat dikurangi bila satu atau beberapa hasil
pemeriksaan menunjukkan hasil normal dan frekuensi pemeriksaan dapat
ditingkatkan bila pada hasil pemeriksaan ditemukan tanda-tanda diabetic
retinopathy.
5. Perempuan hamil yang menderita diabetes melitus harus menjalani pemeriksaan
mata rutin sejak trisemester pertama hingga satu tahun setelah persalinan (Fong,
2003).
2.1.6. Pengobatan diabetic retinopathy
Terdapat beberapa pengobatan yang bisa dilakukan oleh penderita diabetic
retinopathy. Bagi penderita dibetic retinopathy yang belum mengalami
neovaskularisasi, pengobatan yang paling tepat adalah dengan mengontrol kadar gula
dalam darah, tekanan darah, dan kolesterol. Sedangkan bagi penderita diabetic
retinopathy yang sudah mengalami neovaskularisasi, pengobatan yang bisa dilakukan
adalah menjalani bedah laser yang disebut dengan scatter laser treatment. Scatter
laser treatment mampu mengurangi pembuluh darah abnormal pada permukaan retina
sehingga dapat meningkatkan dan memperbaiki fungsi penglihatan. Akan tetapi
warna dan kemampuan melihat di malam hari. Scatter laser treatment sebaiknya
dilakukan saat pembuluh darah abnormal belum pecah. Jika pembuluh darah abnormal
sudah pecah, maka dibutuhkan prosedur pembedahan yang disebut dengan vitrectomy.
Vitrectomy berkerja dengan cara mengganti cairan vitreous mata dengan cairan yang
disebut dengan salt solution (NEI, 2012).
2.2. Citra
Citra didefenisikan sebagai fungsi dua dimensi f(x,y), dimana x dan y merupakan
koordinat spasial dan luasan dari f untuk tiap pasang koordinat (x, y) disebut intensitas
atau level keabuan citra pada titik tertentu. Jika x, y, dan nilai intensitas f bersifat
terbatas (finite), maka citra disebut dengan citra digital (Gonzales et al., 2002). Citra
digital dapat juga dikatakan sebagai sebuah matriks dimana indeks baris dan
kolomnya menyatakan suatu titik pada citra dan elemen matriksnya yang disebut
sebagai elemen gambar atau piksel menyatakan tingkat keabuan pada titik tersebut.
Citra digital dapat diklasifikasi menjadi citra biner, citra keabuan, dan citra warna.
2.2.1. Citra biner (binary image)
Citra biner merupakan jenis citra yang paling sederhana karena hanya memiliki dua
nilai, yaitu hitam atau putih. Citra biner merupakan citra 1 bit karena hanya
memerlukan 1 bit untuk merepresentasikan tiap piksel. Jenis citra ini banyak
ditemukan pada citra dimana informasi yang diperlukan hanya bentuk secara umum
atau outline, misalnya pada Optical Character Recognition (OCR).
Citra biner dibentuk dari citra keabuan melalui operasi thresholding, dimana
tiap piksel yang nilainya lebih besar dari threshold akan diubah menjadi putih (1) dan
piksel yang nilainya lebih kecil dari threshold akan diubah menjadi hitam (0). Contoh
Gambar 2.5. Citra biner
2.2.2. Citra keabuan (grayscale image)
Citra keabuan menggunakan warna hitam sebagai warna minimum, warna putih
sebagai warna maksimum dan warna diantara hitam dan putih, yaitu abu-abu.
Abu-abu merupakan warna dimana komponen merah, hijau, dan biru mempunyai intensitas
yang sama. Contoh citra keabuan ditunjukkan pada Gambar 2.6.
Jumlah bit yang diperlukan untuk tiap piksel menentukan jumlah tingkat
keabuan yang tersedia. Misalnya untuk citra keabuan 8 bit, tingkat keabuan yang
tersedia adalah 28 atau 256.
