• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYESUAIAN DIRI INDIVIDU DENGAN ORIENTASI SEKSUAL TERTENTU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENYESUAIAN DIRI INDIVIDU DENGAN ORIENTASI SEKSUAL TERTENTU"

Copied!
210
0
0

Teks penuh

(1)

PENYESUAIAN DIRI INDIVIDU DENGAN ORIENTASI

SEKSUAL TERTENTU

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh : Valens Tanasal

159114086

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2020

(2)

iv

HALAMAN MOTTO

1 Korintus 10 : 13

Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.

(3)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Penelitian ini secara khusus saya persembahkan untuk :

Tuhan Yesus yang selalu menguatkan, dan menolong di saat saya sedang merasa sulit.

Teruntuk ketiga partisipan hebat yang mau ikut terlibat dalam penelitian ini, berbagi cerita dan memberikan kisah

yang menarik, serta

kepada seluruh orang di luar sana yang masih juga berjuang menyesuaikan diri di masyarakat.

(4)

vii

PENYESUAIAN DIRI INDIVIDU DENGAN ORIENTASI

SEKSUAL TERTENTU

Valens Tanasal

ABSTRAK

Saat ini penerimaan terhadap individu dengan orientasi seksual tertentu telah terjadi di berbagai dunia, hal ini berdampak pada banyak individu mulai untuk menunjukkan jati diri yang sebenarnya. Akan tetapi, Indonesia sebagai salah satu negara beragama masih menolak keberadaan indivdu yang berorientasi seksual berbeda. Adanya penolakan dan diskriminasi membuat individu menjadi sulit untuk menjadi dirinya sendiri dan beraktivitas. Menjadi individu yang dianggap berbeda oleh masyarakat mengharuskan mereka untuk melakukan penyesuaian diri dalam menjalani hari-harinya. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan bertujuan untuk mendeskripsikan penyesuaian diri indivdu dengan orientasi seksual tertentu. Jenis penelitian ini menggunakan desain analisis isi kualitatif secara deduktif. Partisipan dalam penelitian ini terdiri dari tiga orang laki-laki dewasa awal yang telah mengidentifikasikan dirinya memiliki orientasi seksual tertentu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipan pernah mengalami frustrasi personal, belajar dan memaafkan masa lalu, mengontrol emosi, menggunakan mekanisme pertahanan diri, melakukan pertimbangan rasional, dan membangun sikap objektif dan realisitk.

(5)

viii

INDIVIDUAL ADJUSTMENT WITH CERTAIN SEXUAL

ORIENTATION

Valens Tanasal

ABSTRACT

Nowdays the acceptance of individual with a certain sexual orientation has taken place in various parts of the world, this has an impact on many individuals starting to show their true identity. However, Indonesia as one of the religious countries still rejects the existence of individuals with same-sex sexual orientation. The rejection and discrimination makes it difficult for individuals to be themselves and doing day to day activities. Being individuals who were considered different by society requires them to make adjustments in their daily lives. This research is a qualitative study that aims to describe the adjustment of individual with a certain sexual orientation. This research was analyzed by using the qualitative content analysis method. Participants in this study consisted of three young adult men who had identified themselves as having a certain sexual orientation. The results showed that participants had experienced personal frustration, learning and forgiving the past, controlling emotions, using self defense mechanisms, making rational considerations, and building objectives and realistic attitudes.

(6)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBINGError! Bookmark not defined. HALAMAN PENGESAHAN ... Error! Bookmark not defined. HALAMAN MOTTO ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .. ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv BAB I PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Tujuan Penelitian ... 12 C. Manfaat Penelitian ... 13 1. Manfaat Teoritis ... 13 2. Manfaat Praktis ... 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 14

A. Penyesuaian Diri ... 14

1. Pengertian Penyesuaian Diri ... 14

2. Unsur Pembentuk Proses Penyesuaian Diri... 17

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penyesuaian Diri ... 21

4. Dampak Penyesuaian Diri ... 25

B. Homoseksual (Gay) ... 27

1. Pengertian Orientasi Seksual (Gay) ... 27

2. Perkembangan Homoseksual (Gay) dalam dunia Psikologi... 29

3. Faktor-faktor yang melatarbelakangi Gay ... 31

C. Perkembangan Dewasa Awal ... 31

1. Fase Dewasa Awal ... 31

2. Tugas Perkembangan Dewasa Awal ... 313

3. Homoseksualitas di Fase Dewasa Awal ... 314

D. Kerangka Konseptual Penelitian... 38

BAB III METODE PENELITIAN ... 39

A. Jenis Penelitian ... 39

B. Fokus Penelitian... 40

C. Partisipan Penelitian ... 40

D. Peran Peneliti ... 41

(7)

xiii

F. Metode Analisis Data ... 43

G. Dependabilitas dan Kredibilitas ... 44

H. Catatan Kritis (Refleksi Peneliti) ... 45

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47

A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian... 47

1. Pelaksanaan Penelitian ... 47

B. Partisipan Penelitian ... 50

1. Data Partisipan ... 50

2. Latar Belakang Partisipan ... 50

a. Partisipan pertama ... 50

b. Partisipan kedua ... 52

c. Partisipan ketiga ... 54

C. Hasil Penelitian ... 57

1. Analisis Data Partisipan 1 ... 57

a. Motivasi ... 57

b. Sikap terhadap realitas ... 59

c. Pola dasar penyesuaian ... 61

d. Hasil member checking ... 67

2. Analisis Data Partisipan 2 ... 68

a. Motivasi ... 68

b. Sikap terhadap realitas ... 69

c. Pola dasar penyesuaian diri... 71

d. Hasil member checking ... 76

3. Analisis Data Partisipan 3 ... 77

a. Motivasi ... 77

b. Sikap terhadap realitas ... 77

c. Pola dasar penyesuaian diri... 80

d. Hasil member checking ... 86

4. Integrasi Analisis Data Tiga Partisipan ... 87

a. Motivasi ... 87

b. Sikap terhadap realitas ... 91

c. Pola penyesuaian diri ... 95

5. Temuan Baru dalam Penelitian ... 117

D. Pembahasan ... 118

BAB V PENUTUP ... 129

A. Kesimpulan ... 129

B. Keterbatasan Penelitian ... 130

C. Saran... 131

1. Bagi laki-laki yang memiliki orientasi seksual gay ... 131

2. Bagi keluarga, teman, maupun masyarakat secara luas ... 132

3. Bagi peneliti selanjutnya ... 133

(8)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Panduan Wawancara ... 42

Tabel 2 Kerangka Analisis Proses Penyesuaian Diri ... 43

Tabel 3 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Wawancara ... 49

Tabel 4 Data Partisipan ... 50

(9)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Alur Berpikir Penyesuauan Diri Seorang Gay ... 38

(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Homoseksualitas merupakan ketertarikan secara seksual kepada jenis kelamin yang sama (Feldmen, 1990). Homoseksualitas sendiri sebenarnya dapat digunakan untuk merujuk pada laki-laki dan perempuan. Istilah lesbian digunakan saat seorang perempuan memiliki ketertarikan seksual kepada perempuan. Sedangkan, istilah gay untuk menyebut laki-laki yang memiliki ketertarikan seksual kepada laki-laki. Beren (2013) menyebutkan bahwa individu homoseksual ada di seluruh dunia dengan perkiraan 21% pria merupakan gay.

Saat ini peningkatan jumlah individu gay cukup signifikan. Di Indonesia sendiri, peningkatan terjadi seperti salah satu berita yang ditulis oleh Ariefana (2015) menyebutkan bahwa sejak tahun 2006 jumlah individu gay sebanyak 760 ribu-an orang. Setiap tahun jumlah individu gay semakin meningkat, hal ini terlihat pada tahun 2012 jumlah gay di perkirakan sekitar satu juta orang di Indonesia (Ariefana, 2015). Salah satu berita yang dilaporkan oleh Karyati (2016) menyebutkan kenaikan bahwa jumlah individu gay mengalami kenaikan dari 300 orang pada tahun 2014 menjadi 418 orang pada tahun 2015. Begitu pula pada daerah Sumatra Barat dimana pada tahun 2016 jumlah orang gay sebanyak 14.469 jiwa (Cek & Ricek, 2018).

(11)

Peningkatan terjadi dikarenakan kaum gay memiliki beberapa keinginan yakni adanya kesetaraan dalam hak. Meningkatnya komunitas dan gerakan yang melindungi hak asasi manusia, seperti mampu bekerja, bersekolah, mendapatkan fasilitas kesehatan dan sosial memberikan keberanian dan motivasi bagi kaum LGBT khususnya gay untuk mulai menunjukkan dirinya baik dalam sosial meida dan dunia nyata tanpa merasa takut (Ranimpi & Sanubari, 2019). Semakin banyaknya negara yang menerima dan melegalkan pernikahan sesama jenis memicu banyaknya individu gay muncul (terlihat) di tengah masyarakat.

