Pemilu dan Proses Pemberdayaan Masyarakat (Syarief Aryfa'id)
A. Problem Politik Politisi
Pemilihan Umum telah menjadi ritual politik demokrasi yang dianggap paling relevan dalam urusan sirkulasi dan pergantian kekuasaan. Pemilu, baik pemilu eksekutif maupu pemilu legislatif merupakan sarana mengejawantahkan kuasa rakyat dalam bentuk representasi politik yang dibingkai dalam rumusan regulasi dan kebijakan. walaupun asas-nya adalah umum, bebas dan rahasia, akan tetapi tidak semua warga negara berhak memilih dan dipilih dengan bebas dan rahasia, artinya bahwa pemilu merupakan metamorfosa dari pengakuan regim "keteraturan", bahwa demokrasi sangat mensyaratkan adanya ketaatan terhadap aturan main dan aturan hukum, namun celah untuk melakukan manipulasi juga sangat terbuka.
Jika pemilu menjadi salah satu alat untuk mendelegasikan aspirasi dan kepentingan rakyat, lalu bagaimana proses pemilu tersebut dapat memberikan kontribusi positif bagi rakyat atau masyarakat?
sepotong pertanyaan tersebut, terlihat sederhana, akan tetapi sarat akan makna. setidaknya ada beberapa hal yang dapat diuraikan;
Pertama, Pemilu sebagai sebuah prosedural proses, maka ia membutuhkan biaya yang tidak sedikit, dan bahkan biaya tersebut bersumber dari pajak rakyat yang teraktualisasi dalam APBN dan APBD. Seperti pemilihan kepala daerah, tidak sedikit anggaran (rakyat) yang dihabiskan, hanya untuk mendapatkan pemimpin (kepala daerah), padahal belum tentu ada jaminan bahwa pemimpin yang terpilih tersebut dapat memberikan garansi akan datangnya perubahan, kemajuan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Demikian halnya pada pemilu legislatif, para kontestan, partai politik sibuk 'menjual diri' untuk mendapatkan simpatik dan empatic masyarakat, tak peduli dengan cara apapun, yang penting bisa menang. Fakta menunjukan bahwa persaingan untuk mendapatkan kursi di legislatif, mendorong para caleg (kontestan) menghamburkan uang sampai miliran rupiah, dan bahkan ada juga yang menggunakan cara-cara yang i-rasional. Inilah realitas demokrasi ala Indonesia, yang seringkali terjebak pada kekuasaan tapi lupa akan kuasa rakyat.
dan kemandirian masyarakat. Para kontestan dituntut untuk melakukan cara-cara yang terencana dan terukur dalam meraih simpatik dan dukungan masyarakat (voters). Hal ini seperti ini-lah yang jarang kita temukan.
Ketiga, Pemilu dalam kerangka demokrasi prosedural, telah menjerumuskan para kontestan untuk berpikir dan bertindak instan. pilihan menjadi calon anggota legislatif ataupun menjadi calon kepala daerah, tidak dipersiapkan secara terencana, baik berdasarkan waktu maupun berdasarkan program, sehingga model 'fire fighter' atau pemadam kebarakaran seringkali menjadi jalan pintas yang ditempuh. Model pemadam kebakaran ini-lah yang akhirnya menjadikan kekuasaan sebagai komodite ekonomi, bukan sebagai sebagai embrio melayani masyarakat.
B. Solusi Alternatif
Belajar dari berbagai pengalaman lapangan serta berbagai persoalan yang diuraikan di atas, maka ada beberapa tawaran solusi alternatif yang dapat kami ajukan.
Pertama, ketika saya, anda dan kita semua memikirkan dan memilih politik sebagai jalan untuk meningkatkan derajat ekonomi dan harga diri, maka sesungguhnya kita semua salah jalan, sebab esensi politik adalah seni memperoleh dan menggunakan kekuasaan untuk melayani masyarakat. Oleh sebab itu paradigma kekuasaan harus diinternalisasi dan dikristalisasi dalam bentuk pengabdian dan memberdayakan masyarakat, bukan memperdayai masyarakat dengan janji-janji angin surga. Para politisi, partai politik, khususnya kontestan politik, harus memiliki kemampuan menyusun bisnis plan (politik), sehingga ritual lima tahunan sirkulasi kekuasaan, terschedule dengan baik. Proses pengabdian dan pemberdayaan masyarakat tidak dilakukan menjelang pemilu saja, akan tetapi sudah dilakukan jauh hari sebelum pemilu tersebut. Konsep ini menurut penulis merupakan investasi bermanfaat, baik bagi masyarakat maupun bagi politisi itu sendiri.
Kedua, model pemberdayaan yang dapat dilakukan antaralain: mengorganisir dan memberdayakan masyarakat berdasarkan tipelogi dan karakteristik sosio-ekonomi masyarakat, seperti membentuk kelompok simpan pinjam, kelompok arisan, kelompok ternak, kelompok tani, kelompok nelayan, dan lain sebagainya. Tujuanya adalah selain meningkatkan pengetahuan dan derajat ekonomi masyarakat, juga sebagai modal politik jangka panjang.
Ketiga, Politisi harus mampu menjadi agen perubahan dan pembaharu bagi masyarakat dan bagi partai politiknya. Syarat yang harus ditempuh adalah kemampuan intelektual dan integritas politisi tersebut yang menjadi jaminanya. data LSN menunjukan tidak sedikit politisi kita, baik yang sudah menjadi anggota legislatif atau kepala daerah, maupun yang sedang mencalonkan diri, kapasistas intelektual dan integritasnya sangat diragukan.
(masyarakat), dan bukan menjadi perampok dan pembajak kedaulatan dan hak-hak rakyat, dengan perangi korup dan manipulasi.