• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kritik atas Praktik Penculikan dalam Sastra Indonesia sebagai Bentuk Resistensi Kekuasaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kritik atas Praktik Penculikan dalam Sastra Indonesia sebagai Bentuk Resistensi Kekuasaan"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Artikel no 5 ini dimuat di

Jurnal Fenolingua (terakreditasi), Universitas Widya Dharma, Klaten.

Edisi Februari 2005 (bersama Nurhadi).

Kritik atas Praktik Penculikan dalam Sastra I ndonesia

sebagai Bentuk Resistensi Kekuasaan

Oleh Dian Swandayani dan Nurhadi

Abstract

Th is research aim s t o d escribe: 1) st ruct ure of “ M engapa Kau Culik Anak Kam i?” ; 2) resist an ce form s t hat show n in “ M engapa Kau Cu lik Anak Kam i?” d rama to t he pow er; 3) id eo lo gical con st ruction form s t hat expressed by au thor to the pow er.

St eps in this research are: 1) defin it e the research sub ject , “ M engapa Kau Culik Anak Kam i?” t ext t hat consist s in M engapa Kau Culik Anak Kami? d rama antho lo gy by Seno Gum ira Ajidarm a; 2) searching referen ce t o look for and collect t o som e data that has relevan cies t o the t opic; 3) read ing and analyzed to t he t ext o f this d rama by usin g hegemony theo ry; 4) t ake the con clusion.

Th e askin g act ion “ W hy you kidnap ou r child?” like t he t itle o f this drama by Sat ria’s parent is a kind of resistance form on kidnapping action by the authorit arian ist ic, m ilitaristic, and anarchies

governm ent. Th rough t wo main charact er, w ife and husband , who asking “ Why you kidnap ou r ch ild?” is a coun ter o f dom inant societ y that have autho rit arianism , m ilitarism , and anarchism id eologies. These charact ers nego tiate o ther id eo logy, demo cracy, as an em ergent id eo lo gy; and also offer human ism ideology. Th e human ism (t hrough w ife and husband charact er) is t he negot iator betw een the dom inan t society who se has id eo logies of authorit arian ism , m ilit arism , and anarchism (t hat rep resent ed by governm ent, soldiers, and peop le) and the subalt ern society w ho se has id eo logy emergent (dem ocracy ideology that represen ted by Satria as an int ellect ual t raditional charact er). Th rough th is dram a, autho r has con st ru ct ed ideo lo gical o r format t ed id eological t o t he dom inant so ciet y that rep resented in Indonesia by Orde Baru o r So eharto ’s leader that has neo-fascism m ilitaristic governm ental. This

const ru ct ion that has built or st ruct urised by th is drama is a coun ter-hegemony or resistance to the po wer or govern men t.

Key words: kidnapping, power resist ance, Gram sci’s h egemony

A. PEN DAHULUAN

1. Latar Belakang M asalah

Karya sast ra t idak lahir dari kekosongan budaya, ia lahir sebagai respon kondisi sosial polit ik m asyarakatnya. M enurut Julia Krist eva, karya sast ra juga m erupakan mozaik dari berbagai sumber. Selain lahir dari proses transformasi atau int ert ekstualitas dari teks-t eks sebelumnya, kelahiran suatu karya sast ra ada yang didasarkan atas peristiw a-peristiw a zamannya. Karya semacam ini bisa m enjadi cerm in realit as di m ana karya t ersebut dilahirkan (Hardjana, 1991:11).

(2)

bersama sejum lah korban penculikan para akt ivis lainnya semasa m enjelang runtuhnya rezim Soehart o (Laksm ini, 2002).

Peristiw a penculikan inilah yang diangkat m enjadi karya drama “ M engapa Kau Culik Anak Kam i?” karya Seno Gum ira Ajidarma, suat u karya yang lahir sebagai respon zamannya. Karya ini m empunyai arti pent ing dalam perkembangan sejarah sast ra Indonesia.

Karya ini m erupakan salah sat u w ujud kekonsistenan pengarangnya dalam menuliskan karya-karya yang m engkritisi kepincangan sosial polit ik seperti yang terdapat dalam antologi cerpennya

Penem bak M isterius (1999), Saksi M at a (1994), Iblis Tak Pernah M at i (1999), maupun dalam Jazz Parfum

dan Insiden (2002).

Dalam antologi cerpen Penembak M ist erius banyak diangkat t ema-t ema yang berkaitan dengan peristiw a pembunuhan para krim inal yang sering m eresahkan masyarakat sekitar tahun 1980-an awal. Para pembunuhnya t idak jelas siapa, m eski disinyalir yang m elakukan eksekusi it u adalah aparat keamanan. Oleh karena it u disebut dengan ist ilah Petrus, singkatan dari penembakan m isterius. Usaha ini dilakukan sebagai shock t herapy atas kejahat an yang m erajalela kala it u. Dalam Saksi M at a, realitas yang m enjadi lat arnya yait u perist iw a kekerasan yang t erjadi di Timor Timur semasa w ilayah ini masih m enjadi teritorial Indonesia di bawah invasi m ilit er. Dem ikian halnya dalam Jazz, Parfum dan Insiden m asih ditampilkan sejum lah kisah yang bertemakan peristiw a kekerasan di Timor Timur.

Drama “ M engapa Kau Culik Anak Kam i?” yang mengangkat t ema penculikan para akt ivis (mahasisw a) ini t idak hanya berbicara tentang masa penghujung berakhirnya rezim Soeharto t et api juga m embicarakan masa-masa awal rezim tersebut . Dalam karya drama ini ada semacam indikasi perlaw anan terhadap rezim yang berkuasa kala itu lew at jalur seni sastra. Ketika naskah ini dipentaskan di Jakarta dan di Yogyakarta, t anggapan penont on sangat luar biasa. Dalam pem ent asannya di Yogyakarta yaitu pada t anggal 16, 17, 18 Agustus 2001 (Jay, 2002), karcis t erjual habis sebelum hari pertunjukkan. Pada hari-hari berikutnya pun Gedung Societ et penuh terisi penonton.

Hal inilah yang m enjadi lat ar belakang penelitian t erhadap dram a “ M engapa Kau Culik Anak Kam i?” karya Seno Gum ira Ajidarma dengan analisis teori Hegem oni, yaitu sebagai salah satu bentuk resistensi atau perlawanan t erhadap dom inasi. Dalam hal ini yaitu t entang perlaw anan terhadap rezim Soeharto, pem egang kekuasaan pem erintah Indonesia dari 1966-1998.

2. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang dan kajian t eori di atas, tujuan penelit ian ini yait u untuk m engungkapkan dan m endeskripsikan: 1) st ruktur dram a “ M engapa Kau Culik Anak Kam i?” ; 2) bentuk-bentuk resist ensi apa sajakah yang ditampilkan dalam drama “ M engapa Kau Culik Anak Kam i?” terhadap kekuasaan; 3) bagaimanakah w ujud kont ruksi ideologis yang diekspresikan pengarang terhadap kekuasaan.