2.2.3. Citra warna (color image)
Citra warna memiliki piksel dimana warna yang dimiliki oleh tiap piksel tersebut
merupakan kombinasi dari tiga warna dasar, yaitu merah, hijau, dan biru. Tiap warna
dasar menggunakan 8 bit penyimpanan, sehingga tingkatan warna yang tersedia
adalah 256. Jadi untuk tiga warna dasar pada setiap piksel memiliki kombinasi warna
sebanyak 224 atau sekitar 16777216 warna. Contoh citra warna ditunjukkan pada
Gambar 2.7.
Gambar 2.7. Citra warna
2.3. Pengolahan Citra
Pengolahan citra adalah metode yang digunakan untuk memproses atau memanipulasi
citra digital sehingga menghasil citra baru (Gonzales at al., 2002). Tujuan utama dari
pengolahan citra adalah bagaimana mengolah dan menganalisis citra sebaik mungkin
sehingga dapat memberikan informasi baru yang lebih bermanfaat. Beberapa teknik
pengolahan citra yang digunakan adalah sebagai berikut.
2.3.1. Cropping
Cropping berfungsi untuk menghasil bagian spesifik dari sebuah citra dengan cara
memotong area yang tidak diinginkan atau area berisi informasi yang tidak
diperlukan. Cropping dapat digunakan untuk menambah fokus pada objek, membuang
orientasi citra, dan mengubah aspect ratio dari sebuah citra. Cropping menghasilkan
citra baru yang merupakan bagian dari citra asli dengan ukuran yang lebih kecil. Jika
citra cropping digunakan untuk proses lain, waktu pemrosesan akan lebih cepat karena
bagian yang diproses hanya bagian yang diperlukan saja.
2.3.2. Scaling
Scaling merupakan salah satu operasi yang paling banyak digunakan dalam
pengolahan citra. Scaling digunakan untuk mengubah resolusi dari sebuah citra, baik
itu memperkecil atau memperbesar resolusi citra (Pratt, 2007). Scaling juga dapat
digunakan untuk menormalisasi ukuran semua citra sehingga memiliki ukuran yang
sama.
2.3.3. Grayscaling
Grayscaling merupakan proses mengubah citra warna (RGB) menjadi citra keabuan.
Grayscaling digunakan untuk menyederhanakan model citra RGB yang memiliki 3
layer matriks, yaitu layer matriks red, green, dan blue menjadi 1 layer matriks
keabuan. Grayscaling dilakukan dengan cara mengalikan masing-masing nilai red,
green, dan blue dengan konstanta yang jumlahnya 1, seperti ditunjukkan pada
persamaan 2.1.
(2.1)
Dimana : = piksel citra hasil grayscaling
= konstanta yang hasil penjumlahannya 1 = nilai red dari sebuah piksel
= nilai green dari sebuah piksel
= nilai blue dari sebuah piksel
Green channel merupakan salah satu jenis grayscaling yang mengganti nilai
setiap piksel pada citra hanya dengan nilai green dari piksel citra tersebut, seperti
(2.2)
Grayscaling pada citra retina menggunakan green channel dikarenakan citra
green channel memiliki contrast yang lebih baik sehingga mampu membedakan
antara fitur (pembuluh darah, eksudat, mikroneurisma) dengan permukaan retina
secara lebih jelas (Putra, 2010).
2.3.4. Perbaikan citra (Image enhancement)
Perbaikan citra merupakan proses yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas citra
dengan cara memanipulasi parameter pada citra sehingga ciri pada citra dapat lebih
ditonjolkan. Perbaikan citra memungkinkan informasi yang ingin ditampilkan atau
diambil dari sebuah citra menjadi lebih baik dan jelas. Perbaikan citra yang dilakukan
adalah perbaikan kontras dengan menggunakan metode contrast stretching. Contrast
Stretching mampu mengatasi kekurangan cahaya atau kelebihan cahaya pada citra
dengan memperluas sebaran nilai keabuan piksel (Gonzales at al., 2002). Contrast
stretching merupakan metode perbaikan citra yang bersifat point processing, yaitu
pemrosesan hanya bergantung pada nilai intensitas keabuan masing-masing piksel,
tidak tergantung dari piksel lain yang ada disekitarnya. Contrast stretching dilakukan
dengan persamaan 2.3.
