• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II GEOLOGI REGIONAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II GEOLOGI REGIONAL"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

5

BAB

II

GEOLOGI REGIONAL

2.1 Fisiografi Regional

Van Bemmelen (1949) membagi Jawa bagian timur dan Madura menjadi tujuh zona fisiografi (Gambar 2.1), dari selatan ke utara berturut-turut: Zona Pegunungan Selatan Bagian Timur, Zona Solo, Zona Kendeng, Zona Randublatung, Zona Rembang, Dataran Aluvial Jawa Utara, dan Gunungapi Kuarter.

1. Zona Pegunungan Selatan Bagian Timur

Zona Pegunungan Selatan Bagian Timur merupakan busur volkanik Eosen-Miosen yang terdiri dari endapan silisiklastik, volkaniklastik, batuan karbonat dan volkanik dengan kemiringan lapisan yang seragam ke arah selatan (Smyth dkk., 2005). Zona ini tidak menerus, yaitu terdiri dari paling tidak tiga bagian yang terisolasi (van Bemmelen, 1949). Zona Pegunungan Selatan Jawa Bagian Timur memanjang sepanjang pantai selatan Jawa Timur dan Wonosari dekat Yogyakarta sampai ujung paling timur Pulau Jawa. Daerah ini pada umumnya mempunyai topografi yang dibentuk oleh batugamping dan volkanik, serta sering dijumpai gejala karst.

2. Zona Solo

Pada Zona Solo, formasi berumur tersier ditutupi oleh beberapa gunungapi kwarter. Zona Solo dapat dibagi menjadi tiga subzona, yaitu:

• Subzona Blitar pada bagian selatan. Subzona ini merupakan jalur depresi yang sempit di antara pegunungan selatan dan gunungapi muda, serta ditutupi oleh endapan aluvial.

• Subzona Solo Bagian Tengah. Subzona ini dibentuk oleh deretan gunungapi vulkanik muda dan dataran–dataran antar pegunungan. Gunungapi tersebut adalah Gunung Lawu, Gunung Wilis, Gunung Kelud, Pegunungan Tengger dan Gunung Ijen di ujung timur Pulau Jawa. Sedangkan dataran-dataran antar gunungapinya adalah Dataran Madiun, Dataran Ponorogo, dan Dataran Kediri. Dataran antar gunungapi ini pada umumnya dibentuk oleh endapan lahar.

(2)

6

• Subzona Ngawi pada bagian utara. Subzona ini merupakan depresi yang berbatasan dengan Subzona Solo di bagian selatan dan Pegunungan Kendeng di bagian utara. Subzona ini pada umumnya dibentuk oleh endapan aluvial dan endapan gunungapi yang kecil.

3. Zona Kendeng

Zona Kendeng merupakan antiklinorium yang memanjang mulai dari Semarang yang kemudian menyempit ke arah timur sampai ujung Jawa Timur di bagian utara. Antiklinorium ini merupakan perpanjangan ke arah timur dari Pegunungan Serayu Utara di Jawa Tengah. Smyth dkk. (2005) menyatakan bahwa Zona Kendeng merupakan jalur anjakan berarah barat-timur. Zona ini pada umumnya dibentuk oleh endapan volkanik, batupasir, batulempung, dan napal.

4. Zona Randublatung

Zona Randublatung merupakan sinklinorium yang memanjang mulai dari Semarang di sebelah barat sampai Wonokromo di sebelah timur. Zona ini berbatasan dengan Zona Kendeng di bagian selatan dan Zona Rembang di bagian utara.

5. Zona Rembang

Zona Rembang merupakan antiklinorium yang memanjang dengan arah barat-timur, mulai dari sebelah timur Semarang sampai Pulau Madura dan Kangean. Lebar rata-rata zona ini adalah 50 km. Zona ini merupakan hasil akhir dari gejala tektonik Tersier akhir (Pringgoprawiro, 1983). Zona ini terdiri dari sikuen Eosen-Pliosen berupa sedimen klastik laut dangkal dan karbonat yang luas. Pada zona ini terdapat suatu tinggian (Tinggian Rembang) yang dibatasi oleh sesar mayor berarah ENE-WSW (Smyth dkk., 2005).

