• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA GEOLOGI REGIONAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BAB II KERANGKA GEOLOGI REGIONAL"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Berikut ini akan dijelaskan mengenai keadaan dan karakteristik geologi

secara regional baik itu fisiografi regional, stratigrafi regional, struktur geologi

regional dan geologi sejarah regional di daerah penelitian yang termasuk dalam

lembar peta rupabumi digital Indonesia (Bakosurtanal) Lembar Belik (1308-641),

Lembar Watukumpul (1308-642), Lembar Randudongkal (1308-643), dan Lembar

Bantarbolang (1308-644) dan termasuk dalam Peta Geologi Regional Lembar

Purwokerto dan Tegal (1309-6 & 1309-3) Jawa Tengah.

2.1 Fisigrafi Regional

Menurut Van bemmelen (1949), berdasarkan sifat fisiografinya, secara

garis besar daerah Jawa Tengah dibagi menjadi enam bagian, yaitu :

1. Endapan Vulkanik Kuarter,

2. Dataran Aluvium Jawa Utara,

3. Antiklinorium Bogor, Rangkaian Pegunungan Serayu Utara serta Kendeng,

4. Zona Pusat Depresi Jawa Tengah,

5. Kubah dan Pegunungan Pusat Depresi,

Rangkaian Pegunungan Serayu Selatan,

6. Pegunungan Selatan Jawa Barat dan Jawa Timur.

(2)

Menurutnya, pegunungan di Jawa Tengah terbentuk oleh 2 puncak

geantiklin yaitu Pegunungan Serayu Utara dan Pegunungan Serayu Selatan.

Pegunungan Serayu Utara merupakan garis penghubung antara Zona Bogor di

Jawa Barat dengan Pegunungan Kendeng di Jawa Timur. Sedangkan Pegunungan

Serayu Selatan merupakan elemen yang muncul dari Zona Depresi Bandung yang

membujur secara longitudinal di Jawa Barat dan terdiri atas bagian barat dan

timur, yang keduanya dipisahkan oleh Lembah Jatilawang yang termasuk kedalam

Zona Pusat Depresi Jawa Tengah dan bagian baratnya merupakan tinggian di

dalam Zona Bandung di Jawa Tengah. Pegunungan ini merupakan antiklin yang

sederhana dan sempit di bagian barat, yaitu di sekitar Ajibarang. Sedangkan di

bagian timur Banyumas berkembang antiklinorium dengan lebar mencapai 30

kilometer yaitu di sekitar Lok Ulo. Bagian timur Pegunungan Serayu Selatan ini

merupakan struktur dome sedangkan dekat Jatilawang terdapat suatu antiklin yang terpotong oleh Sungai Serayu.

Antara Pegunungan Serayu Selatan dan Pegunungan Serayu Utara terdapat

Zona Depresi Serayu, atau lebih dikenal dengan sebutan Zona Depresi Jawa

Tengah. Depresi Jawa Tengah ini memanjang dari Majenang – Ajibarang –

Purwokerto – Jatilawang dan Wonosbo. Di antara Purwokerto dan Banjarnegara,

lebar dari zona ini sekitar 15 kilometer, tetapi di sebelah timur Wonosobo semakin

meluas dan secara setempat-setempat ditutupi oleh gunungapi muda, di antaranya

G. Sundoro (3155 m) dan G. Sumbing (3317 m) dan ke arah timur Zona Depresi

(3)

Sedangkan Pulau Nusakambangan merupakan kelanjutan Pegunungan

Serayu Selatan yang terbentang luas di Jawa Barat. Pegunungan Karangbolong

merupakan bagian dari lajur yang sama, tetapi terpisah baik dari yang terdapat di

Jawa Barat maupun yang terbentang dari selatan Yogyakarta ke timur.

Berdasarkan pembagian tersebut, daerah penelitian termasuk ke dalam Zona

Pegunungan Serayu Utara (gambar 2.1), dan secara struktur termasuk ke dalam

Besuki Majenang High. Secara regional, Zona Pegunungan Serayu Utara mempunyai

relief yang agak menonjol membentuk jalur Pegunungan Slamet, dan menuju ke arah

selatan semakin melandai membentuk Cekungan Serayu.