Pertambahan jumlah individu gay yang terlihat dimulai pada bulan Desember 2015 ketika kaum gay berusaha mendapatkan pengakuan dari publik atas keberadaan mereka dengan menggunakan hastag #lovewins di youtube, facebook, tumblr dan twitter untuk mendapatkan dukungan (British Broadcasting Corporation [BBC], 2015). Hal ini semakin diperparah setelah Amerika Serikat melegalkan pernikahan sesama jenis. Adanya legal membuat kaum gay merasa bahwa penerimaan atas orientasi seksual orang homoseksual dapat diterima, hal tersebut memberi semangat kepada kaum gay untuk menyuarakan kesetaraan (BBC, 2015). Penelitian yang telah dilakukan oleh Radharjo (2007) yang menyebutkan bahwa seorang gay berusaha untuk dapat membuka identitasnya di masyarakat walaupun lingkungan memberikan label negatif.

Peningkatan jumlah individu gay di Indonesia ternyata memberikan dampak terhadap pandangan masyarakat dalam menerima keberadaan kaum

(12)

gay. Sebuah lembaga yang berada dalam naungan Universitas Indonesia (UI) juga pernah melakukan survei terhadap kaum minoritas (LGBT) (2016, dalam Sani & Amirullah, 2019). Hasil surveinya menunjukkan bahwa 88% masyarakat Indonesia merasa terancam dengan keberadaan LGBT, 53% menolak jika mempunyai keluarga yang gay. Sebuah survei sederhana yang dilakukan peneliti pada bulan September 2019 menyebutkan bahwa dari 218 orang, 60.1% sampel menyatakan tidak keberatan dengan keberadaan individu gay. Akan tetapi, hal ini terbalik saat 39.9% sampel menyatakan menolak saat mereka memiliki anggota keluarga yang menjadi gay. Kontrasnya persentase ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat sejatinya masih menolak keberadaan gay. Penolakan ini dikarenakan 81% masyarakat setuju bahwa perilaku ini dilarang agama (Sani & Amirullah, 2019).

Oetomo (2001) menyebutkan bahwa sejatinya praktik homoseksualitas dengan sakralitas di beberapa budaya tradisional Indonesia merupakan hal yang biasa dan dilegalkan, seperti tradisi “induk-anak” di Sumatera, hubungan “warok-gemblak” di Jawa, “Bisu” di Sulawesi, dan beberapa di pulau lainnya di Indonesia. Akan tetapi, sejak Indonesia memasuki budaya modern akibat penjajahan, pemahaman akan homoseksualitas berubah menjadi negatif. Budaya dari para penjajah membuat banyak tokoh agama di Indonesia mengadopsi perilaku yang melenceng dari ajaran Tuhan merupakan hal yang berdosa. Salah satu ajaran agama di dunia melarang tindakan menyimpang ini, seperti ajaran Katolik dan Kristen dalam Kitab Roma 1 ayat 26 sampai 27 yang tertulis :

(13)

Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada hawa nafsu yang memalukan, sebab isteri-isteri mereka menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang tak wajar. Demikian juga suami-suami meninggalkan persetubuhan yang wajar dengan isteri mereka dan menyala-nyala dalam berahi mereka seorang terhadap yang lain, sehingga mereka melakukan kemesuman, laki-laki dengan laki-laki, dan karena itu mereka menerima dalam diri mereka balasan yang setimpal untuk kesesatan mereka (Alkitab Deuterokanonika, 2018, p. 117).

Pada bidang sosial budaya, Indonesia pernah menerima sikap homoseksual. Pergeseran dari sikap menerima ke menolak dikarenakan masuknya budaya moralitas barat yang menolak keberadaan homoseksual. Perubahan ini menyebabkan masyarakat memandang bahwa homoseksual sebagai hal yang aneh sehingga dijauhi (Oetomo, 2001). Perubahan ini juga dikarenakan masuknya sikap anti homophobia dari budaya barat dan peradaban agama yang kuat. Oetomo (2001) juga menjelaskan bahwa tekanan berupa kewajiban untuk menikah merupakan hal yang sering dijumpai oleh kaum gay.

Penolakan berikutnya datang dari bidang ilmu psikologi. Psikologi sebagai suatu ilmu juga pernah memberi batasan mengenai homoseksual yakni pada tahun 1952 sampai 1973 dalam buku DSM karena homoseksual dianggap melanggar norma masyarakat sehingga masuk dalam daftar gangguan kepribadian sosiopath (American Pyschiatric Assosiation [APA],

(14)

1952) dan pada tahun 1968 homoseksual berpindah daftar dan masuk dalam daftar kelainan seksual (APA, 1968). Akan tetapi, saat ini psikiatri dan psikolog telah menghapus homoseksualitas dari daftar DSM karena dianggap tidak memiliki perbedaan dengan kaum heteroseksual dalam menjalani aktivitas sehari-hari. (Hasan, 2017).

Penolakan masyarakat mengenai gay dapat menimbulkan tekanan kepada kaum gay. Hasil laporan yang disusun oleh Oetomo dan Suvianita (2013) mengungkapkan bahwa saat ini kaum gay dan minoritas lainnya masih mendapatkan diskriminasi dari segi pendidikan, kesehatan, dan sosial, seperti ditolak dari pekerjaan dan dikucilkan. Tekanan lainnya datang dari sisi beredarnya informasi di berbagai media yang menyudutkan kaum gay. Dewi dan Indrawati (2017) menyebutkan bahwa perilaku persekusi (bullying) dan tekanan dari keluarga maupun lingkungan membuat kaum gay menjadi lebih berhati-hati dalam bertingkah laku di masyarakat. Sakanti dan Masykur (2014) menjelaskan dalam hasil penelitiannya tekanan dan tuntutan orang tua dapat membuat seorang gay menikah walaupun tidak sesuai dengan keinginannya.

Kuatnya intensitas dan frekuensi penolakan yang diterima kaum gay menyebabkan masalah pada diri seorang gay. Kesehatan psikologis terganggu sehingga tidak jarang kaum gay mengalami kecemasan (Andara dkk.,anti, & Karyani, 2002) dan cenderung menggunakan mekanisme pertahanan diri (MPD) secara berlebihan (Siswanto, 2007). Pascario dan Wibhowo (2014) menyatakan bahwa seorang gay cenderung kesulitan dalam kemampuan intrapersonal, interpersonal dan mengontrol kecemasan dikarenakan sulitnya

(15)

menempatkan diri dengan harapan orang tua atau lingkungan. Penelitian yang dilakukan Dewi dan Indrawati (2017) menyatakan bahwa selain seorang gay mendapat perlakuan persekusi, keluarga pun juga mendapat tekanan dari lingkungan. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Andara dkk. (2002) menjelaskan bahwa tekanan dan masalah yang dihadapi oleh kaum gay dapat berdampak pada penyesuaian dirinya khususnya memicu kecemasan dan mengalami kegagalan dalam interaksi sosial.

Berdasarkan wawancara singkat dengan salah seorang gay yang ada di Yogyakarta, narasumber menceritakan bahwa sahabatnya pernah menjauh ketika ia memberi tahu bahwa dirinya merupakan seorang gay. Hal tersebut membuat narasumber menjadi takut dan lebih berhati-hati dalam berperilaku kepada teman-temannya saat ini. Narasumber juga menceritakan bahwa dirinya mulai mencari teman yang seperti dirinya agar dapat menjadi dirinya sendiri. Narasumber beberapa kali memiliki rencana untuk berpindah kota bahkan ke luar negeri untuk mendapatkan ketenangan dalam menjalani kehidupan.

Penolakan keberadaan merupakan hal yang sering ditemui oleh kaum gay. Gay yang dipandang sebagai perilaku menyimpang, dipisahkan dari lingkungan sosial membuat seorang gay kurang mampu menyesuaikan dirinya dengan baik di lingkungan bermasyarakat. Oleh karena itu, seorang gay perlu untuk mengatasi masalah pada dirinya agar dapat beraktivitas dengan nyaman. Menyesuaikan diri menjadi hal yang penting karena dalam kehidupan

(16)

sehari-hari, setiap orang akan menghadapi harapan dan kenyataan yang tidak sesuai dengan ekspetasi (Yusuf, 2018).

Penyesuaian diri merupakan suatu konsep yang digunakan untuk melihat bagaimana seorang individu berfungsi dalam melakukan suatu aktivitas untuk memenuhi kebutuhannya (Seimun, 2006). Hal ini serupa dengan pengertian penyesuaian diri menurut Schneiders (1964) yang menyebutkan bahwa penyesuaian diri adalah suatu proses dinamis yang bertujuan untuk mengubah perilaku individu agar terjadi hubungan yang lebih sesuai antara diri individu dengan lingkungannya. Penelitian Maliza dan Chusairi (2013) menunjukkan bahwa saat seorang dapat diterima oleh orang tua maupun lingkungan sosialnya, maka individu menjadi lebih mampu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Hasil penelitian yang dilakukan Dewi dan Indrawati (2017) juga menunjukkan bahwa saat seseorang mendapat dukungan dari teman sebaya, maka individu akan merasa percaya diri dan lebih mampu dalam menyesuaikan diri.

