• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deliniasi Daerah Resapan dan Tangkapan A

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Deliniasi Daerah Resapan dan Tangkapan A"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1

Deliniasi Daerah Resapan dan Tangkapan Air di Hulu DAS untuk

Menjamin Kesinambungan Suplai Air Menuju Daerah Irigasi

Mandiri Energi

Dede Rohmat1, Herryan Kendra2, Suardi Natasaputra3

ABSTRAK

Pengembangan energi terbarukan skala mikro dengan memanfaatkan debit air irigasi merupakan solusi alternative untuk memenuhi kebutuhan energi petani di daerah irigasi. Keberadaan Daerah Resapan Air (DRA) dan Daerah Tangkapan Air (DTA) pada suatu DAS sangat penting untuk mendukung kontinuitas debit suplai air irigasi.. Tujuan ini tulisan ini adalah memberikan gambaran/contoh kasus keberadaan DRA dan DTA hasil deliniasi pada wilayah sungai berikut hasil analisi debit andalan dan fluktuasinya, alokasi penggunaan air, dan daya listrik yang mungkin dihasilkan dari alokasi air untuk irigasi serta jumlah kepala keluarga (KK) yang dapat dilayani listrik skala mikro ini. Dengan asumsi pesimistis diperoleh gambaran bahwa energi listrik yang mampu disediakan 919 kW (head 10 m) – 367.6 kW (head 4 m); dan jumah KK yang dapat dilayani sekitar 2.042 KK – 817 KK. Daya listrik dan KK yang terlayani akan bertambah seiringan bertambahnya kuantitas dan kontinyuitas debit air.. Kasus di WS Tamiang-Langsa ini merupakan kasus tipikal untuk WS-WS yang lain. Kuantitas debit air yang cukup dan stabil, sangat bergantung pada keberadaan DRA dan DTA yang cukup dan terjamin dari sisi luas dan kualitas, perlindungan hukum, dan penjagaan serta pemeliharaanya. Tantangannya terletak pada bagaimana memformulasi model: hubungan antara besar/luas DRA dan DTA dengan kuantitas debit dan kontinyuitas air irigasi; kebutuhan dan system penyediaan energi skala mikro untuk tipikal masyarakat daerah irigasi; pemberdayaan masyarakat agar fungsi layanan optimal dan berkesinamabungan. Tiga tantangan ini memerlukan kajian mendalam melalui riset/pilot studi pada kawasan DAS/WS tertentu.

Keyword: DRA, DTA, irigasi, energi terbarukan, listrik mikro, daerah irigasi

1 Guru Besar Konservasi Sumber Daya Air, Jurusan Pendidikan Geografi, FPIPS UPI; Profesional Madya Pengelolaan Sumber Daya Air, Pengurus KNI ICID Komda Jabar; Jln. Dr. Setiabudi No 229 Bandung-40154, HP:. 082115444499; email: dederohmat64@gmail.com

2 Praktisi Rekayasa SDA; Anggota KNI ICID Komda Jabar; Direktur Utama PT. Aditya Engineering Consultant, Jl. Batu Pertama I No 2A, Margacinta, Bandung, HP: 0811226584, email: herryan.aec@gmail.com

(2)

2

4.1 Latar Belakang

Air merupakan faktor pendukung utama dalam pertanian. Tidak akan produktif suatu lahan pertanian tanpa pemenuhan kebutuhan air yang cukup. Berbeda dengan input lain seperti pupuk atau pestisida yang merupakan faktor pendukung dalam proses produktivitas pertanian. Peranan air merupakan jaminan produktivitas pertanian terutama untuk sawah irigasi.

