• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA D. Definisi Komitmen - Pengaruh Kepemimpinan atasan dan Motivasi Kerja terhadap Komitmen affective Pegawai pada Rumah Sakit Umum Deli Serdang Lubuk Pakam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA D. Definisi Komitmen - Pengaruh Kepemimpinan atasan dan Motivasi Kerja terhadap Komitmen affective Pegawai pada Rumah Sakit Umum Deli Serdang Lubuk Pakam"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

D. Definisi Komitmen

Komitmen adalah suatu keadaan dimana seseorang karyawan memihak organisasi tertentu serta tujuan - tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut. Robbins dan Judge (2007) didefinisikan sebagai keterlibatan pekerjaaan yang tinggi berarti memihak pada pekerjaan tertentu seseorang karyawan. Komitmen yang tinggi berarti memihak organisasi yang merekrut karyawan tersebut. Menurut Griffin (2004), komitmen adalah sikap yang mencerminkan sejauh mana seseorang karyawan mengenal dan terikat pada organisasinya. Seseorang karyawan yang memiliki komitmen tinggi kemungkinan akan melihat dirinya sebagai anggota sejati organisasi.

Komitmen individu tersebut ditunjukkan dengan adanya tindakan. Contohnya individu dengan komitmen yang tinggi akan tetap berada di organisasi dan akan mempunyai pandangan yang positif tentang organisasinya. Selain itu individu akan menunjukkan perilaku yang konsisten untuk tetap mempunyai persepsi diri yang positif (Mowday, dalam Meyer & Allen, 1997).

(2)

& Allen, 1997). Komitmen yang berhubungan dengan pekerjaan adalah serangkaian variabel dengan lima hal yaitu: pekerjaan, organisasi, kelompok kerja, karir dan nilai kerja (Blau, Morrow & Mcelroy, dalam Meyer & Allen, 1997). Bentuk komitmen yang paling banyak diterima adalah keterikatan emosional terhadap organisasi yang meliputi penerimaan nilai-nilai organisasi dan keinginan untuk tetap tinggal bersama organisasi (Porter, dalam Meyer & Allen, 1997).

Kualitas SDM yang berpengaruh kuat terhadap kinerja organisasi adalah komitmen organisasi. Karyawan yang memiliki komitmen terhadap organisasi memiliki potensi untuk memperbaiki kinerja baik secara individual, kelompok maupun organisasi. Karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi akan memberikan usaha yang maksimal secara sukarela untuk kemajuan organisasi. (Andi dkk, 2010).

Konsep komitmen telah didefinisikan dan diukur dengan berbagai cara yang berbeda. Menurut Cherirington dalam Khikmah (2005) komitmen sebagai nilai personal, yang kadang-kadang mengacu sebagai sikap loyal pada perusahaan. Robbins (2003) mengemukakan komitmen merupakan salah satu sikap yang merefleksikan perasaan suka atau tidak suka terhadap organisasi tempat bekerja.

Ada tiga komponen komitmen (Mayer, Allen & Smith, 1999) yaitu :

1. Affective Commitment, terjadi apabila pegawai ingin menjadi bagian dari

organisasi karena adanya ikatan emosional.

(3)

organisasi karena mempertimbangkan penghasilan dan keuntungan-keuntungan lain atau pegawai tersebut tidak menemukan pekerjaan lain.

3. Normative Commitment, timbul dari nilai-nilai dalam diri pegawai-pegawai

bertahan menjadi anggota organisasi karena adanya kesadaran bahwa komitmen terhadap organisasi merupakan hal yang seharusnya dilakukan.

Berdasarkan uraian di atas, maka pengertian komitmen adalah suatu keadaan dimana pegawai memihak organisasi tertentu serta tujuan tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut. Komitmen sebagai keterlibatan pekerjaaan yang tinggi berarti memihak pada pekerjaan tertentu seseorang pegawai. Dalam organisasi pegawai merupakan tenaga profesional yang berhadapan langsung dengan pekerjaan dalam menjalankan tugasnya serta mampu menjalankan berbagai kebijakan dengan tujuan-tujuan tertentu dan mempunyai komimen yang kuat terhadap tempat pegawai bekerja.

