• Tidak ada hasil yang ditemukan

NILAI HAMBUR BALIK LAMUN Enhalus acoroides DI PERAIRAN PULAU PANGGANG AYUDIAH NINGTYAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "NILAI HAMBUR BALIK LAMUN Enhalus acoroides DI PERAIRAN PULAU PANGGANG AYUDIAH NINGTYAS"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

NILAI HAMBUR BALIK LAMUN

Enhalus acoroides

DI PERAIRAN PULAU PANGGANG

AYUDIAH NINGTYAS

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Nilai Hambur Balik Lamun Enhalus acoroides di Perairan Pulau Panggang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2014

Ayudiah Ningtyas

(4)

ABSTRAK

AYUDIAH NINGTYAS. Nilai Hambur Balik Lamun Enhalus acoroides di Perairan Pulau Panggang. Dibimbing oleh SRI PUJIYATI dan ADRIANI SUNNUDIN.

Lamun Enhalus acoroides merupakan salah satu vegetasi dasar yang mulai terancam keberadaannya. Oleh karena itu diperlukan teknik pemantauan lamun E. Acoroides yang efisien dibandingkan teknik tradisional secara visual. Metode akustik merupakan teknologi yang efisien dalam memantau dan mendeteksi vegetasi dasar perairan laut. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji pengukuran nilai hambur balik lamun E. acoroides di perairan Pulau Panggang. Pengukuran dilakukan mengunakan instrumen hidroakustik Cruz Pro, yang berlangsung pada bulan April-November 2013. Hasil echogram memperlihatkan perbedaaan dasar perairan dengan lamun pada kolom perairan. Rentang nilai hambur balik lamun E. acoroides adalah (-53.71) – (-49.46) dB. Nilai rata-rata hambur balik tiap transek yang memiliki vegetasi lamun adalah -49.70 dB, -49.63 dB, -49.46 dB dan -53.70 dB. Nilai hambur balik dasar perairan yang substratnya terdiri dari pasir dominan pasir halus adalah (-26.93) – (-23.72) dB. Hasil menunjukkan terdapat hubungan antara nilai hambur balik dari lamun E. acoroides dengan tingkat kerapatan lamun .

Kata kunci: lamun, Enhalus acoroides, Pulau Panggang, hidroakustik, hambur balik.

ABSTRACT

AYUDIAH NINGTYASSeagrass Backscattering Enhalus acoroides in Panggang Island Supervised by SRI PUJIYATI and ADRIANI SUNNUDIN.

Enhalus acoroides is one species of aquatic vegetation which existence is threatened. Therefore be requiered monitoring of seagrass. Acoustic method is a technology that efficient in detecting marine vegetation. This research has examines measurements values of seagrass Enhalus acoroides backscatter in Panggang island. This measurement using hydroacoustic instrument Cruz Pro, which took place in April-November 2013. The Result of echogram show differences in bottom waters with seagrass in the water column. Backscatter value range of seagrass E. acoroides is (-58.47) - (-48.02) dB. The average value of each transect backscatter seagrass vegetation is -49.70 dB, -49.63 dB, -49.46 dB and -53.70 dB. Backscatter value of bottom waters with sand dominan category of fine sand on is (-26.93) - (-23.72) dB. The results show there is a connection between backscatter value of seagrass with densities in seagrass E. Acoroides. Keywords: Seagrass, Enhalus acoroides, Panggang Island, hydroacoustic, backscattering,

(5)

NILAI HAMBUR BALIK LAMUN

Enhalus acoroides

DI PERAIRAN PULAU PANGGANG

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan

pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2014

(6)
(7)

Judul Skripsi : Nilai Hambur Balik Lamun Enhalus acoroides di Perairan Pulau Panggang.

Nama : Ayudiah Ningtyas NIM : C54090058

Disetujui oleh

Dr. Ir. Sri Pujiyati, M. Si Pembimbing I

Adriani Sunuddin S. Pi, M. Si Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M. Sc Ketua Departemen

(8)

Judul Skripsi : Nilai Hambur Balik Lamun Enhalus acoroides di Perairan Pulau Panggang.