(3)

3. Tinjauan Pustaka

Ulasan t erhadap drama “ M engapa Kau Culik Anak Kami?” hanya dijumpai dalam berbagai art ikel surat kabar maupun majalah. M enurut Triw ikromo (2002), drama karya Seno Gum ira Ajidarma ini m emang t erang-t erangan m enyindir kelupaan orang-orang t erhadap luka-luka yang diderit a sendiri. M ereka lupa atau malah sengaja m elupakan diri terhadap kasus penculikan aktivis yang sebagian belum kembali dan tidak diket ahui siapa penculiknya dan apa motifnya. Bahkan t erhadap perist iw a pem bantaian besar tahun 1966 pun sangat mudah dilupakan. Buku sejarah pun tidak m encatatnya. Karya Seno t ersebut m erupakan salah satu perlawanan t erhadap lupa.

Acara bedah buku M engapa Kau Culik Anak Kam i? yang dilakukan oleh pengarangnya sendiri dengan Bakdi Soemanto dan Nezar Pat ria (salah seorang korban penculikan yang selamat) yang dilangsungkan di Gedung Widyamandala, Yogyakarta pada 17 Agust us 2001 cukup mendapat respon dari para pesert a. M ereka m empertanyakan kasus penculikan tersebut yang tidak terjawab hingga akhir pem entasan. M ereka selalu menerka-nerka dengan pikiran dan analisisnya sendiri seperti yang dilakukan oleh dua tokoh drama (tokoh suam i dan istri) yang t ertidur di ruang tamu pada akhir atau

ending cerita (Jay, 2002).

Berbeda dengan bukunya, pem entasan “ M engapa Kau Culik Anak Kam i?” yang berlangsung di dua kota (Jakarta tanggal 6, 7, 8 Agustus 2001 di Graha Bhakt i Budaya TIM dan Yogyakarta tanggal 16, 17, 18 Agustus 2001 di Societ et Taman Budaya) m endapat apresiasi yang cukup besar dari berbagai m edia cetak. Ada sejum lah m edia yang m enurunkan berita atau art ikel m engenai pem entasan it u sepert i yang dilakukan oleh Kompas, The Jakart a Post, Kedaulat an Rakyat , Suara M erdeka, Suara

Pembaruan, dan Gam ma.

Teori yang dipakai untuk m enganalisis subjek penelit ian ini yait u teori hegemoni lebih khusus lagi yait u m engenai resistensi terhadap pihak dom inan atau penguasa. Teori hegemoni it u sendiri m erupakan pengembangan dari konsep M arxis yang dilakukan oleh Ant onio Gram sci, seorang tokoh polit ik asal It alia (Storey, 2003:18-22).

Ist ilah hegemoni dipergunakan oleh Gramci untuk mengacu pada cara di m ana kelompok dom inan dalam suat u masyarakat m endapat kan dukungan dari kelompok-kelompok subordinasi m elalui proses “ kepem impinan” intelekt ual dan moral. Karya sastra sebagai salah sat u bentuk kebudayaan dianggap salah satu t empat t erjadinya pergulatan antara usaha perlawanan kelompok subordinasi dan inkorporasi kelom pok dom inan masyarakat .

Karya sast ra sebagai suat u lingkup tukar-m enukar, keduanya akan berkelindan dalam rupa perlaw anan dan penyatuan (resist ensi dan inkorporasi). Teks sast ra bergerak dalam apa yang oleh Gram sci disebut sebagai “ keseim bangan komprom is” . Proses ini selain bersifat hist oris, juga bersifat sinkronis (yang bergerak di ant ara resistensi dan komprom i).

Dalam bahasa umum , t eks sast ra dalam perspekt if Neo-Gram scian cenderung melihatnya sebagai lingkup pertarungan ideologis antara kelas dom inan dan subordinasi. Suatu t eks dapat dibuat dari campuran berbagai unsur budaya yang saling bertentangan. Hall (Storey, 2003:21) m enyatakan bahwa unsur-unsur budaya (dalam hal ini karya sastra) tergant ung dari bagaimana unsur-unsurnya diart ikulasikan pada lingkungan sosial dan kondisi hist oris pem buatan dan pemaknaannya untuk m enyusun posisi pembaca: “ subordinat” , “ dom inan” , dan “ negosiasi” . Hall juga menyatakan bahwa budaya m erupakan t empat pergulat an konst ruksi polit ik “ rakyat” dan hubungannya dengan “ blok penguasa”

(4)

m ereka. Kelas hegemonik diyakini bert indak bagi kemaslahat an masyarakat secara keseluruhan. Konsep hegemoni dengan dem ikian mengimplikasikan bahwa aplikasinya m elibatkan konstelasi kekuatan sosial polit ik yang luas yang disebutnya dengan blok hist oris, yaitu hubungan resiprokal ant ara w ilayah aktivit as politik, et ik, m aupun ideologis dengan w ilayah ekonom i. Tanggung jawab unt uk m embangun blok hist oris ada di pundak “ intelektual organik” yaitu setiap int elekt ual yang kehadirannya t erkait dengan st rukt ur produktif dan politik m asyarakat, yakni dengan kelompok atau kelas yang m ereka w akili. Intelekt ual organik adalah fungsionaris atau deput i kelompok penguasa (Sugiono, 1999:42).

Bagi Gram sci, bentuk-bent uk organisasi kult ural atau kebudayaan, m erupakan objek yang m enarik unt uk dit eliti secara konkret t erutama dalam hubungan dengan kemungkinan dioperasikannya dalam kehidupan praksis. Studi m engenai kebudayaan serupa it u, m isalnya berupa sekolah dengan seluruh levelnya, gereja dengan organisasi sosial besarnya, surat-surat kabar, majalah-majalah, perdagangan buku, atau lembaga-lembaga kultural sepert i universitas popular. Studi m engenai kebudayaan juga m eliput i berbagai aktivit as kultural lainnya sepert i seni dan kesusastraan (Faruk, 1994:67).

Karena masyarakat dan kebudayaan m erupakan suatu totalit as, di dalam nya t idak dit emukan hubungan det erm inasi ant ara elemen yang satu dengan elem en lainnya. Yang ada hanyalah hubungan pem batasan (set ting lim its). Pada gilirannya, untuk mengatasi persoalan determ inasi tersebut William s m enggunakan konsep hegemoni Gram scian. Williams, dalam m enerapkan teori hegem oni Gram sci, m embedakan kebudayaan yang t erlibat dengan kekuasaan m enjadi t iga kat egori: kebudayaan hegemonik atau dom inan, bangkit atau em ergent , dan endapan atau residual (Faruk, 1994:79; Harjit o, 2002:28; William s, 1988:242-247).

Karya sastra sebagai salah satu bentuk karya seni, bagian integral kebudayaan,

merupakan suatu situs hegemoni. Pengarang termasuk dalam kategori kaum intelektual organis

yang merupakan salah satu aparat hegemonik. Dengan begitu, segala aktivitas kultural, termasuk

sastra dalam konteks ini, akan bermuara pada satu sasaran tunggal yaitu penciptaan satu iklim

kultural yang tunggal melalui proses yang rumit. Penciptaan satu iklim yang tunggal ini

menuntut pemersatuan sosial kultural yang melalui multiplisitas kehendak-kehendak dan

tujuan-tujuan yang tersebar dan heterogen disatukan. Kegiatan serupa itu merupakan aktivitas historis

yang hanya mungkin dilakukan oleh “manusia kolektif” (Faruk, 1994:67).

