• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pajak merupakan penerimaan yang dominan dari seluruh penerimaan negara. Banyak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pajak merupakan penerimaan yang dominan dari seluruh penerimaan negara. Banyak"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pajak

2.1.1.1 Pengertian Pajak

Ditinjau dari jumlah pendapatan yang diterima oleh negara, penerimaan pajak merupakan penerimaan yang dominan dari seluruh penerimaan negara. Banyak para ahli memberikan batasan tentang pajak, tetapi pada intinya mempunyai maksud dan tujuan yang sama. Berikut ini adalah beberapa pengertian mengenai pajak oleh para ahli:

Menurut Djajadiningrat dalam Diana Sari (2013: 33) pengertian pajak adalah sebagai berikut :

“Pajak adalah suatu kewajiban untuk menyerahkan sebagian kekayaan negara karena suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu. Pungutan tersebut bukan sebagai hukuman, tetapi menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan. Untuk itu, tidak ada jasa balik dari negara secara langsung.” Menurut Anderson dalam Diana Sari (2013: 33) pengertian pajak adalah sebagai berikut:

“Pajak adalah pembayaran yang bersifat paksaan kepada negara yang dibebankan pada pendapatan kekayaan sesorang yang diutamakan untuk membiayai pengeluaran negara.”

(2)

Sedangkan menurut Rochmat Soemitro dalam Mardiasmo (2011: 1), pajak adalah:

“Pajak ialah iuran rakyat kepada kas Negara (peralihan kekayaan dari sektor partikulir ke sektor pemerintah berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (tegen prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membiyai pengeluaran umum.”

Berdasarkan pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sebagai berikut:

1. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.

2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.

3. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, digunakan untuk membiayai public investment.

2.1.1.2 Fungsi Pajak

Fungsi pajak adalah kegunaan pokok, manfaat pokok pajak, sebagai alat untuk menentukan politik perekonomian, pajak memiliki kegunaan dan manfaat pokok dalam meningkatkan kesejahteraan umum. Sebagaimana telah diketahui

(3)

ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak dari berbagai pengertian, terlihat adanya dua fungsi pajak menurut Siti Resmi (2013: 3), yaitu:

1. Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara)

Pajak mempunyai fungsi budgetair, artinya pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun pembangunan. Sebagai sumber keuangan negara, pemerintah berupaya memasukkan uang sebanyak-banyaknya untuk kas negara. Upaya ditempuh dengan ekstensifikasi maupun intensifikasi pemungutan pajak melalui penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan lain-lain. 2. Fungsi Regulerend (Pengatur)

Pajak mempunyai fungsi pengatur, artinya pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi, serta mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar bidang keuangan. Beberapa contoh penerapan pajak sebagai fungsi pengatur adalah:

1) Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah. Pajak penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dikenakan pada saat terjadi transaksi jual beli barang mewah. Makin mewah suatu barang maka tarif pajaknya makin tinggi sehingga barang tersebut makin mahal harganya. Pengenaan pajak ini dimaksudkan agar rakyat tidak berlomba-lomba untuk mengkonsumsi barang mewah (mengurangi gaya hidup mewah).

(4)

2) Tarif pajak progresif dikenakan atas penghasilan dimaksudkan agar pihak yang memperoleh penghasilan tinggi memberikan kontribusi (membayar pajak) yang tinggi pula, sehingga terjadi pemerataan pendapatan.

3) Tarif pajak ekspor sebesar 0% dimaksudkan agar para pengusaha terdorong mengekspor hasil produksinya di pasar dunia sehingga dapat memperbesar devisa negara.

4) Pembebasan pajak penghasilan atas sisa hasil usaha koperasi dimaksudkan untuk mendorong perkembangan koperasi di Indonesia. 5) Pemberlakuan tax holiday, dimaksudkan untuk menarik investor asing

agar menanamkan modalnya di Indonesia.

2.1.1.3 Jenis Pajak

Menurut Mardiasmo (2011: 6) pajak dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, sebagai berikut:

1. Menurut Golongannya

1) Pajak langsung, adalah pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak Penghasilan.

2) Pajak tidak langsung, adalah pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dapat dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai.

(5)

2. Menurut Sifat

Pembagian pajak menurut sifat dimaksudkan pembedaan dan pembagiannya berdasarkan ciri-ciri prinsip adalah sebagai berikut:

1) Pajak Subjektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh: Pajak Penghasilan.

2) Pajak objektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

.

3. Menurut Lembaga Pemungutannya

1) Pajak pusat, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Materai.

2) Pajak daerah, adalah pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah

.

Pajak Daerah terdiri atas:

(1) Pajak Propinsi, contoh: Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.

(6)

(2) Pajak Kabupaten/Kota, contoh: Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan.

2.1.1.4 Syarat Pemungutan Pajak

Menurut Mardiasmo (2011: 2), agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut:

1. Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan)

Dengan mengatur hak dan kewajiban para Wajib Pajak, pajak diberlakukan bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat sebagai Wajib Pajak, serta sanksi atas pelanggaran pajak diberlakukan secara umum sesuai dengan berat ringannya pelanggaran.

2. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (Syarat Yuridis) Pemungutan pajak yang dilakukan oleh Negara yang berdasarkan undang-undang tersebut harus dijamin kelancarannya, jaminan hukum bagi para Wajib Pajak untuk tidak diperlakukan secara umum dan jaminan hukum akan terjaganya kerahasiaan bagi para Wajib Pajak.

3. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis)

Pemungutan pajak jangan sampai merugikan kepentingan masyarakat dan menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan menengah. Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa

(7)

agar tidak mengganggu kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi, perdagangan, maupun jasa.

4. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansil)

Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan pajak harus diperhitungkan, jangan sampai pajak yang diterima lebih rendah daripada biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh karena itu, sistem pemungutan pajak harus sederhana dan mudah untuk dilaksanakan. Dengan demikian, Wajib Pajak tidak akan mengalami kesulitan dalam pembayaran pajak baik dari segi penghitungan maupun dari segi waktu.

5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana

Sistem yang sederhana akan memudahkan Wajib Pajak dalam menghitung beban pajak yang harus dibiayai sehingga akan memberikan dampak positif bagi para Wajib Pajak untuk meningkatkan kesadaran dalam pembayaran pajak. Sebaliknya jika sistem pemungutan pajak rumit, orang akan semakin enggan membayar pajak.

2.1.1.5 Tata Cara Pemungutan Pajak

Menurut Siti Resmi (2013: 8), tata cara pemungutan pajak terdiri atas stelsel pajak, asas pemungutan pajak, dan sistem pemungutan pajak.

1. Stelsel Pajak

(8)

1) Stelsel Nyata (Rill). Stelsel ini menyatakan bahwa pengenaan pajak didasarkan pada objek yang sesungguhnya terjadi (untuk PPh maka objeknya adalah penghasilan). Oleh karena itu, pemungutan pajaknya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yaitu setelah semua penghasilan yang sesungguhnya dalam suatu tahun pajak diketahui.

Kelebihan stelsel nyata adalah perhitungan pajak didasarkan pada penghasilan yang sesungguhnya sehingga lebih akurat dan realistis. Kekurangan stelsel nyata adalah pajak baru dapat diketahui pada akhir periode, sehingga:

(1) Wajib Pajak akan dibebani jumlah pembayaran pajak yang tinggi pada akhir tahun sementara pada waktu tersebut belum tentu tersedia jumlah kas yang memadai; dan

(2) semua Wajib Pajak akan membayar pajak pada akhir tahun sehingga jumlah uang beredar secara makro akan terpengaruh.

2) Stelsel Anggapan (Fiktif). Stelsel ini menyatakan bahwa pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Sebagai contoh, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan penghasilan tahun sebelumnya sehingga pajak yang terutang pada suatu tahun juga dianggap sama dengan pajak yang terutang pada tahun sebelumnya. Dengan stelsel ini berarti besarnya pajak yang terutang pada tahun berjalan sudah dapat ditetapkan atau diketahui pada awal tahun yang bersangkutan.

(9)

Kelebihan stelsel fiktif adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu sampai akhir tahun, misalnya pembayaran pajak dilakukan pada saat Wajib Pajak memperoleh pengasilan tinggi atau mungkin dapat diangsur dalam tahun berjalan. Kekurangannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasar pada keadaan yang sesungguhnya, sehingga penentuan pajak menjadi tidak akurat.

3) Stelsel Campuran. Stelsel ini menyatakan bahwa pengenaan pajak didasarkan pada kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak dihitung berdasar keadaan sesungguhnya. Jika besarnya pajak berdasar keadaan sesungguhnya lebih besar daripada besarnya pajak menurut anggapan, Wajib Pajak harus membayar kekurangan tersebut. Sebaliknya, jika besarnya pajak sesungguhnya lebih kecil daripada besarnya pajak menurut anggapan, kelebihan tersebut dapat diminta kembali (restitusi) ataupun dikompensasikan pada tahun-tahun berikutnya, setelah diperhitungkan dengan utang pajak yang lain.

2. Asas Pemungutan Pajak

Terdapat tiga asas pemungutan pajak, yaitu: 1) Asas Domisili (Asas Tempat Tinggal)

Asas ini menyatakan bahwa negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik

(10)

penghasilan yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak dalam negeri. Setiap Wajib Pajak yang berdomisili atau bertempat tinggal di wilayah Indonesia (Wajib Pajak Dalam Negeri) dikenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diperolehnya baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia.

2) Asas Sumber

Asas ini menyatakan bahwa negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak. Setiap orang yang memperoleh penghasilan di Indonesia dikenakan pajak atas penghasilan yang diperolehnya tadi.

3) Asas Kebangsaan

Asas ini menyatakan bahwa pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara. Misalnya pajak bangsa asing di Indonesia dikenakan atas setiap orang asing yang bukan berkebangsaan Indonesia tetapi bertempat tinggal di Indonesia.

3. Sistem Pemungutan Pajak

Memungut pajak dikenal beberapa sistem pemungutan, yaitu: 1) Official Assessment System

Sistem pemungutan pajak yang memberi kewenangan aparatur perpajakan untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Dalam sistem ini, inisiatif serta kegiatan menghitung dan memungut pajak

(11)

sepenuhnya berada di tangan para aparatur perpajakan. Dengan demikian, berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak banyak tergantung pada aparatur perpajakan (peranan dominan ada pada aparatur perpajakan).

2) Self Assessment System

Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang wajib pajak dalam menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Dalam sistem ini, inisiatif serta kegiatan menghitung dan memungut pajak sepenuhnya berada di tangan Wajib Pajak. Wajib Pajak ditanggap mampu menghitung pajak, mampu memahami undang-undang perpajakan yang sedang berlaku, dan mempunyai kejujuran yang tinggi, serta menyadari akan arti pentingnya membayar pajak. Oleh karena itu, Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk:

(1) Menghitung sendiri pajak terutang.

(2) Membayar sendiri jumlah pajak yang terutang. (3) Melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang, dan (4) Mempertanggungjawabkan pajak yang terutang

Dengan demikian, berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak tergantung pada Wajib Pajak sendiri (peranan dominan ada pada Wajib Pajak).

(12)

3) With Holding System

Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga yang ditunjuk untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Penunjukan pihak ketiga dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan, keputusan presiden, dan peraturan lainnya untuk memotong dan memungut pajak, menyetor dan mempertanggungjawabkan melalui sarana perpajakan yang tersedia. Berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak banyak tergantung pada pihak ketiga yang ditunjuk.