Nama : Ayudiah Ningtyas

NIM : C54090058

Disetujui oleh

Adriani Sunuddin S. Pi, M. Si

Pembimbing I Pembimbing II

Dr.

~~~ti'

M. Si

(9)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Besar yang senantiasa memberikan pelajaran dan petunjuk, sehingga penulisan Skripsi ini dapat diselesaikan, dengan judul penelitian Nilai Hambur Balik Lamun

Enhalus acoroides di Perairan Pulau Panggang.

Selesainnya skripsi ini tidak lepas dari peran berbagai pihak yang telah mendukung dan membantu dalam pelaksanaan penelitian hingga proses penyusunan skripsi ini. Karenanya penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Dr. Ir. Sri Pujiyati M. Si dan Ibu Adriani Sunuddin S. Pi, M. Si selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan banyak sekali masukan serta bimbingan untuk penyusunan skripsi,

2. Bapak Prof. Indra Jaya selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak masukkan pada skripsi ini,

3. Mama, Papa, mbak Raissa, Ka Luki serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya,

4. Asep Mamun S.Pi, Williandri S. Pi M.Si, Baigo S.Pi M.Si, Yudha Asmara, Norsyamimi yang membantu dalam pengambilan data di lapangan,

5. Isnaini Prihatiningsih, Muhammad Idris, Khasanah Dwi, Hesti Aprillianti, Husnul Khotimah, Nando Amarylly, Rizqi Rizaldi, Hasjrul M, Bagus Bastian, serta teman-temanku ITK 46 tercinta yang telah banyak membantu penulis selama penulisan skripsi ini,

6. FISHERIES DIVING CLUB dan MIT-IPB yang telah banyak mengajarkan banyak hal,

7. Bapak/Ibu Dosen dan staf penunjang Departemen ITK atas ilmu dan bantuannya selama menjalankan studinya di IPB.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pengembangan dan kemajuan ilmu dan teknologi kelautan di Indonesia.

Bogor, Januari 2014

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI... ix DAFTAR TABEL…... x DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... x PENDAHULUAN...1 Latar Belakang...1 Tujuan Penelitian... 1 METODOLOGI... 1

Waktu dan Tempat... 1

Alat dan Bahan... 3

Metode Penelitian... 4

HASIL DAN PEMBAHASAN... 6

Data Lapang...6

Hambur Balik Vegetasi Lamun... 8

Hubungan Nilai Hambur Balik dengan Nilai Kerapatan Enhalus acoroides... 12

SIMPULAN DAN SARAN... 14

DAFTAR PUSTAKA... 15

LAMPIRAN... 16

(11)

DAFTAR TABEL

1 Alat dan bahan yang digunakan dalam kegiatan penelitian ... 3

2 Titik pengamatan lamun Enhalus acoroides di perairan Pulau Panggang...7

3 Hasil fraksinasi sedimen ... 8

4 Hubungan nilai hambur balik terhadap nilai kerapatan lamun ... 12

5 Perbandingan nilai hambur balik dengan penelitian lainnya. ... 13

DAFTAR GAMBAR

1 Lokasi penelitian di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu-DKI Jakarta ... 2

2 Enhalus acoroides ... 3

3 Diagram alir penelitian ... 4

4 Ilustrasi perekaman data akustik... 5

5 Data hasil perekaman... 6

6 Lamun Enhalus acoroides di lokasi penelitian... 8

7 Tampilan echogram untuk Transek 1 ... 9

8 Tampilan echogram untuk Transek 2 ... 9

9 Tampilan echogram untuk Transek 3 ... 10

10 Tampilan echogram untuk Transek 4 ... 11

11 Tampilan echogram untuk Transek 5 ... 11

12 Nilai hambur balik (SV) dengan kerapatan lamun (ind/m2 ) ... 12

13 Plot hambur balik dari beberapa hasil pemeruman Enhalus acoroides ... 13

DAFTAR LAMPIRAN

1 Alat-alat yang digunakan pada penelitian ... 16

2 Sheet data akustik ... 16

3 Data pengamatan lamun. ... 17

(12)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Lamun merupakan sumber daya alam yang memiliki peranan penting bagi ekosistemnya. Salah satu jenis lamun yang banyak di Indonesia adalah jenis

Enhalus acoroides yang tersebar di daerah Indo Pasifik dan barat laut Australia. Jenis lamun ini biasanya tumbuh berdekatan dengan pelabuhan, jalur kapal, dan daerah yang sedang dibangun, sehingga keberadaannya mulai terancam (Unsworth et al. 2012). Oleh karena itu, perlu dilakukan pemantauan terhadap lamun Enhalus acoroides agar kelestariannya dapat dijaga.

Beberapa cara dapat digunakan untuk memantau lamun. Pemantauan dengan penyelaman secara langsung, penginderaan mengunakan citra, hingga pendeteksian bawah air secara akustik. Teknologi akustik merupakan teknologi yang digunakan untuk pemantauan dan pendeteksian sumber daya laut dengan memanfaatkan sinyal suara yang dipancarkan dan diterima oleh transduser (pemeruman). Teknologi akustik memiliki berbagai fungsi yang salah satunya adalah mendeteksi vegetasi dasar perairan. Pedeteksian vegetasi dasar perairan yang mengunakan sistem side scan sonar dan echosounder dapat menggambarkan penutupan dasar, menghasilkan gambaran dasar perairan hingga mendeteksi lamun (Sabol et al. 2002).

Menurut Hermand (2006) pemantauan lamun mengunakan teknologi akustik merupakan cara yang efisien. Beberapa penelitian mengenai vegetasi lamun dengan metode hidroakustik di Indonesia sendiri sudah dilakukan walaupun jumlahnya tidak banyak. Deswati (2009) melakukan penelitian dengan mengunakan instrumen akustik Simrad EY 60 untuk mendeteksi lamun di gugusan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta. Ole (2011) melakukan penelitian mengenai hambur balik akustik untuk identifikasi spesies lamun yang berbeda di Pulau Pramuka dan sekitarnya.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengukur nilai hambur balik lamun Enhalus acoroides di perairan Pulau Panggang dengan mengunakan instrumen hidroakustik Cruz Pro.