Sebagaimana kita ketahui bahwa negara Indonesia merupakan salah satu negara agraris dengan luas lahan sawah irigasi mencapai 4,819,525.00 Ha yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia (BPS, 2013). Potensi sawah irigasi tersebut harus didukung dengan potensi sumber daya air dan energi yang cukup. Dengan demikian sumber daya air dan sumber daya energi menjadi kebutuhan yang paling krusial bagi masyarakat di Daerah Irigasi (DI) untuk mendukung kehidupan ekonomi dan kesejahteraan sosialnya.

Namun beberapa Daerah Irigasi di Indonesia belum terbilang sejahtera. Terbukti dengan angka kemiskinan di Indonesia banyak disandang oleh petani atau buruh tani. Bahkan kemiskinan petani menjadi masalah kronis yang sulit terpecahkan. Data BPS (2015) menunjukkan bahwa dari 28,59 juta penduduk miskin, 62,75 persennya (17,94 juta orang) terdapat di pedesaan. Dapat diprediksi mayoritas penduduk pedesaan adalah petani. Data lain menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga pertanian yang tergolong miskin 2.819.082 rumah tangga. Dari jumlah ini 1.819.197 KK (64,53 %) adalah petani yang bekerja pada sector pertanian tanaman pangan. Sisanya tersebar untuk petani hortikultura, perkebunan dan sub sector pertaian lain. Berdasarkan angka-angka ini nampaknya masyarakat petani di daerah irigasi merupakan bagaian dan kondisi ini, bisa jadi merupakan bagian terbesar ? Pembangunan dan pengembangan sector eknomi pedesaan menjadi salah satu kunci untuk mengatasi masalah kemiskinan di pedesaan ini, Pemberian air irgasi adalah keniscayaan untuk peningkatan produksi dan produktivitas pertanian. Upaya lain yang tidak kalah penting adalah ketersediaan energi (energi listrik) yang memadai.

(3)

3 Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) memerlukan energi air yang cukup dan kontinyu, termasuk pada musim kemarau, Dengan demikian, syarat utama untuk menghasilkan energi listrik yang memadai sesuai kapasitas terpasang PLTMH adalah kuantitas debit dan head yang cukup serta aliran yang kontinyu.

Kondisi debit seperti ini, hanya dapat dipenuhi jika ketersediaan dan suplai air dari daerah hulu DAS (Daerah Aliran Sungai) dimana DI itu berada memadai. Disinilah letak penting dan mendesaknya kawasan resapan air di kawasan hulu. Keberadaan dan kelestarian kawasan resaan daerah hulu bukan saja akan menjamin ketersediaan air irgasi, amana terhadap bahaya banjir, namun juga mampu memberikan jaminan kesinambungan debit air sebagai salah satu bentuk nergi terbarukan untuk memasok energi listrik bagi masyarakat penggarap lahan di DI dan sekitarnya.

Dengan demikian pengembangan PLTMH yang berkelanjutan tersebut diharapkan mampu menjawab permasalahan kronis masyarakat Daerah Irigasi di Indonesia. Sehingga mampu mewujudkan ketahanan pangan nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani.

4.2 Lingkup Bahasan

Makalah ini akan mengkaji tentang :

1) bagaimana membuat suatu deliniasi kawasan resapan air di kawasan hulu DAS

2) menggambarkan fluktuasi ketersediaan air dan alokasi air irgasi pada DAS yang

bersangkutan

3) menggambarkan potensi energi listrik yang dapat dihasilkan dari pembangkit mikro

berdarkan aloaksi air irgasi

4) menggambarkan berapa jumlah kepala keluarga (KK) petani di daerah irigasi dan

sekitarnya yang dapat dilayani oleh pembangkit listrik mikro tersebut

5) mengidentifikasi kontribusi, kendala dan tantangan deliniasi DRA dan DTA dalam

hubungannya dengan fluktuasi ketersediaan air, potensi listrik mikro, dan pemenuhan kebutuhan listrik petani sekitar daerah irigasi dan sekitarnya.