Penyesuaian diri sejatinya dapat diartikan sebagai mengatur kembali diri setelah menghadapi perubahan. Menurut Siswanto (2007) penyesuaian diri dipahami sebagai belajar hidup dengan sesuatu hal yang tidak dapat diubah. Syamsu (2018) menjelaskan bahwa penyesuaian diri erat kaitannya dengan kesehatan mental. Saat seseorang sedang mengalami suatu masalah seperti stres atau tidak bahagia, maka dapat dikatakan kualitas penyesuaian yang dilakukan tidak baik (Siswanto, 2007). Syamsu (2018) dalam buku yang berjudul “Kesehatan Mental dalam Perspektif Psikologis dan Agama”

(17)

menjabarkan bahwa kesehatan mental memiliki pengaruh dalam penyesuaian seseorang. Saat mental seseorang baik, maka cara menyesuaikan diri seseorang akan semakin baik pula.

Schneiders (1964 dikutip dalam Yusuf, 2018) menjelaskan bahwa penyesuaian diri yang dianggap baik ketika seseorang mampu terhindar dari emosi yang berlebihan, terhindari dari penggunaan mekanisme pertahanan diri, terhindar dari perasaan frustrasi atau kecewa, memiliki pengarahan diri yang rasional, mampu mengembangkan kualitas dirinya, mampu memanfaatkan pengalaman, dan mampu bersikap objektif dan realistis. Penyesuaian diri juga mampu untuk mengatasi tekanan dan stres dari pekerjaan karena dapat mentoleransi tekanan atau kecemasaan yang dialami dengan baik (Siswanto, 2007).

Apollo dan Cahyadi (2012) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa jika seseorang mendapat dukungan sosial keluarga dan mampu melakukan penyesuaian diri maka semakin rendah konflik yang dialami. Fadhillah (2015) menyebutkan bahwa penyesuaian diri yang ada pada diri seorang gay bergantung pada proses penerimaan lingkungan. Penelitian lainnya menyebutkan bahwa saat seseorang memiliki konsep diri yang positif mampu mempengaruhi penyesuaian diri seseorang lebih baik, serta konsep diri merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri (Husnah, 2015). Margiantari, Basuki, dan Swandhani (2007) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa kecerdasaan emosional seseorang berpengaruh terhadap penyesuaian diri. Saat seseorang ingin memiliki penyesuaian diri yang baik,

(18)

maka perlu untuk memahami emosi diri sendiri dan orang lain. Chusari dan Maliza (2013) menemukan bahwa untuk mampu menyesuaikan diri dengan baik perlu untuk mengatasi kecemasan yang dirasakan, mampu memahami persepsi terhadap realita, adanya penerimaan dan dukungan sosial.

Peneliti melakukan wawanacara dengan dua informan sekaligus yaitu W dan WB yang berusia 22 dan 21 tahun. Setelah melakukan wawancara peneliti menemukan bahwa dari kedua informan memiliki perbedaan pandangan dalam menyesuaikan diri. W mengatakan bahwa ia merasa jauh lebih baik dalam menyesuaikan diri di lingkungan karena lingkungan terdekat W dapat menerima dan mendukung W menjadi dirinya sendiri. Hal tersebut membuat W mampu menjadi dirinya sendiri tanpa harus bermain peran. Berbeda dengan W, WB tidak dapat menjadi dirinya sendiri karena kurangnya dukungan dan penerimaan yang ia dapatkan dari lingkungan sosialnya. WB menyatakan bahwa ia menyembunyikan dirinya yang gay dan memasang topeng saat berada rumah dan di kampus, namun menjadi jati dirinya sendiri saat bersama teman sesama gay. Adanya batasan dari lingkungan membuat WB menjadi sulit untuk menyesuaikan diri karena harus memainkan peran ketika beraktivitas. Penyesuaian diri yang diinginkan oleh WB adalah menjadi dirinya sendiri seperti W.

Chusari dan Maliza (2013) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa saat seorang gay mampu untuk menyesuaikan diri dengan baik setelah mendapatkan penerimaan dari lingkungan sosial dan dukungan sosial dari orang tua. Fadhilah (2015) menemukan bahwa saat seorang gay mampu

(19)

menjadi lebih damai, tenang, dan menjadi diri sendiri setelah mendapatkan penerimaan dari orang tua. Schneiders (1964 dikutip dalam Yusuf, 2018) menjelaskan bahwa ketika seseorang mampu untuk menyesuaikan diri dengan baik, maka orang tersebut mampu untuk merespons (kebutuhan dan masalah) secara matang dan efisien tanpa mengembangkan tingkah laku yang takut dan cemas.

Penyesuaian diri juga dapat bersifat negatif jika individu kurang mampu menyesuaikan diri (Seimun, 2006). Saat seseorang belum mampu menyesuaikan diri dengan baik akan memicu penyesuaian yang menyimpang. Siswanto (2007) menyebutkan bahwa beberapa gejala yang timbul saat seseorang kurang mampu menyesuaikan diri adalah bertingkah laku yang kurang sesuai norma sosial (aneh), mengalami kesulitan dalam kehidupan sehari-hari, dan mengalami masalah yang umum bagi kebanyakan orang namun sulit bagi dirinya. Penyesuaian diri yang kurang efektif menyebabkan seseorang cenderung mengambil pencengahan yang salah pula.

Seimun (2006) menjelaskan bahwa saat seseorang mengalami suatu masalah baru, orang cenderung akan menggunakan mekanisme pertahanan diri. Mekanisme pertahanan diri merupakan respon yang tidak disadari oleh diri individu guna mereduksi ketegangan dan memuaskan tuntutan penyesuaian diri (Yusuf, 2018). National Institue of Mental Health (2000 dikutip dalam Siswanto, 2007) menyebutkan bahwa gangguan depresi memiliki pengaruh yang kuat dalam kualitas penyesuaian diri. Dewi dan Indrawati (2017) menemukan bahwa cara coping stress yang dialami oleh gay cenderung

(20)

mengacu pada mekanisme pertahanan diri berupa rasionalisasi, penyangkalan, proyeksi, dan represi.

Penelitian mengenai penyesuaian diri sebenarnya sudah dilakukan oleh beberapa peneliti lain di Indonesia. Beberapa penelitian tersebut dikaitkan dengan beberapa konstruk psikologis, seperti coming out (Dewi & Indrawati, 2017; Chusari & Maliza, 2013), gangguan penyesuaian diri (Andara dkk,, 2002). Tes Warteg (Pascario & Wibhowo, 2014), pengambilan keputusan (Nugroho, Siswati, & Sakti, 2010), dan konsep diri (Husnah, 2015). Berdasarkan penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa seorang gay ingin menjadi diri sendiri dan memenuhi keinginannya namun adanya tekanan lingkungan memicu rasa cemas sehingga sulit menjalani kegiatan sehari-hari.

Berdasarkan penelitian sebelumnya yang telah dijabarkan, peneliti memilih penelitian Andara dkk, (2002) dan Dewi dan Indrawati (2017) sebagai acuan yang cukup kuat. Penelitian Dewi dan Indrawati (2017) berfokus pada memahami dan mengeksplor pengalaman gay dalam berelasi dengan lingkungan sosial, dampak orientasi seksualnya, dan cara mengatasi orientasi seksualnya dengan menggunakan studi fenomenologis dengan metode interpretative phenomenolgical analysis. Selanjutnya, pada penelitian Andara dkk, (2002) membahas mengenai hal yang melatarbelakangi gangguan penyesuaian dan gangguan penyesuaian diri kaum gay yang diukur menggunakan Manson Evaluation Test dan dianalisis menggunakan content analysis. Hasil kedua penelitian tersebut memberi ide ke peneliti untuk mengungkap gambaran penyesuaian diri seorang gay.

(21)

Berikut merupakan celah dalam penelitian-penelitian sebelumnya mengenai penyesuaian diri pada pada seorang gay. Pada penelitian sebelumnya yang telah dijabarkan di atas, hasil mengenai penyesuaian diri tergambar (terlihat) setelah hasil wawancara dilakukan, artinya penyesuaian diri muncul dengan sendirinya setelah dilakukan wawancara dan observasi. Selain itu, penemuan-penemuan yang ada kurang memperlihatkan efek negatif dari kurang mampunya individu menyesuaikan diri, padahal penyesuaian diri juga dapat bersifat negatif (Andara dkk,, 2002; Seimun, 2006; Siswanto, 2007; dan Yusuf, 2018).

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya di atas, maka pada penelitian ini difokuskan mengenai penyesuaian diri seorang gay yang mencakup motivasi, sikap terhadap realitas, dan pola penyesuaian diri. Penelitian ini berfokus pada metode analisis kualitatif deduktif dengan informan yang peneliti sesuaikan dengan latar belakang yang memiliki keunikan tersendiri. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dikarenakan metode kualitatif mampu untuk menggali hasil data yang lebih dalam mengenai penyesuaian seorang gay.

B. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui gambaran penyesuaian diri seorang gay. Penyesuaian diri yang dimaksud adalah proses penyesuaian diri seorang gay dari awal individu merasa dirinya gay hingga sampai pada dirinya saat ini.

(22)

C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi pengetahuan dalam bidang psikologi klinis dan sosial. Selain itu, juga dapat mengembangkan pemahaman terkait cara memahami dan melakukan pendekatan bagi psikolog dan bidang lainnya kepada kaum gay.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi pemahaman kepada masyarakat perihal proses penyesuaian diri seorang gay menyesuaikan diri. Selain itu, juga dapat memberi informasi sendiri kepada kaum gay terkait relfleksi dalam menyesuaikan diri di lingkungan sosial.