4. Komitmen Afektive

(4)

organisasi, dan keinginan untuk dapat tetap bertahan dalam organisasi (Rhoades, Eisenberger, & Armeli, 2001).

Dalam tiga komponen model yang diusulkan oleh Meyer, Allen & Smith (1993), diidentifikasikan bahwa terdapat tiga definisi terkait dengan komitmen yang mana komitmen merupakan sebuah keterikatan secara afektif kepada organisasi, komitmen sebagai persepsi biaya yang terasosiasikan pada saat meninggalkan organisasi, dan komitmen sebagai kewajiban untuk tetap bertahan dalam organisasi (Meyer, Allen, & Smith, 1993).

Komitmen afektif merupakan bagian dari Komitmen Organisasional yang mengacu kepada sisi emosional yang melekat pada diri seorang karyawan terkait keterlibatannya dalam sebuah organisasi. Terdapat kecenderungan bahwa karyawan yang memiliki Komitmen afektif yang kuat akan senantiasa setia terhadap organisasi tempat bekerja oleh karena keinginan untuk bertahan tersebut berasal dari dalam hatinya. Komitmen afektif dapat muncul karena adanya kebutuhan, dan juga adanya ketergantungan terhadap aktivitas-aktivitas yang telah dilakukan oleh organisasi di masa lalu yang tidak dapat ditinggalkan karena akan merugikan. Komitmen ini terbentuk sebagai hasil yang mana organisasi dapat membuat karyawan memiliki keyakinan yang kuat untuk mengikuti segala nilai-nilai organisasi, dan berusaha untuk mewujudkan tujuan organisasi sebagai prioritas pertama, dan karyawan akan juga mempertahankan keanggotaannya (Kartika, 2011).

(5)

karakteristik terkait dengan pekerjaan, dan pengalaman kerja, yang mana pengalaman kerja memiliki hubung-an yang terkuat dan paling konsisten. Karyawan yang telah bekerja cukup lama dalam organisasi yang selalu konsisten dalam ekspektasi yang diharapkan serta pemuasan kebutuhan dasarnya akan cenderung untuk membentuk ikatan afektif yang lebih kuat terhadap organisasi daripada karyawan yang memiliki pengalaman lebih sedikit atau kurang terpuaskan kebutuhannya (Meyer, Allen, & Smith, 1993).

Menurut Buchanan (1974) bahwa komitmen affective diartikan sebagai keikutsertaan individu terhadap tujuan dan nilai perusahaan dengan berdasarkan pada ikatan psikologis antara individu dan perusahaan tersebut. Hartmann dan Bambacas (2000) menyatakan bahwa komitmen affective sebagai perasaan memiliki dan menjadi bagian dari organisasi dan telah memiliki hubungan dengan karakteristik pribadi, struktur organisasi dan pengalaman kerja.

(6)

Komitmen Affective dikatakan sebagai kekuatan seseorang untuk bekerja di dalam sebuah organisasi, karena mereka menyetujuhi dan berkeinginan untuk melakukan pekerjaan tersebut (Greenberg, 1997). Komitmen Affective juga merupakan bagian dari komitmen organisasional yang mengacu kepada sisi emosional yang melekat pada diri seorang pegawai terkait keterlibatannya dalam sebuah organisasi. Terdapat kecenderungan bahwa pegawai yang memiliki komitmen Affective yang kuat akan senantiasa setia terhadap organisasi tempat bekerja oleh karena keinginan untuk bertahan tersebut berasal dari dalam hatinya. (Greenberg dan Baron, 2003).

