6 BAB II
TINJAUAN UMUM
2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah
Lokasi penelitian merupakan daerah operasi penambangan nikel milik PT ANTAM. Tbk dengan kontraktor PT Minerina Bhakti dan PT Dian Nickel Mining yang mulai beroperasi pada bulan September tahun 2005, terletak di daerah Moronopo, Kecamatan Maba, Kabupaten Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara.
Lokasi penelitian ini dapat ditempuh dari Jakarta melalui jalur sebagai berikut:
a.Jakarta – Ternate dapat ditempuh melalui jalur udara dalam waktu 4-5 jam, tergantung dari tempat transit pesawat udara, adapun terdapat 2 rute transit yaitu (Jakarta – Makasar – Ternate) dan (Jakarta – Makasar – Menado – Ternate).
b.Ternate – Buli dapat ditempuh melalui jalur darat, laut, maupun jalur udara. Adapun untuk jalur darat (Ternate – Sofifi – Buli) dapat ditempuh selama ± 7 jam, dimana dari Ternate sampai Sofifi menggunakan perahu dan dari Sofifi menuju Buli menggunakan jalur darat ± 6 jam dengan kondisi jalan relatif sulit dilalui baik dalam keadaan kering maupun hujan. Untuk jalur laut dapat ditempuh ± 24 jam dengan jadwal pelayaran tiga kali dalam seminggu. Sedangkan untuk jalur udara dapat ditempuh selama ± 45 menit menggunakan pesawat udara dengan jenis Cassa 212 dengan jadwal penerbangan 4 - 6 kali penerbangan dalam seminggu. c.Buli – Moronopo dapat ditempuh melalui jalur darat dan jalur laut, jalur
darat dapat ditempuh selama ± 1.5 jam menggunakan kendaraan roda empat, melalui Mabapura. Sedangkan jalur laut dapat ditempuh selama ± 45 menit menggunakan perahu kecil (bodi)
7 2.2 Kondisi Geografi Daerah Penelitian
Secara geografis, daerah operasi penambangan Nikel Moronopo terletak pada garis lintang 0o17’00’’ LU – 0o40’00’’ LU dan garis bujur 128o4’50’’ BT – 128o41’00’’ BT (gambar 2.1). Secara administratif, wilayah Moronopo terletak di kecamatan Maba, Kabupaten Halmahera Timur, Propinsi Maluku Utara. Adapun areal penambangan yang dimiliki oleh perusahaan PT. ANTAM, Tbk melalui izin eksploitasi KW 997PP0443 (KP BULI) dengan areal seluas 39.040 Ha dan KW99PP0113 (KP WATILEO) dengan areal seluas 12.280 Ha, termasuk di dalamnya blok Tanjung Buli, blok Moronopo (blok A & blok P4P5) dan blok Sangaji. Menurut badan planologi kehutanan, daerah Moronopo termasuk kedalam kawasan Hutan Produksi Terbatas dan kawasan Areal Penggunaan Lain dengan berdasarkan surat Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral no 0953/2903/DJG 2002 tertanggal 21 Februari 2002.
8 2.2.1 Topografi
Topografi daerah kuasa pertambangan Moronopo dan sekitarnya merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian dari permukaan laut antara 0 sampai 650 meter, dan dengan kemiringan lereng dari landai hingga curam. Daerah pertambangan ini berada pada wilayah yang berdekatan dengan garis pantai dan terdapat beberapa punggungan besar dengan kemiringan lereng yang curam. Seperti yang terlihat pada gambar 2.2, semakin kearah pantai maka topografi akan semakin curam.
Pada daerah ini juga terdapat sungai besar yaitu sungai Sangaji yang mengalir ke arah barat daya, dan beberapa sungai kecil yang mengalir pada lembah dengan kemiringan yang curam.
9 N Sungai E W 0 S
PETA SURVEY TOPOGRAFI
PT. MINERINA BHAKTI
PERTAMBANGAN NIKEL MORNOPO
25
Kontur topografi (interval 20 m) KETERANGAN
INDEKS
1000 meter
Lokasi Pengamatan
10 2.2.2 Iklim dan Curah Hujan
Dilihat dari letak geografisnya daerah Moronopo termasuk ke dalam iklim Tropis, dicirikan dengan curah hujan yang tinggi, dan suhu yang panas pada siang hari dikarenakan daerahnya dekat dengan garis pantai.