2.1.1.6 Hambatan Pemungutan Pajak

Menurut Diana Sari (2013: 50), perlawanan terhadap pajak yang dilakukan Wajib Pajak merupakan hambatan dalam pemungutan pajak, baik yang disebabkan oleh kondisi Negara dan masyarakat, maupun oleh usaha-usaha Wajib Pajak yang (disadari atau tidak) mempersulit pemasukan pajak sebagai sumber penerimaan Negara. Perlawanan terhadap pajak dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Perlawanan pasif

Perlawanan pasif berupa hambatan-hambatan yang mempersulit pemungutan pajak yang mempunyai hubungan erat dengan struktur ekonomi suatu Negara, perkembangan intelektual dan moral penduduk, serta sistem

(13)

dan cara pemungutan pajak itu sendiri. Masyarakat enggan (pasif) untuk membayar pajak, yang dapat disebabkan antara lain:

1) Perkembangan intelektual dan moral masyarakat

2) Sistem perpajakan yang (mungkin) sulit dipahami masyarakat 3) Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik 2. Perlawanan aktif

Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak. Bentuknya antara lain:

1) Tax avoidance, upaya penghindaran pajak yang dilakukan secara legal dan aman bagi Wajib Pajak karena tidak bertentangan dengan ketentuan perpajakan, dimana metode dan teknik yang digunakan cenderung memanfaatkan kelemahan-kelemahan (grey area) yang terdapat dalam undang-undang dan peraturan perpajakan itu sendiri, untuk memperkecil jumlah pajak yang terhutang. Penghindaran pajak dilakukan dengan tiga cara, yaitu:

(1) Menahan diri (2) Pindah lokasi

(3) Penghindaran pajak secara yuridis

2) Tax evasion (pengelakan pajak), upaya Wajib Pajak menghindari pajak terhutang secara ilegal dengan cara menyembunyikan keadaan yang sebenarnya. Cara ini tidak aman bagi Wajib Pajak, karena metode dan

(14)

teknik yang digunakan tidak berada dalam koridor undang-undang dan peraturan perpajakan.

3) Tax saving, upaya Wajib Pajak mengelak utang pajaknya dengan jalan menahan diri untuk tidak membeli produk-produk yang ada pajak pertambahan nilainya, atau dengan sengaja mengurangi jam kerja atau pekerjaan yang dapat dilakukannya sehingga penghasilannya menjadi lebih kecil dengan demikian terhindar dari pengenaan pajak penghasilan yang besar.

4) Pelimpahan Pajak

H. J. Hofstra, ahli hukum pajak dari Belanda, menambahkan bahwa salah satu bentuk perlawanan aktif pajak yaitu pelimpahan pajak. Hal ini biasa dilakukan oleh Wajib Pajak dengan melimpahkan kewajiban pajak langsungnya ke pihak lain atau pihak ketiga. Hal ini adalah pelanggaran undang-undang karena pajak langsung dikenakan kepada Wajib Pajak untuk Wajib Pajak itu sendiri tidak boleh dilimpahkan kepada orang lain.

2.1.2 Penagihan Pajak

2.1.2.1 Pengertian Penagihan Pajak

Pengertian Penagihan Pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 adalah:

(15)

“Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan dan menjual barang yang telah disita.”

Adapun pengertian Penagihan Pajak menurut Gunadi (2011: 48) yaitu sebagai berikut:

“Penagihan pajak adalah upaya menagih utang pajak yang belum dibayar (tunggakanpajak) wajib pajak yang tercantum dalam ketetapan pajak”. Sedangkan menurut Diana Sari (2013: 264) penagihan pajak adalah:

“Serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan dan menjual barang yang telah disita”.

Apabila dilihat dari pengertian-pengertian penagihan pajak di atas, maka terdapat 4 (empat) unsur yang terbagi antara lain:

1. Serangkaian tindakan

Serangkaian tindakan dimaksud bahwa penagihan dilakukan tahap demi tahap dari diterbitkannya Surat Teguran, Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan dan Permohonan untuk waktu, tempat, tanggal, dan bulan pelelangan pada Kantor Lelang Negara.

2. Aparatur Direktorat Jenderal Pajak

Aparatur Direktorat Jenderal Pajak yang dimaksud adalah Jurusita Pajak negara yang telah memenuhi syarat yang telah ditentukan, telah mendapat

(16)

pendidikan khusus, diangkat serta telah disumpah lebih dahulu sebelum bertugas.

3. Wajib Pajak tidak melunasi sebagian/seluruh kewajiban perpajakan

Wajib Pajak tidak melunasi sebagian/seluruh kewajiban perpajakan yaitu utang pajak yang terdapat dalam STP (Surat Tagihan Pajak), SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar), SKPKBT (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan).

4. Menurut Undang-Undang Perpajakan

Menurut Undang-Undang Perpajakan ialah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan dengan Surat Paksa.

2.1.2.2 Pejabat dan Jurusita Pajak

Menurut Mardiasmo (2016: 151) pejabat adalah pejabat yang berwenang mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak, menerbitkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah melaksanakan Penyitaan, Surat Pencabutan Sita, Pengumuman Lelang, Surat Penentuan Harga Limit, Pembatalan Lelang, Surat Perintah Penyanderaan, dan surat lain yang diperlukan untuk penagihan pajak sehubungan dengan Penanggung Pajak tidak melunasi sebagian atau seluruh Utang Pajak menurut undang-undang dan peraturan daerah.