(23)

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyesuaian Diri

1. Pengertian Penyesuaian Diri

Penyesuaian dalam bahasa inggris memiliki dua kata makna yang berbeda, yaitu adaptasi (adaptation) dan penyesuaian (adjusment). Adaptasi memiliki makna yaitu individu melakukan penyesuaian dengan lingkungan yang mana perubahan yang dilakukan lebih berfokus pada diri individu untuk bisa tetap sesuai dengan lingkungan, seperti membuka baju ketika panas agar merasa dingin. Sedangkan, penyesuaian diri memiliki makna yaitu suasana lingkungan yang diubah agar lebih sesuai dengan diri individu, seperti menyalakan air conditioner (AC) agar individu merasa dingin (Siswanto, 2007). Penyesuaian diri sendiri dapat dikatakan baik ketika individu mampu untuk memadukan adaptation dan adjusmnent dalam menyesuaikan diri.

Menurut Schneiders (1964 dikutip dalam Seimun, 2006) disebutkan bahwa penyesuaian diri dapat dijelaskan dari tiga sudut pandang. Pandangan tersebut antara lain :

a. Penyesuaian diri sebagai adaptasi

Penyesuaian diri sendiri saat ini mengalami perubahan. Perubahan pemikiran dari psikologi membuat penyesuaian diri dianggap sama dengan adaptasi, yaitu suatu proses ketika individu

(24)

mematuhi tuntutan atau aturan di lingkungan. Akan tetapi, Fromm (1941 dikutip dalam Seimun, 2006) walaupun arti dari kedua konteks tersebut sama namun terdapat perbedaan pada proses penyesuaiannya. Adaptasi lebih mengarah pada proses biologis dan lebih cenderung pada penyesuaian yang sederhana seperti berpindah kota. Sedangkan, penyesuaian diri lebih mengarah pada proses menyesuaikan (menerima dan mengatasi) diri dalam berbagai bentuk kejadian baik menyenangkan maupun menyakitkan.

b. Penyesuaian diri dan individualitas

Setiap individu pasti memiliki sifat yang berbeda antara satu dengan lainnya. Penyesuaian diri akan mengalir mengikuti dari karakter tiap individu sehingga setiap orang akan memiliki penyesuaian diri yang berbeda-beda. Perbedaan inilah yang kerap kali memberikan stigma atau pandangan ke individu yang menyesuaikan diri dengan cara yang berbeda. Norma sosial dan budaya yang berbeda pada setiap budaya membuat individu yang kurang atau tidak dapat menyesuaikan diri akan mendapatkan stigma yang negatif, misalnya seorang warga dengan kebudayaan barat yang berlibur di Indonesia yang menerapkan kebudayaan timur akan mendapat cap tidak mampu menyesuaikan diri.

c. Penyesuaian diri sebagai penugasan

Penyesuaian diri yang baik memiliki suatu tingkat penguasaan, yakni berupa kemampuan untuk merencanakan dan mengatur respons

(25)

pribadinya dari konflik, kesulitan, dan frustrasi agar dapat diatasi sehingga mampu memunculkan tingkah laku yang efisien. Ada hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa setiap orang memiliki kemampuan penyesuaiannya masing-masing. Oleh sebab itu, salah satu cara agar mengetahui kemampuan penyesuaian diri individu dapat dilihat dari penugasan karena dalam setiap penugasan terdapat tuntutan yang harus diselesaikan.

Schneiders (1964) mendefinisikan penyesuaian diri merupakan suatu kemampuan untuk bereaksi secara dinamis dengan tujuan untuk mengubah perilaku individu agar terjadi hubungan yang lebih sesuai antara diri individu dengan lingkungannya. Penyesuaian diri merupakan suatu proses alamiah dan dinamis yang bertujuan untuk mengubah perilaku individu agar terjadi hubungan yang lebih sesuai dengan kondisi lingkungan (Fatimah, 2010). Siswanto (2007) menjabarkan jika penyesuaian diri biasa dipahami sebagai mengatur kembali ritme hidup. Selain itu, penyesuaian diri juga bisa dipahami sebagai belajar hidup dengan sesuatu yang tidak bisa diubah.

Moritsugu, dkk. (2016) menyebutkan jika penyesuaian diri adalah bagaimana seseorang dalam mengolah, menanggapi, dan merespons diri maupun pertanyaan orang lain secara kompleks mengenai seberapa baik yang telah diri lakukan dalam menjalani kehidupan. Selaras dengan beberapa tokoh di atas, Weiten, dkk. (2018) berpendapat jika penyesuaian diri mengacu pada proses psikologis dimana individu dapat menuntut

(26)

keinginannya sekaligus dirinya mendapat tantangan atas kehidupannya sendiri. Jadi, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri merupakan kemampuan individu dalam menghadapi hari-harinya, bersosialisasi, dan menyelaraskan keinginan dan tuntutan yang ada agar terjadi hubungan yang dinamis antara diri individu dengan lingkungannya.

2. Unsur Pembentuk Proses Penyesuaian Diri

Schneiders (1964) menyebutkan ada tiga unsur yang dapat membentuk proses penyesuaian diri pada individu, yaitu :

a. Motivasi

Faktor motivasi dikatakan sebagai kunci untuk memahami proses penyesuaian diri. Motivasi sama halnya dengan kebutuhan, perasaan, emosi yang dapat diartikan sebagai kekuatan internal yang memicu ketegangan dan ketidakseimbangan. Respon penyesuaian diri berupa baik atau buruk, secara sederhana dapat dipandang sebagai suatu upaya individu untuk mereduksi atau menjauhi ketegangan dan memelihara keseimbangan yang lebih wajar. Kualitas respon seperti apakah itu sehat, efisien, merusak, atau bahkan patologis ditentukan oleh kualitas motivasi, serta meliputi hubungan dengan lingkungan. b. Sikap terhadap realitas

Berbagai aspek penyesuaian diri ditentukan oleh sikap dan cara individu ketika bereaksi dengan manusia di sekitarnya, benda-benda, dan hubungan yang membentuk realitas. Secara umum, dapat dikatakan bahwa sikap yang sehat terhadap realitas dan kontak yang

(27)

baik terhadap realitas sangat diperlukan bagi proses penyesuaian diri yang sehat. Beberapa perilaku seperti sikap antisosial, kurang berminat terhadap hiburan, sikap bermusuhan, kenakalan, dan semaunya sendiri dapat mengganggu hubungan antara penyesuaian diri dan realitas.

Berbagai tuntutan realitas, seperti adanya pembatasan aturan dan norma-norma menuntut individu untuk terus belajar menghadapi dan mengatur suatu proses ke arah hubungan yang harmonis antara tuntutan internal yang dimanifestasikan dalam bentuk sikap dengan tuntutan eksternal dan realitas. Jika individu tidak tahan terhadap tuntutan-tuntutan itu, maka akan muncul situasi konflik, tekanan, dan frustrasi. Dalam situasi seperti ini, individu didorong untuk mencari perbedaan perilaku yang memungkinkan untuk membebaskan diri dari ketegangan.

c. Pola dasar penyesuaian diri

Pola dasar penyesuaian diri ini berhubungan dengan bagaimana cara individu untuk mengatasi berbagai ketegangan ataupun frustrasi yang dialaminya karena adanya suatu kebutuhan yang tidak terpenuhi. Pada dasarnya setiap kegiatan yang dilakukan oleh individu didasari oleh suatu pola dasar penyesuaian diri seperti seorang anak membutuhkan kasih sayang dari orang tuanya yang selalu sibuk. Pada situasi tersebut, anak akan frustrasi dengan berusaha menemukan pemecahan yang berguna mengungari

(28)

ketegangan atau kebutuhan akan kasih sayang dengan frustrasi yang dialami. Individu akan berusaha mencari kegiatan yang dapat mengurangi ketegangan yang ditimbulkan sebagai akibat kebutuhan yang tidak terpenuhi.

Saat individu mampu membangun atau membentuk proses penyesuaian dirinya, individu perlu untuk mengatur atau mengontrol penyesuaian tersebut guna tetap dalam keadaan optimal dan baik. Pada bagian unsur penyesuaian diri dapat dikaji lagi lebih lanjut guna melihat bagaimana kualitas dari penyesuaian diri individu. Menurut Schneiders (1964) penyesuaian diri memiliki beberapa aspek, yaitu : 1) Kontrol terhadap emosi yang berlebihan

Aspek ini menjelaskan adanya kontrol diri yang baik dari individu sehingga memungkinkan untuk menghadapi permasalahan secara cermat dan mampu mengolah masalah ketika muncul hambatan, seperti menahan rasa marah saat tersinggung. Seseorang dengan kemampuan kontrol yang baik dapat menahan, menekan, dan mengatur dorongan keinginan agar pengambilan keputusan salah tidak terjadi.