Berdasarkan data curah hujan tahun 2002 - 2007 curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Juli yaitu 235 mm dan curah hujan terendah terjadi pada bulan September yaitu 123 mm (gambar 2.4). Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya hari hujan yang terjadi pada bulan tersebut, yaitu rata-rata hari hujan untuk bulan Juli sebanyak 20, dan pada bulan September sebanyak 12 hari hujan (gambar 2.3).
Adapun detil rata-rata curah hujan dan jumlah hari hujan tiap bulan untuk periode tahun 2002 – 2007 dapat dilihat pada grafik dibawah ini:
Gambar 2.3 Grafik Rata-rata hari hujan tiap bulan untuk periode 2002 – 2007 daerah Moronopo (Sumber data: PT. Yudistira (tahun 2002-2005); PT. Minerina Bhakti Moronopo (tahun 2006-2007)).
11 Gambar 2.4 Grafik Rata-rata curah hujan tiap bulan untuk periode 2002 – 2007
daerah Moronopo (Sumber data: PT. Yudistira (tahun 2002-2005); PT. Minerina Bhakti Moronopo (tahun 2006-2007)).
2.2.3 Vegetasi
Vegetasi yang dominan pada daerah penambangan Moronopo sangat bervariasi, dimana terdapat pembagian tipe komunitas vegetasi berdasarkan perbedaan elevasi tempat tumbuh. Adapun komunitas yang pertama adalah vegetasi yang terdapat pada daerah sepanjang garis pantai yaitu vegetasi mangrove dan vegetasi hutan pantai, dengan tempat tumbuh berupa lumpur dan pasir. Vegetasi yang terdapat pada level ini adalah mangrove (bakau), pandan, kelapa, dan pohon nyamplung.Sedangkan komunitas vegetasi kedua merupakan vegetasi hutan pegunungan, pada level ini tumbuhan tumbuh pada tanah yang mengandung mineral logam, dimana vegetasi yang tumbuh didominasi oleh tumbuhan berdaun jarum seperti Kenari Hutan, Bayu Besi, Kayu Kina, Bintang Samudra, Cemara, Pinus Irian, Bintagor, Gaharu, Linggua, dan beberapa merupakan tumbuhan kecil berdaun lebar. Selain tumbuhan berdaun jarum pada level ini juga tumbuh tumbuhan tidak berkayu seperti pandan, alang-alang, pakis, pinang, kantong semar, dan anggrek. (Sumber: Laporan Analisis Dampak
12
Lingkungan Kegiatan Penambangan dan Rencana Pengembangan Bijih Nikel pada Kuasa Pertambangan PT. ANTAM Tbk, Kab. Halmahera Timur).
Untuk vegetasi didaerah sekitar penambangan masih berupa hutan asli dengan ditumbuhi pohon-pohon dari ukuran sedang hingga tinggi (vegetasi hutan pegunungan), dan tumbuh dengan jarak yang rapat.
13 2.3 Geologi Regional Daerah Penelitian
Secara geologi dan tektonik kepulauan Halmahera terbentuk dari pertemuan 3 lempeng, Eurasia, Pasifik, dan Indo Australia atau merupakan suatu konfigurasi busur kepulauan sebagai hasil pertumbukan lempeng di bagian barat Pasifik. Hal ini dicirikan dengan adanya “double arc system” yang dibuktikan dengan adanya vulkanik pada daerah lengan Barat dan non vulkanik pada daerah lengan Timur.
Secara garis besar penjabaran mengenai geologi regional untuk kawasan Halmahera dibagi menjadi 3 bagian
2.3.1 Geomorfologi
Daerah Halmahera yang meliputi Halmahera bagian tengah, deretan pulau di sebelah barat, dan beberapa pulau kecil di sebelah timurnya dibagi menjadi 3 mendala fisiografi (T. Apandi dan D. Sudana, 1976). Halmahera bagian tengah yaitu termasuk sebagian dari lengan utara, sebagian dari lengan selatan, sebagian dari lengan timur laut, dan seluruh lengan tenggara.