Sebagai salah satu situs hegemoni, karya sastra merupakan ajang pertarungan bagi

pembentukan blok historis secara hegemonik. Sebagai ideologi, karya sastra seperti halnya

filsafat berfungsi sebagai pemelihara persatuan blok sosial yang menyeluruh, sebagai alat

pemersatu, antara kekuatan-kekuatan sosial yang sesungguhnya bertentangan. Akan tetapi, pada

saat yang bersamaan hal tersebut juga menjadi ajang pertarungan, tindakan kolektif bagi

kelompok subordinat untuk melakukan perlawanan atau counter hegemoni. Sebagaimana

gerakan pemersatuan, gerakan perlawanan ini pun merupakan tindakan politik, merupakan usaha

kelompok subordinat untuk menolak unsur ideologis yang datang dari luar kelompoknya sendiri

(Faruk, 1994:74). Di dalam masyarakat selalu terdapat kelompok yang antagonistik sehingga

terjadilah pertarungan dalam kelompok intelektual yang terbentuk itu. Salah satu ciri dari

kelompok yang berkembang ke arah dominasi adalah perjuangannya untuk berasimilasi dan

bertarung secara ideologis dengan kelompok intelektual tradisional (Faruk, 1994:76).

(5)

Subjek penelit ian ini yait u naskah drama “ M engapa Kau Culik Anak Kam i?” karya Seno Gum ira Ajidarma yang t erdiri at as t iga babak. Naskah drama tersebut t erdapat dalam antologi drama yang berjudul M engapa Kau Culik Anak Kam i? yang diterbit kan oleh Galang Press, Yogyakarta pada t ahun 2001. Dalam antologi ini ada dua naskah drama karya Seno lainnya yang berjudul “ Tum irah, Sang M ucikari” dan “ Jakarta 2039” . M asing-masing t erdiri at as t iga babak dan dua babak.

Secara lebih t erperinci, langkah-langkah penelit ian ini adalah sebagai berikut: 1) m enetapkan subjek penelit ian yaitu naskah drama “ M engapa Kau Culik Anak Kam i?” yang t erdapat dalam antologi drama M engapa Kau Culik Anak Kam i? karya Seno Gum ira Ajidarma; 2) m elakukan studi pustaka guna m encari dan mengumpulkan data-data yang berkaitan atau yang m endukung judul penelit ian; 3) m elakukan pembacaan dan analisis terhadap naskah drama “ M engapa Kau Culik Anak Kam i?” dengan m emakai kerangka teori t ent ang hegemoni berupa resistensi dalam kont eks kondisi sosial politik di Indonesia; 4) menarik kesimpulan. Instrum en pengum pul data yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu berupa kartu data dan kliping yang kemudian dipilah-pilah berdasarkan kelompok-kelompok atau bab pembahasan.

Validit as dat a penelit ian dilakukan m elalui expert judgem ent oleh Prof. Dr. Burhan Nurgiyant oro, dosen sast ra UNY, m elalui pembahasan penelit ian yang diselenggarakan oleh Lem lit UNY. Sem entara untuk reliabilit as penelitian, penelit i m em akai intrarat er dan interrat er, yakni pembacaan berulang t erhadap t eks dan m endiskusikan hasil penelit ian ant ara ketua dan anggota penelit i.

C. HASIL DAN PEM BAHASAN PENELITIAN 1. Elemen Ideologi dalam M KCAK?

Tokoh dalam drama ini hanya t erdiri atas dua orang, yakni seorang suam i dan istrinya yang t engah m emperbincangkan nasib anak bungsu mereka, Sat ria, seorang akt ivis yang t elah genap setahun hilang karena diculik dan belum diketahui kabar beritanya. Latar ceritanya berlangsung di sebuah ruang di dalam rumah m ereka di Jakart a pada suat u malam , pasca-penculikan akt ivis m enjelang kejatuhan pem erintahan Soeharto. M ereka memperbincangkan nasib anaknya dan berbagai kondisi lainnya dari jam 22.00 hingga 01.00 pagi. M ereka t idak bisa t idur.

M elalui dialog kedua tokoh utamanya ini, muncullah sejum lah karakter yang dapat dikat egorikan sebagai tokoh tambahan dalam drama ini. Tokoh-tokoh tersebut antara lain, Satria (anak bungsu m ereka yang hilang diculik karena akt ivit asnya yang kritis t erhadap penguasa), Simbok (orang t ua t okoh ist ri yang m engalam i trauma terhadap perist iw a pembantaian pada 30-an tahun yang lalu), para t entara dan komandan (yang m elalukan t indak penculikan t erhadap aktivis sebagai bentuk m elaksanakan perintah at asan guna m engamankan negara), penguasa (yang m engident ikkan dirinya sebagai negara), Saras (pacar Sat ria), Bu Saleha (ibu Saras, calon besan tokoh suam i-ist ri), dan Yanti (orang yang m emberikan kaos Hard Rock Cafe kepada Satria dari New York). Tokoh suam i-ist ri ini bahkan dideskripsikan dulu sebagai m ahasiswa yang pernah ikut mogok makan dan demonst rasi.

(6)

t erjelm a dalam kehidupan keseharian, cara hidup kolektif m asyarakat, lembaga, serta organisasi di t em pat praktik sosial berlangsung.

Formasi ideologi dalam teks muncul m elalui t okoh, latar (yang mencakup t empat, w aktu, dan sosial), serta peristiw a. Ideologi-ideologi yang t erdapat pada masing-masing t okoh secara keseluruhan adalah sebagai berikut :

Tabel 1

Elemen-elemen Ideologi pada “M engapa Kau Culik Anak Kami?”

Jenis Ideologi Elemen Kesadaran Elemen Kebebasan

Feodalism e M engagun gkan kedudukan dan t radisi M elanggengkan kedudukan dan tradisi

Human ism e Kesempurnaan & keselamatan m anu sia Keselamatan dan kead ilan so sial M ilit erism e M ematuhi perintah atasan Kepatuhan atas disiplin yang hirarkis

dem i kekuasaan Ot oritarianisme Kekuasaan secara sew enang-wenang

atau secara diktato r

M elanggengkan kekuasaan mutlak

Demokrasi Persamaan hak w arga n egara Persamaan dan kebebasan warga negara/ rakyat

Anarkism e Ket idakstabilan & kekacauan masyarakat Kekacauan polit ik dan pem erin tahan

2. Formasi Ideologi pada M KCAK?

Ideologi-ideologi t ersebut di atas dan form asi ideologi pada masing-masing t okohnya dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini (lihat lampiran). Dalam tabel ini juga sekaligus ada dat a formasi ideologi pada masing-masing t okohnya sehingga dapat diketahui ideologi dom inannya, dan rincian t okoh, serta elem en-elem en masing-masing ideologi.

Tokoh suam i merupakan tokoh subalt ern atau subordinat yang berkat egori sebagai rakyat. Tokoh ini m em iliki sejum lah ideologiyang berform asi dalam dirinya dan m embentuk ideologi dom inan. Adapun ideologi-ideologi yang terdapat dalam t okoh ini yait u ideologi feodalism e, dem okrasi dan humanism e. Feodalism e dalam t okoh ini terlukis dalam petunjuk teknis naskah drama yang m enggambarkan dirinya m engenakan sarung (Ajidarma, 2001:81) dan dialognya yang m engut ip peribahasa Jawa, “ Tidak m ikul dhuwur m endhem jero? M elupakan yang buruk, mengingat yang baik (Ajidarma, 2001:88).”