6. Dataran Aluvial Jawa Utara

Dataran Aluvial Jawa Utara menempati dua bagian, yaitu bagian barat dan bagian timur. Di bagian barat mulai dari Semarang ke timur sampai ke Laut Jawa dan berbatasan dengan Zona Rembang di bagian timur. Di bagian timur mulai dari Surabaya ke arah barat laut, di sebelah barat berbatasan dengan Zona Randublatung, di sebelah utara dan selatan berbatasan dengan Zona Rembang.

(3)

7

7. Gunung Api Kuarter

Gunung Api Kuarter menempati bagian tengah di sepanjang Zona Solo. Gunungapi yang tidak menempati Zona Solo adalah Gunung Muria. Smyth dkk. (2005) menamakan zona ini sebagai Busur Volkanik Kenozoikum Akhir yang aktif sejak Miosen Akhir.

Berdasarkan pembagian zona fisiografi tersebut, daerah penelitian termasuk ke dalam Zona Rembang, yang terdiri dari pegunungan lipatan berbentuk antiklinorium yang memanjang pada arah barat–timur. Pegunungan lipatan ini memanjang mulai dari utara Purwodadi melalui Blora, Jatirogo, Tuban, dan berakhir di P. Madura (Gambar 2.1).

Gambar 2.1. Peta Fisiografi Jawa Timur (van Bemmelen, 1949).

2.2 Stratigrafi Regional

Mandala pengendapan rembang masuk ke dalam Zona Fisiografi Rembang dari van Bemmelen (1949). Tidak seperti sedimen-sedimen pada Zona Kendeng, Mandala Rembang tidak mengandung unsur volkanik serta merupakan endapan khas paparan (Pringgoprawiro, 1983). Paparan ini memiliki kemiringan landai ke arah selatan dan diisi oleh endapan relatif tipis (ketebalan rata-rata kurang dari 1850 m).

(4)

8 Mandala Rembang mengandung urut-urutan endapan-endapan Kenozoikum yang tebal dan tak terputus hingga Pleistosen (Gambar 2.2).

Gambar 2.2. Kolom Stratigrafi Umum Mandala Rembang (Pringgoprawiro, 1983).

Berikut ini adalah beberapa formasi yang diendapkan pada Mandala Rembang menurut Pringgoprawiro (1985):

1. Formasi Kujung

Penamaan formasi pertama kali digunakan oleh Trooster (1937; dalam Pringgoprawiro, 1982). Lokasi tipenya ada di sekitar Desa Kujung, sepanjang Sungai Secang, Tuban. Litologi khas untuk formasi ini ialah napal, lempung napalan, berwarna abu-abu, dengan sisipan batugamping bioklasttik dan mengandung

(5)

9 foraminifera besar. Batas bawahnya tidak diketahui karena tidak tersingkap, akan tetapi data sumur Ngimbang-1 menunjukkan adanya kedudukan selaras antara Formasi Kujung dan Formasi Ngimbang yang terletak di bawahnya. Penyebarannya terbatas di sekitar Tuban. Di lokasi tipenya, ketebalan mencapai 680 meter. Berdasarkan kehadiran foraminifera plankton dan foraminifera besarnya, umur Formasi Kujung adalah Oligosen atas dan diendapkan pada lingkungan laut terbuka pada zona batial atas.

2. Formasi Prupuh

Penamaan formasi pertama kali diusulkan oleh Pringgoprawiro (1982). Lokasi tipenya ada di sekitar Desa Prupuh, 5 km arah barat laut dari Desa Panceng, Paciran, dengan ciri–ciri litologi terdiri dari perselingan antara batugamping bioklastik yang kaya akan foraminifera dengan batugamping kapuran yang kompak dan getas. Formasi Prupuh diendapkan selaras di atas Formasi Kujung dan terletak selaras di bawah Formasi Tuban. Menempati jalur sempit dan memanjang pada tinggian Tuban, mulai dari Panceng di timur hingga Palang, Tuban di sebelah barat. Tebal terukur di lokasi tipe ialah 76 meter. Formasi Tuban juga tersebar ke arah lepas pantai dan dijumpai di sumur–sumur pemboran lepas pantai. Umurnya adalah Oligosen Akhir hingga Miosen Awal bagian bawah atau zona N3–N5 dan lingkungan pengendapannya adalah zona neritik luar berdasarkan foraminifera yang ada.