Gambar2.1 Peta Fisiografi Jawa Tengah (Van Bemmelan, 1949)

2.2 Stratigrafi Regional

Pembahasan stratigrafi regional dimaksudkan untuk memberikan

gambaran umum dari beberapa formasi yang erat hubungannya dengan stratigrafi

(4)

Menurut Peta Geologi Lembar Purwokerto dan Tegal, Jawa (Djuri, Samodra, Amin dan Gafoer, 1996), urutan stratigrafi regional daerah penelitian dari yang tua ke yang

muda tersusun atas Formasi Rambatan, Formasi Halang, dan Batuan Terobosan.

2.2.1 Formasi Rambatan

Formasi Rambatan tersusun atas serpih, napal, batupasir gampingan, dan

napal selangseling batupasir gampingan. Berumur Miosen Tengah, dan banyak

mengandung foraminifera kecil. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dalam,

dan diperkirakan diendapkan pada cekungan depan busur (fore arc basin).

Menurut Martono (1992), Djuri (1975) menggambarkan sebaran Formasi

Rambatan dalam Peta Geologi Lembar Purwokerto dan Tegal, merupakan kelanjutan

sebaran Formasi Merawu yang berada di Peta Geologi Lembar Banjarnegara –

Pekalongan (Condon, Pardyanto, dan Ketner, 1975), yang berupa selang-seling

batupasir gampingan, batupasir kuarsa, dan batupasir tufan, dengan fosil-fosil

Lepidocyclina dan Cycloclipeus (Katacycloclipeus) annulatus MARTIN. Formasi ini

juga dapat disebandingkan dengan Fm. Merawu bagian atas Marks (1957, dalam

Dzulkifli, 2008), berupa lapisan tipis batupasir, batupasir gampingan, dan

batulempung napalan dengan ciri permukaan lapisan berupa pola retakan heksagonal,

gelembur gelombang, dan jejak binatang.

Formasi Rambatan, diendapkan secara selaras di atas Formasi Pemali (di luar

daerah penelitian), berumur Miosen Bawah bagian atas (Van Bemmelen, 1949;

Kastowo, 1975, dalam Syahputra, 2009). Bagian bawah formasi terususun dari

batupasir gampingan dan konglomerat, berselingan dengan lapisan tipis napal dan

(5)

Menurut Kartanegara, Uneputty, dan Asikin (1987), Formasi Rambatan terdiri

dari dua bagian: bagian bawah formasi ini terdiri dari batupasir gampingan

berselingan batulempung gampingan, sisipan konglomerat, batulanau, dan

batugamping. Bagian atas didominasi oleh lempung gampingan, setempat sisipan

batupasir gampingan dan batulanau. Formasi ini diendapkan oleh mekanisme arus

turbid dari suatu sistem kipas bawah laut (inner – outer fan). Umur Formasi

Rambatan, berdasarkan pada kandungan fosil foraminifera planktonik, adalah Miosen

Akhir – Pliosen Awal (N14 – N18).

2.2.2 Formasi Halang

Formasi Halang tersusun atas batupasir andesit, konglomerat tufan dan napal,

bersisipan batupasir. Formasi ini berumur Miosen Akhir dan memiliki ketebalan

hingga 800 meter (Djuri, Samodra, Amin dan Gafoer, 1996). Menurut Kastowo dan

Suwarna (1996) di dalam Stratigraphic Lexicon ofIndonesia, Formasi Halang

tersusun atas perselingan batupasir, batulempung, napal, dan tuf dengan interkalasi

breksi. Formasi ini diendapkan dalam lingkungan submarine fan pada kedalaman

neritik, dan terbentuk pada fore arc basin, dengan ketebalan berkisar antara 400 – 700

meter. Oleh Safarudin (1982), bagian bawah formasi ini berumur Miosen (N15 –

N16), dan bagian atas berumur Miosen (N15 – N18).

Sedangkan menurut Ratman dan Robinson (1996), Formasi Halang tersusun

atas batupasir andesit yang resisten dan konglomerat tufan dengan sisipan napal.

Formasi ini membentuk karakteristik punggungan-punggungan dengan tinggi

mencapai 1260 meter, dan pada ketinggian yang lebih rendah membentuk lembah

lembah sempit dan curam. Formasi Halang diendapkan secara selaras di atas Formasi.

(6)

stratigrafi tersebut, Formasi Halang diperkirakan berumur Miosen Tengah –Miosen

Akhir, dan diendapkan pada lingkungan laut dangkal yang berangsur mendalam ke

arah Timur.