Feodalism e m erupakan salah satu ideologi yang mem iliki elem en kesadaran m engagungkan kedudukan dan tradisi, sem entara elem en kebebasannya yait u m elanggengkan kedudukan dan t radisi; dalam t okoh suam i ini yaitu tradisi Jawa. Selain feodalism e, t okoh suam i ini juga mem iliki ideologi dem okrasi, yakni ideologi yang m engutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara (w w w .hyperdictionary.com / ideology). Demokrasi m em iliki elem en kesadaran berupa persamaan hak warga negara dan elem en kebebasannya berupa persamaan dan kebebasan w arga negara/ rakyat . Ideologi dem okrasi dalam t okoh ini tampak dalam kut ipan berikut .

Ibu :

Aku sungguh t idak m engert i, bagaim ana manusia tidak bisa m enerima p erbedaan. Apa orang itu t idak bo leh b erbeda?

(7)

Perbedaan itu lah yang selalu dian ggap m engganggu . Ibu :

Apa semua oran g itu harus sama? Harus seragam? Sama p ikirannya, sama seleranya, sama t in gkah lakunya. Apa haru s b egitu (Ajidarma, 2001:133)?

Ibu :

Aku ragu dengan semua pendapat yan g sudah dit erim a sebagai keb enaran tanpa d ip ertanyakan lagi. Bapak:

Wah, kamu past i kebanyakan m embaca buku . Ibu :

Itu lah p end idikan Pak. Bukan m enghafal, t api m empertanyakan. Bapak:

Nah, it u yan g dibilan g Sat ria kalau debat den ganku (Ajidarma, 2001:134-135).

Ada satu lagi ideologi yang t erdapat dalam tokoh suam i ini, yakni humanism e. Humanism e m erupakan salah satu ideologi yang ditandai dengan elem en kesadaran berupa kesempurnaan dan keselamat an manusia, sem entara elemen kebebasannya yaitu keselamatan dan keadilan sosial. Dari ketiga ideologi yang terdapat dalam dirinya, t ampaknya humanism elah yang m enjadi ideologi dom inan dalam tokoh ini. Berikut ini sejum lah kut ipan yang menujukkan sikap humanistik t okoh suam i ini dalam sejum lah dialognya.

Cobalah m embayangkannya tanpa d endam . Kit a haru s leb ih m anusiaw i dari m ereka (Ajidarma, 2001:113).

Apakah m ereka tidak b isa m embedakan, bahwa t ugas n egara pun bisa dit olak kalau nggak b ener? Dibuat dari apa hat i nurani orang-orang ini (Ajidarma, 2001:114)?

Yang kumaksud kan pend id ikan yang m ebudayakan manusia. Teror sih bukan kebudayaan Bu (Ajidarma, 2001:134).

Tokoh istri, yang m enjadi lawan dialog tokoh suam i dit injau dari ideologi yang dianutnya juga m empunyai tiga ideologi seperti yang t erdapat dalam diri t okoh suam i yakni feodalism e, demokrasi, dan humanism e. Kut ipan dialog antara suam i dan istri dari halaman 133-135 di atas menunjukkan formasi ideologi demokrasi dalam tokoh istri ini. Sedangkan ideologi feodalism e t idak banyak dit em ukan, t eks petunjuk t eknis yang m enggam barkan t okoh ini mengenakan kain dan kebaya sumat ra (Ajidarma, 2001:81) m erupakan data yang menunjukkan hal it u.

Ideologi dom inan dalam tokoh istri ini yaitu ideologi humanism e. yait u paham yang m enekankan pada kapasitas seseorang untuk m erealisasikan dirinya guna m ew ujudkan kesejaht eraan manusia (w w w .hyperdict ionary.com / ideology). Pengert ian ini m erupakan definisi humanism e secara umum , bukan dalam pengert iannya yang lebih khusus (Edwords, 2003). Pertanyaannya mengenai kekerasan polit ik dalam kut ipan di bawah ini m enunjukkan dom inannya ideologi humanisme dalam tokoh ini.

.... Bagaimana perasaan anaknya m endengar jerit an bapaknya? Bagaimana perasaan ist rinya mendengar jeritan suam inya? Bagaimana perasaan ibunya m endengar jerit an anaknya? Apa Bapak yakin set elah t iga pu luh tahun leb ih m ereka b isa melupakannya (Ajidarma, 2001:91)?

(8)

agam a m emb enarkan pembunuhan. Apakah in i t idak terlalu berbahaya? Polit ik hanya pedu li dengan kekuasaan. Po lit ik tidak pernah peduli dengan manusia. Apalagi hat i manu sia. Apakah kamu b isa m embayangkan Pak, luka d i set iap keluarga itu (Ajidarma, 2001:133)?

Tokoh Sat ria, anak ket iga dari keluarga yang diculik t er sebut juga termasuk tokoh subaltern juga. Berbeda dari kedua orang t uanya yang t erkategori sebagai tokoh rakyat , Satria t ergolong tokoh int elektual. Hal ini ditem ukan lewat elem en solidarit as ident it asnya yakni sebagai mahasiswa, t epat nya m ahasiswa yang kritis yang suka mem impin demonstrasi terhadap prakt ik kehidupan yang tidak dem okratis. Karena kevokalannya inilah, Satria diculik dan hingga w akt u itu belum diketahui nasibnya.

Satria m erupakan t okoh yang berideologikan demokrasi, yakni ideologi yang m empunyai elem en kesadaran berupa persamaan hak warga negara. M elalui dialog bapak dan ibunya, karakt er Satria tergambarkan sebagaimana kutipan berikut ini.

Ibu :

.... Dia bilan g, ‘Politik yan g dewasa t idak begitu , Bu. Setiap orang haru s mau m endengar p ikiran orang lain.’ Aku bilang lagi, ‘Pokoknya hat i-hat i, d i n egeri ini polit ik selalu berart i kekerasan, bukan p em ikiran .’ Bapak:

Terus, apa katanya? Ibu :

Dia bilan g, ‘M ain kekerasan sudah harus d ih en tikan, karena kekerasan it u kampungan (Ajidarma, 2001:129).’

Ibu :

Aku ragu dengan semua pendapat yan g sudah dit erim a sebagai kebenaran tanpa d ipertanyakan lagi. Bapak:

Wah, kamu past i kebanyakan m embaca buku . Ibu :

Itu lah p end idikan Pak. Bukan m enghafal, t ap i m empertanyakan. Bapak:

Nah, it u yan g dibilan g Sat ria kalau debat den ganku (Ajidarma, 2001:134-135).

Tokoh Simbok m erupakan tokoh subaltern, rakyat dan juga sebagai seniman t radisional sebagai bentuk elemen solidarit as identit asnya. M elalui tokoh inilah kekerasan dan keotorit eran penguasa dideskripsikan. Tokoh inilah yang selamat dari pembantaian t erhadap semua anggota group ludruknya. M elalui t okoh inilah kekerasan yang kini m enimpa keluarga Satria ternyata m em iliki akar kekerasannya pada masa awal pem erint ahan penguasa. Ideologi yang terdapat dalam tokoh Simbok adalah feodalism e, hal ini dit andai dengan m elanjut kan tradisi bakar kem enyan pada malam Jumat Kliw on, suatu t radisi budaya Jawa.