METODOLOGI

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April-November 2013. Pengambilan data lapang dilakukan pada bulan April 2013 di perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, Jakarta (Gambar 1). Pengolahan data akustik dilakukan di Laboratorium Akustik dan Instrumentasi Kelautan – FPIK-IPB.

(13)

2 Ga mbar 1 Lok asi pene li ti an di P ulau Pangga ng, Ke pulaua n S eribu -DK I Ja k arta

(14)

3

Alat dan Bahan

Penelitian ini mengunakan lamun jenis Enhalus acoroides (Gambar 2) sebagai objek yang dideteksi. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain echosounder single beam Cruzpro PcFF80, laptop, GPS, aki, pipa paralon, transek kuadrat, kamera underwater, kapal nelayan serta peralatan selam. Perangkat lunak yang digunakan untuk pemrosesan sinyal hasil perekaman akustik adalah Matlab R2010a dan Microsoft Excel 2007. Tabel 1 menunjukkan alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini.

Sumber: seagrasswatch.org Gambar 2 Enhalus acoroides

Tabel 1 Alat dan bahan yang digunakan dalam kegiatan penelitian Alat dan Bahan Tipe/Spesifikasi Kegunaan Cruz Pro GPS Pipa Paralon Core sedimen Laptop Transek kuadrat Kapal nelayan Aki

Alat Dasar Selam Kamera bawah air

PcFF80, Frekuensi 200KHz Garmin, Hand GPS 0.75 inchi 3 inchi Windows XP 1 x 1 meter 5 GT 100 A dan 40 A - -

Perekaman data akustik Penentuan koordinat transek Rangka

Pengambil sedimen Display dan setting Sampling lamun Transportasi ke lokasi Catu daya Peralatan sampling Dokumentasi Alat Tulis Ayakan Bertingkat - Diameter 0.76 mm, 0.29 mm, 0.14 mm, 150 µm, 63 µm

Mencatat data lamun Fraksinasi sedimen

(15)

4

Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan, yaitu tahap pendeteksian akustik lamun dan pengamatan lamun. Pengolahan data dilakukan dengan Microsoft Excel dan Matlab. Gambar 3 menunjukkan diagram alir penelitian ini.

Gambar 3 Diagram alir penelitian Perekaman Akustik Lamun

Pendeteksian padang lamun dilakukan pada waktu pasang surut tinggi, hal ini dilakukan untuk mendapatkan posisi tegak sehingga lamun dapat dideteksi dengan baik. Perekaman data akustik pada penelitian ini mengunakan

echosounder single beam CruzPro PcFF80. Proses pemeruman di lapangan dapat dilihat pada Lampiran 1. untuk mengidentifikasi dan merekam pantulan dari

(16)

5

lamun dan sedimen sebagai targetnya, posisi transduser tegak lurus dengan target dengan mengunakan rangkaian pipa paralon dengan diameter 0.75 inchi. Pedeteksian lamun pada penelitian ini mengacu pada penelitian MacLennan et al.

(2004). Proses perekaman data akustik diambil selama 10 menit untuk setiap transeknya. Transduser dipasang pada frekuensi yang digunakan pada penelitian ini adalah 200 KHz, dengan kedalaman pemasangan transduser berkisar 0.20-0.25 meter di bawah permukaan air. Kolom dibawah transduser sampai lamun berjarak minimal 0.48 meter agar terhindar dari near field. Perhitungan nilai near field

pada penelitian kali ini digunakan persamaan menurut MacLennan (1992):

2 L r

...(i) Ilustrasi proses perekaman data akustik pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4. Rangka yang disusun dari paralon berukuran 0.75 inchi, dipasangkan transduser di bagian atas sedangkan di bawah terdapat lamun yang akan dideteksi. Kemudian kabel transduser disambungkan langsung pada transmiter Cruz Pro yang berada diatas kapal.

Gambar 4 Ilustrasi pemeruman lamun dengan Cruz Pro Pengamatan vegetasi dan substrat lamun

Pengamatan kerapatan, tinggi dan identifikasi jenis lamun dilakukan dengan melakukan penyelaman. Pengamatan lamun dalam transek kuadrat berukuran 1 m x 1 m yang diletakkan secara acak menyesuaikan dengan titik pemeruman. Substrat dasar lamun diketahui berdasarkan analisis sampel sedimen

(17)

6

corer. Kedalaman sedimen tersampel adalah 20 cm sehingga hanya menggambarkan kondisi sedimen permukaan dasar perairan.

Pemrosesan dan Analisis Data Akustik

Pemrosesan data pemeruman dilakukan dengan mengunakan perangkat lunak Microsoft Excel dan Matlab. Hasil pemeruman adalah data yang berbentuk

raw data (Gambar 5), data tersebut diekstrak mengunakan Microsoft Excel. Data yang telah di ekstrak disimpan dengan format .txt. Pengolahan data selanjutnya mengunakan Matlab dengan mengunakan bahasa pemrograman (Syntax dapat dilihat pada Lampiran 4) untuk menampilkan echogram. Setelah itu dilakukan perhitungan rata-rata hambur balik dilakukan mengunakan Microsoft excel.

Gambar 5 Data pemeruman lamun

Analisis Data Lamun dan Fraksinasi Sedimen

Perhitungan data lamun diadopsi dari Saito dan Atobe (1970) (dalam English et al. 1994).Kerapatan jenis adalah jumlah total individu dalam suatu unit area yang diukur :

...(ii)