Adapun menurut Martono (1992), Djuri (1975) menggambarkan perluasan

Formasi Halang sebagai perluasan dari Formasi Penyatan dengan perubahan bagian

yang kaya aliran lava diubah menjadi Formasi Kumbang, sedangkan yang didominasi

batuan sedimen menjadi Formasi Halang, dengan pengertian bahwa Formasi

Kumbang menindih tidak selaras Formasi Halang. Dari beberapa paragraf di atas

dapat dilihat bahwa antara para pemeta dan penyelidik terdahulu terdapat berbagai

perbedaan tentang susunan stratigrafi daerah penelitian, padahal satuan stratigrafi

tersebut berkelanjutan dari satu lembar peta ke kembar lainnya. “tampak bahwa setiap

pemeta cenderung memilih patokannya masing-masing dalam mengkorelasikan

satuan stratigrafi di lembar petanya dengan satuan stratigrafi yang telah ada”,

Martono (1992).

2.2.3 Batuan Terobosan Tersier

Batuan terobosan di daerah penelitian berupa retas lempeng dan retas diorit,

yang berumur Miosen Akhir (Djuri, Samodra, Amin dan Gafoer, 1996). Berdasarkan

umur di atas, diperkirakan bahwa retas lempeng dan retas diorit ini dapat

disebandingkan dengan pembagian retas Zona Pegunungan Serayu Utara menurut

Van Bemmelen (1973) di dalam Martono (1992), berupa retas gabro dan dioritporfirit

dengan ciri holokristalin dan tekstur porfiritik. Dimana varitas basa adalah

gabroporfirit dan yang menengah adalah diorit porfirit, dengan peralihan di antara

keduanya. Ada indikasi diferensiasi ke arah alkalin. Batuan ini lazim mengandung

(7)

2.2.4 Batuan Gunungapi Slamet Tak Terurai

Menurut Djuri, Samodra, Amin dan Gafoer, 1996, Batuan Gunungapi Slamet

Tak Teruai pada daerah penitian yaitu berupa breksi gunungapi, lava, dan tuff

berumur berumur plistosen, sebarannya membentuk dataran dan perbukitan.

2.2.5 Aluvium

Menurut Djuri, Samodra, Amin dan Gafoer, 1996, Aluvium pada daerah

penelitian berupa kerikil, pasir, lanau, dan lempung, sebagai endapan sungai dan

pantai dengan tebal hingga 150 m. Memiliki umur Holosen.

2.3 Struktur Geologi Regional

Selama zaman Tersier di Pulau Jawa telah terjadi tiga periode tektonik

yang telah membentuk lipatan dan zona-zona sesar yang umumnya mencerminkan

gaya kompresi regional berarah Utara-Selatan (Van Bemmelen, 1949). Ketiga

periode tektonik tersebut adalah :

1. Periode Tektonik Miosen Atas (Mio-Pliosen),

2. Periode Tektonik Pliosen Atas (Plio-Plistosen), dan

3. Tektonik Holosen.

2.3.1 Periode Tektonik Miosen Atas (Mio-Pliosen)

Periode Tektonik Miosen Atas (Mio-Pliosen) dimulai dengan

pengangkatan dan perlipatan sampai tersesarkannya batuan sedimen Paleogen dan

Neogen. Perlipatan yang terjadi berarah relatif barat-timur, sedangkan yang

(8)

sesar yang terjadi adalah sesar naik, sesar sesar geser-jurus, dan sesar normal.

Sesar naik di temukan di daerah barat dan timur daerah ini, dan berarah hampir

barat-timur, dengan bagian selatan relatif naik. Kedua-duanya terpotong oleh

sesar geser. Sesar geser-jurus yang terdapat di daerah ini berarah hampir

baratlaut-tenggara, timurlaut-baratdaya, dan utara-selatan. Jenis sesar ini ada

yang menganan dan ada pula yang mengiri. Sesar geser-jurus ini memotong

struktur lipatan dan diduga terjadi sesudah perlipatan. Sesar normal yang terjadi

di daerah ini berarah barat-timur dan hampir utara-selatan, dan terjadi setelah

perlipatan. Di daerah selatan Pegunungan Serayu terjadi suatu periode transgresi

yang diikuti oleh revolusi tektogenetik sekunder. Periode tektonik ini

berkembang hingga Pliosen, dan menyebabkan penurunan di beberapa tempat

yang disertai aktivitas vulkanik.