Lengan timur laut dan lengan tenggara Halmahera, termasuk beberapa pulau kecil di sebelah timurnya, merupakan Mendala Fisiografi Halmahera Timur. Lengan utara dan lengan selatan membentuk Mendala Fisiografi Halmahera Barat, dan deretan pulau di sebelah baratnya merupakan Busur Kepulauan Gunung Api Kuarter yang membentuk Mendala Busur Kepulauan. Semua mendala fisiografi ini berhubungan erat dengan mendala geologinya (gambar 2.5).
Bagian terbesar Mendala Fisiografi Halmahera Timur terdiri dari pegunungan berlereng curam dengan torehan sungai yang dalam dan sebagian bermorfologi karst. Morfologi pegunungan berlereng curam merupakan cerminan batuan ultrabasa, batuan sedimen, serta batuan gunung api Oligo-Miosen dan yang lebih tua. Morfologi karst terdapat pada daerah batu gamping, baik yang berumur Paleosen-Eosen, Oligo-Miosen maupun Oligo-Miosen-Paleosen. Batuan sedimen Oligo-Miosen-Pliosen
14
membentuk morfologi dengan perbukitan yang relatif lebih rendah dan lerengnya yang lebih landai daripada batuan yang lebih tua.
Hubungan antara Mendala Halmahera Timur dan Mendala Halmahera Barat berupa jalur tektonik yang kuat berbatuan sedimen Neogen. Perlipatan kuat dan persesaran terdapat pada jalur ini.
Mendala Busur Kepulauan merupakan deretan pulau di sebelah barat Halmahera yang membentuk busur kepulauan gunung api Kuarter. Sebagian besar pulaunya berbentuk kerucut gunung api yang masih bekerja, seperti Gamalama, G. Tidore, dan G. Makian.
15
Gambar 2.5 Peta geologi regional daerah Halmahera (Sumber : PT ANTAM Tbk Unit Geomin)
U
KETERANGAN
Formasi Weda / Ruta
Formasi Koyasa Batugamping Terumbu
Batuan Sedimen Batuan Gunung Api Batuan Beku
PETA GEOLOGI REGIONAL DAERAH HALMAHERA
Batuan Gunungapi Holosen
Tufa Formasi Tingteng
Formasi Bacan Formasi Dorosagu
Komplek Batuan Ultrabasa
Konglomerat oN/Hal geo Qi Qi Ub Ks Qhv Qht Qpk Tmpw Tmob Tmpt Tped Tpec Tmr Qht Qht Tmpw Tmpw Tmr Tmpo Tmpo Tmpt Qhv Qhv Qhv Qhv Qhv Qpk Tmob Tmob Tmob Tmob Tmob Tmob Ub Ub Ks Formasi Kayasa
16 2.3.2 Stratigrafi
Berdasarkan peta geologi lembar Ternate, Maluku Utara (T.Apandi & D. Sudana) daerah Halmahera terdiri dari Mendala geologi Halmahera timur, Mendala geologi Halmahera barat dan Busur Kepulauan gunung api kuarter, dimana untuk mendala geologi yang berbeda akan menunjukkan perbedaan dalam jenis batuan dan tektoniknya (gambar 2.6).
Mendala geologi Halmahera timur, terbentuk dari Satuan Batuan Ultra basa dan satuan batuan beku basa yang mengintrusi satuan batuan ultra basa serta batuan beku intermediat yang mengintrusi kedua batuan sebelumnya. Adapun satuan batuan ultra basa ini merupakan satuan batuan penyusun tertua untuk mendala geologi Halmahera Timur.
- Satuan Batuan Ultra Basa ini terdiri dari batuan serpentinit, piroksenit, dan dunit. Dengan ciri khas berwarna hitam kehijauan, getas, terbreksikan, mengandung asbes dan garnierit. Pada satuan ini teramati batuan metasedimen dan rijang, posisinya terjepit diantara sesar di dalam batuan ultra basa. Adapun satuan batuan ini dinamakan sebgai formasi Watileo (Bessho, 1944), dan hubungannya dengan satuan batuan yang lebih muda berupa bidang ketidakselarasan atau berupa sesar naik.