(17)

Menteri Keuangan menunjuk pejabat untuk penagihan pajak pusat. Kepala Daerah berwenang menunjuk pejabat untuk penagihan pajak daerah. Jurusita pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan. Tugas Jurusita Pajak:

1. Melaksanakan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus; 2. memberitahukan Surat Paksa;

3. melakanakan penyitaan atas barang Penanggung Pajak berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan; dan

4. melaksanakan penyanderaan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan. Dalam melaksanakan penyitaan, Jurusita Pajak berwenang memasuki dan memeriksa semua ruangan termasuk membuka lemari, laci, dan tempat lain untuk menemukan objek sita di tempat usaha, di tempat kedudukan, atau tempat tinggal Penanggung Pajak, atau di tempat lain yang dapat diduga sebagai tempat penyimpanan objek sita.

2.1.2.3 Penagihan Seketika dan Sekaligus

Menurut Mardiasmo (2016: 152) penagihan seketika dan sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh jurusita pajak kepada penanggung pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, masa pajak, dan tahun pajak. Jurusita pajak melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus berdasarkan surat perintah

(18)

penagihan seketika dan sekaligus. Surat Penagihan Seketika dan Sekaligus diterbitkan apabila:

1. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;

2. penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaannya yang dilakukan di Indonesia;

3. terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya, atau menggabungkan usahanya, atau memamerkan usahanya, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya;

4. badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau

5. terjadinya penyitaan atau barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.

Surat perintah penagihan seketika dan sekaligus sekurang-kurangnya memuat:

1. Nama Wajib Pajak atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak; 2. besarnya Utang Pajak;

3. perintah untuk membayar; dan 4. saat pelunasan pajak.

Surat perintah penagihan seketika dan sekaligus diterbitkan sebelum penerbitan Surat Paksa.

(19)

2.1.2.4 Dasar Penagihan Pajak

Berdasarkan Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 Pasal 18 Ayat (1) Tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang menjadi dasar dalam penagihan pajak adalah:

1. Surat Tagihan Pajak (STP)

Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.

2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.

3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan. 4. Surat Keputusan Pembetulan

Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam Surat Ketetapan Pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi,

(20)

Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga.

5. Surat Keputusan Keberatan

Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap surat ketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.

6. Putusan Banding

Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak. 7. Putusan Peninjauan Kembali

Putusan Peninjauan Kembali adalah putusan Mahkamah Agung atas permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Wajib Pajak atau oleh Direktur Jenderal Pajak terhadap Putusan Banding atau Putusan Gugatan dari badan peradilan pajak.

2.1.2.5 Jenis-jenis Penagihan Pajak

Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000, tindakan penagihan pajak yang dilakukan oleh fiskus terhadap Wajib Pajak dan atau penanggung pajak dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara berikut ini:

(21)

1. Penagihan Pasif

Penagihan Pasif yaitu penagihan yang dilakukan oleh fiskus sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran dari surat tagihan pajak, surat ketetapan pajak kurang bayar, surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan atau sejenisnya, surat keputusan pembetulan, surat keputusan keberatan, putusan banding yang mengakibatkan jumlah pajak yang kurang bayar, surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan atau sejenisnya, surat keputusan pembetulan, surat keputusan keberatan, putusan banding yang mengakibatkan jumlah pajak yang kurang dibayar melalui imbalan, baik dengan surat maupun dengan telepon atau media lainnya.

2. Penagihan Aktif

Penagihan aktif yaitu penagihan yang dilakukan oleh fiskus setelah tanggal jatuh tempo pembayaran dari Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) atau sejenisnya, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding yang mengakibatkan jumlah pajak yang kurang bayar tidak dilunasi oleh Wajib Pajak sehingga diterbitkan jumlah pajak yang kurang bayar tidak dilunasi oleh Wajib Pajak sehingga diterbitkan Surat Teguran, Surat Paksa, Surat Perintah Melakukan Penyitaan hingga pelaksanaan penjualan barang yang disita melalui lelang barang milik penanggung pajak.

(22)

2.1.2.6 Tahapan Penagihan Pajak

Menurut Diana Sari (2013: 264), apabila utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran belum dilunasi, akan dilakukan tindakan penagihan pajak sebagai berikut:

1. Surat Teguran

1) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruhnya jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan Wajib Pajak tidak mengajukan keberatan atas SKPKB atau SKPKBT, kepada Wajib Pajak disampaikan Surat Teguran setelah lewat 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan keberatan;

2) dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dan Wajib Pajak mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan sehubungan dengan SKPKB atau SKPKBT, kepada Wajib Pajak disampaikan Surat Teguran setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan banding;

3) dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dan pengajuan permohonan banding atas keputusan keberatan sehubungan dengan SKPKB atau SKPKBT, kepada Wajib Pajak disampaikan Surat Teguran setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo

(23)

pelunasan pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Putusan Banding;

4) dalam hal Wajib Pajak menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, kepada Wajib Pajak disampaikan Surat teguran setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pelunasan;

5) dalam hal Wajib Pajak mencabut pengajuan keberatan atas SKPKB atau SKPKBT setelah tanggal jatuh tempo pelunasan tetapi sebelum tanggal diterima Surat Pemberitahuan untuk hadir oleh Wajib Pajak, kepada Wajib Pajak disampaikan Surat Teguran setelah 7 (tujuh) hari sejak tanggal pencabutan pengajuan keberatan tersebut; dan

6) dalam rangka Penagihan Pajak atas utang Bumi dan Bangunan dan/atau Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang tercantum dalam STPPBB, SKBKB, SKBKBT, STB atau Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, kepada WP disampaikan Surat Teguran setelah 7 (tujuh) hari sejak tanggal jatuh tempo pelunasan. Penyampaian Surat Teguran dapat dilakukan secara langsung, melalui pos atau melalui jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.

(24)

2. Surat Paksa

Utang Pajak setelah lewat 21 (dua puluh satu) hari dari tanggal Surat teguran tidak dilunasi, diterbitkan Surat Paksa yang diberitahukan oleh Jurusita Pajak dengan dibebani biaya penagihan pajak dengan Surat Paksa sebesar Rp 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah). Utang pajak harus dilunasi dalam jangka waktu 2 x 24 jam setelah Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak.