3. Formasi Tuban

Penamaannya pertama kali diusulkan oleh Pringgoprawiro (1983), dan nama diambil dari tinggian Tuban. Tipe lokasinya adalah Desa Drajat, Paciran, Tuban, tersingkap baik di sepanjang Kali Suwuk, Desa Drajat. Ciri litologinya adalah endapan lempung yang monoton dengan sisipan batugamping. Formasi Tuban diendapkan secara selaras di atas Formasi Prupuh sedangkan bagian atasnya ditutupi secara tidak selaras oleh Formasi Paciran. Di Jawa Timur utara formasi ini mempunyai penyebaran terbatas dan hanya tersingkap di Tinggian Tuban saja. Tapi ke arah timur endapan Formasi Tuban dijumpai di Dataran Madura, sedangkan di lepas pantai hanya dijumpai pada sumur–sumur pemboran. Tebal di lokasi tipe mencapai 665 meter. Formasi Tuban berumur N5–N.6 (Miosen Awal) berdasarkan

(6)

10 hadirnya Globigerinoides primordius, serta diendapkan pada paparan zona sublitoral luar dengan kedalaman 50-150 meter.

4. Formasi Tawun

Penamaannya pertama kali digunakan oleh Brouwer (1957; dalam Pringgoprawiro, 1982). Stratotipenya adalah sumur pemboran BPM Tawun-5. Formasi ini terdiri atas batulempung bersisipan batugamping dan batupasir. Bagian bawah formasi ini didominasi oleh batulempung hitam-kelabu yang bergradasi hingga batulanau pasiran berwarna kelabu. Bagian atas dari formasi ini ditandai oleh akumulasi batugamping bioklastik yang ketebalannya mencapai 100 meter di beberapa tempat. Hubungan stratigrafi dengan Formasi Tuban di bawahnya dan Formasi Bulu di atasnya adalah selaras. Penyebaran Formasi ini cukup luas di Mandala Rembang Barat dan di Pulau Madura. Dijumpai pula pada sumur pemboran lepas pantai Jawa Timur Utara dan Madura. Tebal Formasi ini di sumur Tawun-5 adalah 1500 meter. Di permukaan tebalnya sekitar 730 meter seperti pada penampang Sumberan–Brangkal. Analisa mikropaleontologi yang dilakukan menunjukkan umur Miosen Awal teratas hingga Miosen Tengah, zona N8–N12 ditentukan dengan menggunakan foraminifera plangton, sedangkan menggunakan foraminifera besar didapatkan umur Te-5. Lingkungan pengendapan Formasi Tawun adalah paparan dangkal pada zona sublitoral pinggir.

5. Formasi Bulu

Penamaannya diusulkan oleh Pringgoprawiro (1983) sebagai pengganti nama “Platen Komplex” oleh Trooster (1937; dalam Pringgoprawiro, 1982). Tipe lokasinya adalah di Desa Bulu, Rembang, yaitu sepanjang Gunung Gendruwo. Ciri litologi pada stratotipenya terdiri dari batugamping pasiran yang berlapis, berbentuk plat (tebal 10 cm–33 cm) dan sisipan napal di bagian tengah. Hubungan stratigrafi Formasi Bulu dengan Formasi Tawun di bawahnya adalah selaras (Pringgoprawiro, 1982), seperti yang dapat diamati sepanjang Sungai Kemadu dan Sungai Besek, Bulu. Formasi Wonocolo yang diendapkan di atasnya juga mempunyai hubungan yang selaras. Penyebarannya cukup luas di Mandala Rembang mulai dari daerah Todanan di bagian barat hingga Madura di bagian timur. Endapan Formasi Bulu juga ditemukan pada sumur–sumur pemboran lepas pantai. Pada lokasi tipe tebalnya