2.3.2 Periode Tektonik Pliosen Atas (Plio-Plistosen)

Periode Tektonik Pliosen Atas (Plio-Plistosen) merupakan kelanjutan dari

periode tektonik sebelumnya, yang juga disertai dengan aktivitas vulkanik, yang

penyebaran endapan-endapannya cukup luas, dan umumnya disebut Endapan

Vulkanik Kuarter.

2.3.3 Periode Tektonik Holosen

Periode Tektonik Holosen disebut juga dengan Tektonik Gravitasi, yang

menghasilkan adanya gaya kompresi ke bawah akibat beban yang sangat besar,

yang dihasilkan oleh endapan vulkanik selama Kala Plio-Plistosen. Hal tersebut

(9)

blok sesar yang telah terbentuk sebelumnya, bahkan sesar-sesar normal tipe horst dan graben ataupun sesar bongkah atau sesar menangga dapat saja terjadi.

Sesar-sesar menangga yang terjadi pada periode inidapat dikenal sebagai gawir-gawir

sesar yang mempunyai ketinggian ratusan meter dan menoreh kawah atau kaldera

gunung api muda, seperti gawir sesar di Gunung Beser, dan gawir sesar pada

kaldera Gunung Watubela.

Situmorang, dkk (1976), menafsirkan bahwa struktur geologi di Pulau

Jawa umumnya mempunyai arah baratlaut-tenggara ,sesuai dengan konsep

Wrench Fault Tectonics Moody and Hill (1956) yang didasarkan pada model shear murni.

2.4 Geologi Sejarah Regional

Sejarah pengendapan semua batuan yang ada di daerah penelitian tidak

terlepas dari perkembangan tektonik Pulau Jawa dan pertumbukan antara

Lempeng Benua Asia Tenggara dan Lempeng Hindia-Australia sejak Kapur akhir

atau Tersier Awal. Dua hal yang pokok pada pembentukan batuan sedimen adalah

pembentukan cekungan sebagai wadah dari endapan tersebut yang erat kaitannya

dengan lingkungan pengendapan dan sumber dari batuan yang diendapkan.

Selama Paleosen Tengah dan Akhir terjadi pendesakan (thrusting) dari selatan yang dihasilkan karena pergerakan mengarah ke utara oleh lempeng

Indo-Australia. Pendesakan ini menghasilkan bancuh di selatan Serayu Utara,

pergerakan ke utara ini juga menghasilkan kompresi, blok penyesaran, dan

(10)

utama (conjugate set of primary shear fractures) yang nantinya mengontrol posisi aktivitas volkanik. Pada akhir Paleosen kompresi agak berkurang, hal ini

menyebabkan terjadinya penurunan (subsidence), dan pada kala Eosen endapan laut dangkal menempati bagian sedimen Paleosen Awal yang telah tererosi.

Selama Oligosen terjadi penurunan muka air laut secara tajam di seluruh

dunia yang menyebabkan erosi pada blok yang paling tinggi dan bersamaan

dengan itu, terendapnya material erosi ini di blok yang lebih rendah (Ratman dan

Robinson, 1996). Sedangkan menurut Martono (1992) Gejala tektonik tertua yang

ditemukan di daerah ini ditunjukkan oleh proses pembentukan batuan Paleogen,

yang diduga berlangsung sampai Oligosen. Terjadinya pencampuradukan tektonik

yang melibatkan barbagai jenis batuan, termasuk sedimen yang sedang dalam

proses pengendapan, memberikan kesan bahwa batuan Paleogen tersebut

terbentuk di dalam zona tunjaman (subduksi). Menurut Van Bemmelen (1949),

pada Oligosen – Miosen, geantiklin bagian utara mengalami penurunan yang

terjadi akibat naiknya geantiklin bagian selatan. Penurunan ini terjadi sampai intra

Miosen Tengah, saat itu terjadi reaksi gravitasional yang menyebabkan geantiklin

bagian selatan patah, sayap utara geantiklin tersebut tergelincir ke arah depresi

geosinklin.

Miosen Awal merupakan kala yang tenang dengan penaikan muka air laut

dan pembentukan terumbu di sekitar dan pada bagian blok sesar yang tererosi.