2) Mekanisme pertahanan diri yang minimal

Pada bagian ini, pendekatan terhadap permasalahan lebih berfokus pada respon yang normal dan kemampuan melakukan tindakan yang nyata untuk mengubah suatu kondisi dengan penggunaan mekanisme pertahanan diri. Selain itu, kemampuan untuk

(29)

bangkit dan mengakui kegagalan salah satu kategori individu yang mampu menyesuaikan diri yang baik.

3) Frustrasi personal yang minimal

Individu yang mengalami frustrasi ditandai dengan perasaan tidak berdaya dan tanpa harapan, maka akan sangat sulit bagi individu untuk mengorganisir kemampuan berpikir, perasaan, motivasi, dan tingkah laku dalam menghadapi situasi yang menuntut penyelesaian.

4) Pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri

Individu memiliki kemampuan berpikir dan melakukan pertimbangan terhadap masalah atau konflik serta kemampuan mengorganisasikan pikiran, tingkah laku, dan perasaan untuk memecahkan masalah, dalam kondisi sulit sekalipun menunjukkan penyesuaian diri yang normal. Terkadang individu kurang mampu menyesuaikan diri dengan baik apabila individu dikuasai oleh emosi berlebihan saat berhadapan dengan konflik.

5) Kemampuan untuk belajar dan memaafkan masa lalu

Penyesuaian normal yang ditunjukkan oleh individu merupakan proses belajar kesinambungan dari perkembangan individu sebagai hasil dari kemampuannya mengatasi suatu konflik dan stres. Individu dapat menggunakan pengalamannya maupun pengalaman orang lain melalui proses belajar.

(30)

6) Sikap realistik dan objektif

Sikap yang realistik dan objektif berasal dari pemikiran yang rasional, kemampuan menilai situasi, masalah dan keterbatasan individu sesuai dengan kenyataan sebenarnya.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penyesuaian Diri

Menurut Schneiders (1964) faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri seseorang adalah :

a. Faktor Biologis

Karakteristik anggota tubuh yang berbeda setiap orang, kepribadian, atau warisan biologis yang sangat kental. Kondisi jasmaniah seperti pembawa dan strukrur atau konstitusi fisik dan temperamen sebagai disposisi yang diwariskan, aspek perkembanganya secara intrinsik berkaitan erat dengan susunan atau konstitusi tubuh.

b. Faktor Perkembangan

Tahap-tahap perkembangan berpengaruh terhadap proses penyesuaian diri individu sesuai dengan hukum perkembangan, tingkat kematangan berbeda antara individu yang satu dengan lainnya, sehingga pencapaian pola-pola penyesuaian diri pun berbeda pula secara individual. Hal ini menyebabkan pola penyesuaian diri akan bervariasi sesuai dengan tingkat perkembangan dan kematangan yang dicapainya dalam fase tertentu salah satu aspek mungkin lebih penting dari aspek lainnya. Misalnya, pertumbuhan moral lebih penting dari

(31)

pada kematangan sosial, dan kematangan emosional merupakan yang terpenting dalam penyesuaian diri.

c. Faktor Psikologis 1) Pengalaman

Tidak semua pengalaman mempunyai pengaruh bagi penyesuaian diri. Pengalaman-pengalaman tertentu yang memiliki arti dalam penyesuaian diri adalah pengalaman menyenangkan dan pengalaman traumatik (menyusahkan). Pengalaman yang menyenangkan misalnya mendapatkan hadiah dalam satu kegiatan, cenderung akan menimbulkan proses penyesuaian diri yang baik, dan sebaliknya pengalaman traumatik akan menimbulkan penyesuaian yang kurang baik.

2) Determinasi Diri

Determinasi ini mempunyai peranan penting dalam proses penyesuaian diri karena mempunyai peranan dalam pengendalian arah dan pola penyesuaian diri. Keberhasilan atau kegagalan penyesuaian diri akan banyak ditentukan oleh kemampuan individu dalam mengarahkan dan mengendalikan dirinya meskipun sebetulnya situasi dan kondisi tidak menguntungkan bagi penyesuaian dirinya.

3) Konflik dan penyesuaian

Tanpa memperhatikan tipe-tipe konflik, mekanisme konflik secara esensial sama yaitu pertentangan antara

(32)

motif-motif. Efek konflik pada perilaku akan bergantung pada sifat konflik itu sendiri. Ada beberapa pandangan bahwa semua konflik bersifat menggangu atau merugikan namun dalam kenyataan ada juga seseorang yang mempunyai banyak konflik tanpa hasil-hasil yang merusak atau merugikan. Sebenarnya ada beberapa konflik dapat bermanfaat memotivasi seseorang untuk meningkatkan kegiatan. Cara seseorang mengatasi konfliknya dengan meningkatkan usaha ke arah pencapaian tujuan yang menguntungkan secara sosial. Akan tetapi, dapat sebaliknya individu dapat memecahkan konflik dengan melarikan diri, khususnya ke dalam gejala-gejala neurotis.

d. Faktor lingkungan

1) Pengaruh rumah dan keluarga

Keluarga merupakan satuan kelompok sosial terkecil, interaksi sosial yang pertama diperoleh individu adalah dalam keluarga. Faktor rumah dan keluarga merupakan faktor yang sangat penting karena rumah adalah tempat belajar pertama individu sebelum ke dunia luar. Kemampuan interaksi sosial ini kemudian akan dikembangkan di masyarakat. Beberapa pola hubungan keluarga yang dapat dipengaruhi penyesuaian diri, antara lain pola menerima (acceptance), penolakan, menghukum dan disiplin yang berlebihan, memanjakan dan melindungi anak

(33)

secara berlebihan. Selain itu, adanya hubungan antar saudara dan orang tua juga mempengaruhi kemampuan penyesuaian.

2) Masyarakat

Bagaimana seorang individu menyesuaikan dirinya dengan masyarakat, seperti menerima nilai-nilai, pergaulan, dan kebiasaan dalam bersosialisasi dengan masyarakat. Pengaruh masyarakat sangat mempengaruhi penyesuaian individu karena adanya aturan dan norma yang berlaku di setiap daerah tempat masyarakat tinggal.

3) Sekolah

Sekolah mempunyai peranan sebagai media untuk mempengaruhi kehidupan intelektual, sosial, dan moral para siswa. Suasana di sekolah yang baik secara sosial maupun psikologis mampu menentukan proses dan pola penyesuaian diri. Di samping itu, hasil pendidikan yang diterima anak di sekolah dan pengaruh teman dan guru di sekolah merupakan bekal bagi proses penyesuaian diri individu untuk dapat bersosialisasi di masyarakat.

e. Faktor Budaya

Tidak dipungkiri bahwa kebudayaan juga berpengaruh penting dalam kepribadian seseorang, tetapi bukan berarti setiap orang dengan kebudayaan yang sama memiliki kepribadian yang sama juga. Selain itu, ada satu hal yang tidak kalah penting berkaitan dengan

(34)

penyesuaian diri dan pertumbuhan personal adalah komunikasi. Kemampuan komunikasi yang baik dapat mempengaruhi kemampuan penyesuaian diri dan pertumbuhan personal seseorang sehingga dapat bersosialisasi dengan baik.

f. Kultur dan Agama sebagai penentu Penyesuaian Diri

Proses penyesuaian diri individu dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat secara bertahap dipengaruhi oleh faktor-faktor kultur dan agama. Lingkungan kultur dimana individu berada dan berinteraksi akan menentukan pola-pola penyesuaian dirinya. Contohnya tata cara kehidupan di sekolah, di masjid, gereja, dan semacamnya akan mempengaruhi bagaimana anak menempatkan diri dan bergaul dengan masyarakat sekitarnya.

4. Ciri Penyesuaian Diri

a. Penyesuaian diri yang baik

Siswanto (2007) menyebutkan bahwa saat individu mampu untuk menyesuaikan diri, maka tekanan dan stress dari pekerjaan karena dapat diatasi dengan baik. Lebih lanjut Siswanto menjelaskan jika individu mampu menyesuaikan diri, individu mampu dalam melihat persepsi yang baik dalam memahami realita secara objektif, dan mampu melihat dirinya sendiri secara positif. Schneiders (1964 dikutip dalam Yusuf, 2018) menjelaskan bahwa ketika seseorang mampu untuk menyesuaikan diri dengan baik, maka orang tersebut

(35)

mampu untuk merespons (kebutuhan dan masalah) secara matang dan efisien tanpa mengembangkan tingkah laku yang takut dan cemas.

Hasil penelitian dari Maliza dan Chusairi (2013) menunjukkan bahwa saat seseorang dapat diterima oleh orang tua maupun lingkungan sosialnya, maka individu menjadi lebih mampu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Hasil penelitian yang dilakukan Dewi dan Indrawati (2017) juga menunjukkan bahwa saat seseorang mendapat dukungan dari teman sebaya, maka individu akan merasa percaya diri dan lebih mampu dalam menyesuaikan diri. b. Penyesuaian diri yang kurang baik

Siswanto (2007) menyebutkan bahwa beberapa gejala yang timbul saat seseorang kurang mampu menyesuaikan diri adalah bertingkah laku yang kurang sesuai norma sosial (aneh), mengalami kesulitan dalam kehidupan sehari-hari, dan mengalami masalah yang umum bagi kebayakan orang namun sulit bagi dirinya. Andara dkk, (2002) menjelaskan bahwa tekanan dan masalah yang dihadapi oleh kaum gay dapat berdampak pada penyesuaian dirinya khususnya memicu kecemasan dan mengalami kegagalan dalam interaksi sosial. Dewi dan Indrawati (2017) menemukan bahwa cara coping stress yang dialami oleh gay cenderung mengacu pada mekanisme pertahanan diri berupa rasionalisasi, penyangkalan, proyeksi, dan represi.