D adalah kerapatan (ind/m2 ), N adalah jumlah total individu (ind) dan A adalah luas transek (m2). Untuk mengetahui jenis sedimen dilakukan fraksinasi

sedimen dengan tahapan pengeringan sedimen, pengayakan, perhitungan bobot sedimen tiap saringan, kemudian dilakukan penentuan jenis sedimen berdasarkan tabel Wenworth.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data Lapang

Lokasi penelitian berada di Perairan Pulau Panggang diperoleh data yang dapat diuraikan pada Tabel 2. Lokasi penelitian berada pada lintang dan bujur 5°26´39.78´´ - 5°26´37.82´´ LS dan 106°21´36.50´´-106°21´36.80´´ BT. Secara umum kondisi perairan pada lokasi penelitian memiliki dasar perairan yang

(18)

7

homogen yaitu pasir sangat halus, kontur perairan yang relatif datar dengan kedalaman rata-rata 1.75 meter.

Tabel 2 Titik pengamatan lamun Enhalus acoroides di perairan Pulau Panggang

Transek Posisi Kerapatan (ind/m2 ) Tinggi Lamun (meter) LS (°) BT (°) 1 5°26’37.77” 106°21’36.50” 9.24 0.47 2 5°26’37.78” 106°21’36.50” 10.33 0.69 3 5°26’37.80” 106°21’36.50” 11.61 0.64 4 5°26’37.82” 106°21’36.50” 7.48 0.73 5 5°26’37.78” 106°21’36.50” - -

Berdasarkan Kurniasih (2013) padang lamun yang terdapat di perairan Pulau Panggang komunitas campuran. Terdapat 6 jenis lamun di perairan ini yaitu

Enhalus acoroides, Thalassia hemprinchii, Halodule uninervis, Halophila ovalis, Syiringodium isoetifolium, dan Cymodocea serrulata, namun hanya ditemukan satu spesies lamun di empat transek pengamatan di perairan Pulau Panggang yaitu

Enhalus acoroides. Enhalus acoroides ini adalah salah satu jenis lamun yang memiliki karakteristik tumbuh pada substrat berlumpur dan perairan keruh, dapat membentuk padang lamun spesies tunggal, atau mendominasi komunitas padang lamun (Short dan Waycott, 2010) dapat dilihat pada Gambar 6. berdasarkan pengamatan lokasi penelitian, lamun yang berada didaerah tersebut tidak terlalu padat dan hanya hidup di beberapa tempat. Enhalus acoroides merupakan jenis lamun yang memiliki ukuran paling besar, panjang helai daunnya dapat mencapai ukuran lebih dari 1 meter. Jenis ini tumbuh di perairan dangkal sampai kedalaman 4 meter dan melimpah di daerah pasang surut (Tanaka dan Kayanne 2007).

Hasil pengamatan lamun setelah dilakukan analisis kerapatan lamun dapat dilihat pada Tabel 2. Nilai kerapatan berkisar dari 7.46-11.61 ind/m2, pada transek 1-4. Nilai kerapatan tertinggi terdapat pada Transek 3, sedangkan pada Transek 4 merupakan transek yang memiliki kerapatan paling rendah. Penelitian ini juga melakukan pengukuran tinggi lamun Enhalus acoroides tinggi rata-rata dari 4 transek berkisar antara 0.47-0.73 m.

Gambar 6 Lamun Enhalus acoroides di lokasi penelitian lamun

(19)

8

Menurut Newell dan Koch (2004), substrat dasar merupakan parameter yang penting untuk mengetahui pertumbuhan dan penyebaran dari lamun. Berdasarkan Wenworth (1922) pada tabel klasifikasi substrat dasar, di daerah pengamatan menunjukkan klasifikasi pasir dengan jenis substrat dominan pasir sangat halus. Hal ini terlihat dari ukuran partikel yang dominan berukuran kisaran antara 0.420-0.117 mm (Tabel 3). Fraksinasi sedimen ini memiliki ukuran partikel lebih dari 2 mm untuk saringan yang terbesar dan untuk yang terkecil memiliki ukuran lebih kecil dari 63 µm.

Tabel 3 Hasil Fraksinasi sedimen

Ukuran saringan Jenis sedimen Bobot (Kg) Persentase (%) 2. 00 mm Pasir 0.01 1.50

0.42 mm Pasir medium 0.35 38.17 0.12 mm Pasir sangat halus 0.43 47.64 150 µm Lumpur kasar 0.08 9.33 63 µm Lumpur sedang 0.03 3.35

Hambur Balik Vegetasi Lamun

Echogram merupakan tampilan pemeruman akustik yang memberikan informasi kedalaman, tipe dasar perairan, serta objek yang ada di kolom perairan. Gambar 6-10 menunjukkan echogram hasil pemeruman, dapat dilihat perbedaan lapisan-lapisan pada dasar perairan dan kolom perairan. Lapisan yang berwarna biru merupakan lapisan kolom perairan. lapisan abu-abu keputihan merupakan lapisan lamun dan lapisan cokelat kemerahan dapat diperkirakan adalah substrat dasar perairan.

Transek 1 memiliki kedalaman ±1.75 meter, dari echogram kedalaman tercatat 1.40 meter (Gambar 7). Tingkat warna echogram berwarna cokelat kemerahan dengan nilai yang intensitas berkisar (-23) – (-27) dB, nilai hambur balik rata-rata pada kedalaman ini adalah -26.03 dB ± 0.58. Berdasarkan nilai hambur balik pada kedalaman 1.40 m yang tinggi maka dapat dikategorikan bahwa pada kedalaman tersebut merupakan lapisan substrat. Substrat yang berada di lokasi penelitian terlihat homogen pada lapisan permukaan, hasil dari pengolongan substrat mengunakan segitiga Shepard tergolong pasir. Pada kedalaman 1-1.40 m memiliki nilai hambur balik sebesar (-57.22) – (-48.02) dB dengan nilai hambur balik rata-rata -49.70 dB ± 0.12. Berdasarkan pengamatan secara langsung pada kedalaman tersebut terdiri dari lamun jenis Enhalus acoroides yang tumbuh jarang dengan kerapatan pada transek 1 cm × 1 cm adalah 9.24 ind/m2.

(20)

9

Gambar 7 Tampilan echogram untuk Transek 1