3. Surat Sita

Utang Pajak dalam jangka waktu 2 x 24 jam setelah Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak tidak dilunasi, Jurusita Pajak dapat melakukan tindakan penyitaan, dengan dibebani biaya pelaksanaan Surat Perintah Melakukan Penyitaan sebesar Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah). 4. Lelang

Dalam jangka waktu paling singkat 14 (empat belas) hari setelah tindakan penyitaan, utang pajak belum juga dilunasi akan dilanjutkan dengan pengumuman lelang melalui media massa. Pengumuman lelang untuk barang bergerak dilakukan 1 (satu) kali dan untuk barang tidak bergerak dilakukan 2 (dua) kali. Penjualan secara lelang melalui Kantor Lelang Negara terhadap barang yang disita, dilaksanakan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah pengumuman lelang. Dalam hal biaya penagihan paksa dan biaya pelaksanaan sita belum dibayar maka dibebankan bersama-sama dengan biaya iklan untuk pengumuman lelang dalam surat kabar dan biaya

(25)

lelang pada saat pelelangan. Catatan barang dengan nilai paling banyak Rp 20.000.000 (dua puluh juta rupiah) tidak harus diumumkan melalui media massa.

Gambar 2.1

Tahap dan Jadwal Waktu Pelaksanaan Penagihan Pajak

7 hari 21 hari

Jatuh tempo 2x24 jam

14 hari 14 hari

Sumber: Pedoman Penagihan Pajak Tahun 2009

2.1.2.7 Pengertian Surat Paksa

Surat paksa sesuai Pasal 1 angka 21 (UU KUP) dan Pasal 1 angka 12 (UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa) menyatakan bahwa:

“Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.” STP SKPKB SKPKBT SK Pembetulan SK Keberatan Putusan Banding Surat Teguran SPMP/Penyitaan Pengumuman Lelang Pelaksanaan Lelang Surat Paksa

(26)

Sedangkan pengertian Surat Paksa menurut Mardiasmo (2016:123) adalah: “Surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak. Surat Paksa mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap” Dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 menurut Abuyamin (2015: 168), Penagihan Pajak dengan Surat Paksa diatur sebagai berikut

“Penagihan pajak dengan surat paksa atas jumlah pajak yang masih harus dibayar, yang berdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) dilaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.”

Sedangkan menurut penjelasan Pasal 20 ayat (1) apabila jumlah utang pajak tidak atau kurang dibayar sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran atau sampai dengan tanggal jatuh tempo penundaan pembayaran, atau wajib pajak tidak memenuhi angsuran pembayaran pajak, penagihannya dilaksanakan dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Penagihan pajak dengan Surat Paksa tersebut dilaksanakan terhadap Penanggung Pajak.

Menurut Diaz Priantara (2012: 115) adapun indikator untuk penagihan pajak dengan surat paksa adalah jumlah nominal surat paksa yang dikeluarkan. Maka penulis akan meneliti jumlah nominal surat paksa yang dikeluarkan oleh Kantor Pelayanan Pajak Madya Bandung.

(27)

2.1.2.8 Penerbitan dan Pemberitahuan Surat Paksa

Menurut Mardiasmo (2016: 153) Surat Paksa diterbitkan apabila:

1. Penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis;

2. terhadap Penanggung Pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus; atau

3. penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.

Dalam Surat Paksa terdapat 2 (dua) perintah. Perintah pertama ditujukan kepada Penanggung Pajak agar melakukan pelunasan utang pajak dan biaya penagihan dalam jangka waktu 2 x 24 jam. Dan kepada Jurusita yang melaksanakan Surat Paksa atau Jurusita Pajak lain yang ditunjuk untuk melanjutkan pelaksanaan Surat Paksa untuk melakukan penyitaan atas barang-barang milik Wajib Pajak/Penanggung Pajak apabila dalam waktu 2 x 24 jam Surat Paksa ini tidak dipenuhi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak.

Surat Paksa berdasarkan Pasal 12 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 24/PMK.03/2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2010 dapat diterbitkan dalam hal:

1. Penanggung Pajak telah dilaksanakan Penagihan Seketika dan Sekaligus; atau

2. penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.

(28)

Pemberitahuan Surat Paksa diatur dalam pasal 10 (UU Penagihan Pajak) yaitu Surat Paksa diberitahukan oleh jurusita pajak dengan pernyataan dan penyerahan salinan Surat Paksa kepada penanggung pajak. Pemberitahuan Surat Paksa kepada penanggung pajak oleh jurusita pajak dilaksanakan dengan cara membacakan isi Surat Paksa dan kedua belah pihak menandatangani berita acara sebagai pernyataan bahwa Surat Paksa telah diberitahukan. Selanjutnya salinan Surat Paksa diserahkan kepada penanggung pajak dan Surat Paksa yang asli diserahkan disimpan di kantor pejabat.

2.1.2.9 Daluwarsa Penagihan Pajak dengan Surat Paksa

Menurut Pedoman Penagihan Pajak tahun 2009 Daluwarsa Penagihan Pajak dengan Surat Paksa adalah:

“Surat paksa yang diterbitkan apabila jumlah utang pajak tidak dilunasi oleh Penanggung Pajak setelah lewat waktu 21 hari sejak tanggal disampaikan Surat Teguran, kecuali apabila terhadap Penanggung Pajak yang telah diterbitkan Surat Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa dapat segera diterbitkan tanpa menunggu lewat tenggang waktu 21 hari sejak saat Surat Teguran diterbitkan.”

UU PPSP tidak mengatur secara eksplisit kapan Surat Paksa paling lambat diterbitkan, namun dari bunyi ketentuan Pasal 21 ayat (4) dan (5) huruf a UU KUP dapat diartikan bahwa Surat Paksa harus sudah diterbitkan sebelum lampau waktu 5 tahun sejak tanggal diterbitkannya STP, SKPKB, SKPKBT, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah (kaitannya dengan hak mendahulu).