(2.3)
Dimana : = piksel citra hasil perbaikan
= piksel citra asal
= nilai minimum dari piksel citra input
= nilai maksimum dari piksel citra input
2.3.5. Thresholding
Salah satu teknik yang digunakan untuk mengubah citra keabuan menjadi citra biner
adalah thresholding. Thresholding sering disebut dengan proses binerisasi.
Thresholding dapat digunakan dalam proses segmentasi citra untuk mengidentifikasi
dan memisahkan objek yang diinginkan dari background berdasarkan distribusi
tingkat keabuan atau tekstur citra (Liao, 2001).
Proses thresholding menggunakan nilai batas (threshold) untuk mengubah
nilai piksel pada citra keabuan menjadi hitam atau putih. Jika nilai piksel pada citra
keabuan lebih besar dari threshold, maka nilai piksel akan diganti dengan 1 (putih),
sebaliknya jika nilai piksel citra keabuan lebih kecil dari threshold maka nilai piksel
akan diganti dengan 0 (hitam). Proses thresholding dilakukan dengan persamaan 2.4.
(2.4)
Dimana : = piksel citra hasil binerisasi
= piksel citra asal
T = nilai threshold
2.3.6. Erosi
Erosi merupakan salah satu operasi morfologi citra. Operasi morfologi citra
merupakan teknik pengolahan citra yang didasari pada bentuk atau morfologi fitur
dalam sebuah citra. Operasi morfologi diterapkan pada citra biner karena berorientasi
pada bentuk objek.
Erosi digunakan untuk menghapus titik-titik objek menjadi bagian dari
background berdasarkan structure element yang digunakan. Selain dapat menghapus
titik-titik objek kecil, erosi juga dapat memperkecil ukuran objek berukuran besar
dengan cara menghapus piksel pada tepi objek tersebut (Phillips, 2000). Structure
element merupakan matriks berukuran m × n yang memiliki titik pusat. Erosi
(2.5)
Dimana : = citra hasil erosi
= citra asal
= structure element
= himpunan titik
= structure element yang ditranslasi oleh
Proses erosi dilakukan dengan cara membandingkan setiap piksel pada citra
asal dengan titik pusat structure element. Structure element digeser dari piksel awal
sampai piksel akhir citra asal. Jika ada bagian structure element yang berada diluar
citra asal, maka piksel citra asal yang berada di titik poros structure element akan
dihapus (dijadikan background).
2.3.7. Inversi
Inversi merupakan proses negatif pada citra, dimana setiap nilai piksel pada citra
dibalik dengan acuan threshold yang diberikan. Inversi sering digunakan untuk
memperjelas warna putih atau abu-abu pada bagian gelap di sebuah citra (Jain, 1989).
Untuk citra 8 bit atau citra dengan derajat keabuan 256, proses inversi dilakukan
dengan persamaan 2.6.
(2.6)
Dimana : = piksel setelah inversi
= piksel citra asal
2.3.8. Perkalian citra
Perkalian citra merupakan operasi pada piksel yang digunakan untuk mengatur tingkat
kontras pada citra (Solomon, 2011). Perkalian citra juga dapat digunakan untuk
menghilangkan bagian tertentu pada citra dengan cara mengalikan citra dengan citra
(2.7)
Dimana : = piksel citra hasil perkalian
= piksel citra asal = piksel citra mask
2.4. Gray Level Co-occurence Matrix (GLCM)
Gray Level Co-occurrence Matrix (GLCM) merupakan metode analisis tekstur yang
diperkenalkan oleh Haralick pada tahun 1973. Metode ini biasanya digunakan dalam
pengenalan tekstur, segmentasi citra, analisis warna pada citra, klasifikasi citra, dan
pengenalan objek (Rao et al., 2013). GLCM merupakan ciri statistik orde dua yang
merepresentasikan hubungan ketetanggaan antar dua piksel dalam sebuah citra
grayscale di berbagai arah dan jarak tertentu, dimana arah dinyatakan dalam sudut,
misalnya 0, 45, 90, 135, dan seterusnya, sedangkan jarak dinyatakan dalam jumlah
piksel, misalnya 1, 2, 3, dan seterusnya.