Tokoh dom inan dalam dram a ini yait u t okoh Penguasa yang dideskripsikan t idak begit u jelas, apakah dia seorang presiden, gubernur ataukah seorang bupati. Tokoh inilah yang selalu disebut dalam dialog tokoh suam i dan ist ri it u sebagai pem impin, “ pem im pin yang m erasa dirinya adalah negara (Ajidarma, 2001:107)” . Tokoh ini berideologikan ot orit arianism e, yakni ideologi paham m enjalankan pem erintahan atau peraturan dengan cara-cara tirani dan dikt akt or serta m enunt ut adanya kepat uhan m ut lak dari masyarakat atau bawahan (ww w .hyperdict ionary.com / ideology).

(9)

m elanggengkan kekuasaan yang mut lak atau absolut . Keotoriteran tokoh Penguasa digam barkan dalama kutipan berikut.

Ibu :

Begitu berkuasanya sehingga m erasa berhak m enguasai pikiran, dan sangat tersinggung kalau orang berpikir lain .

Bapak:

Sangat tersinggung. Ibu :

Sangat tersinggung. M aka mengamuklah den gan pentungan, p enan gkapan, penculikan , p enganiayaan. Bapak:

Kekuasaan yang kerd il (Ajidarma, 2001:94).

Ibu :

Un tuk apa Sat ria d ibunuh? Untuk apa? Dia tidak m elakukan kejahatan apa-apa. Dia t idak bisa mem imp in pembron takan. Anak sekurus it u.

Bapak:

Ku ru s dan sakit-sakitan . Tapi pikirannya tajam . Ibu :

Kenapa ada orang begitu taku t kepada p ikiran sampai-sampai harus m enculik dan m em bunuh p em ilik pikiran it u.

Bapak:

Pikiran yang b ebas sejak dahu lu selalu dianggap b erbahaya o leh negara. Ibu :

Negara gob lok (Ajidarma, 2001:120).

Tokoh lain yaitu para tentara dan Komandan yang menganut paham militerisme, suatu

paham agresivitas yang melibatkan ancaman dengan menggunakan kekuatan militer. Pengertian

ini berasal dari www.hyperdictionary. com/ideology yang menyatakan bahwa militerism is

aggressiveness that involves the threat of using military force. Mereka memiliki elemen

kesadaran berupa semua perintah atasan atau komandannya harus dipatuhi. Sementara elemen

kebebasannya yaitu kepatuhan atas disiplin yang hirarkis demi kekuasaan.

Tokoh para tentara m eskipun m em iliki ideologi dom inan m iliterism e, m ereka juga m engalam i formasi ideologi karena di dalam diri m ereka terdapat ideologi lain seperti otoritarianism e dan humanism e. Otoritarianism e dalam diri m ereka merupakan kepanjangan dari paham otorit arianism e dari Penguasa dalam m enjalankan pem erint ahan, sem entara paham humanism e dalam dirinya m erupakan perlaw anan atas paham m ilit erism e, terut ama dalam m enjalankan perintah komandan yang bert entangan dengan hati nuraninya, dalam drama ini yait u perintah m enculik para akt ivis.

Bapak:

.... “ Republik ini sudah hampir ambruk.” Yan g di sin i m enyahut , “ Kam u m emb ela m ereka? Apa kamu mau m embangkang?” “ Dia bukan mau m embangkang terhdap tugas, dia m engatakan apa yan g dip ikirkannya” “ Jangan b erpikir d i sini, laksanakan saja t ugas kita den gan baik.” “ Tap i m ereka cu ma anak-anak.” “ Ya, anak-anak yang berbahaya.” “ Tap i apa hak kita untuk m en cu lik, m erampas kem erd ekaan m ereka?” “ Pert ama, m ereka berbahaya untuk negara. Kedua, kalau pun kamu t idak setu ju , in i adalah tu gas.” Ini dijaw ab lagi. “ Tugas pun bo leh dit olak kalau keliru.” Lan tas d itantang: “ To lak saja kalau berani.” Dijaw ab lagi: “ Aku m eno lak”

(10)

Lantas? Bapak:

Oran g yang m enolak tugas ini m at i (Ajidarma, 2001:109-111).

Untuk m enget ahui keseluruhan formasi ideologi yang t erdapat pada masing-masing tokoh dalam drama “ M engapa Kau Culik Anak Kam i?” ini dapat dilihat pada lampiran tabel-tabel formasi ideologi.

3. Seno Gumira Ajidarma, Sastra, dan Pers

Selain sebagai pengarang, Seno Gumira Ajidarma juga bekerja sebagai wartawan dan

editor majalah Jakarta Jakarta. Dia seorang wartawan yang menyajikan tulisan-tulisan bersifat

faktual. Dalam bukunya Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara (1997), Seno

Gumira Ajidarma mengisahkan hal-hal yang dihadapinya ketika menuliskan sejumlah fakta

tindak kekerasan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru.

Kemudian, karena laporan tentang Insiden Dili dalam Jakarta Jakarta edisi tersebut, atas

permintaan pihak luar, perusahaan tempat penulis bekerja memberhentikannya--beserta dua

kawan lainnya--dari jabatannya sebagai editor Jakarta Jakarta. Sebagai kelanjutan dari

pemberitaan kasus Dili, mereka yang bertanggung jawab kemudian dipindahkan ke tabloid Citra

(Ajidarma, 1997:49).

Hal yang berkaitan dengan kerja jurnalistik Seno Gumira Ajidarma ini terungkap dalam

buku Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara (Ajidarma, 1997) tersebut maupun

dalam analisis Heryanto (2003) yang menyatakan bahwa dalam skala lebih kecil, peristiwa Santa

Cruz atau peristiwa Dili meradikalisasi kantor sebuah majalah berita di Ibu Kota. Karena laporan

yang terlalu jujur dan gamblang tentang Santa Cruz, tiga redaksi seniornya digusur demi

menye-nangkan penguasa waktu itu. Salah seorang dari mereka menjelma menjadi sastrawan Indonesia

yang pertama dan konsisten menggugat kekerasan politik Timtim dalam serangkaian karya fiksi

berbahasa Indonesia. Sastrawan Indonesia yang dimaksud dalam tulisan tersebut tidak lain

adalah Seno Gumira Ajidarma dan majalah tersebut yakni Jakarta Jakarta. Peristiwa Dili itu

sendiri kemudian dituangkan dalam bentuk fiksi berupa antologi cerita pendek Saksi Mata

(Ajidarma, 2002a).

Dalam sejarah perjalanan Jakarta Jakarta, majalah berita bergambar ini memang tidak

pernah dilarang oleh pemerintah. Bandingkan dengan peristiwa yang menimpa majalah Tempo,

Editor, dan tabloid Detik yang pernah dibreidel pemerintah Orde Baru pada 21 Juni 1994 karena

pemberitaan mereka yang mengkritisi pemerintah. Majalah D&R yang memuat gambar wajah

Soeharto dalam posisi kartu king di cover depan juga akhirnya dipermasalahkan oleh

pemerintah. Pemimpin redaksi dan pelaksana hariannya diperiksa oleh Kejaksaan Agung pada

bulan Maret 1998.

Akan tetapi, di balik kelancaran perjalanan majalah itu, tulisan-tulisan yang mengkritisi

pemerintahan Orde Baru telah dipermak oleh dewan redaksi Jakarta Jakarta sendiri sehingga

tulisan yang dimuatnya cenderung lebih eufimistik. Mereka, termasuk media-media lain kala itu,

telah melakukan selfcencorship, tindak penyensoran sendiri guna menghindari penyensoran dari

pemerintah Orde Baru yang dapat berupa pembreidelan yang dampaknya bisa lebih luas yakni

dengan menganggurnya semua karyawan dan orang-orang yang bekerja di majalah itu.