4.3 Metode

(4)

4

4.4 Konsep Dasar Irigasi, Ketahanan Pangan dan Energi

a. Irigasi

Irigasi adalah pemberian air kepada tanah untuk menunjang curah hujan yang tidak cukup agar tersedia lengas bagi pertumbuhan tanaman (Linsley,Franzini, 1992). Sedangkan Daerah Irigasi dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 23/1982 Ps. 1 adalah kesatuan wilayah yang mendapat air dari satu jaringan irigasi. Daerah irigasi dan jaringan irigasi saling berkaitan satu sama lain. Disamping memanfaatkan air irigasi, masyarakat daerah irigasi berkewajiban untuk menjaga dan memelihara kondisi irigasi agar terus berkelanjutan.

b. Kebutuhan Air Irigasi

Kebutuhan air irigasi adalah jumlah volume air yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan evapotranspirasi, kehilangan air, kebutuhan air untuk tanaman dengan memperhatikan jumlah air yang diberikan oleh alam melalui hujan dan kontribusi air tanah. Kebutuhan air di sawah dinyatakan dalam mm/hari atau lt/dt/ha/ kebutuhan air belum termasuk efisiensi di jaringan tersier dan utama.

c. Ketahanan Pangan dan Energi

FAO (1992) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai situasi dimana dalam segala waktu memiliki kecukupan jumlah atas pangan yang aman dan bergizi demi kehidupan yang sehat dan aktif. Sedangkan menurut Sitanggang dan Marbun (2007) “ketahanan pangan adalah adanya jaminan bahwa kebutuhan pangan dan gizi setiap penduduk adalah sebagai syarat utama dalam mencapai derajat kesehatan dan kesejahteraan yang tercukupi”.

Selain ketahanan pangan hal urgensi lainnya adalah ketahanan energi. Harian Kompas (04/12/16) menyebutkan bahwa 6,9 Juta kepala keluarga di Indonesia belum menikmati listrik. Beberapa diakibatkan oleh faktor aksesbilitas yang sulit untuk pembangunan infrastruktur listrik tersebut. Kebijakan ketahanan energi diarahkan untuk diversifikasi energi atau meningkatkan peranan energi baru dan terbarukan dalam bauran energi

4.5 PLTMH sebagai Energi Terbarukan

(5)

5 ketergantungan pada energi fosil, PLTMH juga dapat ikut mencukupi kebutuhan energi masyarakat yang semakin hari semakin meningkat. Sifatnya yang terbarukan menjadikan energi yang berasal dari PLTMH ini tidak akan ada habisnya jika dijaga dan dipelihara dengan sebaik-baiknya. Kapasitas daya pada PLTMH dihitung dengan (Sentanu. 2013) :

W = 9,8 x Q x Hnet x ƞtotal

Keterangan: W = Potensi kapasitas daya terbangkit [Watt]; 9,8 = Kecepatan gravitasi [meter/detik2]; Q = debit air [liter/detik]; Hnet = Energi Head [meter] = Hgeodetic - Hlosses

Ƞtotal = efisiensi total; sekitar 0,55; Ƞtotal = Ƞturbin x Ƞtransmisi mekanik x Ƞgenerator; Ƞturbin = 0,8.

Ƞtransmisi mekanik = 0,95; Ƞgenerator = 0,9

W = 5 x Q x H [kW]

Keterangan: Q = debit air [m3 /detik]; H = Head [meter]

4.6 Konsep dan Kriteria Kawasan Resapan dan Tangkapan Air

a. Konsep Kawasan Resapan Air di Daerah Hulu

KPP Nomor 23 Tahun 1990 menyebutkan bahwa “kawasan Resapan air adalah daerah yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (akifer) yang berguna sebagai sumber air. Daerah resapan berkaitan dengan tempat meresapnya air hujan yang kemudian akan menjadi cadangan air tanah. DAS bagian hulu merupakan daerah resapan air yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan dan kelestarian tata air, sebagai pelindung dari bahaya erosi, degradasi lingkungan, dan banjir di bagian hilir.