Komponen utama dalam GLCM adalah arah dan jarak antara dua piksel.
Arah ketetanggaan yang mungkin antara dua buah piksel adalah 0, 45, 90, 135,
180, 225, 270, dan 315 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.8.
8 arah ketetanggaan antara dua piksel dapat direduksi menjadi 4 arah, yaitu
0, 45, 90, dan 135. Arah 0, 45, 90, dan 135 merupakan transpose dari arah
180, 225, 270, dan 315 (Fegurson, 2007). Misalkan untuk matriks framework pada
arah 0, tambahkan matriks framework 0 dengan matrik transponse-nya untuk
mendapatkan matriks framework pada arah 0 dan 180.
Komponen penting lainnya adalah jarak antara piksel referensi dengan piksel
tetangga. Jarak antar piksel ditunjukkan pada Gambar 2.9 dimana r menunjukkan
piksel referensi dan n menunjukkan piksel tetangga. Pemilihan jarak antar piksel harus
diperhatikan. Semakin besar jarak yang digunakan, semakin sedikit nilai kookurensi
yang didapat (Fegurson, 2007).
Gambar 2.9. Jarak antar piksel
Langkah awal untuk membuat GLCM adalah membuat matriks framework.
Matriks framework merupakan matriks yang menunjukkan hubungan ketetanggaan
antara piksel referensi dengan piksel tetangga untuk arah dan jarak tertentu. Matriks
framework berukuran G × G, dimana G menyatakan banyaknya tingkat keabuan yang
dimiliki oleh sebuah citra grayscale. Matriks framework dari sebuah citra grayscale
1 0 2 2
Gambar 2.10. (a) Citra grayscale dalam bentuk matriks; (b) Matriks framework
Pada Gambar 2.10, citra grayscale (yang ditunjukkan dalam bentuk matriks)
memiliki 4 tingkat keabuan, yaitu 0, 1, 2, dan 3, sehingga matriks framework yang
terbentuk berukuran 4 × 4. Baris pada matriks framework menunjukkan piksel
referensi, sedangkan kolom pada matriks framework menunjukkan piksel tetangga.
Kolom pertama pada baris pertama yang memiliki nilai (0, 0) menunjukkan seberapa
banyak piksel 0 yang bertetangga dengan piksel 0 pada jarak dan arah tertentu, kolom
kedua pada baris pertama yang memiliki nilai (0, 1) menunjukkan seberapa banyak
piksel 0 yang bertetangga dengan piksel 1 pada jarak dan arah tertentu, dan
seterusnya.
Setelah matriks framework dibuat, tentukan arah dan jarak yang diinginkan,
kemudian hitung nilai kookurensi dari tiap piksel referensi dengan piksel tetangganya
berdasarkan arah dan jarak tersebut. Selanjutnya isikan nilai kookurensi pada matriks
framework. Matriks framework yang telah diisi dengan nilai kookurensi selanjutnya
akan disebut dengan matriks kookurensi. Contoh matriks kookurensi berdasarkan citra
grayscale (dalam bentuk matriks) pada Gambar 2.10 ditunjukkan pada Gambar 2.11
dimana arah yang digunakan adalah 0 dan jarak yang digunakan adalah 1.
1 0 1 0
1 1 1 0
1 1 1 0
0 0 1 0
Gambar 2.11. Matriks kookurensi dengan jarak 1 dan arah 0
Matriks kookurensi yang didapat selanjutnya ditambahkan dengan matriks
transpose-nya agar menjadi simetris. Pembentukan matriks simetris ditunjukkan pada
1 0 1 0
Gambar 2.12. (a) Matriks kookurensi; (b) Matriks transpose; (c) Matriks simetris
Setelah matriks kookurensi menjadi simetris, selanjutnya matriks akan
dinormalisasi ke bentuk probabilitas dengan cara membagi masing-masing nilai
kookurensi dengan jumlah semua nilai kookurensi yang ada pada matriks, sehingga
hasil penjumlahan semua nilai pada matriks adalah 1. Normalisasi matriks
ditunjukkan pada Gambar 2.13.