Kerapatan pada Transek 2 adalah 10.33 ind/m2. Hambur balik dari transek 2 dapat ditunjukkan pada Gambar 8. Transek 2 memiliki nilai hambur balik berkisar (-58.47) – (-48.26) dB, dengan kerapatan E. acoroides 10.30 ind/m2. Berdasarkan echogram, lamun berada pada kedalaman 1.30-1.50 meter, dengan nilai hambur balik rata-rata -49.63 dB ± 0.07. Nilai hambur balik rata-rata dari substrat dasar lamun adalah -23.73 dB ± 1.01.

Hasil echogram dari transek 3 (Gambar 9) nilai hambur balik dari lamun berkisar (-58.47) – (-48.26) dB, dengan rata-rata nilai hambur balik dari lamun adalah -49.46 dB ± 0.33. Kedalaman lamun pada transek 3 dimulai pada kedalaman 0.80 -1.50 m. Pada kedalaman 1.50 m kebawah merupakan subtrat dasar yaitu pasir dengan nilai hambur balik rata-rata -25.52 dB ± 0.95. Transek 3 memiliki nilai kerapatan 11.61 ind/m2 dengan tinggi rata-rata lamun adalah 0.64

m.

(21)

10

Gambar 9 Tampilan echogram untuk Transek 3

Hasil echogram Transek 2 dan Transek 3 tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, namun telihat perbedaan yang cukup signifikan pada Transek 1. Gambar 7 menunjukkan bahwa substrat dasar permukaan transek 1 adalah pasir, namun di bagian yang lebih dalam terdapat tipe substrat yang lain yang nilai intensitas hambur baliknya lebih rendah dibandingkan pasir. Hal ini dapat diduga bawah lapisan dibawah permukaan lebih halus. Menurut morfologi sistem perakaran dari lamun Enhalus acoroides yang memiliki akar rimpang yang berbentuk seperti tali dengan rambut-rambut yang kaku dan keras (Short dan Waycott 2010). Sistem perakaran seperti ini berfungsi untuk menompang lamun yang hidup di substrat dasar yang memiliki ukuran butir sedimen yang lebih halus.

Transek 4 (Gambar 10) menunjukkan bahwa lapisan lamun pada kedalaman 1 meter terlihat lebih keras dengan nilai hambur balik ± 51 dB. Nilai yang lebih tinggi tersebut disebabkan oleh terdapat endapan-endapan sedimen serta biota mikroskopik yang bersifat epifit, yang menempel di ujung daun lamun tersebut (Arnulfo et al. 2001) sehingga muncul pada echogram. Nilai lamun berkisar antara (-58.47) – (-49.44) dB dengan nilai rata-rata hambur baliknya adalah -53.70 dB ± 0.35. Nilai hambur balik rata-rata dari substrat adalah -26.93 dB ± 0.78. Nilai kerapatan lamun pada transek ini 7.48 ind/m2.

(22)

11

Gambar 10 Tampilan echogram untuk Transek 4

Transek 5 (Gambar 11) merupakan transek yang diambil pada lokasi tanpa lamun, hal ini dilakukan untuk mendapatkan perbandingan dari substrat dengan lamun dan tanpa lamun. nilai hambur balik dari dasar perairan adalah -23.72 dB ± 0.62, dengan kedalaman 1.52 meter. Dibandingkan dengan transek lainnya pada transek 5 nilai hambut balik dari dasar perairan kearah permukaan menujukan nilai -44 dB.

Gambar 11 Tampilan echogram untuk Transek 5

Perbedaan dari Transek 1-4 dengan Transek 5 dapat dilihat bahwa nilai hambur balik dari dasar perairan yang memiliki vegetasi lamun nilai hambur baliknya lebih kecil dibandingkan hambur balik dari transek yang tidak memiliki lamun. Hal ini memungkinkan komposisi substrat dari tiap transek berbeda meskipun terlihat sepertinya sama.

(23)

12

Hubungan Nilai Hambur Balik dengan Nilai Kerapatan Enhalus acoroides

Menurut Drake dan Valey (2005) sensitivitas dari golongan sebagian tumbuhan seperti lamun ataupun alga memiliki struktur yang lebih lembut dibandingkan dengan dasar perairan yang kasar seperti substrat atau batuan didasar perairan. Hal ini menunjukan nilai hambur balik yang lebih rendah terdapat pada lamun. Nilai hambur balik dari lima transek lamun dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Hubungan nilai hambur balik terhadap nilai kerapatan lamun Transek Rentang SV (dB) Rata-rata SV (dB) Kerapatan

(Ind/m2) 1 (-57.22) – (-48.02) -49.70 ± 0.12 9.28 2 (-58.47) – (-48.26) -49.63 ± 0.07 10.33 3 (-58.47) – (-48.36) -49.46 ± 0.32 11.61 4 (-58.47) – (-49.44) -53.70 ± 0.35 7.48 5 (-43.23) – (-46.35) - 0

Tabel 4 menunjukkan nilai hambur balik dibandingkan dengan nilai kerapatan lamun semakin kecil nilai kerapatan semakin kecil juga nilai rata-rata hambur balik hal ini juga dapat ditunjukan pada Gambar 11. Hubungan nilai hambur balik rata-rata tiap transeknya dengan nilai kerapatan lamun.

Gambar 12 Nilai hambur balik (SV) dengan kerapatan lamun (ind/m2 ) Nilai hambur balik lamun berkorelasi positif dengan kerapatan lamun (Gambar 12). Gambar menunjukkan bahwa hubungan antara nilai hambur balik dengan nilai kerapatan dapat dijelaskan 74% ( r2= 0.74), bahwa kerapatan lamun mempengaruhi nilai hambur balik 74%, sedangkan 26% dipengaruhi faktor lainnya. Nilai korelasi (r) didapatkan hasil nilai r2 yaitu 0.86, dari nilai ini dapat diinterpretasikan bahwa hubungan antara kerapatan dengan nilai hambur balik memiliki hubungan yang sangat erat.

(24)

13

Nilai hambur balik dari penelitian ini memiliki selang yang lebih sempit dibandingkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan (Tabel 5).

Tabel 5 Perbandingan nilai hambur balik dengan penelitian lainnya.

Perbedaan yang terjadi antara penelitian ini dengan Rusmayanti (2012) yaitu nilai hambur balik dari lamun jenis yang sama Enhalus acoroides. Gambar 13 menunjukkan rentang hambur balik dari penelitian ini dan penelitian sebelumnya.