(7)

11 sampai 248 meter, sedangkan di daerah lain ketebalannya berkisar antara 55 meter hingga 200 meter. Umur formasi ini ialah Miosen Tengah, zona N14–N15 atau Tf bawah berdasarkan atas kandungan foraminiferanya, sedangkan lingkungan pengendapannya adalah zona litoral sampai zona sublitoral pinggir berdasarkan kandungan biotanya.

6. Formasi Wonocolo

Penamaannya pertama kali oleh Trooster (1937; dalam Pringgoprawiro, 1982), dengan lokasi tipe di sekitar Desa Wonocolo, 20 kilometer arah timur laut dari Cepu. Ciri litologinya terdiri dari perulangan antara napal, napal lempungan hingga napal pasiran dengan perselingan kalkarenit. Napalnya kaya akan foraminifera plangton. Formasi ini terletak secara selaras dengan Formasi Ledok pada stratotipenya. Formasi Wonocolo mempunyai penyebaran yang luas di Mandala Rembang dengan arah barat–timur, mulai dari Todanan sampai tinggian Tuban. Di daerah Rembang tebalnya sekitar 100 meter. Di daerah Manjung bahkan dapat mencapai 600 meter. Umurnya adalah bagian bawah dari Miosen Akhir dan diendapkan pada lingkungan laut terbuka pada zona bathyal atas.

7. Formasi Ledok

Penamaannya pertama kali diusulkan oleh Trooster (1937) dengan lokasi tipe di Antiklin Ledok, yaitu berjarak 10 km Utara Cepu. Pada lokasi tipenya, ciri litologinya adalah perulangan antara napal pasiran, kalkarenit dengan napal dan batupasir. Glaukonit yang berlimpah ditemukan di bagian atas formasi. Setempat kalkarenit dan napal pasiran memperlihatkan struktur silang siur. Hubungan stratigrafi dengan Formasi Wonocolo di bawahnya dan Formasi Mundu di atasnya adalah selaras pada lokasi tipenya. Formasi Ledok memiliki persebaran yang terbatas di Mandala Rembang. Di bagian barat endapannya ditemukan di daerah Todanan, akan tetapi ke arah timur tidak ditemukan di daerah Tinggian Tuban. Ketebalan terukur pada lokasi tipe sekitar 190 meter, sedangkan di daerah lain ketebalannya berkisar antara 82 hingga 220 meter. Berdasarkan kehadiran Globorotalia plesiotumida, umur Formasi Ledok adalah Miosen Akhir atau zona N17. Lingkungan pengendapannya adalah sublitoral pinggir berdasarkan rasio plangton/bentos yang berkisar 27% sampai 30%.

(8)

12 8. Formasi Mundu

Penamaannya pertama kali digunakan oleh Klein (1918), berasal dari nama Desa Mundu. Lokasi tipe Formasi Mundu berada di Sungai Kalen, Desa Mundu, 10 km arah barat dari Cepu, Sedangkan stratotipenya ialah lintasan sepanjang 1,5 km pada sayap Utara Antiklin Kedinding, 3 km arah barat Desa Mundu. Ciri litologinya ialah Napal kehijuan yang masif. Bagian atasnya ditempati oleh batugamping pasiran. Formasi Mundu diendapkan selaras di atas Formasi Ledok dan dengan Formasi Lidah di atasnya. Penyebarannya sempit di kawasan Mandala Rembang, yaitu di sekitar Todanan dan Tinggian Tuban. Ketebalan rata–rata Formasi Mundu adalah 255 meter hingga 342 meter. Umurnya adalah Miosen Akhir hingga pliosen atau zona N.18–N.20 dari analisa foraminifera plangtonnya. Lingkungan pengendapannya adalah lingkungan laut terbuka dengan kedalaman antara 700 meter hingga 1000 meter. Semakin ke atas kedalamannya berkurang hingga laut dangkal pada zona sublitoral pinggir.