Langkah selanjutnya setelah proses normalisasi dilakukan adalah menghitung
ciri atau fitur statistik GLCM. Beberapa ciri atau fitur statistik yang diusulkan oleh
Haralick adalah sebagai berikut.
2.4.1. Contrast
Contrast digunakan untuk mengukur variasi pasangan tingkat keabuan dalam sebuah
Dimana merupakan matriks yang telah dinormalisasi.
2.4.2. Homogenity
Homogenity atau Inverse Different Moment (IDM) digunakan untuk mengukur
homogenitas citra dengan level keabuan sejenis. Homogenity dihitung dengan
menggunakan persamaan 2.9.
Energy atau Angular Second Moment (ASM) digunakan untuk mengukur homogenitas
sebuah citra. Energy dihitung dengan menggunakan persamaan 2.10.
Entropy digunakan untuk menghitung level ketidakteraturan citra. Entropy dihitung
2.4.5. Variance
Variance digunakan untuk mengukur persebaran diantara mean kombinasi antara
piksel referensi dengan piksel tetangga. Variance dihitung dengan menggunakan
persamaan 2.12.
Correlation digunakan untuk menghitung keterkaitan piksel yang memiliki level
keabuan i dengan piksel yang memiliki level keabuan j. Correlation dihitung dengan
menggunakan persamaan 2.13.
dimana dan ditunjukkan pada persamaan 2.14 dan persamaan 2.15.
Modified k-Nearest Neighbor (MkNN) merupakan pengembangan dari metode
k-Nearest Neighbor (kNN). Jika kNN mengklasifikasikan data pengujian berdasarkan
MkNN mengklasifikasikan data pengujian berdasarkan bobot tertinggi dari beberapa
kelas pada k data pelatihan tervalidasi dengan jarak terdekat (Parvin, 2008).
Dengan adanya validasi pada data pelatihan, MkNN mampu
mengklasifikasikan data pengujian dengan lebih baik. Validitas memberikan informasi
lebih banyak tentang keadaan data pelatihan pada ruang fitur, bukan hanya label kelas
dari masing-masing data pelatihan saja. MkNN memberikan kesempatan yang lebih
besar kepada data pelatihan yang memiliki validitas yang lebih tinggi dan memiliki
jarak yang dekat dengan data pengujian, sehingga pemberian label atau kelas pada
data pengujian tidak terlalu terpengaruh terhadap data yang tidak begitu stabil (Parvin,
2008).
MkNN terdiri dari dua tahapan. Tahapan pertama adalah menghitung
validitas data pelatihan. Tahapan selanjutnya adalah mengklasifikasikan data
pengujian dengan menggunakan gabungan dari weighted kNN dan validitas dari data
pelatihan yang telah didapat sebelumnya.
Validitas data dari tiap data pelatihan tergantung dari data pelatihan lain yang
menjadi tetangganya. Tahapan yang dilakukan untuk melakukan validasi data
pelatihan adalah sebagai berikut.
1. Tentukan nilai H, dimana H merupakan banyaknya data pelatihan y yang
bertetangga dengan data pelatihan x. Nilai H adalah 10% dari jumlah data
pelatihan (Parvin, 2008).
2. Hitung jarak antara data pelatihan x dengan semua data pelatihan lainnya (y)
menggunakan Euclidean distance yang ditunjukkan pada persamaan 2.16.
3. Ambil H buah data pelatihan y yang memiliki jarak terdekat dengan data
pelatihan x.
4. Hitung validasi data pelatihan x menggunakan persamaan 2.17.
(2.17)
Dimana : = validitas data ke-x
= jumlah data tetangga
= kelas dari data pelatihan ke-x
= kelas dari data pelatihan ke-y
= fungsi similaritas data
Fungsi similaritas ditunjukkan pada persamaan 2.18.
