• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.2 Tujuan Umum Menambah pengetahuan mengenai Bhinneka Tunggal Ika serta menerapkannya di kehidupan berbangsa dan bernegara baik bagi si pembaca

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "1.2 Tujuan Umum Menambah pengetahuan mengenai Bhinneka Tunggal Ika serta menerapkannya di kehidupan berbangsa dan bernegara baik bagi si pembaca"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Tema yang saya ambil untuk makalah ini adalah “Bhinneka Tunggal Ika”, alasan saya menggunakan tema ini adalah karena seperti yang sudah diketahui bahwa Bhineka Tunggal Ika merupakan semboyan negara Indonesia sebagai dasar untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan Indonesia, dimana kita harus dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari yaitu hidup saling menghargai antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya tanpa memandang suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, warna kulit dan lain-lain. Oleh karena itu, sebagai warga Negara yang baik seharusnya kita menjaga Bhineka Tunggal Ika dengan sebaik-baiknya agar persatuan bangsa dan negara Indonesia tetap terjaga dan kita pun harus sadar bahwa menyatukan bangsa ini memerlukan perjuangan yang panjang yang dilakukan oleh para pendahulu kita dalam menyatukan wilayah republik Indonesia menjadi negara kesatuan.

Bhinneka Tunggal Ika ini terbentuk untuk mempersatukan bangsa Indonesia dengan keanekaragaman perbedaan, namun akhir – akhir ini bangsa Indonesia mulai kehilangan makna dari “Bhinneka Tunggal Ika”. Banyak kekerasan terjadi yang didasarkan karena budaya, contohnya peperangan antar suku, tawuran antar pelajar, tampak kecondongan terpecah belah, individualis, tidak lagi muncul sifat tolong menolong atau gotong royong, banyak anak muda yang tidak mengenal Bhinneka Tunggal Ika, banyak orang tua lupa akan kata-kata Bhinneka Tunggal Ika, dan masih banyak lagi contoh – contoh nyata dari negara ini mengenai merosotnya makna “Bhinneka Tunggal Ika”, sehingga semangat “Bhinneka Tunggal Ika” perlu untuk disosialisasikan lagi.

Maka dengan adanya makalah ini semoga para pembaca mampu mengetahui, mengerti, memahami serta mengaplikasikan nilai – nilai dari “Bhinneka Tunggal Ika”, sehingga bangsa Indonesia ini kembali menjadi bangsa Indonesia yang multikiultural dengan negara majemuk. Sehingga mampu meningkatkan rasa solidaritas dan rasa seperjuangan untuk mencapai cita – cita Indonesia dan mampu mengurangi kekerasan – kekerasan yang didasarkan oleh budaya seperti tawuran dan lain lain.

(2)

2 1.2 Tujuan Umum

 Menambah pengetahuan mengenai Bhinneka Tunggal Ika serta menerapkannya di kehidupan berbangsa dan bernegara baik bagi si pembaca maupun sipenulis

1.3 Tujuan khusus

 Membuat pembaca mengetahui pengertian dari Bhinneka Tunggal Ika  Membuat pembaca mengetahui sejarah Bhinneka Tunggal Ika

 Membuat pembaca mengetahui makna Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara Indonesia

 Membuat pembaca mengetahui sejarah Bhinneka Tunggal Ika sebagai jati diri bangsa Indonesia

 Membuat pembaca mengetahui hubungan demokrasi pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai solusi heterogenitas

 Membuat pembaca mengetahui penyebab lunturnya nilai Bhinneka Tunggal Ika saat ini

(3)

3 BAB II

Tinjauan Pustaka

2.1 Definisi Bhinneka Tunggal Ika

Bhinneka Tunggal Ika adalah moto atau semboyan Indonesia. Frasa ini berasal dari bahasa Jawa Kuno dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu”. Diterjemahkan per patah kata, kata “bhinneka” berarti "beraneka ragam" atau “berbeda-beda”. Kata “neka” dalam bahasa Sanskerta berarti "macam" dan menjadi pembentuk kata "aneka" dalam Bahasa Indonesia. Kata tunggal berarti "satu". Kata ika berarti "itu". Secara harfiah Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan "Beraneka Satu Itu", yang bermakna meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan.

2.2 Sejarah Bhinneka Tunggal Ika

Sebelumnya semboyan yang dijadikan semboyan resmi Negara Indonesia sangat panjang yaitu Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa. Semboyan Bhineka Tunggal Ika dikenal untuk pertama kalinya pada masa Majapahit era kepemimpinan Wisnuwardhana. Perumusan semboyan Bhineka Tunggl Ika ini dilakukan oleh Mpu Tantular dalam kitab Sutasoma. Perumuan semboyan ini pada dasarnya merupakan pernyataan kreatif dalam usaha mengatasi keanekaragaman kepercayaan dan keagamaan. Hal itu dilakukan sehubungan usaha bina Negara kerajaan Majapahit saat itu. Semboyan Negara Indonesia ini telah memberikan nilai-nilai inspiratif terhadap system pemerintahan pada masa kemerdekaan. Bhineka Tunggal Ika pun telah menumbuhkan semangat persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indoesia. Dalam kitab Sutosoma, definisi Bhineka Tunggal Ika lebih ditekankan pada perbedaan dalam hal kepercayaan dan keaneragaman agama yang ada di kalangan masyarakat Majapahit. Namun, sebagai semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia, konsep Bhineka Tunggal Ika bukan hanya

(4)

4

perbedaan agama dan kepercayaan menjadi fokus, tetapi pengertiannya lebih luas. Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan Negara memiliki cakupan lebih luas, seperti perbedaan suku, bangsa, budaya (adat-istiadat), beda pulau, dan tentunya agama dan kepercayaan yang menuju persatuan dan kesatuan Negara.