9. Formasi Paciran

Penamaannya diambil dari Kota Paciran (Pringgoprawiro, 1983), Tuban. Stratotipenya adalah batugamping terumbu di sekitar Bukit Piramid. Formasi ini terdiri dari batugamping terumbu yang masif, seringkali memperlihatkan gejala karst. Formasi Paciran diendapkan tidak selaras di atas Formasi Mundu dan mempunyai hubungan yang menjemari dengan Formasi Lidah. Endapan formasi ini banyak ditemukan di Tinggian Tuban dan di Pulau Madura dengan ketebalan berkisar antara 105 meter hingga 150 meter. Umurnya diketahui berkisar antara Pliosen dan Pleistosen. Lingkungan pengendapannya adalah di laut dangkal, jernih, hangat, dekat pantai, zona litoral–sublitoral pinggir.

10.Formasi Lidah

Penamaan Lidah Formation pertama kali digunakan Brouwer (1957), sedangkan van Bemmelen (1949) menyebutnya Blue Clays. Stratotipe hipo Formasi Lidah berada di Banyuurip, Kawengan, Cepu (Pringgoprawiro, 1983). Ciri litologi

(9)

13 terdiri dari batulempung yang monoton, berwarna biru tua, plastis, dan berlapis buruk. Formasi ini selaras diendapkan di atas Formasi Sonde. Penyebarannya sempit yaitu hanya di depresi Randublatung (Mandala Rembang), mulai dari Pati hingga Surabaya. Ketebalan formasi berkisar antara 130 meter hingga 575 meter. Umurnya berkisar antara pliosen hingga pleistosen berdasarkan atas foraminifera plankton.

Sejak Oligosen Akhir terjadi fasa transgresi. Fasa transgresi ini berlangsung sejak N.4 sampai N.10 yang kemudian mencapai puncaknya selama interval N.8-N.10 (Djuhaeni dan Nugroho, 2002). Pada kala akhir Miosen Awal, Formasi Tawun mulai diendapkan.

Pada kala Miosen Tengah, terjadi fasa regresi disebabkan karena adanya suatu pengangkatan yang meliputi daerah yang luas di Indonesia (Umbgrove, 1949 dalam Pringgoprawiro, 1983). Pengangkatan ini menyebabkan terjadinya pembentukan sedimen berupa batupasir kuarsa dengan sisipan-sisipan lapisan batubara dan gipsum, yaitu Formasi Ngrayong. Formasi Ngrayong diendapkan secara selaras dan kadang-kadang menjari dengan Formasi Tawun. Formasi ini diendapkan pada lingkungan fluvial (non-marine), daerah pasang surut sampai dengan neritik tengah. Batupasir mendominasi formasi ini dengan sisipan-sisipan batulempung dan batugamping, serta kadang-kadang dijumpai lapisan batubara tipis atau batulempung karbonan (Kadar dan Sudijono, 1994). Hampir 50% kuarsa pada batupasir Formasi Ngrayong berasal dari batuan metamorf, kemungkinan dari Busur Karimunjawa dan Busur Bawean (Smyth dkk., 2003). Datun (1982) menyatakan bahwa arah sedimentasi pada saat pembentukan batupasir Formasi Ngrayong pada kala Miosen Tengah adalah dari utara ke selatan. Pada kala tersebut, sebagian basement yang terdiri dari gneis, sekis, dan granit muncul di atas permukaan laut sebagai daratan.