Daerah resapan air perlu untuk dilindungi dan dijaga kelestariannya. Perlindungan terhadap kawasan resapan air tersebut dilakukan untuk memberikan ruang yang cukup bagi peresapan air hujan pada daerah tertentu untuk keperluan penyediaan kebutuhan air tanah dan penenggulangan banjir, baik untuk kawasan bawahannya maupun kawasan yang bersangkutan.

b. Kriteria Penentuan Daerah Resapan Air

Adapun kriteria kawasan resapan air adalah curah hujan yang tinggi, struktur tanah meresapkan air dan bentuk geomorfologi yang mampu meresapkan air hujan secara besar-besaran. Lampiran II Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Permen PUPR) Nomor : 10/PRT/M/2015, tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air memberikan rambu-rambu teknis dalam penentuan daerah resapan dan tangkapan air. Di antara rambu-rambu tersebut adalah bahwa:

(6)

6 salah satu acuan dalam penyusunan dan pelaksanaan rencana tata ruang wilayah.

2) Lokasi dan batas-batas daerah resapan air dan daerah tangkapan air pada wilayah sungai

maka diperlukan analisis spasial (analisis keruangan)

3) Analisis spasial terhadap daerah resapan air dan daerah tangkapan air dilakukan tinjauan

terhadap beberapa variabel spasial (layer peta), kriteria analisis, klasifikasi spasial dan bobot. Variabel spasial, kriteria analisis, klasifikasi spasial seperti pada Tabel 1.

Tabel 1 Variabel, Kriteria dan Klasifikasi Penentuan Daerah Resapan Air (DRA)

Sumber : Lampiran II Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Permen PUPR) Nomor : 10/PRT/M/2015

Melalui analisis spasial dan pembobotan terhadap klasifikasi spasial akan diperoleh lokasi dan batas-batas daerah resapan air pada wilayah sungai/DAS. Salah satu verifikasi terhadap hasil deliniasi batas daerah resapan air adalah dengan melakukan evaluasi dengan keberadaan Cekungan Air Tanah (CAT) dan batas imbuhan/luahan serta lepasan air (Tabel 2).

Tabel 2 Variabel dan Kriteria Batas Imbuhan/Luahan Serta Lepasan Air

(7)

7

c. Kriteria Daerah Resapan Air di Daerah Hulu

Sebagaimana analisis daetah resapan air, lokasi dan batas-batas daerah tangkapan air dilakukan melalui tinjauan terhadap variabel spasial, kriteria, dan klasifikasi seperti pada Tabel 3.

Tabel 3 Variabel, Kriteria dan Klasifikasi Penentuan Daerah Tangkapan Air (DTA)

Analisis spasial dilakukan pembobotan terhadap klasifikasi/ rangking di atas, sehingga diperoleh lokasi dan batas-batas daerah tangkapan air pada wilayah sungai.

4.7 Deliniasi Daerah Resapan dan Tangkapan Air

a. Deliniasi Daerah Resapan Air (DRA)

Rambu-rambu dan kriteria yang diberikan oleh Lampiran II Permen PUPR No. 10/PRT/M/2015 masih bersifat umum. Dalam tataran implementasinya perlu petunjuk yang lebih teknis terutama dan penentuan klasifikasi apakah suatu daerah termasuk daerah resapan yang tinggi atau sebaliknya. Oleh Karena itu, pada kajian ini disajikan suatu metode ( Metode Skoring) berbasis data spasial sebagai penuntun teknis penentuan daerah resapan air. Semua parameter dan kriteria klasifikasi tetap mengacu pada Lampiran II Permen PUPR No. 10/PRT/M/2015.