(29)

Menurut Mardiasmo (2016: 56) daluwarsa penagihan pajak tertanggung apabila:

1. Diterbitkan Surat Paksa;

2. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung;

3. diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam; atau

4. dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan

2.1.3 Tunggakan Pajak

Dalam rangka mendukung tercapainya rencana Pencairan Tunggakan Pajak, perlu dilaksanakan intensifikasi kegiatan penagihan pajak secara terpadu, profesional dan berhasil guna. Oleh karena itu, perlu diupayakan pengurangan tunggakan pajak secara optimal melalui peningkatan kegiatan operasional penagihan. Pengertian tunggakan pajak atau utang pajak dikemukakan Kurniawan dan Pamungkas (2006: 1) adalah sebagai berikut:

“Utang pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak atau Surat Peraturan Perundang-undangan Perpajakan.” Berdasarkan pengertian di atas bahwa tunggakan/utang pajak merupakan suatu pajak yang belum dapat dibayar oleh wajib pajak dalam masa tagihan pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan

.

(30)

2.1.3.1 Pencairan Tunggakan Pajak

Sebagaimana hanya dengan perikatan umum lainnya, Pencairan Tunggakan Pajak adalah pembayaran utang pajak sebesar yang masih harus dibayar sesuai administrasi di kantor pajak (Prastowo, 2009: 164). Adapun menurut Waluyo (2013: 64) pencairan tunggakan pajak adalah jumlah pembayaran atas tunggakan pajak yang dapat terjadi karena :

1. Pembayaran dengan menggunakan SSP (Surat Setoran Pajak)

Pembayaran dengan menggunakan SSP (Surat Setoran Pajak) untuk pelunasan piutang pajak yang terdafatar dalam STP/SKPKB/SKPKBT/SK Pembetulan/SK Keberatan/Putusan Banding yang mengakibatkan bertambahnya piutang pajak.

2. Pemindahbukuan (Pbk)

Pemindahbukuan (Pbk). Sebenarnya wajib pajak sudah membayar tunggakan pajaknya, tapi salah nomor rekening sehingga dianggap belum melunasi tunggakan pajaknya. Oleh karena itu dilakukan pemindahbukuan. 3. Pengajuan permohonan pembetulan

Pengajuan permohonan pembetulan yang dikabulkan atas surat teguran/surat peringatan/surat lain yang sejenis, surat penagihan seketika dan sekaligus, surat paksa, surat perintah melakukan penyitaan (SPMP), surat perintah penyanderaan, pengumuman lelang dan surat penentuan harga limit yang dalam perhitungannya terdapat kesalahan/kekeliruan yang mengakibatkan berkurangnya jumlah piutang.

(31)

4. Pengajuan keberatan / banding

Pengajuan keberatan/banding yang dikabulkan atas SKPKB/SKPKBT yang mengakibatkan berkurangnya jumlah piutang pajak.

5. Penghapusan piutang

Dilakukan karena piutang pajak sudah tidak mungkin lagi ditagih, penyebabnya antara lain karena wajib pajak dan atau penanggung pajak sudah meninggal dunia, dan tidak mempunyai harta warisan; wajib pajak dan atau penanggung pajak sudah tidak mempunyai kekayaan lagi dan hak untuk melakukan penagihan pajak sudah daluarsa.

6. Wajib pajak pindah

Wajib pajak pindah artinya wajib pajak pindah alamat dan tidak dapat ditemukan lagi. Dapat pula wajib pajak pindah alamat sehingga tunggakan pajak dialihkan kepada KPP yang menangani di alamat yang baru.

Menurut Diaz Priantara (2012: 135), indicator pencairan tunggakan pajak yaitu jumlah realisasi tunggakan pajak. Jumlah utang pajak termasuk sanksi administrasi berupa bunga yang belum dilunasi oleh wajib pajak. maka penulis akan meneliti jumlah realisasi pencairan atau pelunasan tunggakan pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Madya Bandung.

2.1.4 Penerimaan Pajak

Pembangunan yang sedang dilaksanakan oleh negara kita tidak terlepas dari peran aktif dari pajak, karena sektor pajak telah menjadi penerimaan bagi negara

(32)

yang cukup kompeten. Pencairan atau pendapatan adalah suatu hasil yang ingin dicapai oleh setiap perusahaan secara optimal.

Menurut Kementrian Keuangan Republik Indonesia (2009), menyatakan bahwa:

“Penerimaan perpajakan merupakan sumber pendapatan yang utama dalam APBN. Selama lima tahun terakhir, penerimaan perpajakan rata-rata sekitar 70 persen dari total pendapatan Negara. Hal ini menujukan bahwa peran pajak dalam membiayai APBN semakin besar untuk masa depan yang akan datang karena pemerintah ingin mengurangi peran utang dalam mendanai APBN karena peranan pajak semakin penting maka penerimaan perpajakan membutuhkan sistem pengolahan yang semakin baik sehingga penerimaan perpajakan semakin optimal sesuai dengan kondisi ekonomi dan kemampuan masyarakat.”

Sedangkan pengertian penerimaan pajak menurut John Hutagaol (2007: 325) adalah:

“Penerimaan pajak merupakan sumber penerimaan yang dapat diperoleh secara terus-menerus dan dapat dikembangkan secara optimal sesuai kebutuhan pemerintah serta kondisi masyarakat”.

Penerimaan berasal dari kata terima yang berarti mendapat (memperoleh sesuatu), sedangkan penerimaan berarti perbuatan menerima. Maka dapat disimpulkan bahwa penerimaan pajak merupakan jumlah kontribusi masyarakat yang dipungut berdasarkan Undang-Undang yang diterima oleh negara dalam suatu masa yang akan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

(33)

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa penerimaan dapat menjadi sumber pembiayaan pembangunan unuk kemandirian pembiayaan pemerintah dan dilaksanakan secara efektif dan efisien. Penerimaan pajak yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penerimaan pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Madya Bandung.