Gambar 13 Plot rentang hambur balik dari beberapa hasil pemeruman

Enhalus acoroides

Nilai hambur balik dari penelitian ini berkisar antara 53.71 dB hingga -49.46 dB, nilai hambur balik dari penelitian ini masih berada dalam selang nilai hambur balik dari penelitian Rusmayanti (2012) -50 dB hingga -60 dB, dibandingkan dengan nilai hambur balik dari penelitian Ole (2011) dan Deswati (2009) nilai hambur balik dari penelitian ini tidak mendekati. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan alat yang digunakan pada penelitian Ole dan Deswati adalah SIMRAD EY 60 dengan frekuensi yang berbeda yaitu 120 KHz, bila dibandingkan dengan penelitian ini dengan penelitian Rusmayanti yang

Peneliti Nilai SV (dB) Alat dan frekuensi Jenis vegetasi Penelitian ini (-53.71) – (-49.46) Cruz Pro

(200 KHz) Enhalus acoroides Rusmayanti (2012) (-60.00) – (-50.00) Cruz Pro (200 KHz) Enhalus acoroides Ole (2011) (-67.09) – (-61.23) Simrad EY 60 (120 KHz) Enhalus acoroides Deswati (2009) (-70.56) – (-57.69) Simrad EY 60 (120 KHz) Enhalus acoroides

Valey dan Drake (2005)

(-75.00) – (-65.00) EcoSAV (480 KHz)

Lamun dan makroalga

(25)

14

mengunakan alat dan frekuensi yang sama hampir menunjukkan nilai yang sama. Faktor lain yang diduga memengaruhi perbedaan nilai hambur balik dengan penelitian lainnya terhadap lamun Enhalus acoroides adalah faktor biofisik dari lamun yang terdeteksi dan program analisis data yang digunakan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Dari penelitian ini diketahui nilai hambur balik lamun berbeda dasar perairan. Variasi nilai hambur balik lamun secara nyata dipengaruhi oleh kerapatan lamun. Penelitian ini memperlihatkan adanya nilai yang spesifik terhadap hambur balik dari lamun Enhalus acoroides.

Saran

Pendeteksian hambur balik pada Lamun dapat dijadikan alternatif metode pemantauan vegetasi dasar perairan. Perlu dilakukan kajian lebih lanjut terhadap lapisan-lapisan substrat dasar pada vegetasi lamun Enhalus acoroides.

(26)

15

DAFTAR PUSTAKA

Arnulfo NM, Armando FT, Yasuwo F. 2001. Prorocentrum (Prorocentrales: Dinophyceae) Population on seagrass blade surfaces in Taklong Island, Guimaras Province, Philippines. Plankton Biol. Ecol. 48 (2): 79-84.

Deswati SR. 2009. Evaluasi Metode Akustik untuk Pendeteksian Padang Lamun. Thesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor

English S, V Baker, Wilkinson C. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Asean-Australian. Marine Project Australia

Hermand JP. Continuous acoustic Monitoring of physiological and enviromental processes in seasgrass prairies with focus on Photosynthesis. in A. Calti, NR Chapman, JP Hermand. SM Jesus, editor. Acoustic Sensing Techniques for the Shallow Water Enviroment: Inversion Methods and Experiments; 2006; Netherland: Springer. 183-189

Kurniasih. 2013. Karakteristik reflektansi spektral lamun di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Skripsi. Institut Pertanian Bogor

MacLennan DN, Copland PJ, Armstrong E, Simmonds EJ. 2004. Experiments on the discrimination of fish and seabed echoes. ICES Journal of Marine Science, 61:201-210.

Newell RIE, Koch EW. 2004. Modeling seagrass density and distribution in response to changes in turbidity stemming from bivalve filtration and seagrass sediment stabilization. Estuaries 27 (5): 793-806.

Ole L, 2011 Analisis Hambur Balik Akustik untuk Identifikasi Spesies Lamun. Thesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Rusmayanti SH, 2012 Pengukuran Nilai Hambur Balik Akustik Enhalus

acoroides di Pulau Pari Kepulauan Seribu DKI Jakarta. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.

Sabol BM, Jr Melton RE, Robert C, Peter D, Kathy H. 2002. Evaluation of a Digital Echosounder System for Detection of Submersed Aquatic Vegetation. Estruaries, 25 (1): 133-141.

Short FT. & Waycott M. 2010. Enhalus acoroides. In: IUCN 2013. IUCN Red List of Threatened Species.Version 2013.1. [Internet]. [diunduh 2013 Oktober 02]. Tersedia pada: http//www.iucnredlist.org

Tanaka Y. & H. Kayanne 2007. Relationship of species composition of tropical seagrass meadows to multiple physical environmental factors. Ecological Research, 22: 87–96.

Unsworth RKF, Rasheed MA, Chartrand KM, Roelofs AJ. 2012. Solar Radiation and Tidal Exposure as Environmental Drivers of Enhalus acoroides

Dominated Seagrass Meadows. PLoS ONE 7(3): e34133. doi:10.1371/journal.pone.0034133

Valley RD. and Drake MT. 2005. Accuracy and Precision of Hydroacoustic Estimates of Aquatic Vegetation and The Repeatibility of Whole-Lake Surveys: Field Test With a Commercial Echosonder. Minnesota Departemen of Natural Resources Investigational Report 527

(27)

16

Lampiran 1. Alat-alat yang digunakan pada penelitian

1. Laptop berguna untuk proses setting transduser dan display

2. CruzPro Fishfinder

3. Transduser pada saat pemeruman 4. Rangka paralon dari permukaan, kabel berwarna hitam yang menyambungkan transduser ke transmiter.