Selfcencorship merupakan tindakan pencegahan.

(11)

Narasi yang dibangun dalam cerpen bukanlah narasi faktual, melainkan narasi imajinatif. Judul

buku Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara jelas-jelas mengindikasikan hal itu.

Dalam kesimpulannya, ia menyatakan,

Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara, karena bila jurnalisme bersumber dari fakta, maka sastra bersumber dari kebenaran. Dalam cerpen-cerpen saya, saya tidak pernah menyebut Timor Timur atau Insiden Dili secara eksplisit, tapi toh kebenaran itu bisa sampai apa pun bentuknya. Bagi saya, dalam bentuk fakta maupun fiksi, kebenaran adalah kebenaran—yang getarannya bisa dirasakan setiap orang (Ajidarma, 1997:94).

Berbicara tentang peristiwa penculikan para aktivis 1998 atau persisnya sebelum

Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 dan mundurnya Soeharto sebagai presiden, Prabawo Subianto

dalam wawancaranya dengan majalah Tempo (Anonim, 2003) menyatakan bahwa dirinya

dipensiun dini sebagai bentuk pertanggungjawabannya atas kasus penculikan yang dilakukan

oleh Tim Mawar. Lebih lanjut Tempo menulis, “Dewan Kehormatan Perwira memvonis dia

(Prabowo Subianto) bertanggung jawab ata aksi Tim Mawar—regu Kopassus yang menculik

aktivis mahasiswa sepanjang Januari hingga Maret 1998.”

Keterlibatan militer dalam berbagai kasus perpolitikan di Indonesia lebih jauh diungkap

oleh Tempo yang melakukan investigasi dengan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) seputar

berhentinya Soeharto sebagai presiden. Dalam artikelnya, Tempo menyatakan seputar karir

Letjen Prabowo Subianto. Lebih lanjut Tempo mengungkapkan tokoh militer ini sebagai berikut.

Sejak itu, banyak tudingan diarahkan kepadanya. Salah satunya, bekas Komandan Jendral Kopassus (1996-1998) serta Panglima Kostrad (Januari—Mei 1998) itu disebut-sebut terlibat pula kerusuhan 13-15 Mei 1998 yang melalap Ibu Kota. Tapi Prabowo lalu memilih bungkam. Dia menjauhi wartawan, dan lenyap dari mata publik.

Keterkaitan sejumlah karya Seno Gumira Ajidarma khususnya cerita-cerita pendeknya

atas peristiwa Kerusuhan Mei 1998 dapat dibaca dalam tesis Nurhadi (2004). Dalam kolom

“Melawan Ketakutan” antara lain ditulis sebagai berikut.

Tentu tidak mudah bersikap santai dalam tekanan teror. Siapa yang bisa tenang-tenang ketika diculik, dibekep, dan ditutup matanya oleh orang-orang berbadan kekar yang menyiksa dengan dingin? Siapa yang bisa oke-oke saja diperkosa begitu rupa oleh banyak orang secara bergantian, dengan penghujatan rasialistis (Ajidarma, 2002b:268-269)?

Kolom “Surat dari Palmerah” tersebut ditulis pada tanggal 19 Juli 1998. Akan tetapi

pihak Jakarta Jakarta melakukan selfcencorship sehingga kolom tersebut kala itu tidak

diturunkan dan diganti dengan artikel lain. Pada edisi tersebut, wawancara penjang lebar dengan

Romo Sandyawan tentang korban-koban pemerkosaan diganti dengan artikel tentang keluarga

Kennedy. Sampul depan, daftar isi dan segala hal yang berkaitan dengan Peristiwa Mei 1998

akhirnya disensor.

Sejumlah kolom “Surat dari Palmerah” lainnya juga mengalami selfcencorship seperti

“Ingatlah Bung” dan “De Atjehers” yang masing-masing mengkritisi sikap rakus anak pejabat

dan tentang sejumlah prajurit Jawa yang berperang di Aceh sejak masa kolonial Belanda

(Ajidarma, 2002b:266-271). Sekali lagi aspek militerisme disinggung oleh Seno Gumira

Ajidarma dalam “De Atjehers”.

Buku sejarah, yang tidak ngibul, ternyata mengungkapkan banyak hal. Saya baru tahu kalau Teuku Umar itu tadinya antek Belanda. Atas pengaruh Tjoet Nya’ Dhien, istrinya yang heroik itu, ia berbalik melawan Belanda, dan tewas—setelah sebelumnya tampil sebagai politikus yang memanfaatkan kekacauan perang untuk meraih kedudukan.

(12)

Yang lebih mengejutkan saya adalah foto-fotonya, karena yang disebut pasukan marsose Belanda itu ternyata orang Jawa!

Kolom-kolom tersebut, yang nota bene dikategorikan sebagai wacana jurnalistik,

akhirnya mengalami penyensoran meskipun bentuknya selfcencorship. Sementara lewat drama

“Mengapa Kau Culik Anak Kami?” dan cerita-cerita pendek “Jakarta, Suatu Ketika” dan “Clara”

tidak terjadi penyensoran.

Dengan alasan inilah krit ik yang dilakukan Seno Gum ira Ajidarma t erhadap Soeharto yang Jawa, pem erintah Orde Baru yang neo-fasism e m iliter sebagaimana disebut oleh Tamagola (2003), yang penuh dengan kekerasan it u melalui bentuk negosiasi. Krit ik yang dilakukannya t idak dengan wacana jurnalism e m elainkan dengan w acana fiksi. Dengan catatan, semasa Orde Baru sejum lah buku-buku karya sast ra pun ada yang m engalam i pelarangan (Kratz, 2000:561-584; Fauzan, 2003)

Karena alasan-alasan semacam itulah, peristiwa penculikan para aktivis pada 1998

kemudian muncul dalam bentuk karya fiksi, drama yang diterbitkan dalam bentuk buku dan

kemudian dipentaskan di sejumlah kota. Drama tersebut muncul dalam bentuk cetakan dan

pementasan tanpa mengundang reaksi dari pemerintah. Hal yang sama mungkin akan mendapat

perlakuan yang berbeda, seandainya peristiwa-peristiwa tersebut dipublikasikan dalam bentuk

berita faktual. Dalam sebuah drama, kebenarannya hanyalah kebenaran imajinasi. Melalui

negosiasi dalam bentuk kompromi tidak menyajikan dalam bentuk berita, tetapi dalam bentuk

fiksi, Seno Gumira Ajidarma telah melakukan suatu bentuk counter-hegemoni atas rezim Orde

Baru.

Melalui pernyataannya yang menginginkan cerita-cerita pendek seperti dalam Negeri

Kabut-lah yang ingin ditulisnya, dan bukan cerita-cerita pendek seperti yang terdapat pada Saksi

Mata, menunjukkan bahwa sebagai pengarang sesunguhnya dia tidak ingin menulis cerita-cerita

pendek yang memiliki acuan sosial politis. Seno Gumira Ajidarma sebetulnya ingin menulis

cerita-cerita pendek yang apolitis. Cerita-cerita yang cenderung surealistik, dongeng modern.