Komitmen Affective dapat muncul karena adanya kebutuhan dan juga adanya ketergantungan terhadap aktivitas-aktivitas yang telah dilakukan oleh organisasi di masa lalu yang tidak dapat ditinggalkan karena akan merugikan. Komitmen ini terbentuk sebagai hasil yang mana organisasi dapat membuat karyawan memiliki keyakinan yang kuat untuk mengikuti segala nilai-nilai organisasi dan berusaha untuk mewujudkan tujuan organisasi sebagai prioritas pertama, dan karyawan akan juga mempertahankan keanggotaannya (Kartika, 2011).

5. Aspek Pengukuran Komitmen Affective

Aspek-aspek dalam pengukuran komiten afektif (Luthans, 2006) yaitu: b. Bekerja melampaui target atau, bersedia untuk bekerja ekstra melampaui

(7)

c. Membanggakan organisasi kepada orang lain atau, membanggakan kepada orang lain bahwa organisasi tempat bekerja adalah organisasi yang baik. d. Menerima semua tugas atau, bersedia menerima semua macam penugasan

agar tetap bekerja dengan organisasi.

e. Kesamaan nilai atau, nilai-nilai pegawai sama dengan nilai-nilai organisasi ini.

f. Bangga menjadi bagian organisasi atau, merasa bangga menjadi bagian dari organisasi

g. Organisasi memberi inspirasi atau, organisasi benar-benar memberi inspirasi yang baik untuk berprestasi.

h. Gembira memilih bekerja pada organisasi ini yaitu, senang memilih organisasi untuk tempat bekerja dari pada organisasi lainnya, ketika untuk pertama kalinya memutuskan bergabung.

i. Peduli terhadap nasib organisasi yaitu, sangat peduli dengan kemajuan atau kemunduran organisasi.

6. Faktor-Faktor yang menentukan Komitmen Affective

(8)

E. Kepemimpinan Atasan

Menurut Dessler (1997) kepemimpinan merupakan salah satu fungsi manajemen sumber daya manusia yaitu membuat orang lain menyelesaikan pekerjaan, mempertahankan semangat kerja dan memotivasi bawahan. Kepemimpinan merupakan faktor yang sangat penting dalam mempengaruhi prestasi suatu organisasi karena kepemimpinan merupakan aktivitas yang utama dimana tujuan organisasi dapat tercapai.

Sedangkan menurut Yukl (1998) Kepemimpinan merupakan sebuah proses mempengaruhi, yaitu mempengaruhi interpolasi mengenai peristiwa bagi para pengikut, pilihan dari sasaran bagi kelompok atau organisasi, pengorganisasian dari aktivitas-aktivitas kerja untuk mencapai sasaran, pemeliharaan hubungan kerjasama dan team work, serta perolehan dukungan dan kerjasama dari orang-orang yang berada diluar kelompok atau organisasi.

1. Pengertian Kepemimpinan

(9)

kompetensi yang merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh setiap pemimpin, oleh karena itu sangat dituntut bahwa pemimpin hendaknya memiliki talenta yang tinggi (Subair, 2008).

Istilah kepemimpinan berasal dari kata pimpin yang berarti bimbing atau tuntun sedangkan dari bahasa sehari-hari berarti seseorang yang memiliki kemampuan memimpin artinya kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain atau kelompok tanpa mengindahkan bentuk alasannya (Wirawan, 2003).

Beberapa pendapat dari para ahli mengenai definisi kepemimpinan seperti yang dikemukakan oleh (Hemphill & Coons, 1957) yang mengatakan bahwa kepemimpinan adalah sikap pribadi yang memimpin pelaksanaan aktivitasnya untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa kepemimpinan adalah suatu proses yang mempengaruhi aktifitas kelompok yang diatur untuk mencapai tujuan bersama (Rauch & Behling, 1984). Ada penjelasan bahwa kepemimpinan merupakan kemampuan mempengaruhi, kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi, dalam situasi tertentu dan langsung melalui proses komunikasi untuk mencapai satu atau beberapa tujuan tertentu (Tannebaum, 1961).

