• Tidak ada hasil yang ditemukan

muatan politik penentu kualitas UU oleh Jefi Rulian Artha

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "muatan politik penentu kualitas UU oleh Jefi Rulian Artha"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

KEPENTINGAN POLITIK PENENTU KUALITAS UNDANG-UNDANG

ABSTRAK

Dalam politik hukum, wewenang yang diberikan kepada para elit politik untuk membentuk suatu peraturan seringkali dijadikan alat untuk mencapai kepentingan politik mereka. Aspirasi rakyat sering terlupakan akibat terlalu sibuknya para elit politik dalam mengurus partai politiknya. Keinginan masyarakat tertuju pada keadilan yang memberikan keseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat. Jika kepastian hanya tergantung dari muatan kepentingan politik maka kualitas Undang-Undang patut diragukan. Kesejahteraan tidak akan tercapai jika kualitas Undang-Undang dilandasi muatan kepentingan-kepentingan politik bukan kepentingan masyarakat banyak. Jika sudah terjadi demikian, maka konstitusi hanya menjadi hiasan negara bukan menjadi pedoman. Pancasila merupakan sumber dari segala sumber tertib hukum yang ada di Indonesia yang mengartikan bahwa semua hukum yang ada dan berlaku di Indonesia harus sesuai dengan nilai-nilai dari Pancasila yang mengedepankan kepentingan rakyat.

Politik Hukum

Politik hukum merupakan suatu bagian dalam kajian ilmu hukum yang terdiri atas dua disiplin ilmu, yaitu ilmu politik dan ilmu hukum. Moh. Mahfud MD, menganggap politik hukum masuk dalam disiplin ilmu hukum. Beliau berpendapat bahwa politik hukum diartikan sebagai legal policy (kebijakan hukum) yang akan atau telah dilaksanakan oleh pemerintah. Politik hukum ini mencakup pembuatan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan, dan pelaksanaan ketentuan hukum yang sudah ada, termasuk penegakan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Materi dan ketentuan hukum iniliah yang kemudian akan dirumuskan kedalam suatu peraturan perUndang-Undangan dalam bentuk Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, maupun Peraturan lainnya.

(2)

bagaimana hukum itu dibentuk, dikonseptualisasikan, diterapkan dan dilembagakan dalam suatu proses politik yang sesuai dengan cita-cita awal suatu negara. Dalam teori hukum, Undang-Undang merupakan hasil kesepakatan antara penguasa dan masyarakat untuk mewujudkan suatu kepastian, keadilan, keteraturan, dan manfaat bagi masyarakat. Dalam politik hukum yaitu proses dari pembuatan Undang-Undang, hukum dijadikan motor dalam meraih tujuan politik tertentu. Dalam politik hukum, penciptaan hukum ini memang sudah dilakukan berulang-ulang sejak politik menjadi satu dengan kepentingan Negara.

Tujuan Politik Hukum (dalam bentuk Undang-Undang)

Cita-cita dari politik hukum yaitu untuk kepentingan masyarakat dan membatasi kesewenang-wenangan pemerintah terhadap masyarakat. Politik hukum merupakan suatu agenda perumusan kepentingan yang dilakukan antara pemangku kekuasaan dengan perwakilan yang dibentuk oleh masyarakat. Politik hukum selalu meletakkan kepentingan bersama sebagai fondasi dalam pembuatan Undang-Undang. Politik hukum berpegang pada idealisme yakni untuk melayani publik (Bernar L. Tanya, 2011:10). Melihat gejala yang ada, muatan kepentingan-kepentingan politik dalam politik hukum akan menentukan kualitas Undang-Undang, hal inilah yang menjadi problematika permasalahan yang ada di negara kita yang nantinya membuat Undang-Undang yang ada tidak berkualitas dan jauh menyimpang dari dasar negara karena terdapat permasalahan politik dalam pembuatan Undang-Undang.

(3)

disetujui DPR, meski ada materi tertentu yang tidak diterima pemerintah selama proses pembahasan. Di titik ini ada semacam peralihan fungsi dan kewenangan dalam memproduksi Undang-Undang sebelum amandemen, Pasal 5 Ayat (1) menyatakan, Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan DPR. Pasal 20 Ayat (1), tiap Undang-Undang menghendaki persetujuan DPR. Fakta sebelum amandemen Undang-Undang 1945 ini menunjukkan posisi Presiden lebih kuat dari DPR (executive heavy), namun pasca amandemen Undang-Undang 1945 beralih ke posisi DPR lebih kuat dari presiden (legislative heavy).