5. Lamun pada saat pemeruman 6. Transek lamun pada saat perhitungan kerapatan lamun Lampiran 2. Sheet data akustik

TRANSEK JAM FREKUENSI FILE CF NF DP CS XP AT XPW SG CR

1 8.42-8.52 200 I3031708.42I 1 1 4 2 115 4 3 120 250

2 9.26-9.36 200 I3031709.26I 1 1 4 2 115 4 3 120 250

3 9.45-9.55 200 I3031709.45I 1 1 4 2 115 4 3 120 250

4 10.04-10.14 200 I3031710.02I 1 1 4 2 115 4 3 120 250

(28)

17

Lampiran 3. Data pengamatan lamun.

Data dari pengamatan lamun 1 m × 1 m yang dibagi menjadi 25 bagian, terdapat data jumlah individu lamun per estimasi tutupan lamun.

Transek 1 7/4 7/4 5/2 1/1 1/1 4/2 5/2 0 2/1 0 4/2 3/1 0 5/3 1/1 3/1 2/1 1/1 10/5 0 0 0 0 0 0 Rata-rata tinggi lamun 0.47 m Transek 2 3/1 4/2 4/2 1/1 1/1 0 7/4 6/3 0 1/1 3/1 6/3 4/2 1/1 2/1 6/3 5/2 0 3/1 0 11/5 1/1 1/1 1/1 6/3 Rata-rata tinggi lamun 0.69 m Transek 3 5/2 3/1 6/3 5/2 4/2 8/4 7/3 5/2 2/1 8/4 4/2 4/2 10/5 1/1 0 2/1 5/2 4/2 1/1 3/1 3/1 1/1 0 0 1/1 Rata-rata tinggi lamun 0.64 m Transek 4 4/2 6/3 4/2 0 2/1 5/2 5/2 6/2 2/1 8/3 4/2 4/2 10/4 1/1 0 2/1 5/2 4/2 1/1 3/1 3/1 1/1 0 0 1/1 Rata-rata tinggi lamun 0.73 m

Lampiran 4. Syntax Matlab

('Program Matlab CRUZPRO') disp('Directed : Asep Mamun')

disp('MARINE SCIENCE AND TECHNOLOGY - IPB') disp('=======================================') disp('---') disp('Parameter Alat') disp('---') disp('Masukan Nilai :') F=input('Frekuensi(Hz) = '); a=input('Diameter Transduser(m)= '); t=input('Durasi Pulsa(s)='); disp('PRESS ENTER !!!') pause clc; disp('---') disp('Kalibrasi-Parameter Lingkungan') disp('---')

disp('# KECEPATAN SUARA #') disp('Masukan Nilai :')

%Sound Speed formula% s=input('Salinitas(permil)= '); T=input('Temperatur(C)= '); D=input('Kedalaman Pengukuran(m)='); [C1,C2,C3,C4]=soundspeed(s,T,D); disp(['1.C_Leroy (1969)=',num2str(C1)]); disp(['2.C_Medwin (1975)=',num2str(C2)]); disp(['3.C_Mackenzie (1981)=',num2str(C3)]);

(29)

18 disp(['4.C_Del Grosso=',num2str(C4)]); pilih=input('pilihan anda(1-4)->'); switch pilih case 1 C=C1; disp(['Leroy (1969)=',num2str(C1)]); case 2 C=C2; disp(['Medwin (1975)=',num2str(C2)]); case 3 C=C3; disp(['Mackenzie (1981)=',num2str(C3)]); case 4 C=C4; disp(['Del Grosso=',num2str(C4)]); end disp('PRESS ENTER !!!') pause clc;

disp('# ABSORPSI KOEFISIEN(Francois-Garrison)#') disp('Masukan Nilai :') ph=input('Ph = '); clc; FF=F/10000; DD=D; [alpha]=koefabsorbsi(C,DD,s,T,ph,FF); disp('======================================') disp(['Koef.Absorpsi=',num2str(alpha)]); ld= C/F; [beamwidth]=beamwidth(ld,a);

disp(['Lebar Beam =',num2str(beamwidth)]);

disp('======================================') disp('PRESS ENTER !!!') pause %% instrument parameter %% r=1.45; %---% AG0=0; RS=-185; RS2=-173; AGTR=10^(AG0/10); RSTR=10^(RS/10); KTRlin=AGTR*RSTR; KTR=10*log10(KTRlin); SL=163; TL=20*log10(r)+2*alpha*r; makscount=255; jumrec=1; AVG=20*log10(jumrec); Qa=0.5*pi*(0.3207^2);; Qb=Qa; be=(1/2*pi)*(Qa/2)*(Qb/2)*(10^-3.16); etha=2*pi*(be^2); Ce=10*log10((C*t*etha)/2); TVGts=40*log10(r)+2*alpha*r; TVGsv=20*log10(r)+alpha*r; apr=4145.6/98;% corr=((C*t*0.001)/2); MAX=4145; clc format long

file=input('Masukan Nama File Echogram='); PS=input('POWER yang digunakan(watt)='); PSS=10^((PS/MAX)/10); data=file; aa=data(2:size(data,1),1:size(data,2)); as=data(1:size(data,1),1:size(data,2)); ep=data(:,1); aaa=rot90(aa); ra=rot90(as); %kedalaman rata-rata

dz=input('Masukan Kedalaman Rata-rata='); dzz=33*dz;

mam=size(aaa,1); oen=size(aaa,2);

data_filter=zeros(mam,oen);

for mam = 1:mam for oen = 1:oen

if ((aaa(mam,oen)>=0)&&(aaa(mam,oen)<=5)); data_filter(mam,oen) = 0; else data_filter(mam,oen) = aaa(mam,oen); end end end aaaa=data_filter.*3.060072; raaa=size(aaaa,1); numa=size(aaaa,2); splita_DN=ones(raaa,numa); uppera_DN=ones(raaa,numa); for reeee = dzz:raaa

for numa = 1:numa

uppera_DN(reeee,numa) = aaaa(reeee,numa); end

end

for reeee = 1:dzz-1 for numa = 1:numa if ((aaaa(reeee,numa)>=10)); splita_DN(reeee,numa) = aaaa(reeee,numa)*2; end end end %Re matrik MMDN=uppera_DN.*splita_DN; %% re_matrik_DN %% mamaa=size(MMDN,1); oenaa=size(MMDN,2); MMAA=zeros(mamaa,oenaa); for mamaa = 1:mamaa for oenaa = 1:oenaa if MMDN(mamaa,oenaa)==1; MMAA(mamaa,oenaa) = 0; else MMAA(mamaa,oenaa) = MMDN(mamaa,oenaa); end end end %% TS convertion VR=10*log10((MMAA)/makscount); VRR=aaaa/makscount; TS=-RS-SL+2*TL+VR-AVG+AG0; TSS=-RS-SL+VR+40*log10(r)-2*r*(alpha)+Ce+AG0-10*log10(PSS);%+corr; %% TS integration area TSlin=10.^(TS/10)*1000000; %% TVG for TS distribution raa=size(TSS,1); num=size(TSS,2); split_TS=ones(raa,num); upper_TS=ones(raa,num); for re = dzz:raa

for num = 1:num

upper_TS(re,num) = TSS(re,num); end

end

for ree = 1:dzz-1 for num = 1:num if ((TSS(ree,num)<=-40)); split_TS(ree,num) = TSS(ree,num)*0.5; end end end %Re matrik MM=split_TS.*upper_TS; %% re_matrik_TS %% mama=size(MM,1); oena=size(MM,2); MMA=zeros(mama,oena); for mama = 1:mama for oena = 1:oena if MM(mama,oena)==1;

(30)