Terdapat empat parameter yang dianalis, yaitu curah hujan, kemiringan lereng, penggunaan lahan, dan texture tanah. Masing-masing parameter diberi bobot masing-masing 40, 10, 35 dan 15. Bobot ini sesuai dengan peran dan dampaknya terhadap proses peresapan air (lihat Tabel 4). Hasil perkalian antara skore dan bobot adalah skor tertimbang, Jumlah skore tertimbang dari seluruh parameter dinilai secara kualitatif dengan menggunakan acuan:

(8)

8

3) Daerah resapan sedang, jika jumlah skor tertimbang > 260 – 340 4) Daerah resapan rendah, jika jumlah skor tertimbang > 180 – 260 5) Daerah resapan sangat rendah, jika jumlah skor tertimbang 100 – 180

Tabel 4 Acuan Metode Skoring dalam Penentuan Daerah Resapan Air (DRA)

b. Deliniasi Daerah Tangkapan Air (DTA)

Seperti halnya dengan deliniasi daerah resapan air, deliniasi daerah tangkapan air ditentukan dengan metode skoring berbasis spasial, dengan parameter dan kriterian megacu pada Lampiran II Permen PUPR No. 10/PRT/M/2015. Parameter penentian daerah tangkapan air adalah curah hujan, penggunaan lahan, dan bentuk morfologi/topografi. Tiga parameter tersebut masing-masing mempunyai bobot 40, 35 dan 25 (lihat Tabel 5). Klasifikasi daerah tangkapan air ditentukan berdasarkan jumlah skor tertimbang, sebagai berikut:

(9)

9 Tabel 5 Acuan Metode Skoring dalam Penentuan Daerah Tangkapan Air (DTA)

4.8 Contoh Kasus Implementasi Deliniasi DRA, DTA dan Ketersediaan Air pada WS

Tamiang-Langsa

a. Deliniasi DRA dan DTA WS Tamiang Langsa

Metoda skoring penentuan DRA dan DTA telah dicoba diimplementasikan di Wilayah Sungai (WS) Taming Langsa – Aceh. Hasilnya menunjukkan bahwa DRA tersebar di seluruh kawasan WS, namun dominan terdapat di kawasan hulu. Berdasarkan klasifikasinya DRA tinggi mendominasi dengan luas 354,450.02 Ha (56,40 %). Sebaran dan Proporsi luasannya dapat dlihat pada Gambar 1. Sedangkan hasil analisis spasial menunjukkan bahwa WS Tamiang-Langsa didominasi oleh DTA Tinggi dengan luasan sebesar 254,492.85 Ha (40,49%). Sebaran dan proporsi luasnya dapat dilihat pada Gambar 2.

b. Ketersediaan dan Kebutuhan Air WS Tamiang-Langsa

Analisis ketersediaan air WS Taming-Langsa yang dipadukan dengan analisis kebutuhan air telah dilakukan oleh Dinas Pengairan, Pemerintah Aceh (2016). Hasilnya disajikan pada Gambar 3. Terdapat dua hal yang dapat dideskripsikan dari Gambar 4, yaitu:

1) Rasio rata-rata ketersediaan air antara bulan dengan ketersediaan tertinggi dengan

ketersediaan adalah 3.02, sedangkan rasio debit andalan (Q80)-nya pada bulan yang sama adalah 3,22

2) Total kebutuhan air untuk semua jenis kebutuhan dapat terpenuhi, kecuai pada bulan

(10)

10

Sumber : Dinas Pengairan, Pemerintah Aceh, 2016

Gambar 1 Peta sebaran DRA air berdasarkan klasifikasinya

Sumber : Dinas Pengairan, Pemerintah Aceh, 2016

(11)

11

Sumber : Dinas Pengairan, Pemerintah Aceh, 2016

Gambar 3 Grafik fluktuasi ketersediaan dan Kebutuhan air bulanan di WS Tamiang-Langsa

Angka rasio sekitar 3 ini, menunjukkan bahwa secara umum kondisi hidroorologis WS Taminag-Langsa tersebut masih cukup baik. Luas dan sebaran DRA dan DTA dengan kategori sedang sampai dengan tinggi mendominasi. Artinya -walaupun dalam kajian ini tidak ditengahkan analisisnya- terdapat hubungan kausalitas antara kondisi, luas, dan sebaran DRA dan DTA dengan fluktuasi dan ketersediaan air. Kondisi DRA dan DTA seperti digambarkan pada Gambar 1 dan Gambar 2 memberikan dampak terhadap ketersediaan air yang memadai dan cukup aman.