Fasa transgresi terjadi pada akhir Miosen Tengah sehingga daerah Rembang tenggelam lagi di bawah permukaan (Pringgoprawiro, 1983). Proses pengendapan berlangsung pada lingkungan laut dangkal neritik tepi sampai neritik tengah yang ditandai dengan diendapkannya Formasi Bulu dan Formasi Wonocolo. Formasi Bulu diendapkan secara selaras di atas Formasi Ngrayong, terdiri atas batugamping, kadang-kadang berlapis dan pasiran, sering membentuk pelat-pelat (platy) atau berlapis tipis, dengan sisipan napal dan batupasir. Formasi Bulu ditindih secara

(10)

14 selaras oleh atau menjari dengan Formasi Wonocolo. Formasi Wonocolo dicirikan oleh batulempung gampingan dengan sisipan batugamping dan lapisan-lapisan tipis batupasir glaukonit di lapisan bagian bawah (Kadar dan Sudijono, 1994). Fasa transgresi mencapai maksimumnya pada N.15/N.16 dan kemudian diikuti fasa regresi pada interval N.16 - N.17 (Djuhaeni dan Nugroho, 2002).

Pada kala Miosen Akhir,diendapkan Formasi Ledok secara tidak selaras diatas Formasi Wonocolo pada lingkungan laut terbuka, tepatnya pada zona neritik tengah sampai batial atas. Formasi ini memiliki ciri litologi batuan sedimen klastik seperti batulempung, napal, dan batulanau dengan sisipan batugamping yang berumur Miosen Akhir. Ketidakselarasan disini ditandai dengan hilangnya Zona N.15 dan bagian bawah Zona N.16 karena proses erosi atau ketiadaan pengendapan (hiatus) (Kadar dan Sudijono, 1994). Formasi Mundu kemudian diendapkan secara selaras diatas Formasi Ledok pada kala Miosen Akhir sampai Pliosen pada fasa transgresi. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dalam, batial sampai abisal. Maksimum transgresi berlangsung pada interval N.19-N.20, yang juga sebagai interval genang-laut terbesar selama Tersier di Cekungan Jawa Timur Utara (Djuhaeni dan Nugroho, 2002).

Setelah Formasi Mundu, tepatnya pada kala Pliosen sampai Pleistosen diendapkan Formasi Lidah secara tidak selaras pada lingkungan laut dangkal, neritik tepi. Pada bagian bawah formasi ini dijumpai Anggota Solorejo yang memiliki ciri litologi kalkarenit dan batupasir glaukonit gampingan. Pada kalkarenitnya banyak dijumpai fosil-fosil foraminifera plangton hasil rombakan (reworked fossils) dari formasi yang lebih tua. Hal tersebut mengindikasikan turunnya permukaan laut atau merupakan hasil erosi daerah-daerah yang terangkat akibat pengangkatan dan perlipatan Cekungan Jawa Timur Utara (Kadar dan Sudijono, 1994). Fasa regresi berlangsung pada interval N.21-N.23 (Djuhaeni dan Nugroho, 2002).

Formasi Paciran diperkirakan terendapkan pada kala yang sama dengan Formasi Lidah karena sama-sama menindih Anggota Solorejo Formasi Lidah. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal, mungkin sekali neritik tengah. Kadar dan Sudijono (1994) memperkirakan Gunungapi Lasem dan Gunungapi Muria mulai aktif sejak Pliosen Akhir. Kegiatan vulkanik ini menghasilkan endapan

(11)

15 Gunungapi Kuarter di daerah ini. Endapan Gunungapi Lasem tersebar di sekitar lereng barat Gunung Lasem (806 m di atas permukaan laut), terdiri atas andesit berupa aliran lava, aglomerat, breksi volkanik, tuf lapili, tuf halus, dan lahar,sedangkan Gunung Muria menghasilkan Endapan Gunungapi Muria yang didominasi oleh tuf, lahar, dan tuf pasiran. Endapan Gunungapi Lasem dan Endapan Gunungapi Muria terletak secara tak selaras di atas satuan-satuan yang lebih tua. Endapan termuda adalah Aluvium yang terdiri dari endapan sungai dan endapan pantai. Endapan pantai menempati daerah pantai.

Pada daerah penelitian tersingkap batuan, berurut dari tua ke muda, dari Formasi Tawun, Formasi Ngrayong, Formasi Bulu, dan Formasi Wonocolo.