- Satuan Batuan Beku Basa ini terdiri dari batuan grabro piroksin, gabro hornblende, dan gabro olivine, tersingkap di dalam komplek satuan Batuan Ultra Basa. Adapun satuan batuan ini dinamakan seri Wato-wato (Bessho, 1944).
- Satuan Batuan Intermediate ini terdiri dari batuan diorit kuarsa dan diorit hornblende, tersingkap juga dalam komplek batuan ultra basa. Selain itu teramati sejumlah retas andesit dan diorit yang tidak terpetakan, berhubungan dengan kuarsa dan pirit di daerah Formasi Bacan.
17
Batuan tertua ini, ditutupi oleh Formasi Dodaga yang berumur kapur secara tidak selaras, dan tersusun oleh serpih berselingan dengan batugamping coklat muda dan sisipan rijang. Selain itu ditutupi oleh batuan yang berumur Paleosen – Eosen yaitu formasi Dorosagu, Satuan Konglomerat dan satuan Batu Gamping.
- Satuan Batu gamping ini berumur Paleosen – Eosen dan dipisahkan dengan batuan yang lebih tua (ultra basa) oleh ketidakselarasan dan dengan batuan yang lebih muda oleh sesar, tebal 400 meter.
- Formasi Dorosagu ini terdiri dari batu pasir berselingan dengan serpih merah, batugamping. Formasi ini berumur Paleosen-Eosen. Hubungan dengan batuan yang lebih tua (ultrabasa) berupa ketidakselarasan dan sesar naik, tebal 250 meter. Formasi ini identik dengan Formasi Saolat (Bessho, 1944).
- Satuan Konglomerat ini tersusun oleh batuan konglomerat dengan sisipan batupasir, batulempung dan batubara. Satuan ini berumur Kapur Atas dan tebalnya > 500 meter. Hubungannya dengan batuan yang lebih tua (ultra basa) dan batuan yang lebih muda (Formasi Tingteng) adalah ketidakselarasan sedangkan dengan satuan Batugamping hubungannya menjemari.
Setelah rumpang pengendapan sejak Eosen Akhir-Oligosen Awal, baru terjadi aktivitas gunung api selama Oligosen Atas-Miosen Bawah, membentuk rempah-rempah yang disatukan sebagai Formasi Bacan.
- Formasi Bacan ini tersusun oleh batuan gunung api berupa lava, breksi, dan tufa dengan sisipan konglomerat dan batupasir. Dengan adanya sisipan batupasir maka dapat diketahui umur Formasi Bacan yaitu Oligosen-Miosen Bawah. Dengan batuan yang lebih tua (Formasi Dorosagu) dibatasi oleh bidang sesar sedangkan dengan batuan yang lebih muda (Formasi Weda) dengan bidang ketidakselarasan. Sebaran batuan gunung api Formasi Bacan ini terhampar luas baik di Mendala Halmahera Timur maupun
18
Mendala Halmahera Barat. Bersamaan dengan pengendapan Formasi Bacan, diendapkan pula batugamping Formasi Tutuli. Formasi ini berumur Oligosen-Miosen Bawah, kontak dengan Formasi Weda berupa sesar, dan identik dengan Formasi Parepara (Bessho, 1944).
Setelah rumpang pengendapan Miosen Bawah Bagian Atas, terbentuk cekungan luas yang berkembang sejak Miosen Atas-Pliosen. Pada cekungan tersebut diendapkan Formasi Weda, Satuan Konglomerat dan Formasi Tingteng.
- Formasi Weda ini terdiri dari batu pasir berselingan dengan napal, tufa, konglomerat, dan batugamping, berumur Miosen Tengah-Awal Pliosen, bersentuhan secara tidak selaras dengan Formasi Kayasa yang berumur lebih muda dan hubungannya secara menjemari dengan Formasi Tingteng.
- Satuan Konglomerat ini terdiri dari batuan ultra basa, basal, rijang, diorit dan batusabak tebal 100 meter, menutupi satuan batuan ultra basa secara tidak selaras, diduga berumur Miosen Tengah-Awal Piosen. Apabila dilihat letak statrigrafinya batuan ini kemungkinan merupakan anggota Formasi Weda.