Tentunya, dengan tidak mengesampingkan keberadaan DRA dan DTA yang berkategori rendah/sangat rendah. DRA dan DTA kategori ini, umumnya merupakan lahan-lahan kritis dan lahan dengan pemanfaatan untuk budisaya non vegetasi yang intensif,

Jika dibandingkan antara ketersediaan dengan kebutuhannya, masih terdapat bulan-bulan yang kritis bahkan deficit. Prediksi ke depan, kondisi ini akan semakin mengkhawatirkan, bisa saja margin kekurangan air pada bulan tersebut bertambah dan/atau bahkan bulan-bulan yang mengalami kritis dan deficit air akan bertambah. Dalam kontek konservasi, upaya yang diperlukan adalah memperluas dan meningkatkan areal yang berkategori DRA/DTA tinggi dan sangat tinggi.

c. Potensi Energi Listrik bedasarkan Debit Air Irigasi pada WS Tamiang-Langsa

(12)

12 potensi energi listrik yang dapat dihasilkan oleh alokasi air irigasi pada head 10 dan 4 meter. Dengan pertimbangan kontinuitas air, maka debit andalan terrendah, dapat dijadikan dasar untuk menentukan berapa besar air yang potensial dikonversi menjadi energi listrik.

Gambar 4 Potensi daya listrik (KW) yg bias dihasilkan dari debit air irigasi pada Head 10 dan 4 meter pada WS Tamiang-Langsa

Gambar 5 Potensi jumlah Kepala Keluarga yang dapat dilayani energi listrik yg bias dihasilkan dari debit air irigasi pada head 10 dan 4 meter pada WS Tamiang-Langsa

(13)

13 – 817 KK (lihat Gambar 5). Jika diasumsikan bahwa penyediaan energi listrik didasrkan atas debit andalan terrendah, maka energi listrik yang mampu disediakan berkisar antara 919 kW (head 10 m) – 367.6 kW (head 4 m). Daya listrik sebesar ini cukup untuk memenuhi sekitar 2.042 KK – 817 KK. Besaran daya listtrik ini akan sangat mampu ditinggkatkan sejalan dengan bagaimana upaya manusia untuk melestarikan dan menimgkatkan luas DRA dan DTA.

4.9 Kontribusi pada Kemandirian Energi pada Daerah Irigasi

Umumnya Daerah irigasi terdapat pada daerah-daerah pedesaan dengan kondisi geografis dan aksebilitas yang sulit, Pengembangan PLTMH berbasis debit andalan untuk irigasi berorientasi pada pemenuhan kebutuhan energi listirk untuk masyarakat desa penggarap/pemilik lahan di daerah irigasi dan sekitarnya. Keuntungannya pengembangan listrik mikro ini antara lain:

a. Layanan energi dapat bersifat local atau spot-spot tertentu sesuai dengan tipikal

pemukiman di pedesaan

b. Sebagai komplemen layanan energi listrik secara besar

c. Lebih ekonomis, karena tidak memerlukan investasi besar untuk melayani kelompok

masyarakat tertentu yang tingkat aksesibilitasnya rendah

d. Lebih dekat dengan masyarakat dan masyarakat dapat dilibatkan mulai dari

perencanaan, pembangunan hingga operasi dan pemeliharaan.

e. Semaksimal mungkin dapat memanfaatkan sumber daya lokal, mulai dari material,

pengelola hingga teknisinya

Dari hitung-hitungan kasar di atas, Nampak bahwa jika penggarap daerah irigasi ada sekitar 2000 KK, itu artinya semua KK dapat terpenuhi kebutuhan energi listriknya, Kasus di WS Tamiang-Langsa ini merupakan kasus tipikal untuk WS-WS yang lain. Mimpinya, jika saja hal ini dapat direalisasikan maka Daerah irigasi mandiri energi, tentu dapat direalisasikan. Kajian rinci mengenai hal ini memerlukan studi lanjut.