2.3 Struktur Regional

Tatanan tektonik dan struktur geologi di daerah Jawa tidak terlepas dari teori tektonik lempeng. Kepulauan Indonesia merupakan titik pertemuan antara tiga lempeng besar, yaitu Lempeng Eurasia yang relatif diam, Lempeng Samudera Pasifik yang bergerak relatif kearah baratlaut, dan Lempeng Indo-Australia yang relatif bergerak ke arah utara (Hamilton, 1979).

Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Jawa menjadi dua elemen struktur, yaitu Geosinklin Jawa Utara dan Geantiklin Jawa Selatan. Kedua elemen tersebut memanjang berarah barat-timur. Geosinklin Jawa Utara dikenal dengan nama Cekungan Jawa Timur Utara.

Struktur-struktur yang berkembang tersebut diakibatkan oleh pengangkatan yang terjadi pada kala Intra Miosen dan pada kala Plio-Pleistosen (van Bemmelen, 1949).

Pulunggono dan Martodjojo (1994) menyatakan bahwa pola struktur dominan yang berkembang di Pulau Jawa adalah (Gambar 2.3):

• Pola Meratus, berarah timurlaut-baratdaya (NE-SW) terbentuk pada 80 sampai 53 juta tahun yang lalu (Kapur Akhir-Eosen Awal).Pola ini ditunjukkan oleh Tinggian Karimunjawa di kawasan Laut Jawa yang

(12)

16 diperkirakan menerus ke arah baratdaya ke daerah antara Luk Ulo (Jawa Tengah) sampai Sesar Cimandiri (Jawa Barat).

• Pola Sunda, berarah utara-selatan (N-S) terbentuk 53 sampai 32 juta tahun yang lalu (Eosen Awal-Oligosen Awal). Pola kelurusan struktur ini adalah yang paling dominan di daerah Jawa Barat. Pola Sunda ini merupakan sesar-sesar yang dalam dan menerus sampai Sumatra. Pola ini merupakan pola yang berumur lebih muda sehingga keberadaannya mengaktifkan kembali Pola Meratus.

• Pola Jawa, berarah timur-barat (E-W) terbentuk sejak 32 juta tahun yang lalu sampai sekarang (Oligosen Akhir-Resen).Pola ini adalah pola termuda yang mengaktifkan kembali seluruh pola yang telah ada sebelumnya.

Berdasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Sribudiyani dkk. (2003), pola struktur permukaan yang berkembang pada daerah penelitian adalah pola struktur yang mempunyai kelurusan berarah timur laut-barat daya dan barat-timur.

Gambar

Gambar 2.1. Peta Fisiografi Jawa Timur (van Bemmelen, 1949).
Gambar 2.2. Kolom Stratigrafi Umum Mandala Rembang (Pringgoprawiro, 1983).

Referensi

Dokumen terkait

Pengelolaan pendidikan adalah pengaturan kewenangan dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten,

Gambar 12 menyajikan logical framework (logframe) RAN-PG Multi-sektor dengan peran Kementerian dan Lembaga secara lebih rinci. Semua K/L terkait mempunyai goal atau dampak

Teori keagenan dalam pendaptan asli daerah dimana masyarakat memberikan sumber pendanaan kepada pemerintah daerah berupa retribusi daerah dan pajak daerah,

Pada kenyataannya, cukup banyak data yang menunjukkan bahwa perkembangan produk-produk pangan dari industri tersebut memberikan efek negatif terhadap status gizi dan

Kes RI ( 2000 ), bahwa tugas pembimbing klinik sebagai perawat pelaksana antara lain melibatkan diri dalam pelayanan keperawatan yang diberikan oleh peserta

Kesan-kesan buruk lain : Tiada kesan yang penting atau bahaya kritikal yang diketahui.

(ebaliknya golongan mineralokortikoid e"ek utamanya adalah terhadap.. keseimbangan air dan elektrolit, sedangkan pengaruhnya terhadap penyimpanan glikogen hepar

Hasil inversi 2D dengan menggunakan INV2DVLF menunjukkan bahwa terdapat zona anomali yang menunjukkan zona lemah dengan tingkat resistivitas rendah yang diduga