Seluruh perbedaan yang ada di Indonesia menuju tujuan yang satu atau sama, yaitu bangsa dan Negara Indonesia. Berbicara mengenai Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, lambang Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika ditetapkan secara resmi menjadi bagian dari Negara Indonesia melalui Peraturan Pemerintahan Nomor 66 Tahun 1951 pada 17 Oktober 1951 dan di undang - undangkan pada 28 Oktober 1951 sebagai Lambang Negara. Usaha pada masa Majapahit maupun pada masa pemerintahan Indonesia berlandaskan pada pandangan yang sama, yaitu pandangan mengenai semangat rasa persatuan, kesatuan, dan kebersamaan sebagai modal dasar untuk menegakkan Negara. Sementara itu, semboyan “Tan Hana Darma Mangrwa” dipakai sebagai motto lambang Lembaga Pertahanan Nasional. Makna dari semboyan itu adalah “tidak ada kebenaran yang bermuka dua”. Namun, Lemhanas kemudian mengubah semboyan tersebut menjadi yang lebih praktis dan ringkas yaitu “bertahan karena benar”. Makna “tidak ada kebenaran yang bermuka dua” sebenarnya memiliki pengertian agar hendaknya manusia senantiasa berpegang dan berlandaskan pada kebenaran yang satu. Semboyan “Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Darma Mangrwa” adalah ungkapan yang memaknai kebenaran aneka unsur kepercayaan pada Majapahit. Tdak hanya Siwa dan Budha, tetapi sejumlah aliran yang sejak awal telah dikenal terlebih dulu sebagian besar anggota masyarakat Majapahit yang memiliki sifat majemuk.

Sehubungan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, cikal bakal dari Singasari, yakni pada masa Wisnuwardhana sang dhinarmeng ring Jajaghu (Candi Jago), semboyan tersebut dan candi Jago disempurnakan pada masa Kerajaan Majapahit. Oleh karena itu, kedua simbol tersebut lebih dikenal sebagai hasil perdaban masa Kerajaan Majapahit. Dari segi agama dan kepercayaan, masyarakat Majapahit merupakan masyarakat yang majemuk. Selain adanya beberapa aliran agama dan kepercayaan yang berdiri sendiri, muncul juga gejala sinkretisme yang sangat menonjol antara Siwa dan Budha

(5)

5

serta pemujaan terhadap roh leluhur. Namun, kepercayaan pribumi tetap bertahan. Bahkan, kepercayaan pribumi memiliki peranan tertinggi dan terbanyak di kalangan mayoritas masyarakat. Pada saat itu, masyarakat Majapahit terbagi menjadi beberapa golongan. Pertama, golongan orang-orang islam yang datang dari barat dan menetap di Majapahit. Kedua, golongan orang-orang China yang mayoritas berasal dari Canton, Chang-chou, dan Fukien yang kemudian bermukim di daerah Majapahit. Namun, banyak dari mereka masuk agama Islam dan ikut menyiarkan agama Islam.

2.3 Pembentuk jati diri bangsa

Sejak Negara Republik Indonesia ini merdeka, para pendiri bangsa mencantumkan kalimat Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan pada lambang negara Garuda Pancasila. Kalimat itu sendiri diambil dari falsafah Nusantara yang sejak jaman Kerajaan Majapahit yang juga sudah dipakai sebagai motto pemersatu Nusantara, yang diikrarkan oleh Patih Gajah

Mada dalam Kakawin Sutasoma, karya Mpu Tantular: Rwāneka dhātu winuwus wara Buddha Wiśwa,

bhinnêki rakwa ring apan kěna parwanosěn, mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,

bhinnêka tunggal ika tan hana dharmma mangrwa (Pupuh 139: 5). Terjemahan:

Konon dikatakan bahwa Wujud Buddha dan Siwa itu berbeda. Mereka memang berbeda. Namun, bagaimana kita bisa mengenali perbedaannya dalam selintas pandang? Karena kebenaran yang diajarkan Buddha dan Siwa itu sesungguhnya satu jua. Mereka memang berbeda-beda, namun hakikatnya sama. Karena tidak ada kebenaran yang mendua. (Bhineka Tunggal ika tan Hana Dharma Mangrwa).