Hal ini menunjukkan bahwa dalam dunia kesusastraan Indonesia, Seno Gumira Ajidarma

merupakan kelompok dominan sebagaimana dinyatakan oleh Heryanto (Faruk, 1994:97-106).

Lebih jauh Heryanto (Faruk, 1994:103) menyatakan bahwa kesusastraan Indonesia yang

diresmikan dikuasai oleh ideologi apolitis. Kesusastraan apolitis itu berkaitan dengan dengan

berbagai faktor sosial politik yang general, yaitu depolitisasi negara sejak Orde Baru,

pengalaman sejarah masyarakat luas yang belum lama terjadi. Depolitisasi negara atau

kesusastraan antiideologi inilah yang menjadi hegemoni estetika yang dijadikan pedoman dan

sejarah kesusastraan resmi itu sendiri (Faruk, 2001:128). Dalam kategori inilah cerita-cerita yang

ingin ditulis Seno Gumira Ajidarma seperti dalam Negeri Kabut berada, yakni kesusastraan yang

apolitis.

(13)

Drama tersebut memang cenderung bersifat politis. Meski demikian, tidak semua

karya-karya Seno Gumira Ajidarma bersifat politis, banyak karya-karya-karya-karyanya yang lain yang lebih

berbicara tentang sesuatu yang terkadang terasa surealistik. Cerita-cerita semacam inilah yang

oleh Budiman (2001:248) disebutnya dengan istilah karya yang endoforik. Cerita-cerita

semacam inilah yang menurut Budiman dikatakan lebih menarik daripada cerita-cerita Seno

Gumira Ajidarma yang eksoforik.

Drama MKCAK? merupakan suatu bentuk negosiasi atas dominasi kepengarangannya

sendiri sebagai pelopor Angkatan 2000 Kesusastraan Indonesia dalam bidang cerpen yang

notabene kesusastraan yang apolitis. Munculnya karya-karya sastra yang memiliki acuan kepada

peristiwa sosial politik, dengan demikian, merupakan salah satu bentuk negosiasi Seno Gumira

Ajidarma yang melakukan negosiasi atau kompromi atas wawasan estetikanya sendiri, yakni

dengan mengangkat masalah-masalah sosial politik dalam sejumlah karyanya.

4. Negosiasi Ideologi

Dalam mengukuhkan kekuasaannya tokoh Penguasa m emerintahkan secara tidak langsung untuk m enculik para mahasiswa yang krit is seperti Satria m elalui aparatus negara yakni para t ent ara. Penculikan t erhadap para mahasiswa yang kritis ini m erupakan salah satu bentuk t indak ot orit er yang m elanggar hak asasi m anusia. Tindak otoriter Penguasa ini juga terlukis dalam adegan masa lalu ketika orang-orang yang berseberangan garis polit iknya juga diciduk dan kemudian t erjadi pembantaian sehingga air sungai m enjadi m erah dan penuh dengan para m ayat. Hal it ulah yang m embuat t okoh Simbok mengalam i t rauma. Dialah satu-satunya pemain ludruk yang tersisa dari pembantaian (Ajidarma, 2001:98).

Tindak pembantaian t ersebut juga dilakukan oleh orang-orang. Bahkan dalam peristiw a sungai yang penuh dengan mayat pada 30 tahunan lalu mereka m enggaet mayat-mayat it u dengan bambu yang diberi pengait di ujungnya. M ereka geret mayat -mayat itu ke t epian, lant as m ereka jarah. Penduduk m engambil arloji, ikat pinggang, cincin, dan akhirnya m enjebol gigi emas dari mayat-mayat it u (Ajidarma, 2001:99). Deskripsi t ersebut m erupakan gambaran ideologi anarkism e pada masyarakat, yakni dengan dit andainya ketidakst abilan dan kekacauan masyarakat , t idak ada aturan hukum .

Ideologi ini m erupakan bagian dari kelompok dom inan, ideologi yang dit erapkan oleh sang Penguasa. Dalam masyarakat yang tidak stabil, m asyarakat yang anarkis, otorit arianism e dapat dit erapkan guna m enunjukkan keberhasilan apalagi dit unjang dengan ideologi m ilit erism e yang m emang dilengkapi dengan senjata unt uk memaksa atau m elakukan tindak kekerasan; m erupakan suat u bentuk penyebaran ideologi otoritarianism e m iliterist ik guna m emperoleh blok hist oris, m endapat kan persetujuan orang-orang (masyarakat) atas hegemoninya.

Tokoh-tokoh subaltern di pihak lain, yakni t okoh-tokoh rakyat seperti Suam i, Ist ri, Sim bok, dan Bu Saleha adalah orang-orang yang berideologikan demokrasi dan feodalism e. Ideologi feodalism e m erupakan ideologi endapan yang m enjadi ideologi dom inan pada tokoh Simbok, dan masih dianut oleh t okoh-tokoh Suam i dan Istri. Kedua tokoh ini m em iliki ideologi berupa ideologi dem okrasi. Berbeda dengan ideologi feodalism e yang ditandai dengan elem en kesadarannya berupa mengagungkan kedudukan dan tradisi; ideologi demokrasi dit andai dengan elem en kesadaran berupa persamaan hak w arga negara.

(14)

t idak hanya bersangkutan dengan ciri-ciri yang sem at a baru dari kebudayaan atau ideologi dom inan, m elainkan secara subst ansial m erupakan alternat if bagi dan bertent angan dengan ideologi dom inan (Faruk, 1994:80).

Tokoh yang berideologi demokrasi dalam drama ini yaitu Sat ria, tokoh mahasiswa yang krit is t erhadap penguasa yang akhirnya diculik dan hingga kisah berlangsung dia belum kembali dan t idak diket ahui nasibnya.

Tokoh negosiator dalam drama ini diwakili oleh t okoh Suam i dan Ist ri yang m em iliki ideologi dom inan hum anism e, ideologi yang m em iliki elem en kesadarannya berupa kesempurnaan dan keselamat an manusia. Kedua tokoh inilah yang secara tidak langsung m empertanyakan ideologi dom inan: ot oritarianism e, m iliterism e, dan anarkism e. Dalam konteks sosial polit ik Indonesia, ideologi humanism e m erupakan ideologi yang dinegosiasikan oleh t okoh rakyat t erhadap kelas dom inan. Dengan dem ikian blok historis kelas dom inan atau penguasa m engalam i resistensi dari kelas subaltern atau ordinat.

Dari uraian di atas, dialekt ika ideologi dalam drama “ M engapa Kau Culik Anak Kam i?” ini dapat diskemakan sebagai berikut.

Tabel 3

Dialektika Ideologis dalam Drama “M engapa Kau Culik Anak Kami?”

Subalt ern Negosiator Dom inan Feodalism e

Demokrasi

Humanism e Ot orit arianism e M ilit erism e

Anarkism e

D. KESIM PULAN

Tema drama ini yaitu m engenaikan kegelisahan kedua orang Sat ria yang t engah m enunggu kembalinya Satria, put ra bungsu m ereka yang hilang karena kasus penculikan. Kedua orang tua Sat ria it u m empertanyakan apakah negara (penguasa) berhak m elakukan pem bungkaman para pengkrit iknya dengan cara penculikan m elalui aparat us negara?