Ivancevich (2000) mendefinisikan kepemimpinan sebagai ability to influence through communication the activities of others, individually or as group

to ward the accomplishment of worth while meaningful and challenging goals.

Sedangkan, Terry (2003) mendefinisikan kepemimpinan sebagai the relationship in which one person (the leader) influence others to work together willingly on

(10)

Dari dua teori kepemimpinan tersebut, dapat dikatakan bahwa hakekat kepemimpinan sebenarnya terletak dari cara bagaimana seorang pemimpin mampu mempengaruhi bawahannya dalam mencapai suatu tujuan Maxwell (2001). Menurut Handoko (2001) kepimpinan adalah kemampuan yang dimiliki oleh seorang pemimpin untuk mempengaruhi bawahannya agar bersedia untuk bekerjasama dalam usaha untuk mencapai tujuan organisasi. Kepemimpinan adalah cara seorang pemimpin mempengaruhi perilaku bawahan agar mau bekerja sama dan bekerja secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan organisasi (Hasibuan, 2003).

Hoyt (2002) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah suatu seni untuk mempengaruhi tingkah laku manusia serta kemampuan untuk membimbing seseorang. Keberhasilan suatu organisasi baik sebagai keseluruhan maupun berbagai kelompok dalam suatu organisasi tertentu, sangat tergantung kepada mutu kepemimpinan yang terdapat dalam organisasi yang bersangkutan, bahkan kiranya dapat dikatakan bahwa mutu kepemimpinan yang terdapat dalam suatu organisasi memainkan peranan yang sangat dominan dalam keberhasilan organisasi tersebut dalam menyelenggarakan berbagai kegiatan.

(11)

kepuasan kerja secara non finacial (instrinsic rewards) atas kinerja pegawai yang diberikan kepada organisasi.

Berdasarkan uraian di atas maka kepemimpinan adalah proses mengarahkan, membimbing dan mempengaruhi pikiran, perasaan, tindakan dan tingkah laku pegawai untuk digerakkan ke arah tujuan dalam menyelesaikan pekerjaan.

5. Aspek-aspek Kepemimpinan Atasan (Siagian, 2002) b. Memiliki misi

c. Seorang pemimpin mempunyai ciri seorang master pengubah yang menciptakan masa depan yaitu mengantisipasi kebutuhan dan perubahan produktif yang memimpin

d. Seorang pemimpin adalah seorang pengambil keputusan

e. Seorang pemimpin menggunakan kekuasaannya secara bijaksana f. Seorang pemimpin berkomunikasi efektif

6. Persepsi Bawahan terhadap Kemampuan Pemimpin Atasan

(12)

Dalam satu situasi misalnya, tindakan pemimpin pada beberapa tahun yang lalu tentunya tidak sama dengan yang dilakukan pada saat sekarang, karena memang situasinya telah berlainan. Dengan demikian, ketiga unsur yang mempengaruhi gaya kepemimpinan tersebut, yaitu pemimpin, bawahan dan situasi merupakan unsur yang saling terkait satu dengan lainnya, dan akan menentukan tingkat keberhasilan kepemimpinan itu sendiri.

7. Prinsip Dasar Kepemimpinan

Stephen (2002) menyatakan bahwasannya terdapat karakteristik dari seorang pemimpin sebagai berikut:

1. Seorang yang belajar seumur hidup.

Tidak hanya melalui pendidikan secara formal tetapi juga diluar sekolah. Contohnya, belajar melalui membaca, menulis, observasi dan mendengar. Memiliki pengalaman yang baik maupun buruk sebagai sumber belajar.

2. Berorientasi pada pelayanan.

Seorang pimpinan tidak dilayani tetapi melayani, sebab prinsip pemimpin dengan prinsip melayani berdasarkan karir sebagai tujuan utama. Dalam memberikan pelayanan, pimpinan seharusnya lebih berprinsip pada pelayanan yang baik.