- Formasi Tingteng ini terdiri dari batu gamping hablur dan batu gamping pasiran dengan sisipan napal dan batupasir berumur Akhir Miosen-Awal Pliosen, tebal 600 meter.
Setelah pengendapan Formasi Tingteng terjadi pengangkatan pada Kuarter, sebagaimana ditunjukan oleh batugamping terumbu, di pantai daerah lengan timur Halmahera.
19 Gambar 2.6 Stratigrafi Pulau Halmahera (sumber: Unit Geomin PT. ANTAM Tbk)
20 2.3.3 Tektonik
Pulau Halmahera dan pulau-pulau di sekitarnya merupakan suatu konfigurasi busur kepulauan sebagai hasil tabrakan lempeng di bagian barat Pasifik. Daerah ini dicirikan oleh Double Arc System, yaitu sistem busur pegunungan ganda, dibuktikan oleh pegunungan vulkanik di lengan barat dan pegunungan non- vulkanik di lengan timur. Secara geologi dan tektonik, Halmahera cukup unik karena terbentuk akibat pertemuan tiga lempeng, yaitu lempeng Eurasia, Pasifik dan Indo-Australia (gambar 2.7). Di bagian selatan Halmahera terdapat zona sesar Sorong yang merupakan strike slip fault (JA Katili, 1974). Sepanjang zona sesar ini Halmahera bergerak ke arah barat bersamaan dengan lempeng Indo-Australia (Hamilton, 1979).
21
Kegiatan tektonik kemungkinan dimulai pada Kapur akhir dan awal Tersier yang ditandai adanya batulempung berumur Kapur dan batuan ultrabasa pada konglomerat Formasi Dorosagu. Ketidakselarasan antara batuan berumur Paleosen–Eosen yaitu Formasi Dorosagu dengan batuan lebih muda terjadi kira-kira pada Eosen Akhir sampai Oligosen Awal, mencerminkan kegiatan tektonik yang diikuti kegiatan gunung api terbentuk Formasi Bacan. Pensesaran naik mungkin terjadi pada peristiwa tektonik Eosen–Oligosen. Struktur pada peta terbentuk pada peristiwa tektonik berikutnya terutama yang terjadi pada akhir Pliosen dan awal Pleistosen. Hal ini tampak dari sesaran batuan yang lebih tua ke atas Formasi Weda, yang berumur Mio–Pliosen. Peristiwa tektonik terakhir (Holosen) berupa pengangkatan seperti yang ditunjukan oleh terumbu terangkat dan sesar normal yang memotong batugamping terumbu.
2.4 Geologi Lokal Daerah Penelitian
Daerah Moronopo merupakan suatu wilayah kuasa pertambangan eksploitasi dan merupakan bagian dari fisiografi Halmahera Timur. Dimana fisiografi daerah Moronopo sebagian besar terdiri dari pengunungan dengan lereng yang curam hingga sedang dan sebagian berrmofologi karts. Morfologi dengan ciri khas ini merupakan suatu cerminan sebaran batuan ultrabasa yang mempunyai ketinggian 50 -600 meter diatas permukaan laut, serta berupa dataran aluvial yang terdapat disekitar sungai Sangaji.
Daerah ini didominasi oleh batuan Ultramafik dan mafik yang terdiri dari peridotit dan dunit, dimana pada satuan ini sering dijumpai fragmen – fragmen dari gabro dan basalt yang tertanam pada serpentin. Dunit berwarna hijau – hijau kekuningan, dengan ukuran butir halus – sedang, komposisi mineral yaitu olivin 85%, piroksen 10% dan mineral aksesoris 5%. Mineral garnierit dan krisopras ditemukan berupa fragmen- fragmen dalam laterit atau mengisi rekahan pada batuan. Batuan peridotit berwarna abu-abu gelap dengan tekstur kristalin, faneritik dan kadang-kadang terbreksikan dan
22
mengalami serpentinsasi, dengan komposisi piroksen 80%, olivin 15% dan mineral aksesoris sebanyak 5%.