Tindak m empertanyakan inilah yang dimunculkan sebagai salah sat u bentuk perlawanan atau resistensi at as prakt ik-praktik pem erintahan yang ot orit arianistik, m ilit erist ik, dan anarkis. Lewat kedua t okoh tersebut, suam i istri itu m empertanyakan sekaligus m elakukan counter atas ideologi kelompok dom inan yakni ideologi ot oritarianism e, m iliterism e, dan anarkism e. Tokoh-t okoh ini m enawarkan ideologi lain yakni demokrasi sebagai ideologi atau budaya bangkit (em ergent) yang didahului dengan m elakukan negosiasi yakni dengan m enawarkan ideologi humanism e. Humanism elah (m elalui t okoh suam i dan ist ri) yang m enjadi negosiat or antara kelompok dom inan yang berideologikan ot oritarianism e, m ilit erism e, dan anarkis (yang diw akili t okoh Penguasa, para t entara, dan orang-orang) dengan kelompok subaltern dari ideologi bangkit yakni demokrasi (yang diwakili oleh Sat ria sebagai t okoh intelektual t radisional).

(15)

Orde Baru, pem erint ah Soeharto yang neo-fasism e m iliter. Konstruksi yang dibangun atau proses strukt urasi yang dilakukan oleh drama ini yaitu berupa count er hegemoni atau resist ensi terhadap pihak penguasa.

M eski dem ikian, drama ini t idak mendapat pelarangan atau pembredelan sepert i yang t erjadi pada sejum lah karya sastra lainnya (sepert i yang t erjadi pada pengarang Lekra) m engingat Seno Gum ira Ajidarma adalah pengarang hegemonik dalam kesusast raan Indonesia. Selain itu, drama bersifat im ajinat if bukan berita yang bersifat faktual.

DAFTAR PUSTAKA

Ajidarma, Seno Gu m ira. 2002 (cet . II). Jazz, Parfum dan Insiden. Yogyakarta: Bentang Budaya. __________. 2002a (cet. II). Saksi M ata. Yogyakarta: Bentang Budaya.

__________. 2002b. Surat dari Palmerah: Indonesia dalam Politik M ehong 1996-1999. Jakarta: Kepu stakaan Popu ler Gramed ia.

__________. 2001. M engapa Kau Culik Anak Kam i? Yogyakart a: Galang Press. __________. 1999. Iblis Tak Pernah M at i. Yogyakarta: Galang Press.

__________. 1997 Ket ika Jurnalisme Dibungkam Sast ra Harus Bicara. Yogyakarta: Bentan g. Anon im . 2003. “ Prabowo Sub ianto: Keru suhan Itu Terorganisir,” Tempo. Edisi 25 M ei.

Budiman, Kris. 2001. “ Paman Gob er, Suatu Ket ika” dalam Seno Gum ira Ajidarma, Iblis Tidak Pernah M ati. Yo gyakarta: Galan g Press.

BLU, Wiratmatinata dan Julie Indahrin i. 2001 (21 Agustu s). “ M elawan Orang-o rang Lupa, “ Gamma. Diani, Hera. 2001 (10 Agu stus). “ Play Brings Abdu ct ion s Issue Back Into The Spot light ,” The Jakarta Post . Ed word s. 2003. “ Humanism ,” w w w .jcn.com/ humanism.ht m. Diakses 3 Desember.

Faruk. 2001. Beyond Imaginat ion, Sast ra M utakhir dan Ideologi. Yogyakarta: Gama M edia. ________. 1994. Pengantar Sosiologi Sat ra. Yogyakarta: Pust aka Pelajar.

Fauzan . 2003. M engubur Peradaban: Polit ik Pelarangan Buku di Indonesia. Yogyakarta: LkiS. Hard jana, And re. 1991. Krit ik Sast ra Sebuah Pengantar. Jakarta: Gram edia Pustaka Utama.

Harjit o. 2002. “ Student Hijo Karya M arco Kartodikromo Analisis Hegemon i Gram scian,” Tesis. Yo gyakarta: Un iversit as Gadjah M ada.

Heryan to , Ariel. 2003. “ San ta Cruz,” Kom pas. Edisi 9 Novemb er.

Jay. 2002 (26 November). “ M en gapa Kau Culik Anak Kam i? Hin gga Akhir Pen tas, Tak Ada Jawaban Past i,” w w w .kedaulatan-rakyat .com/ search.php?query= & topic=40.

Kratz, E. Ulrich. 2000. Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia. Jakart a: Kepustakaan Populer Gram edia. Laksm ini, Gita Widya. 2002 (23 Desember). “ M enun ggu Thukul Pulang,” w w w . pantau.or.id/ t xt/ 17/ 14.ht ml. Nu rhad i. 2004. “ Ib lis Tidak Pernah M at i Karya Seno Gum ira Ajidarma: Analisis Hegemon i Gram sci,” Tesis.

Yo gyakarta: Universitas Gadjah M ada.

P13. 2001. “ M engapa Kau Cu lik Anak Kam i? Pertanyaan It u Belum Terjawab ,” Kompas. Ed isi 9 Agu stus. Rampan, Ko rrie Layun. 2000. Angkat an 2000 dalam Sast ra Indonesia. Jakarta: Grasindo .

Sto rey, John. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop. Yogyakart a: Qalam .

Sugiono, M uhad i. 1999. Krit ik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ket iga. Yogyakarta: Pust aka Pelajar. Tamagola, Tam rin Amal. 2003. “ Geliat Cendekiaw an dalam Cengkeraman Neo-Fasism e Orde Baru,” Kompas. Ed isi

19 Ju li.

(16)

__________. 2002 (26 Novem ber). “ Para Pelupa,” w w w .suaramerdeka.com/ cybernew s/ pringgitan/ pringgitan36.ht m.

William s, Raymond. 1988. “ Dom inant , Residual, and Em ergent ,” dalam New ton, Twent ieth Century Lit erary Theory. London : M cm illan Educat ion Lt d.

(17)

Gambar

Tabel 1
Tabel 3

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor karakteristik penyuluh yang berhubungan secara signifikan dengan keberhasilan kinerja penyuluh yaitu tingkat

Hasilnya adalah intensitas tenaga kerja dan skala ekonomi berpengaruh positif tidak signifikan, struktur pasar, diferensiasi produk, dan dummy integrasi

3.1 Hasil Simulasi untuk Proses Isotermal dengan u inlet = 0,165 m/s (Kondisi 1) Sebelum menjalankan model, perlu dilakukan perhitungan bilangan Reynolds (Re) untuk

Data D2 yang tidak masuk pada D3 Serdos Gelombang 201601 ini akan dicek kembali pada database di PDPT untuk penyusunan data D3 Serdos sel anjutnya.. PT dapat m engusulkan dosen

Peraturan Menteri ini berlaku untuk semua pen adaan baran dan jasa g g yang dilakukan oleh BUMN yang pembiayaannya berasal dari anggaran BUMN atau an ' ggaran pihak lam termasuk

Apbl pejabat atau agen neg tlh mlkk tindakan yg merugikan, maka neg ber-TJ mnrt HI tanpa dibuktikan terlbh dhl apakah tindakan tsb terdpt unsur kesalahan atau kelalaian. Ex :

Peningkatan industri kreatif berbasis iptek untuk mendorong produktifitas multi faktor yang mencerminkan kontribusi inovasi berbasis iptek dalam pertumbuhan ekonomi

functioning of international institutions or organisations, their relations with each other, and their relations with states and individuals, and. Certain rules of law