(36)

Wijanarko dan Syafiq (2013) menemukan beberapa dampak dari penyesuaian diri, yaitu pertama saat individu kurang mampu untuk menyesuaikan diri, maka individu cenderung membangun persepsi yang negatif terhadap lingkungan. Kedua, individu yang kurang mampu menyesuaikan diri akan menganggap negatif dirinya sehingga berdampak pada kehidupan sosial individu. Ketiga, individu saat menghadapi masalah akan melakukan stategi penyesuaian dengan cara menghindari, mengatasi masalah secara aktif, dan mengatur emosi dan tindakan.

B. Homoseksual (Gay)

1. Pengertian Orientasi Seksual

Orientasi seksual adalah ketertarikan secara emosional dan seksual kepada jenis kelamin tertentu. American Psychology Association (2008) menjelaskan bahwa orientasi seksual dapat mengacu pada rasa emosional, romantis, dan seksual kepada pria, wanita atau kedua jenis kelamin. Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) (2017) menyebutkan bahwa orientasi seksual berbeda dengan perilaku seksual. Orientasi seksual memberikan gambaran mengenai bagaimana individu dapat menemukan kepuasan dan pemenuhan hubungan romantis yang sangat penting dari identitas individu tersebut kepada orang lain (American Psychology Assosiation [APA], 2008).

Ilmuwan tidak tahu secara pasti apa yang menentukan orientasi seksual seseorang, tetapi mereka menduga bahwa orientasi seksual dipicu

(37)

oleh kombinasi faktor genetik, hormon, dan lingkungan (Stuart, 2014) dan bukanlah suatu pilihan (Frankowski & Commite on Adloescence, 2004; Lamanna, Riedmann, & Stewart, 2014). Frankowski dan Commite on Adloescence (2004) menyebutkan bahwa faktor genetik memiliki pengaruh dalam memicu orientasi seksual seseorang.

Supratiknya (1995) menyebutkan bahwa orientasi seksual sejatinya dibagi menjadi tiga, yaitu: heteroseksual, biseksual, dan homoseksual yang setiap jenisnya memiliki ketertarikan yang berbeda-beda.

a. Heteroseksual, yaitu orang yang memiliki ketertarikan kepada lawan jenis kelamin yang berbeda, seperti perempuan tertarik pada laki-laki, dan laki-laki tertarik pada perempuan.

b. Homoseksual, yaitu orang yang memiliki ketertarikan kepada jenis kemalin yang sama, seperti perempuan tertarik pada perempuan yang disebut sebagai lesbian dan laki-laki yang tertarik pada laki-laki disebut sebagai gay.

c. Biseksual, yaitu orang yang memiliki ketertarikan baik kepada lawan jenis maupun ke sesama jenis kelamin.

Homoseksualitas adalah salah satu dari tiga kategori utama orientasi seksual yang memiliki ketertarikan pada sesama jenis. Homoseksual adalah rasa ketertarikan romantis dan seksual maupun perilaku antara individu berjenis kelamin sama (APA, 2008; Feldmen 1990). Homoseksual terbagi menjadi dua yaitu gay dan lesbian. Lesbian

(38)

disematkan kepada seorang perempuan yang mempunyai rasa ketertarikan kepada perempuan lainnya. Gay disematkan kepada seorang laki-laki yang mempunyai rasa ketertarikan kepada laki-laki juga.

2. Perkembangan Homoseksual (Gay) dalam dunia Psikologi

Perkembangan homoseksual sendiri tidak dapat lepas dari perjalanan panjang hingga saat ini dapat diterima oleh beberapa negara barat. Saat ini perilaku homoseksual di negara-negara Barat tidak lagi dikategorikan sebagai perilaku abnormal sejak Asosiasi Psikiatri Amerika (APA) mengeluarkan homoseksual dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM). Akan tetapi, dihapusnya homoseksual dari DSM memiliki sejarah panjang.

Pada tahun 1952, ketika Asosiasi Psikiatri Amerika pertama kali menerbitkan Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorders, homoseksualitas dikategorikan sebagai gangguan kejiwaan yang masuk dalam kategori sosio phatik (DSM I, 1952). Selanjutnya, pada DSM II (1968) homoseksual dimasukkan ke dalam gangguan penyimpangan seksual yang mana sebelumnya dimasukkan dalam kategori sosio phatik. Berbagai kumpulan hasil penelitian homoseksualitas, para ahli bidang kedokteran, kesehatan mental, ilmu-ilmu sosial dan ilmu perilaku mencapai kesimpulan bahwa pengklasifikasian homoseksualitas sebagai gangguan mental tidak akurat dan klasifikasi DSM mencerminkan asumsi yang belum teruji.

(39)

Penelitian dan literatur klinis menunjukkan bahwa atraksi seksual dan cinta, perasaan, dan perilaku dalam konteks hubungan sesama jenis bersifat normal dan positif. Konsensus ilmu-ilmu sosial dan ilmu perilaku dan profesi kesehatan dan kejiwaan menyatakan bahwa homoseksualitas merupakan variasi normal dan positif dari orientasi seksual manusia (Royal College of Psychiatrists [RCPSYCH], n.d.). Glassgold dkk. (2009) menyebutkan bahwa terdapat bukti penelitian yang menunjukkan bahwa menjadi gay, lesbian atau biseksual sesuai dengan kesehatan mental normal dan penyesuaian sosial (Glassgold dkk., 2009).

Pada tahun 1973, Asosiasi Psikiatri Amerika menghapuskan homoseksualitas dari DSM III (1980) karena homoseksualitas tidak menunjukkan tidak adanya gangguan dalam penilaian, stabilitas, keandalan, atau kemampuan sosial umum atau vokasional. Pada tahun 1975, Asosiasi Psikologi Amerika (APA) juga menghapus homoseksualitas dari gangguan psikologis dan mendesak semua pakar kejiwaan untuk menghilangkan stigma penyakit mental yang telah lama dikaitkan dengan orientasi homoseksual. RCPSYCH (n.d.) menyebutkan sejarah buram ini menunjukkan bagaimana marjinalisasi terhadap sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri kepribadian tertentu (dalam hal ini kasus homoseksualitas) dapat menyebabkan praktik medis berbahaya dan dasar diskriminasi yang terjadi di masyarakat.

(40)

3. Faktor-faktor yang melatarbelakangi individu menjadi orang Gay Menurut Feldmen (1990) terdapat beberapa faktor yang memicu seseorang menjadi gay, seperti dari faktor biologi atau faktor genetik atau hormon dapat memicu seseorang menjadi seorang gay. Selain itu, adanya pengaruh pola asuh orang tua berupa ibu yang terlalu melindungi dan ayah yang cenderung pasif juga dapat membuat seseorang menjadi seorang gay (Dermawan, 2011). Asmara dan Valentina (2017) menyebutkan bahwa adanya perlakuan dan perhatian hangat mampu membuat seseorang menjadi gay. Selanjutnya, Asmara dan Valentina menganggap jika pengalaman traumatis seperti pelecehan seksual dapat mempengaruhi seseorang menjadi gay. Carlson (1994) mengemukakan seseorang menjadi gay disebabkan karena pengaruh ibu yang dominan dengan ayah yang bersifat pasif. Seseorang menjadi gay juga dapat diakibatkan karena pengaruh lingkungan seperti mencoba menjadi seorang gay hingga merasa nyaman serta adanya pengalaman yang buruk dengan hubungan heteroseksual sehingga memilih menjadi homoseksual (Hening & Fridari, 2014).

C. Dewasa Awal

1. Fase Dewasa Awal

Santrock (2012) menyebutkan jika perkembangan adalah pola pergerakan atau perubahan yang dimulai sejak masa pembuahan dan terus berlanjut selama masa hidup manusia. Salah satu tahapan yang ada di dalam perkembangan manusia adalah menjadi dewasa. Di fase dewasa

(41)

sendiri terbagi menjadi tiga yaitu dewasa awal, dewasa pertengahan, dan dewasa akhir (Santrock, 2012). Baru-baru ini para peneliti menemukan jika sebelum menjadi dewasa, individu ternyata melewati transisi dari remaja ke dewasa atau biasa di sebut dengan emerging adulthood (Santrock, 2018).