Orogenesis merupakan ciri-ciri Miosen Tengah, dengan adanya pendesakan

kembali dari selatan, kompresi blok sesar dan sedimen-sedimen yang

(11)

terbentuk sebelumnya, dan akhirnya pengangkatan. Intensitas orogenesis dan

aktivitas volkanik secara bertahap menurun selama Miosen Tengah dan Akhir dan

berhenti pada awal Pliosen (Ratman dan Robinson, 1996). Menurut Martono

(1992), setelah Oligosen daerah penelitian merupakan cekungan belakang busur

yang menampung sedimen pelitik dari arah benua dan sesekali bahan volkanik

berbutir halus dari arah busur volkanik. Masa ketenangan tektonik Miosen Awal

ini diikuti oleh periode pengangkatan disertai perlipatan dan penyesaran. Dalam

proses perlipatan ini, Formasi Merawu membentuk pola lipatan yang dikendalikan

oleh sesar naik batuan Paleogen yang teraktifkan kembali. Pada akhir Miosen –

awal Pliosen kegiatan tektonik mengakibatkan pembentukan busur pulau

gunungapi, kegiatan magmatik ini dikenali dengan terobosan intensif pada

Formasi Merawu, sebagian diantaranya melalui zona sesar dan sumbu lipatan

yang terbentuk sebelumnya. Menurut Condon, Pardyanto, Ketner, Amin, Gafoer,

dan Samodra (1996), pada Miosen Tengah terjadi genang laut dan terendapkannya

Formasi Rambatan serta terjadi penerobosan batuan bersusunan diorit pada akhir

Miosen Tengah.

Pada Miosen Atas cekungan termobilisasi, dimulai dengan perlipatan dan

adanya gejala magmatik sampai akhir Miosen.

Menurut van Bemmelen (1949), pada awal Pliosen, Pegunungan Serayu Utara

kembali mengalami pengangkatan akibat bergesernya sistem ke arah utara (ke

arah dataran Sunda). Pada Akhir Pliosen pengangkatan terus terjadi yang diiringi

(12)

meningkat disertai unsur tektonik hingga membentuk pola struktur geologi seperti

sekarang ini.

Pada zaman Kuarter dicirikan lagi dengan aktivitas volkanik di sepanjang

kekar-kekar gerus gunting utama. Pada zaman ini kompresi sudah sangat

berkurang, tapi belum sepenuhnya berhenti. Sebelum dan selama aktivitas

volkanik, pengubahan volkanik di bawah Gunung Slamet dan Kompleks

Gunungapi Dieng menyebabkan terbentuknya zona kompresi di antara dua kubah

yang menghasilkan pendesakan (thrusting) dan perlipatan sedimen laut Miosen. Di atas kubah volkanik sendiri, pengangkatan dan pengekaran tensional yang

menyertainya menyebabkan penyesaran normal beberapa sedimen Miosen.

Dari Kuarter Akhir hingga sekarang terdapat pengangkatan di beberapa

daerah dan penurunan di tempat-tempat lainnya. Daerah utama penurunan adalah

di utara bagian tengah Jawa, yang terjadi disepanjang kekar-kekar gerus utama

Referensi

Dokumen terkait

dengan arah baratlaut – tenggara, di bagian barat dibatasi oleh tinggian Kuching yang berarah utara – selatan, berupa batuan dasar berumur Pratersier.. Pada bagian

Siklus regresi kedua terjadi selama kala Miosen Akhir dan diakhiri dengan tanda-tanda awal tektonik Pliosen - Pleistosen yang menghasilkan penutupan cekungan dan onset

berikutnya terjadi pada 50-26 juta yang lalu ditandai dengan regim transtensional rifting membentuk fase rift basin, dengan pengendapan Grup Pematang sebagai synrift

Pada perioda ini margin terjadi penurunan secara terus menerus ditambah dengan kenaikan permukaan air laut global mengakibatkan karbonat dan shelf sedimen ditutupi

Nama Formasi Arjosari pertama kali diusulkan oleh (Samodra dkk, 1992) untuk jajaran endapan turbidit Oligo-Miosen di Lembar Pacitan. Formasi ini mempunyai kesamaan umur dengan

Sedimen yang diendapkan pada tahap awal fasa transgressive ini adalah Formasi Talang Akar yang terdiri dari batupasir, batulanau dan serpih yang berubah secara berangsur

Sedimen pada periode ini terutama berasal dari erosi Pegunungan Tengah Kalimantan ( Kuching Orogenic Complex ) yang kemudian terendapkan dan menyusun Formasi Latih

Pada fase awal proses tektonik yang terjadi berupa sag basin, ketika terjadi penurunan cekungan regional yang memperbesar highstand dan transgresi yang dimulai dengan pengendapan