3. Membawa energi yang positif.

(13)

waktu yang lama dan kondisi yang tidak ditentukan. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus dapat menunjukkan energi yang positif, seperti:

a. Percaya pada orang lain. Seorang pimpinan harus dapat mempercayai orang lain termasuk staf bawahannya sehingga mereka dapat mempertahankan pekerjaan dengan baik. Oleh karena itu, kepercayaan harus diikuti dengan kepedulian.

b. Keseimbangan dalam kehidupan artinya seorang pemimpin harus dapat menyeimbangkan tugasnya. Berorientasi kepada prinsip kemanusiaan dan keseimbangan diri.

c. Sinergi artinya kerja kelompok dan memberikan keuntungan kedua belah pihak. Menurut The New Brolier Webster International Dictionary, sinergi adalah satu kerja kelompok dimana memberi hasil yang lebih efektif daripada bekerja secara perorangan. Seorang pimpinan harus dapat bersinergis dengan setiap orang.

d. Latihan mengembangkan diri sendiri yakni seorang pemimpin harus dapat memperbaharui dirinya sendiri untuk mencapai keberhasilan yang tinggi. Jadi, dia tidak hanya berorientasi pada proses saja.

F. Motivasi Kerja

(14)

1. Kebutuhan fisiologikal, seperti sandang, pangan dan papan.

2. Kebutuhan keamanan, tidak hanya dalam arti fisik, akan tetapi juga mental psikologikal dan intelektual.

3. Kebutuhan sosial, berkaitan dengan menjadi bagian dari orang lain, dicintai orang lain dan mencintai orang lain.

4. Kebutuhan prestise yang pada umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status.

5. Aktualisasi diri dalam arti tersedianya kesempatan bagi seseorang untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sehingga berubah menjadi kemampuan nyata.

(15)

Menurut Robbins dan Coulter (2010) motivasi kerja adalah proses dimana usaha sesorang diberi energi, diarahkan, dan berkelanjutan menuju tercapainya suatu tujuan. Elemen energi adalah ukuran dari intensitas atau dorongan. Usaha tingkat tinggi perlu diarahkan pada cara yang dapat membantu organisasi mencapai tujuannya. Motivasi kerja pada dasarnya adalah proses yang menentukan seberapa banyak usaha yang akan dicurahkan untuk melaksanakan pekerjaan (Buhler, 2004). Menurut Ivancevich, Gibson & Donnelly (2005) motivasi kerja adalah kesediaan berkinerja, berhubungan dengan sejauh mana seorang individu ingin ataupun bersedia berusaha untuk mencapai kinerja yang baik dipekerjaan. Motivasi kerja adalah suatu perangsang keinginan (want) daya penggerak kemauan bekerja seseorang, setiap motif mempunyai tujuan yang ingin dicapai (Hasibuan, 2001).

Mondy (2008) memberikan definisi motivasi (kerja) sebagai kesediaan untuk melaksanakan upaya tinggi, untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi, yang dikondisikan oleh kemampuan upaya demikian, untuk memenuhi kebutuhan individual tertentu. Motivasi dapat pula dipandang sebagai bagian integral dari administrasi kepegawaian dalam rangka proses pembinaan, pengembangan dan pengarahan tenaga kerja dalam suatu organisasi. Menurut Siagian (2008), motivasi kerja adalah dimensi atau energi yang menggerakkan diri pegawai yang terarah atau tertuju untuk mencapai tujuan organisasi.

(16)

organisasi dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti kesempatan memperoleh pendidikan dan pelatihan tambahan, penilaian prestasi kerja yang adil, rasional dan objektif, sistem imbalan dan berbagai faktor lainnya.