Di titik ini individu banyak melalukan mengeksplor diri mereka dengan cara mengikuti apa yang diri mereka mau, seperti identitas dan gaya hidup. Fase emerging adulthood berkisar antara 18 sampai 25 tahun yang mana di fase ini individu banyak bereksperimen dan mengekplorasi dirinya akibat anak yang ingin berkembang menjadi dewasa (Arnet, 2006 dalam Santrock, 2018). Lebih lanjut Arnet menggambarkan lima kunci karakter emerging adulthood, yaitu :

a. Eksplorasi identitas, khususnya dalam hal cinta dan pekerjaan. b. Ketidakstabilan, khususnya dalam hal ini adalah perubahan tempat

tinggal yang akan terjadi sampai masa dewasa yang akan berdampak pada pekerjaan, pendidikan, dan cinta.

c. Fokus pada diri sendiri, dalam hal ini individu berfokus pada otonomi diri mereka dimana individu mengurangi komitmen, kewajiban, dan tugas kepada orang lain.

d. Merasa di antara, dalam hal ini banyak individu merasa jika diri mereka tidak lagi remaja namun tidak juga dewasa secara penuh. e. Usia kemungkinan, dimana individu merasa jika dirinya memiliki

(42)

2. Tugas Perkembangan Dewasa Awal

Santrock (2018) menganggap menjadi dewasa berarti individu telah mampu untuk mandiri dimana individu telah mampu secara ekonomi, mmpu mengembangkan karirnya, memilih pasangan, dan membangun hubungan yang lebih dalam. Tugas perkembangan yang harus dilewati oleh masa dewasa awal adalah membangun hubungan yang intim, bekerja, dan gaya hidup (Newman & Newman, 2010). Walaupun demikian pertemanan juga tetap dibutuhkan pada masa ini (Santrock, 2012, 2018).

Hubungan pertemanan pada masa dewasa awal tidak semenarik dan banyak pada masa remaja karena adanya tuntutan kerja namun hubungan pertemanan, relasi romantis lebih terintegrasi dan umum di masa dewasa (Collins & Van Dulmen, 2006). Hubungan pertemanan pada masa dewasa sebagai tempat menaruh kepercayaan dan menghabiskan waktu senggang, saling mendukung, dan sebagai model untuk mengintip hubungan romantis yang lebih dalam (Fraley & David, 1997 dalam Wrzus dkk., n.d.).

Kelekatan yang terjadi pada masa dewasa sangat penting karena akan berpengaruh ke dalam sisa masa hidup individu dan juga berpengaruh dalam aspek pekerjaan (Santrock, 2018). Pada masa ini, individu mulai mencari pasangan untuk dipacari maupun dinikahi sembari mengembangkan karirnya untuk mendapatkan rasa nyaman dan kemanan saat merasa stres. Di masa ini, tidak jarang individu melakukan perilaku seksual di dalam relasi romantisnya (Newman & Newman, 2010). Lebih

(43)

lanjut, Newman dan Newman menjelaskan jika individu dewasa sering kali tinggal bersama sebagai hubungan berkomitmen dalam menjalin relasi romantis.

3. Homoseksualitas di Fase Dewasa Awal

Individu homoseksual khususnya gay mulai menyadari dirinya ketika masa remaja (Santrock, 2012). Diamond dan Savin (2009, dalam Santrock, 2012) menemukan sebagian besar individu gay dan lesbian tidak memiliki ingatan mengenai orientasi seksualnya namun tiba-tiba saja merasa tertarik secara seksual kepada sesama jenis. Selain itu, penelitian tersebut menemukan jika individu gay dan lesbian secara diam-diam berjuang untuk menutupi ketertarikannya pada sesama jenis ketika kanak-kanak dan secara bertahap mengetahui jika diri mereka adalah gay atau lesbian ketika di masa remaja. Hal ini disebabkan karena adanya eksperimen yang dilakukan oleh anak untuk mencari tahu jati dirinya.

Di masa emerging adulthood, individu banyak melakukan hubungan yang tidak mengikat, seperti berganti-ganti pasangan atau hanya sekedar bermain untuk melepaskan hasrat (sexual enjoyment) (Santrock, 2018). Memasuki masa dewasa sesungguhnya, individu gay mencoba untuk membangun hubungan yang komitmen dengan pasangannya. Newman dan Newman (2010) menyebutkan hubungan erat pasangan heterosesksual juga terjadi pada pasangan homoseksual namun berbeda hanya pada cara pengungkapannya. Pasangan homoseksual menjalani hubungannya secara diam-diam untuk menghindari penilaian negatif dan

(44)

penolakan dari masyarakat. Di fase dewasa, individu gay sangat membutuhkan dukungan dan penerimaan dari teman, pasangan, maupun orang tua karena sering kali individu gay mendapatkan kekerasan baik secara verbal maupun fisik (Herek, 2009 dalam Weiten dkk., 2018). D. Dinamika Penyesuaian Diri pada Gay

Gay merupakan salah satu orientasi seksual yang memiliki ketertarikan antara lelaki dengan sesama jenisnya, yakni laki-laki. Pemenuhan seorang gay adalah mampu beraktivitas di masyarakat dengan menjadi dirinya sendiri. Pemenuhan kebutuhan ini tidak jarang menimbulkan konflik, tekanan, frustrasi, yang menyebabkan individu termotivasi melakukan berbagai kemungkinan perilaku untuk membebaskan dirinya dari kegagalan (Oetomo & Suvianita, 2013).

Dewi dan Indrawati (2017) menyebutkan bahwa perilaku persekusi dan tekanan dari keluarga maupun lingkungan membuat kaum gay menjadi lebih berhati-hati dalam bertingkah laku di masyarakat. Pascario dan Wibhowo (2014) menyatakan bahwa seorang gay cenderung kesulitan dalam kemampuan intrapersonal, interpersonal dan mengotrol kecemasan, hal ini dikarenakan sulitnya menempatkan diri dengan harapan orang tua atau lingkungan.

Andara dkk. (2002) menyebutkan bahwa seorang gay cenderung mengalami kecemasan ketika tidak mampu mengatasi tekanan yang ada. Siswanto (2007) menjelaskan bahwa saat orang mengalami kecemasan, maka individu akan cenderung menggunakan mekanisme pertahan diri secara berlebihan. Tekanan dan masalah yang dihadapi oleh kaum gay dapat

(45)

berdampak pada penyesuaian dirinya khususnya memicu kecemasan dan mengalami kegagalan dalam interaksi sosial (Andara dkk., 2002).

Penyesuaian yang sempurna tidak pernah tercapai karena penyesuaian diri lebih bersifat sutau proses sepanjang hayat (lifelong process), dan tantangan hidup guna mencapai pribadi yang sehat (Schneiders, 1960). Seimun (2006) menjelaskan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu konsep yang digunakan utnuk melihat bagaimana seorang individu berfungsi dalam melakukan suatu aktivitas untuk memenuhi kebutuhannya.

Seimun (2006) lebih lanjut menjelaskan bahwa seseorang dikatakan berhasil dalam melakukan penyesuaian diri apabila ia dapat memenuhi kebutuhannnya dengan cara-cara yang wajar yang dapat diterima lingkungan tanpa merugikan atau mengganggu lingkungannya. Respon penyesuaian berupa baik atau buruk secara sederhana dapat dipandang sebagai suatu upaya individu untuk mereduksi atau menjauhi ketegangan dan untuk memelihara kondisi-kondisi keseimbangan sutau proses ke arah hubungan yang harmonis antara tuntutan internal dan tuntutan eksternal (Siswanto, 2007).

Sakanti dan Masykur (2014) menyebutkan bahwa tekanan dari orang tua untuk menikah cenderung membuat seorang gay dengan terpaksa memilih menikah guna membahagiakan orang tua dan menutupi identitasnya sebagai gay. Akan tetapi, saat seseorang ingin mendapatkan pengakuan dari orang terdekat, individu cenderung menunjukkan dengan cara menjadi orang sukses dan berhasil hingga lingkungan menerima keberadaan individu tersebut (Selvina dkk., 2019). Nugroho, Siswati, dan Sakti (2010) menemukan bahwa

(46)

individu gay cenderung menggunakan coping dan mekanisme pertahanan diri saat menghadapi masalah. Seorang gay memahami bahwa norma yang ada di lingkungan tidak dapat diubah sehingga individu menggunakan persona guna berhati-hati dalam bertindak agar dapat diterima oleh masyarakat (Nugroho, Siswati, & Sakti, 2010).

Schneiders (1964) menyebutkan ada tiga unsur yang diperlukan individu dalam proses penyesuaian diri, yaitu motivasi, sikap terhadap realitas, dan pola dasar penyesuaian diri. Motivasi dapat diartikan sebagai dasar keinginan untuk menyesuaikan diri karena tidak adanya ketidakseimbangan antar diri dan lingkungan. Sikap terhadap realitas dapat diartikan sebagai mengatur tindakan apa yang akan dilakukan dengan melihat lingkungan sekitar. Pola dasar penyesuaian diri dapat diartikan sebagai tindakan yang dilakukan ketika individu telah mengetahui akar permasalahan atau motivasinya.

(47)

E. Kerangka Konseptual Penelitian Gambar 1

Alur Berpikir Penyesuaian Diri seorang Gay

Seorang Gay

Proses Penyesuaian Diri • Kontrol terhadap emosi yang

berlebihan

• Mekanisme Pertahanan Diri yang minimal

• Frustasi personal yang minimal • Pertimbangan rasional dan

kemampuan mengarahkan diri • Kemampuan untuk belajar dan

memaafkan masa lalu • Sikap realistik dan objektif Penolakan atau Tekanan

• Lingkungan sosial (Teman dan Keluarga) • Budaya

(48)

39

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan digunakan pada penelitian ini adalah metode kualitatif. Supratiknya (2019) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bersifat mengeksplor guna mengumpulkan, dideskripsikan, dan dianalisis secara mendalam untuk menemukan makna yang ada dari fenomena yang terjadi. Metode kualitatif memberikan gambaran bahwa kebenaran bersifat yang subjektif, relatif, dan terbatas oleh subjek juga lingkungannya. Sejumlah metode pengumpulan data yang lazim digunakan dalam penelitian kualitatif adalah observasi, wawancara, dokumen, dan materi audio-visual (Creswell, 2009 dalam Supratiknya, 2015).