Pada gilirannya, pembangunan pembangkit energi listrik bebasis daerah irigasi ini akan mampu memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan dan perkembangan daerah serta kesejateraan petani.

4.10 Konklusi dan Rekomendasi

a. Konklusi

(14)

14 Energi listrik, merupakan prasyarat dan stimulan utama peningkatan kegiatan social-ekonomi masyarakat, peningkatan kesejateraan petani dan pengembangan wilayah pedesaan sekitar daerah irigasi. Pengembangan pemanfaatan air irigasi untuk pembangkit tenaga listrik skala mikro salah satu alternatif solusi guna mendukung peningkatan kegiatan ssosial-ekonomi, peningkatan kesejateraan petani, dan pengembangan wilayah pedesaan sekitar daerah irigasi. Pada WS Tamiang Langsa, luas dan sebaran DRA dan DTA dengan kategori sedang-tinggi mendominasi, diprediksi mempunyai hubungan kausalitas antara kondisi, luas, dan sebaran DRA dan DTA dengan fluktuasi dan ketersediaan air, yang nampak memadai dan cukup aman. Dengan asumsi bahwa head yang dibangun 10 meter, energi yang mungkin dihasilkan berkisar 8.540 kW - 919 kW, sedangkan jika head 4, energi listrik yang akan dihasilkan berkisar 3416 – 367.6 kW. Jumlah pemakai Kepala Keluarga yang potensial terlayani, 18.978 – 2.042 KK, atau 7.591 – 817 KK masng-masing untuk head 10 dan 4 meter. Dengan pendekatan pesimistis (debit andalan terrendah untuk irigasi digunakan sebagai acuan penyediaan energi listrik), Nampak bahwa energi listrik yang mampu disediakan adalah 919 kW (head 10 m) – 367.6 kW (head 4 m). Daya listrik sebesar ini cukup untuk memenuhi sekitar 2.042 KK – 817 KK. Jika penggarap daerah irigasi ada sekitar 2000 KK, itu artinya semua KK dapat terpenuhi kebutuhan energi listriknya, Kasus di WS Tamiang-Langsa ini merupakan kasus tipikal untuk WS-WS yang lain.

Dengan asumsi kuantitas dan kontunyuitas debit cukup memadai dan stabil, pembangkit tenaga litrik mikro berbasis air irigasi, diprediksi akan mampu memenuhi kebutuhan energi lisrik masyarakat pedesaan sekitar daerah irigasi. Sehingga maasyarakat sekitar daerah irigasi yang secara topografis sulit untuk memperoleh pasokan energi dari luar, akan mampu menyediakan energi listriknya secara mandiri.

Kuantitas debit air yang cukup dengan kontinyuitas yang stabil, sangat bergantung pada bagaimana kawasan hulu DAS sebagai peresap, penangkap, penyimpan, dan pelepas lambat dapat berfungsi secara optimal. Keberadaan DRA dan DTA yang cukup dan terjamin dari sisi luas dan kualitasnya, perlindungan hukumnya, penjagaan dan dipeliharanya,, merupakan dukungan yang sangat urgen dan penting.

b. Rekomendasi.

Kajian-kajian karakteristik fisik kawasan yang berfungsi sebagai DRA dan DTA yang baik telah banyak dikaji dan dipublikasikan dan ini bisa dijadikan referensi. Tantangannya dalah:

1) Memformulasikan model untuk menentukan besar/luas DRA dan DTA yang

dibutuhkan di hulu DAS untuk mendukung irigasi di kawasan downstream-nya agar tersedia kuantitas debit air irigasi yag cukup dengan kontinyuitas stabil.