19 MMA(mama,oena) = -Inf; else MMA(mama,oena) = MM(mama,oena); end end end %% Revebrasi Level %% RL=SL-2*TL+MMA+10*log10(beamwidth)+10*log10(C*t/2)+10*log1 0(r); %% Scattering Volume %% SV=RL-SL+2*TL-10*log10(beamwidth)-10*log10(C*t/2)-10*log10(r^2); %% SV %% MMMA=10.^(MMA/10); sigma=10*log10(4*pi); tetha=10*log10(2*pi); svv=MMMA./((C*t/2)*Ce); SVV=10*log10(abs(svv)); %% SV integration area

SVVlin=(10.^(SVV/10))*100000000;% convert to index %% rata-rata target strength%%

NN=size(aa,2); NNN=NN-11; ff=aa(:,1:NNN); hh=mean(ff); hhh=hh.*0.218577; VR1=20*log10((hhh)/makscount); SS1=-RS-SL+2*TL+VR1-AVG+AG0; RLr=SL-2*TL+SS1+10*log10(beamwidth)+10*log10(C*t/2)+10*log10( r); SVv=RLr-SL+2*TL-10*log10(beamwidth)-10*log10(C*t/2)-10*log10(r^2); EL=SL-2*TL+SS; EL1=SL-2*TL+SS1; Fun=inline('uint8(round(mean2(SVVlin)*ones(size(SVVlin))))') ; SVVV=blkproc(SVVlin,[117 300],Fun); Funn=inline('uint8(round(mean2(TSlin)*ones(size(TSlin))))'); TSSS=blkproc(TSlin,[117 300],Funn);

%% Fast Fourier Transform %% m = length(hh); n = pow2(nextpow2(m)); y = fft(hh,n); xfft = abs(fft(y)); f = (0:n-1)*(F/n); FF= ceil(f); power = xfft.*conj(xfft)/n; PWR= ceil(power); PWR1=rot90(PWR); [lamda,range,N,dpt,Y,YX,YY,X,XX,N1,dpt1,Y1,YX1,YY1,X1, time]=kedalaman(C,F,aaa,ff,hh);

figure('Name','Time Series of Scattering Volume','NumberTitle','on') fg(2)=imagesc(X,YY,SV); set(gca,'XTickLabel','[min(X):0.001:max(X)]')%,'XTick',[0.5]) datetick('x','HH:MM:SS','keepticks') colorbar('XTickLabel',{'SV (dB)'},'XTick',[0.5])%,... %'XAxisLocation','cldtop'); dataRGB = ek500(); colormap(dataRGB); Title ('') ylabel('Depth (m)') xlabel('Hour') grid on figure('Name','integrasi SV','NumberTitle','on') imagesc(X,YY,SVVV); set(gca,'XTickLabel','[min(X):0.001:max(X)]')%,'XTick',[0.5]) datetick('x','HH:MM:SS','keepticks') colorbar('XTickLabel',{'index'},'XTick',[0.5])%,... %'XAxisLocation','top'); Title ('') ylabel('Depth (m)') xlabel('Hour') grid on

(31)

20

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Serang pada tanggal 5 Februari 1991 sebagai anak ketiga dari pasangan Pardiono Wibowo dan Nuriah. Penulis menjalani pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Cilegon tahun 2006 – 2009. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Talenta Mandiri Masuk IPB di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan pada tahun 2009.

Selama menempuh pendidikan sarjana penulis aktif menjadi anggota perkumpulan Fisheries Diving Club sejak Oktober 2009 dan

Marine Instrumentation and Telemetry IPB. Penulis pernah menjadi tim pengambilan data dan tim penulis laporan Oseanografi dan Karang pada Ekspedisi Zooxanthellae XI FDC-IPB di Halmahera Selatan tahun 2011. Penulis juga pernah menjadi Pengurus Divisi Hidrobiologi Laut tahun 2011 dan Divisi Pengembangan Sumberdaya Manusia Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan tahun 2012. Penulis berkesempatan menjadi presentator pada kegiatan Aceh Development International Conference di Kuala Lumpur.

Penulis pernah menjadi Koordinator Asisten Mata Kuliah Dasar-dasar Instrumentasi Kelautan 2012, Asisten Mata Kuliah Biologi Laut tahun 2012 dan 2013. Asisten Mata Kuliah Instrumentasi Kelautan 2012, Asisten Mata Kuliah Akustik Kelautan tahun 2013, Dasar-dasar Akustik Kelautan tahun 2013. Penulis juga aktif mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian pada tahun 2012. Sebagai syarat memperoleh gelar sarjana, penulis mengangkat tema penelitian biologi akustik dengan judul “Nilai Hambur Balik Lamun Enhalus acoroides di Perairan Pulau Panggang”.

Gambar

Gambar 1  Lokasi penelitian di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu-DKI Jakarta
Tabel 1  Alat dan bahan yang digunakan dalam kegiatan penelitian
Gambar 3  Diagram alir penelitian  Perekaman Akustik Lamun
Gambar 4  Ilustrasi pemeruman lamun dengan Cruz Pro  Pengamatan vegetasi dan substrat lamun
+6

Referensi

Dokumen terkait

Definisi lain Multimedia menurut Hofstetter(2001,p2),multimedia merupakan penggunaan perangkat komputer untuk mengkombinasikan teks, suara, gambar, animasi, dan video dengan

Diagnosis angina pectoris tak stabil bila pasien memiliki keluhan iskemia tanpa disertai kenaikan penanda jantung seperti troponin dan CK-MB, dengan atau tanpa disertai perubahan

Sebelum ditemui bukti sejarah berupa tulisan pada batu bersurat tentulah bahasa Melayu telah digunakan untuk masa yang panjang kerana didapati bahasa yang ada pada batu

Semoga Gereja SanMaRe semakin dapat menjaga tata layanan yang lebih baik dan terima kasih atas dukungan penuh kasih dari Romo Gunawan pr dan Romo Sylvester pr.. Berkat

Iklan Baris Iklan Baris JAKARTA UTARA Serba Serbi RUPA-RUPA SILAT SEKOLAH Rumah Dikontrakan LAIN-LAIN JAKARTA SELATAN JAKARTA SELATAN JAKARTA TIMUR JAKARTA TIMUR BODETABEK

Asas ini mengatakan , bahwa tidak ada satupun percobaan yang dapat dilakukan sedemikian rupa sehingga memberikan ketidakpastian di bawah batas-batas yang

• Untuk menampilkan klas-klas obyek tersebut, lakukan pengeditan kelas, dengan mengklik Edit pada menu bar lalu pilih Edit Class/Region Color and Name sehingga

Terdapat penagihan klaim Rawat Jalan rdapat penagihan klaim Rawat Jalan yang dilanjutkan yang dilanjutkan dengan Rawat nap sebanyak !.