(2.18)
Setelah validasi semua data pelatihan didapatkan, klasifikasi dari data
pengujian bisa dilakukan. Adapun langkah untuk mengklasifikasi data pengujian
adalah sebagai berikut.
1. Tentukan nilai dari k, dimana k adalah jumlah data pelatihan dengan jarak
terdekat yang digunakan sebagai pembanding dalam mengklasifikasikan data
pengujian.
2. Hitung jarak antara data pengujian dengan semua data pelatihan menggunakan
rumus Euclidean distance pada persamaan 2.9.
3. Ambil k buah data pelatihan yang memiliki jarak terdekat.
4. Hitung bobot dari masing-masing k data pelatihan dengan persamaan 2.19.
Dimana: = bobot dari data pelatihan ke-x
= validitas dati data pelatihan ke-x
= jarak dari data pengujian ke data pelatihan x
5. Jumlahkan bobot data pelatihan yang memiliki kelas yang sama. Kelas dengan
bobot tertinggi merupakan kelas dari data pengujian.
2.6. Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang identifikasi diabetic retinopathy telah dilakukan dengan
menggunakan beberapa metode. Pada tahun 2012, Setiawan membandingkan kinerja
Support Vector Machine (SVM) dengan k-Nearest Neighbor (KNN) untuk
mengidentifikasi diabetic retinopathy. SVM merupakan metode yang mencari
hyperplane terbaik yang berfungsi sebagai pemisah dua buah class pada ruang input
dengan cara mengukur margin dari hyperplane tersebut, sedangkan KNN merupakan
metode yang mengklasifikasikan data berdasarkan data pelatihan dengan jarak yang
paling dekat. Metode ektraksi fitur yang digunakan adalah Two Dimensional Linear
Discriminant Analysis (2DLDA). Akurasi yang didapat pada penelitian ini adalah
84% dengan menggunakan SVM dan 80% dengan menggunakan KNN.
Dillak et al. pada tahun 2013 menggunakan jaringan saraf tiruan dalam
mengidentifikasi diabetic retinopathy. Metode ekstraksi fitur yang digunakan adalah
3D-GLCM. Eliminasi optic disc dilakukan pada citra retina untuk meningkatkan hasil
akurasi. Adapun akurasi yang didapat pada penelitian ini adalah 95%.
Selanjutnya pada tahun 2011, Vajayamadheswaran et al. menggunakan
metode Radial Basis Function (RBF) untuk mengidentifikasi diabetic retinopathy.
Identifikasi dilakukan berdasarkan keberadaan eksudat dalam citra retina. Contextual
Clustering digunakan untuk ektraksi fitur pada citra, yang kemudian hasilnya akan
dijadikan input pada jaringan RBF. RBF merupakan model jaringan saraf tiruan yang
mentransformasi input secara nonlinear dengan menggunakan fungsi aktivasi
Gaussian pada hidden layer dan kemudian dilanjutkan dengan proses linear pada
output layer. Akurasi yang didapat pada penelitian ini adalah 96%. Rangkuman dari
Tabel 2.1. Penelitian terdahulu
No. Peneliti Tahun Metode yang digunakan Akurasi 1. Setiawan 2012 Support Vector Machine
K-Nearet Neighbor
84%
80%
2. Dillak et al. 2013 Neural Network 95%
3. Vajayamadheswaran et al. 2011 Radial Basis Function 96%
Perbedaan penelitian yang dilakukan dengan penelitian terdahulu adalah
gabungan metode yang digunakan untuk identifikasi diabetic retinopathy, yaitu Gray
Leve Cooccurrence Matrix (GLCM) sebagai metode ektraksi fitur dan Modified
k-Nearest Neighbor (MkNN) sebagai metode klasifikasi. Pada proses ekstraksi fitur,
terdapat 6 fitur yang diambil dari masing-masing citra dengan jarak 1 dan arah 0,
45, 90, dan 135 sehingga menghasilkan 24 fitur yang selanjutnya digunakan dalam