1. Pengertian Motivasi Kerja

Kerja memainkan peran yang dominan dalam kehidupan kita. Hampir menghabiskan lebih banyak waktu kita daripada melakukan kegiatan yang lain. Sangat sulit untuk menikmati hidup tanpa melakukan beberapa pekerjaan produktif, dan setiap kegiatan yang memiliki kepentingan harus membangkitkan motivasi yang kuat. (Mondy, 2008).

Motivasi adalah “pemberian dorongan-dorongan individu untuk bertindak yang menyebabkan orang tersebut berperilaku dengan cara tertentu yang mengarah pada tujuan” (Aries & Ghozali, 2006). Pemberian motivasi merupakan salah satu tujuan agar karyawan yang diberi motivasi dapat bekerja sesuai dengan acuan kerja dan taggung jawab yang diberikan sehingga tujuan perusahaan dapat tercapai dengan baik. Selain itu, juga terkandung unsur-unsur upaya, yaitu upaya yang berkualitas dan diarahkan serta konsisten dengan tujuan-tujuan organisasi yang ingin dicapai.

(17)

Menurut Luthans (2006) Proses timbulnya motivasi umumnya diawali dengan munculnya suatu kebutuhan (needs) yang belum terpenuhi sehingga menyebabkan adanya ketidakseimbangan antara fisik dan psikologis dalam diri seseorang. Kemudian ketidakseimbangan tersebut menyebabkan orang berusaha untuk menguranginya dalam berprilaku tertentu. Usaha inilah yang disebut dorongan (drives), misalnya kebutuhan makan diwujudkan dalam bentuk dorongan rasa lapar dan kebutuhan untuk berteman menjadi dorongan untuk bersosialisasi. Selanjutnya orang tersebut akan menerima insentif (incentive) sebagai akibat dari usaha yang ia lakukan.

Berdasarkan uraian di atas maka motivasi kerja sebagai dorongan yang dilimiliki pegawai untuk bertindak dan berperilaku secara tertentu sebagai upaya untuk memenuhi yang diharapkan dalam mencapai tujuan organisasi.

2. Pengukuran Motivasi Kerja

Pengukuran motivasi kerja dapat diketahui dengan melakukan survei dalam mendiagnosis bidang masalah tertentu kepada pegawai, sebagai contoh, kuesioner diberikan guna mengumpulkan ide untuk memperbaiki sistem penghargaan kinerja atau untuk menentukan seberapa puas para pegawai dengan program tunjangan mereka. Mathis (2000), menyatakan bahwa: salah satu jenis survei yang sering dilakukan oleh banyak organisasi adalah survei sikap (attitude survey) yang berfokus pada perasaan dan keyakinan para pegawai tentang

(18)

kerja mereka, kebijakan dan praktik organisasional, pengembangan dan jaminan terhadap pegawai serta lingkungan pekerjaan mereka. Survei ini dapat menjadi awal mula untuk meningkatkan motivasi kerja untuk periode waktu yang lebih lama.

Mangkunegara (2006), menyatakan bahwa pengukuran motivasi dapat dilakukan dengan melihat karakter orang sebagai berikut:

a. Melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya. b. Melakukan sesuatu untuk mencapai kesuksesan.

c. Menyelesaikan tugas-tugas yang memerlukan usaha dan ketrampilan. d. Selalu mencari sesuatu yang baru.

3. Tujuan Pemberian Motivasi Kerja

Lindner (2000), mengemukakan bahwa: pemberian motivasi adalah sesuatu yang sangat penting yang dilakukan oleh para manajer untuk dapat bertahan. Pegawai yang termotivasi dibutuhkan untuk merubah lingkungan kerja secara cepat. Pegawai yang termotivasi membantu organisasi untuk bertahan. Pegawai yang termotivasi akan lebih produktif, kreatif dan inisiatif. Untuk itu manajer perlu memahami apa yang memotivasi pegawai berkaitan dengan peran yang ditampilkan.