Menurut Euphrasia Susy Suhendra (2010: 2) peningkatan penerimaan pajak diukur dalam besarnya pajak yang terealisasi dalam tahun pajak berjalan merupakan skala nominal. Maka indikator dalam penerimaan pajak yang dimaksud dalam penelitian ini adalah realisasi penerimaan pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Madya Bandung.

2.1.4.1 Faktor-faktor Penerimaan Pajak

Menurut Siti Kurnia Rahayu (2010: 27) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak adalah sebagai berikut:

1. Kepastian Peraturan Perundang-Undangan dalam Bidang Perpajakan

Undang-undang haruslah jelas, sederhana dan mudah dimengerti, baik oleh fiskus, maupun oleh pembayar pajak. Timbulnya konflik mengenai interpretasi atau tafsiran mengenai pemungutan pajak akan berakibat pada terhambatnya pembayaran pajak itu sendiri. Di sisi lain, pembayar pajak akan merasa bahwa sistem pemungutan sangat berbelit-belit dan cenderung merugikan dirinya sebagai pembayar pajak.

(34)

2. Kebijakan pemerintah dalam mengimplementasikan undang–undang perpajakan merupakan suatu cara atau alat pemerintah di bidang perpajakan yang memiliki suatu sasaran tertentu atau untuk mencapai suatu tujuan tertentu di bidang sosial dan ekonomi.

3. Sistem administrasi perpajakan yang tepat hendaklah merupakan prioritas tertinggi karena kemampuan pemerintah untuk menjalankan fungsinya secara efektif bergantung kepada jumlah uang yang dapat diperolehnya melalui pemungutan pajak.

4. Kualitas pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah beserta aparat perpajakan merupakan hal yang sangat penting dalam upaya optimalisasi penerimaan pajak.

5. Kesadaran dan pemahaman warga negara akan rasa nasionalisme tinggi, kepedulian kepada bangsa dan negara, serta tingkat pengetahuan perpajakan masyarakat yang memadai, maka secara umum akan makin mudah bagi wajib pajak untuk patuh kepada peraturan perpajakan.

6. Kualitas petugas pajak sangat menentukan efektifitas undang–undang dan peraturan perpajakan. Petugas pajak memiliki reputasi yang baik sepanjang yang menyangkut kecakapan teknis, efisien, dan efektif dalam hal kecepatan, tepat dan keputusan yang adil.

(35)

2.2 Penelitian Terdahulu

Tabel 2.1

Studi Empiris dengan Penelitian Terdahulu No. Judul Penelitian

(Peneliti/Tahun)

Metode Penelitian Hasil Penelitian Persamaan Perbedaan 1. Pengaruh Kewajiban Kepemilikan NPWP, Pemeriksaan Pajak, Penagihan Pajak, Surat Paksa Pajak dan Kesadaran Wajib Pajak Terhadap Penerimaan Pajak Budi Sutrisno, dkk (2016) Penagihan Pajak, Surat Paksa, Penerimaan Pajak Kewajiban Kepemilikan NPWP, Pemeriksaan Pajak, Kesadaran Wajib Pajak Kepemilikan NPWP, pemeriksaan pajak, penagihan pajak, surat paksa pajak dan kesadaran wajib pajak terbukti berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak. 2. Pengaruh Kepatuhan Wajib Pajak dan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Terhadap Penerimaan Pajak Indriasari (2015) Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, Penerimaan Pajak Kepatuhan Wajib Pajak

Kepatuhan wajib pajak dan penagihan pajak dengan surat paksa berpengaruh terhadap penerimaan pajak. 3. Pengaruh Pencairan Tunggakan Pajak Terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi Nugrah Maulana (2015) Pencairan Tunggakan Pajak Penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi Pencairan tunggakan pajak tidak berpengaruh terhadap penerimaan pajak orang pribadi pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama

(36)

4. Pengaruh Pemeriksaan dan Penagihan Pajak Terhadap Penerimaan Pajak Ahmad Fahrul (2016) Penerimaan Pajak Pemeriksaan Pajak, Penagihan Pajak Variabel pemeriksaan pajak dan penagihan pajak tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak. 5. Pengaruh Kualitas Pelayanan Perpajakan Terhadap Kepuasan Wajib Pajak, Kepatuhan

Wajib Pajak, dan Penerimaan Pajak Sixvana Silalahi, dkk (2015) Penerimaan Pajak Kualitas Pelayanan Perpajakan, Kepuasan Wajib Pajak, Kepatuhan Wajib Pajak Kualitas pelayanan perpajakan berpengaruh signifikan terhadap kepuasan wajib pajak badan dan kepatuhan wajib pajak badan, serta kepuasan wajib pajak dan kepatuhan wajib pajak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Madya Malang. 6. Pengaruh Penagihan Pajak dan Pencairan Tunggakan Pajak Terhadap Penerimaan Pajak Desi S Patimah (2016) Pencairan Tunggakan Pajak, Penerimaan Pajak Penagihan Pajak Menunjukan bahwa secara parsial dan simulta penagihan pajak dan pencairan tunggakan pajak berpengaruh terhadap penerimaan pajak pada KPP Pratama Majalaya.

(37)

2.3 Kerangka Pemikiran

2.3.1 Pengaruh Penagihan Pajak dengan Surat Paksa terhadap Penerimaan Pajak

Pengaruh Penagihan Pajak terhadap Penerimaan Pajak menurut Mardiasmo (2009: 121) menyatakan:

“Surat paksa digunakan untuk melakukan penagihan atas utang pajak dan biaya-biaya penagihannya, dimana dengan diterbitkannya surat paksa WP dipaksa untuk membayar tunggakan pajak sehingga dapat meningkatkan penerimaan pajak.”