Desain penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi kualitatif atau biasa disingkat dengan AIK. Analisis isi kualitatif (AIK) merupakan salah satu metode penelitian yang dapat menafsirkan secara subjektif hasil isi data berupa teks melalui proses klasifikasi secara sistematik baik berupa pengodean (coding) maupun pengidentifikasian aneka tema atau pola (Hsieh & Shannon, 2005 dalam Supratiknya, 2015). Analisis isi kualitatif deduktif berguna untuk mengungkap isi atau makna dari sebuah teks menurut atau sesuai konteksnya (Supratiknya, 2015).

(49)

B. Fokus Penelitian

Penelitian ini berfokus untuk mengungkap gambaran proses penyesuaian diri seorang gay, meliputi awal sejak awal informan mengetahui dirinya sebagai seorang gay hingga saat ini. Selain itu, hal lain yang menjadi fokus pada penelitian ini yaitu motivasi dan sikap terhadap realitas partisipan dalam melihat realitas lingkungan.

C. Partisipan Penelitian

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Purposive sampling adalah teknik yang digunakan untuk mengidentifikasi dari informasi yang banyak berdasarkan individu atau kelompok yang memiliki pengalaman fenomena yang menarik (Cresswell dan Plano, 2011 dalam Palinkas dkk., 2013). Pada penelitian ini peneliti akan menggunakan jenis purposive sampling berupa theory-based sampling. Theory-based sampling merupakan salah satu jenis teknik yang digunakan dalam mencari partisipan. Peneliti mencari, memilih atau mengambil informan berdasarkan hasil data konstruksi dari sebuah teoretis yang penting dan mampu mempelajari contoh dunia nyata (Patton, 2002).

Strauss dan Corbin (1998, dalam Patton, 2002) menyebutkan bahwa pemilihan informan berdasarkan konsep dilakukan dengan tujuan untuk mengeksplorasi kondisi atau dimensi dari suatu konsep. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah tiga orang laki-laki dengan kriteria partisipan dalam penelitian ini adalah individu atau seseorang yang telah mengidentifikasikan

(50)

dirinya sebagai seorang gay dengan rentang usia 21 sampai dengan 40 tahun (Jahja, 2011).

D. Peran Peneliti

Supratiknya (2015) menyebutkan bahwa peneliti memiliki peran sebagai instrumen yang turun langsung ke lapangan untuk mengumpulkan data. Peneliti juga memiliki peran sebagai reflektor atas informasi dari informan (Supratiknya, 2018). Oleh karena itu, peneliti membekali diri dengan pertanyaan wawancara dan meneliti seorang diri (Supratiknya, 2015). Peneliti perlu untuk menempatkan diri dengan objektif tanpa memasukkan subjektivitas peneliti.

Pada penelitian ini, peneliti akan memberikan informed consent sebelum melakukan sesi wawancara. Grady (2017, dalam Supratiknya, 2019) menyebutkan bahwa pada informed consent terdapat pengungkapan mengenai tema penelitian, pemahaman terkait waktu penelitian dan hal-hal buruk yang dapat terjadi, kesukarelaan, dan pengesahan informed consent. Mencegah ketidaknyamanan informan dapat diminimalisir dengan mengganti nama informan menjadi inisial.

E. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan data dengan wawancara. Supratiknya (2019) menyebutkan bahwa wawancara adalah percakapan atau konversasi panjang dengan cara berhadapan muka antara peneliti dan partisipan untuk mengumpulkan atau memperoleh informasi. Wawancara yang akan dilakukan berbentuk semi terstruktur. Supratiknya

(51)

(2015) menjelaskan wawancara semi terstruktur berguna untuk memberi stimulus pada informan agar dapat menceritakan apa yang ingin diutarakan. Proses wawancara akan didokumentasikan melalui tape recorder sebelum dilakukan transkip verbatim (Supratiknya, 2015).

Tabel 1

Panduan Wawancara

No. Pertanyaan

Latar Belakang Informan

1. Identitas Informan (nama lengkap yang disamarkan, tempat/tanggal lahir, tempat tinggal, daerah asal)

2. Bisakah ceritakan profil diri anda?

3. Bagaimana cerita anda memiliki ketertarikan dengan sesama jenis? Tekanan seorang Gay

4. Apakah dalam lingkup lingkunganmu ada yang tau anda seorang gay?

5. Bagaimana sikap lingkungan ketika mereka tau anda seorang gay? 6. Ketika anda memiliki ketertarikan pada sesama jenis, apakah ada

tantangan yang anda rasakan?

7. Bagaimana cara anda menyikapinya? 8. Apakah ada dukungan yang anda dapatkan?

Motivasi

9. Pandangan anda terhadap gay di Indonesia bagaimana? 10. Bagaimana perasaan anda terkait pro kontra gay di Indonesia? 1 1. Ketika lingkungan tidak menerima keberadaan kaum gay, apa yang

anda lakukan?

12. Sejatinya apa yang anda inginkan saat ini? Sikap terhadap Realitas

13. Sejauh ini bagaimana lingkungan menanggapi kaum minoritas? 14. Adakah perbedaan pandangan dahulu dan sekarang perihal

menerima keberadaan gay?

15. Bagaimana cerita anda terkait perubahan pandangan tersebut? 16. Bagaimana cara anda menyikapi perubahan yang terjadi?

17. Apa sajakah tantangan menjadi seorang gay di lingkungan anda? 18. Bagaimana anda menyikapi tantangan itu?

Pola Dasar Penyesuaian Diri

17. Apakah ada perbedaan pada diri anda dahulu dan sekarang? 18. Sejauh ini adakah pengalaman yang berkesan bagi anda terkait

ketertarikan seksual anda?

19. Apa yang anda harapkan dari keadaan saat ini? 20. Cara anda menyikapinya?

(52)

F. Metode Analisis Data

Penelitian ini akan menggunakan pendekatan analisis isi deduktif atau biasa disebut dengan analisis isi terarah. Catanzaro (1988, dalam Supratiknya, 2015) menjelaskan bahwa analisis isi terarah memiliki tujuan untuk menguji kembali data dari suatu teori yang sudah ada dalam sebuah konteks yang baru. Hsieh dan Shannon (2005, dalam Supratiknya, 2015) menjelaskan bahwa pendekatan deduktif memiliki tujuan untuk memvalidasi sebuah kerangka teoritis atau teori, bahkan menguji ulang teori yang ada. Tahap pelaksanaan analisis isi kualiatitf berbasis kategori secara deduktif dijelaskan dalam beberapa tahap sebagaimana diuraikan berikut ini :

1. Langkah Pertama (Penyusunan Matriks Kategorisasi)

Pada langkah ini matriks kategorisasi disusun berdasarkan pada penyesuaian diri sebagai tema penelitian. Matriks kategori penelitian yang disusun secara deduktif akan disajikan sebagai berikut :

Tabel 2

Kerangka Analisis Proses Penyesuaian Diri

No. Penyesuaian Diri

1. Motivasi • Kualitas usaha (dorongan dan keinginan) dalam menyesuaikan diri

2. Sikap terhadap realitas • Menyadari norma dan budaya yang ada di lingkungan setempat • Mampu menyesuaikan

perubahan yang ada 3. Pola dasar penyesuaian

diri

• Memahami kebutuhan dasar individu

• Memahami cara penyesuaian untuk mengurasi tekanan

a. Mampu mengontrol emosi yang berlebihan

Gambar

Gambar 1 Alur Berpikir Penyesuauan Diri Seorang Gay ...................................
Tabel 5  Analisis Data

Referensi

Dokumen terkait

Dalam hal ini sebenarnya nasabah mau melunasi pembiayaan namun karena terjadinya usaha yang gagal nasabah tidak mampu melunasi pembiayaan tersebut. Kegagalan

[r]

[r]

Berita Acara Hasil Pelelangan (BAHP) Nomor anggal 12 Juli 2017 oleh Kelompok Kerja Provinsi Kalimantan Timur melalui Aplikasi SPSE Paket Pelelangan

Berdasarkan Berita Acara /ULPD/WII.5/KPPD/2017 tanggal Kerja (Pokja) ULPD Kemente 2017 melalui Aplikasi SPSE Perbaikan Drainase, Rekonturin. kami umumkan bahwa

[r]

penting yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari Dokumen Pengadaan/Standard. Bidding Document (SBD) yang dituangkan dalam Berita Acara Penjelasan

STKIP Muhammadiyah Pringsewu Lampung bila dilihat dari waktu berdirinya sudah cukup lama kalau tidak boleh dibilang tua (+ 45 tahun). Usia ini tidak muda lagi dan