(19)

E.Pengaruh antara variabel

1. Pengaruh antara kepemimpinan dengan komitmen affective

Berhasil tidaknya suatu organisasi sebagian besar ditentukan oleh kepemimpinan dalam meningkatkan komitmen affectif para bawahannya. Ungkapan yang menyatakan bahwa pemimpin yang bertanggung jawab atas kegagalan pelaksanaan suatu pekerjaan merupakan ungkapan yang mendudukkan posisi pemimpin dalam suatu organisasi pada posisi yang terpenting. Faktor kepemimpinan mempunyai peran yang sangat penting dalam meningkatkan kinerja pegawai karena kepemimpinan yang efektif akan mampu memberikan pengarahan terhadap usaha-usaha dalam proses pekerjaan untuk mencapai tujuan organisasi.

Hubungan antara kepemimpinan dengan komitmen affective didukung penelitian terdahulu oleh Arviana (2013) dengan judul komitmen affective organisasi ditinjau dari persepsi terhadap kepemimpinan transaksional pada pekerja pelaksana di perusahaan Umum (Perum) X Semarang. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara komitmen affective organisasi dengan persepsi terhadap gaya kepemimpinan transaksional.

(20)

hanya ditemukan pada perbedaan gender dengan komitmen tertinggi karyawan perempuan. Temuan keseluruhan dari studi ini menunjukkan bahwa kepemimpinan transformasional harus diterapkan dalam rangka mempertahankan komitmen karyawan.

Kepemimpinan adalah cara seorang pemimpin dalam mempengaruhi perilaku bawahan agar mau bekerja sama dan bekerja secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan organisasi (Hasibuan, 2003). Pemimpin yang mampu bekerjasama dengan para pegawai adalah pemimpin yang ingin tujuan organisasi tercapai dengan maksimal yaitu prestasi-prestasi yang dapat mengharumkan nama organisasi secara umum dan secara khusus menunjukkan kualitas dari kepemimpinan tersebut Rivai (2005).

Peran dari kepemimpinan dalam suatu organisasi diharapkan memiliki kemampuan dalam mempengaruhi, mengarahkan serta berkomunikasi dengan baik bagi para bawahannya. Adapun indikator dalam pengukuran kepemimpinan adalah penetapan keputusan oleh pimpinan, kebijakan pimpinan, berani mengambil resiko, berani membuat perubahan, dorongan berprestasi dari pimpinan serta pengawasan perilaku pegawai (Wirawan, 2003).

2. Pengaruh antara Motivasi Kerja dengan Komitmen Affective

(21)

maka pegawai harus dapat menumbuhkan motivasi kerja setinggi-tingginya bagi para pegawai dalam organisasi. Mathis (2000).

Hubungan antara motivasi kerja dengan komitmen affective didukung Penelitian terdahulu oleh Wiyono (2010), melakukan penelitian dengan judul ”Pengaruh Motivasi dan Disiplin Kerja terhadap Komitmen affective Pegawai CPP Network Di Magelang”. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa motivasi dan disiplin kerja bersama-sama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap komitmen affective. Sedangkan dari analisis uji f diperoleh kesimpulan bahwa disiplin kerja mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap komitmen affektif pegawai dibandingkan dengan motivasi.

Hasil beberapa penelitian (Adler dan Araya, 1984; Angle dan Perry, 1983; Brief dan Alday, 1980; Chairy, 2002), komitmen afektive terhadap organisasi terbukti berkolerasi dengan memotivasi karyawan berdasarkan umur dan masa kerja. Menurut penelitian Charrington menemukan hubungan antara usia dan komitmen disebabkan karena semakin tua karyawan, semakin berkomitmen pada organisasi serta karyawan yang lebih tua memiliki atau merasa memiliki pengalaman positif dengan organisasi. Analisis tentang usia tidak menunjukkan efek yang sama, namun temuan (Meyer & Allen, 1997) menunjukkan bahwa hubungan antara kompleksitas kerja dengan kepuasan kerja lebih kuat dirasakan oleh karyawan yang muda dibandingkan yang tua. Hal ini dimungkinkan adanya hubungan antara komitmen organisasional dengan usia karyawan yang berbeda.