Fenomena ketatanegaraan ini sesungguhnya mengajarkan bahwa fungsi DPR sangat strategis dalam menentukan bentuk bulat-lonjongnya sebuah Undang-Undang. Kualitas produk legislasi sudah barang pasti menjadi tanggungjawab DPR. Karena sesungguhnya dalam konteks pelembagaan demokrasi melalui produk legislasi fungsi DPR sangat berpengaruh dalam menuntaskan arah dari konsolidasi demokrasi. Urgensitas fungsi itu dapat dimulai dengan mengukur tingkat kualitas sebuah produk Undang-Undang. Ia menjadi kunci keberhasilan konsolidasi demokrasi.

Pengaruh Kepentingan Politik Dalam Perumusan Undang-Undang

Pasca amandemen Undang-Undang 1945 beralih ke posisi DPR lebih kuat dari Presiden (legislative heavy). Hal ini mencerminkan kemiripannya dengan sistem parlementer dan telah memasukkan sebagian sistem parlementer seiring dengan pemurnian sistem presidensial. Model ini menjadi penyebab utama buruknya proses legislasi di DPR selain karena sistem multipartai ekstrim di DPR dengan 10 parpol yang terkelompok dalam 10 Fraksi yang menyebabkan konflik kepentingan yang kuat antar fraksi untuk saling memperebutkan pengaruh paling kuat dalam melakukan fungsi pengawasan pada Presiden agar Presiden mau bersedia berbagi kursi menteri di kabinet.

(4)

Masalah Materi Muatan Undang-Undang Saat Ini

Permasalahan muatan kepentingan inilah yang menjadi beban bagi terciptanya Undang-Undangan yang pro rakyat. Jelas antara keinginan rakyat dengan kehendak penguasa selalu kontra dalam pandangan serta dalam implementasi pelaksanaan di lapangan. Dalam tulisan ini penulis menitikberatkan tentang pemahaman akan Undang-Undang yang selalu dimuati oleh kepentingan politik sehingga tidak sesuai dengan kehendak dan keinginan masyarakat banyak. Jelas jika sudah terjadi demikian, maka munculah permasalahan hukum yang nanti bukannya mensejahterakan masyarakat tetapi malah dapat menambah beban berat masyarakat.

Dalam konteks peran anggota DPR untuk meningkatkan produktivitas legislasi muncullah pertanyaan apakah ia sebagai agent (perantara) atau sebagai trustee (wali amanat). Kejelasan kedua peran ini penting untuk segera dijawab dalam realitas eksistensi anggota DPR, karena ketidakjelasan peran DPR selama ini telah menjadi salah satu penghambat lemahnya produktivitas DPR. Ketidakjelasan ini dapat dilihat dalam realitasnya, misalnya pada saat tertentu tampak sekali DPR memerankan diri sebagai agent yang memainkan peran sebagai perantara atas kelompok konstituen tertentu atau kelompok kepentingan lain. Di konteks ini perjuangan dalam produk legislasi (UU) lebih didasarkan pada keuntungan dan kerugian dari suatu kelompok tertentu atau biasanya pada ”pesanan” politik. Makin besar keuntungan yang didapat atas dasar pesanan makin kuat perjuangannya dalam menggolkan suatu draf RUU menjadi UU begitu pula sebaliknya.

Pada saat yang lain tampak DPR memerankan diri sebagai trustee (wali amanat), yakni kehadirannya di DPR adalah merupakan representasi kehendak umum masyarakat. Karena perjuangan untuk merumuskan suatu naskah Undang-Undang tidak lagi memperhatikan pada konteks kepentingan kelompok konstituen tertentu, tapi hanya pada kepentingan publik.

(5)

pembentukan UU Pemilu Legislatif 2009 (UU No. 10/2008). Berdasarkan penelusuran Cetro, setelah rapat paripurna, terjadi penambahan Pasal dari 316 menjadi 320 Pasal. Peristiwa itu merupakan skandal politik terbaru dalam proses legislasi. Karena itu, keliru besar dan amat tidak bertanggungjawab mengatakan kejadian itu sebagai sebuah kesalahan teknis. Melainkan sebagai kudeta redaksional.

Karena itu betapapun sulitnya anggota DPR, semestinya ia dapat menempatkan dirinya sebagai individu independen yang tidak bergantung pada parpol mereka dalam bersikap menyuarakan produk UU. Mestinya hanya berdasar pada pemahaman mereka sendiri terhadap fakta dan logika setiap rangkaian keadaan (circumtances) tertentu.

Referensi

Dokumen terkait