Sedangkan Menurut Waluyo (2011: 93) adalah sebagai berikut:

“Kegiatan penagihan pajak atas utang pajak kepada wajib pajak bersifat terstruktur sehingga wajib pajak melunasi utang pajak dan biaya administrasinya, sehingga dapat meningkatkan penerimaan pajak.”

Upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak adalah dengan melakukan penagihan pajak dengan surat paksa. Dengan adanya penagihan pajak dengan surat paksa maka wajib pajak yang masih mempunyai utang pajak akan dipaksa untuk segara membayar utangnya sesuai dengan kesepakatan antara wajib pajak dan jurusita pajak dengan waktu yang sudah ditentukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga penerimaan pajak dapat bertambah.

Hal ini didukung oleh hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Budi Sutrisno, dkk (2016) menyatakan bahwa surat paksa pajak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak. Indriasari (2015) juga menyatakan dalam penelitian

(38)

sebelumnya bahwa penagihan pajak dengan surat paksa berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak. Jadi, semakin baik implementasi pelaksanaan penagihan pajak dengan surat paksa maka semakin tinggi penerimaan pajak.

2.3.2 Pengaruh Pencairan Tunggakan Pajak terhadap Penerimaan Pajak Pengaruh Pencairan Tunggakan Pajak terhadap Penerimaan Pajak menurut John Hutagaol (2007: 365) menyatakan :

“Pajak terutang yang tidak dilunasi oleh wajib pajak akan terakumulasi menjadi tunggakan pajak yang berpotensi mengurangi penerimaan pajak, sehingga perlu dilakukannya pencairan tunggakan pajak agar penerimaan pajak bisa terealisasi”.

Sedangkan menurut Waluyo (2003: 238) adalah sebagai berikut :

“Perkembangan jumlah tunggakan pajak dari waktu ke waktu menunjukan jumlah yang sangat besar, peningkatan jumlah tunggakan pajak ini belum diimbangi dan kegiataan pencairannya, namun dengan demikian secara umum penerimaan pajak di bidang perpajakan semakin meningkat terhadap tunggakan pajak maka perlu dilaksanakan penagihan”

Pencairan tunggakan pajak memiliki pengaruh terhadap penerimaan pajak. Penagihan pajak yang terutang oleh wajib pajak harus dilakukan untuk tercapainya realisasi pencairan tunggakan pajak yang mengakibatkan penerimaan pajak negara bertambah. Jika dari waktu ke waktu menunjukan bahwa penagihan pajak dapat bekerja dengan efektif terhadap wajib pajak, maka wajib pajak akan segera melunasi tunggakan pajaknya, dan pencairan tunggakan pajak memiliki potensi dalam merealisasikan targetnya. Hal ini tentu akan sangat membantu pencapaian target terhadap penerimaan pajak setiap tahunnya.

(39)

Hal ini didukung oleh hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Desi S Patimah (2016) bahwa secara parsial pencairan tunggakan pajak berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak.

Gambar 2.2 Paradigma Penelitian

Keterangan:

: Parsial : Simultan Penagihan Pajak dengan

Surat Paksa (X1)

Pencairan Tunggakan Pajak (X2)

(40)

2.4 Hipotesis Penelitian

Menurut Uma Sekaran (2006: 135) mengemukakan pengertian hipotesis sebagai berikut:

“Hipotesis adalah hubungan yang diperkirakan secara logis diantara dua atau lebih variabel yang diungkapkan dalam bentuk pernyataan yang dapat diuji”.

Berdasarkan kerangka pemikiran maka penulis merumuskan hipotesis yang merupakan kesimpulan sementara dari penelitian sebagai berikut:

1. Secara Parsial:

Ha1 : Penagihan Pajak dengan Surat Paksa berpengaruh terhadap Penerimaan Pajak

Ha2 : Pencairan Tunggakan Pajak berpengaruh terhadap Penerimaan Pajak 2. Secara Simultan:

Ha : Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dan Pencairan Tunggakan Pajak berpengaruh terhadap Penerimaan Pajak.

Gambar

Gambar 2.2 Paradigma Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Luaran yang telah dicapai atas Program Kemitraan Masyarakat (PKM) ini yaitu metode manajemen kas rumah tangga, menumbuhkan rumah tangga yang memiliki manajemen kas yang

Menurut Yusuf (2005: 140) menjelaskan bahwa siswa dikenalkan dengan membaca teknis atau proses decoding yang ditandai dengan pengenalan simbol-simbol tertulis

Kepuasan responden di Instalasi Rawat Inap RSUD Tugurejo Semarang kategori tinggi adalah 38 responden ( 38 % ) dan kategori sedang 62 responden ( 62 % ), dengan

Partisipan pertama menilai bahwa meskipun saat ini keadaan sebagai ayah tunggal tidak ideal bagi dirinya untuk menjalankan pengasuhan, akan tetapi dengan adanya pengalaman

Pasal-pasal dari Konstitusi RIS yang memungkinkan dilaksanakannya penggabungan daerah dan negara bagian ke dalam daerah dan negara bagian yang lain adalah pasal ….. Syarat

Jumlah produk yang dihasilkan dalam Jumlah produk yang dihasilkan dalam suatu sintesis kimia dikenal dengan suatu sintesis kimia dikenal dengan istilah.. istilah perolehan

perempuan yang mengalami pelecehan seksual oleh narasumber dari pemerintah provinsi dan aggota DPRD (www.Remotivi.or.id, 2019 diakses pkl 18.00). Fenomena yang terjadi pada

berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang positif antara lama menstruasi terhadap kadar hemoglobin pada Mahasiswi Di Prodi D-III Kebidanan