Struktur geologi di Moronopo berupa kekar dan sesar berarah Barat Laut – Tenggara searah dengan pantai. dimana batuan yang tersesarkan berupa peridotit, gabro basalt, dan serpentinit.
23 408000 409000 410000 411000 412000 413000 414000 85500 86300 87100 87900 88700 89500 408000 409000 410000 411000 412000 413000 414000 85500 86300 87100 87900 88700 89500 B.III/a2 B.III/a3 B.III/a4 B.III/a5 B.III/a6 B.III/b2 B.III/b3 B.III/b4 B.III/b5 B.III/b6 B.III/c2 B.III/c3 B.III/c4 B.III/c5 B.III/c6 B.III/d2 B.III/d3 B.III/d4 B.III/d5 B.III/d6 BII/c10 BIII/c1 BII/d10 BIII/d1 Map Index: P. PAKAL TANJUNGBULI P. GEE MORONOPO WAILUKUM MABAPURA B.III B.II B.IV C.III C.IV BLOK-A LEGENDA: 0m 500m 1000m 1500m PT ANEKA TAMBANG Tbk
TIM EKSPLORASI NIKEL BULI
Diukur : Tim Eksplorasi Nikel Buli Diperiksa : Disetujui : Tanggal : Skala : Lembar : Mornopo UNIT GEOMIN
ACTIVITY MAP ON MORONOPO 2005
PETA GEOLOGI REGIONAL MORONOPO
24 2.5 Kegiatan Operasi Penambangan
Metode penambangan yang diterapkan pada daerah penelitian adalah metode tambang terbuka dengan open cut. Kegiatan penambangannya disesuaikan dengan topografi, sifat fisik lapisan, ketebalan lapisan tanah penutup, serta badan bijih, dan bergantung pada teknologi yang digunakan untuk penambangan. Dalam kegiatan penambangannya digunakan alat dozer D65P berfungsi untuk striping tanah penutup, membuat jalan tambang, serta mengeraskan jalan, excavator PC-300 yang berfungsi sebagai alat gali serta memasukkan ore (limonit, saprolit dan bed rock) ke dalam articulated dump truck HM-400 yang memiliki kapasitas 25 ton, dump truck Nissan Diesel dengan kapasitas 12 ton.
Kegiatan produksi penambangan dilakukan secara konvensional yaitu dengan mengambil ore pada front kemudian diangkut menuju transito, pada transito ini dilakukan sampling dimana sampelnya disebut dengan sampel produksi ETO (Exportable Transit Ore). Setelah ore terkumpul pada transito kemudian diangkut menuju grizzly untuk disaring dimana untuk boulder dengan ukuran > 20 cm akan dikategorikan sebagai waste, adapun setelah disaring kemudian dilakukan sampling kedua disebut dengan sampel produksi EFO (Exportable Fine Ore), dan kemudian ore ini diletakkan pada stockyard sesuai dengan nilai kadarnya. Apabila ada pemesanan maka dilakukan proses pengapalan, dimana pada kegiatan ini digunakan alat angkut dump truck nissan diesel. Untuk setiap 5 dump truck (5 ritase) diambil 1 sampel, disebut dengan sampel pengapalan. Dari sampel pengapalan ini akan dipreparasi dan dianalisa kadar serta moisture content-nya. Metode sampling yang digunakan pada operasi penambangan nikel pada perusahaan PT. Minerina Bhakti Moronopo berlandaskan pada Japanese Industrial Standard (JIS).
25
Adapun gambaran umum kegiatan penambangan yang dilakukan, dapat dilihat pada gambar 2.9 dibawah ini:
Perencanaan Tambang
Clearing & Striping
Penggalian & Pemuatan
Penumpukan di Transito (ETO)
Penyaringan (grizzly)
> pengangkutan
Sampling ETO & Analisa Penanganan Unspecification Ore
Sampling (Grab Sampling) & Analisa
Penanganan Tanah Pucuk dan LapisanTanah Penutup
Sampling EFO & Analisa Penanganan Oversize
Pemuatan & Pengangkutan
Stockyard
Pengapalan Sampling & Analisa