2) Memformulasikan model untuk menentukan kebutuhan dan system penyediaan energi

(15)

15

3) Memformulasikan model pemberdayaan masyarakat mulai dari perencanaan,

pebangunan, hingga operasi dan pemeliharaan penyediaan energi skala mikro agar fungsi layanan optimal dan berkesinambungan.

Tiga tantangan inilah yang direkokemendasikan untuk dilakukan kajian secara mendalam melalui riset/pilot studi pada kawasan DAS/WS tertentu.

REFERENSI

Dwiyanto, Indriani dan Tugiono. 2016. Analisis Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro

(PLTMH) Studi Kasus : Sungai Air Anak (Hulu Sungai Way Besai). Lampung : JRSDD.

Vol. 4, No. 3, Hal:407 – 422.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung

Linsley, R.K dan Franzini, J. B. 1992. Teknik Sumber Daya Air, Jilid 2, Edisi ketiga, Terjemahan Djoko Sasongko. Jakarta: Erlangga.

Dinas Pengairan Pemerintah Aceh, 2016, Rancangan Rencana Pengelolaan Sda WS. Tamiang-Langsa (Tahap-II) (Otsus Aceh), PT. Aditya Engineering Consultant, Bandung. Peraturan Pemerintah (PP) No. 23/1982 Ps. 1 tentang Irigasi.

Sentanu. 2013. Pembangkit Listrik Tenag a Mikrohidro. Asosiasi Hidro Bandung.

Sitanggang, Edy Ramly dan Burhan J.E Marbun. 2001. Perspektif Masa Depan. Harian Umum Sore Sinar Harapan No. 3923 Rabu, 26 September 2001. (Situs Harian Umum Sore SinarHarapanhttp://www.sinarharapan.co.id/ berita/0109/26/opi02.html).

Gambar

Tabel 2 Variabel dan Kriteria Batas Imbuhan/Luahan Serta Lepasan Air
Tabel 3  Variabel, Kriteria dan Klasifikasi Penentuan Daerah Tangkapan Air (DTA)
Tabel 4  Acuan Metode Skoring dalam Penentuan Daerah Resapan Air (DRA)
Tabel 5  Acuan Metode Skoring dalam Penentuan Daerah Tangkapan Air  (DTA)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini merupakan hasil replikasi dari penelitian Ilaboya dan Aggreh (2013) dengan melakukan perubahan yaitu pada penelitian Ilaboya dan Aggreh (2013) sampel

Berkaitan dengan strategi pemasaran Supermarket Carrefour yang lebih berorientasi pada upaya untuk peningkatan loyalitas pelanggan maka studi ini dimaksudkan untuk merumuskan

bersih dan kemas. Memastikan persekitaran bilik disusun kemas dan bersih KOMPONEN F : UMUM.. 162. PENEMUAN

1 Menurut Mohammad Hatta, kondisi politik internasional yang terjadi, menjadi sebuah tantangan besar bagi Indonesia dalam menentukan pilihan atas5. nasib bangsa

Peran pemerintah dalam skim-skim kredit UMKM ini adalah pada sisi penyediaan dana APBN untuk subsidi bunga skim kredit dimaksud, sementara dana kredit/pembiayaan seluruhnya

Dari hasil observasi yang dilakukan menunjukkan bahwa guru dalam melakukan pembelajaran berhitung menggunakan permainan congklak masih menemukan kendala diantaranya kurangnya alat

Secara khusus dalam peraturan perbankan syariah menjelaskan bahwa tabungan adalah Simpanan berdasarkan akad Wadi’ah atau Investasi dana berdasarkan Akad Mudla ̂ rabah atau Akad