TRIWULAN II/TAHUN 2014
13
NASIONALISME BUKAN SEKEDAR
DISKURSUS DAN WACANA
J
ika dihitung dari titik awal Kebangkitan Nasional tahun 1908 lalu maka pada tahun 2014, kita sudah lebih dari 100 tahun berproses dalam kesadaran kita untuk menjadi bangsa yang berdaulat, menjadi bangsa yang memiliki identitas dan jati diri ditengah-tengah kehidupan ber-Masyarakat, ber-Bangsa dan ber-Negara. Ber-Bangsa dan ber-Negara, adalah wajah dan corak ke-Indonesia-an yang telah banyak mengalami perubahan. Sehingga dalam rangka tetap menjaga semangat dan nilai-nilai kebangsaan yang telah dirintis oleh para pendahulu, tidak boleh lengah, tapi justeru harus semakin waspada dan cerdas dalam menghadapi berbagai perubahan dan kemajuan bangsa saat ini.Demikian hal ini dikatakan Sekretaris Daerah Provinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT), Frans Salem,SH,M.Si ketika selaku Inspektur Upacaara peringatan ke- 106 Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas), di Alun-alun Rumah Jabatan Gubernur NTT, Selasa (20/5). Turut mengadiri upacara tersebut, antara lain, unsur Forum Koordinasi Pemerintah Daerah (Forkopimda) NTT, Pegawai Negeri Sipil (PNS), TNI/POLRI, Mahasiswa dan Pelajar.
Sekda Frans Salem, ketika membacakan sambutan Menteri Komunikasi dan Informatika RI, Tifatul Sembiring, mengatakan momentum 1908 dan 1928 adalah momentum kaum muda yang bercita-cita Indonesia merdeka. Pemikiran dan cita-cita kaum muda berlanjut melalui perjuangan para pemuda periode tahun 1945-1949. Para pemuda berjuang bagi kemerdekaan yang berdaulat dan kemerdekaan dengan menjunjung tinggi rasa
nasionalisme tanpa pandang bulu.
Peringatan Hari Kebangkitan Nasional ke- 106 tahun 2014 dengan tema, “Maknai Kebangkitan Nasional
Melalui Kerja Nyata Dalam Suasana keharmonisan dan kemajemukan Bangsa”. Tema ini, Kata Tifatul Sembiring, mengandung tiga makna yang sekaligus menjadi instrumen ukuran sejauhmana nilai-nilai nasionalisme terimplementasi dalam karsa, cipta dan karya. Artinya nasionalisme bukan sekedar diskursus dan wacana yang sorak-sorai. Lanjut Tifatul Sembiring, makna nasionalisme kekinian bukan
lagi kamulase kerinduan
romantisme perjuangan masa lalu tetapi bagaimana mengimplementasikan