(22)

bagi suatu organisai karena mencerminkan upaya organisasi untuk mempertahankan sumber daya manusia, dan wujud perhatian organisasi terhadap komitmen affective pegawai. Faktor internal pegawai seperti motivasi diri juga merupakan hal yang tidak dapat dilepaskan dari komitmen affective pegawai. Dorongan dari dalam diri pegawai dianggap sangat mampu memberikan pengaruh terhadap keinginan pencapaian tujuan perusahaan. Keinginan pencapaian tujuan inilah yang diharapkan mampu mendorong pencapaian pretasi kerja pegawai.

Begitu juga halnya dengan keberhasilan suatu organisasi dalam usaha untuk mencapai tujuannya sangat dipengaruhi oleh komitmen affective dari para anggotanya. Dengan kata lain keberhasilan organisasi untuk mencapai tujuannya juga merupakan suatu komitmen affective bagi organisasi sehingga dapat dikatakan bahwa komitmen affective pegawai merupakan prestasi bagi organisasi itu sendiri. Menurut Mayer, Allen dan Smith dalam Sopiah (2008) Affective Commitment, terjadi apabila pegawai ingin menjadi bagian dari organisasi karena

adanya ikatan emosional. Indikator dalam pengukuran komitmen affective adalah kesediaan bekerja lebih keras, kesamaan nilai-nilai yang dimiliki organisasi dengan yang dimiliki diri sendiri, rasa bangga bagian dari organisasi, rasa memiliki dan rasa keterikatan.

(23)

Sumber: Hasibuan (2003), Davis (2000), Rivai (2004) dan Leiden (2001) Gambar 2.1. Kerangka Konseptual

F. Hipotesis

Berdasarkan kerangka konseptual yang telah diuraikan sebelumnya, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Kepemimpinan dan motivasi kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap komitmen affective pegawai pada Rumah Sakit Umum Deli Serdang Lubuk Pakam.

2. Kepemimpinan berpengaruh positif dan signifikan terhadap komitmen affective pegawai pada Rumah Sakit Umum Deli Serdang Lubuk

Pakam.

3. Motivasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap komitmen affective pegawai pada Rumah Sakit Umum Deli Serdang Lubuk Pakam.

Kepemimpinan Atasan (X1)

Motivasi Kerja (X2)

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Konseptual

Referensi

Dokumen terkait

Selain pembagian ini, terdapat juga kamus bantu untuk buku pelajaran, kamus digital (software) dan kamus online (laman web). Perkembangan ilmu pengetahuan yang kemudian

Salah satu penelitian Johnson dan Medinnus yang meneliti tentang urutan kelahiran dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian serta pola tingkah laku seseorang, sehingga dalam

Risiko pasar merupakan hal yang sangat berpengaruh besar terhadap nilai harga saham dimana risiko ini berpengaruh terhadap pendapatan dari investor. Apabila risiko

Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa dalam skripsi ini tidak dapat keseluruhan atau sebagian tulisan orang lain yang saya ambil dengan cara

Hasil penelitian ini ada hubungan yang bermakna antara pola asuh orang tua dengan perilaku kekersasan pada anak usia sekolah di dusun Kwarasan Gamping Sleman

Tesis Pasar Tradisional Di Tengah Arus Perubahan Studi … Muhammad Ilyas Rolis... ADLN Perpustakaan

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa komponen fungisid sirih hijau ( Piper betle Linn ) terdapat pada kavikol dan karvakrol , sedangkan komponen fungisid sirih merah

“Metodologi Kritik Hadis (Studi Krisis Atas Pemikiran Umar bin al- Khattab)” (Skripsi--Institut Agama Islam Negeri Tulung Agung, 2014).. Pengantar Hukum Islam di