Frasa tersebut berasal dari bahasa Jawa Kuna dan diterjemahkan dengan kalimat berbeda-beda tetapi tetap satu. Kemudian terbentuklah Bhineka Tunggal Ika menjadi jati diri bangsa Indonesia. Ini artinya, bahwa sudah sejak dulu hingga saat ini kesadaran akan hidup bersama di dalam keberagaman sudah tumbuh dan menjadi jiwa serta semangat bangsa di negeri ini. Munandar (2004:24) dalam Tjahjopurnomo S.J. mengungkapkan bahwa sumpah palapa secara esensial, isinya mengandung makna tentang

(6)

6

upaya untuk mempersatukan nusantara. Sumpah Palapa Gajah Mada hingga kini tetap menjadi acuan, sebab Sumpah Palapa itu bukan hanya berkenaan dengan diri seseorang, namun berkenaan dengan kejayaan eksistensi suatu kerajaan. Oleh karena itu, sumpah palapa merupakan aspek penting dalam pembentukan Jati Diri Bangsa Indonesia.

Menurut Pradipta (2009), pentingnya Sumpah Palapa karena di dalamnya terdapat pernyataan suci yang diucapkan oleh Gajah Mada yang berisi ungkapan “lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa” (kalau telah menguasai Nusantara, saya melepaskan puasa/tirakatnya). Naskah Nusantara yang mendukung cita-cita tersebut di atas adalah Serat Pararaton. Kitab tersebut mempunyai peran yang strategis, karena di dalamnya terdapat teks Sumpah Palapa. Kata sumpah itu sendiri tidak terdapat di dalam kitab Pararaton, hanya secara tradisional dan konvensional para ahli Jawa Kuno menyebutnya sebagai Sumpah Palapa. Bunyi selengkapnya teks Sumpah Palapa menurut Pararaton edisi Brandes (1897 : 36) adalah sebagai berikut: Sira Gajah Mada Patih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa,

sira Gajah Mada: “Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa”.

Terjemahan:

Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa (nya). Beliau Gajah Mada: Jika telah mengalahkan

nusantara, saya (baru) melepaskan puasa, jika (berhasil)

mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru)

melepaskan puasa (saya)

Kemudian dilanjutkan dengan adanya Sumpah Pemuda yang tidak kalah penting dalam sejarah perkembangan pembentukan Jati Diri Bangsa ini. Tjahjopurnomo (2004) menyatakan bahwa Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada 28 Oktober 1928 secara historis merupakan rangkaian kesinambungan dari Sumpah Palapa yang terkenal itu, karena pada intinya berkenaan dengan persatuan, dan hal ini disadari oleh para pemuda yang mengucapkan ikrar

(7)

7

tersebut, yakni terdapatnya kata sejarah dalam isi putusan Kongres Pemuda Kedua. Sumpah Pemuda merupakan peristiwa yang maha penting bagi bangsa Indonesia, setelah Sumpah Palapa. Para pemuda pada waktu itu dengan tidak memperhatikan latar kesukuannya dan budaya sukunya berkemauan dan berkesungguhan hati merasa memiliki bangsa yang satu, bangsa Indonesia. Ini menandakan bukti tentang kearifan para pemuda pada waktu itu. Dengan dikumandangkannya Sumpah Pemuda, maka sudah tidak ada lagi ide kesukuan atau ide kepulauan, atau ide propinsialisme atau ide federaslisme. Daerah-daerah adalah bagian yang tidak bisa dipisah-pisahkan dari satu tubuh, yaitu tanah Air Indonesia, bangsa Indonesia, dan bahasa Indonesia. Sumpah Pemuda adalah ide kebangsaan Indonesia yang bulat dan bersatu, serta telah mengantarkan kita ke alam kemerdekaan, yang pada intinya didorong oleh kekuatan persatuan Indonesia yang bulat dan bersatu itu.

Pada saat kemerdekaan diproklamirkan, 17 Agustus 1945 yang didengungkan oleh Soekarno-Hatta, kebutuhan akan kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia tampil mengemuka dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar Negara RI. Sejak waktu itu, Sumpah Palapa dirasakan eksistensi dan perannya untuk menjaga kesinambungan sejarah bangsa Indonesia yang utuh dan menyeluruh. Seandainya tidak ada Sumpah Palapa, NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) akan dikoyak-koyak sendiri oleh suku-suku bangsa Nusantara yang merasa dirinya bisa memisahkan diri dengan pemahaman federalisme dan otonomi daerah yang berlebihan. Gagasan-gagasan memisahkan diri sungguh merupakan gagasan dari orang-orang yang tidak tahu diri dan tidak mengerti sejarah bangsanya, bahkan tidak tahu tentang “jantraning alam” (putaran zaman) Indonesia, yang harus kita lakukan adalah, dengan kesadaran baru yang ada pada tingkat kecerdasan, keintelektualan, serta kemajuan kita sekarang ini, bahwa bangsa ini dibangun dengan pilar bernama Bhinneka Tunggal Ika yang telah mengantarkan kita sampai hari ini menjadi sebuah bangsa yang terus semakin besar di antara bangsa-bangsa lain di atas bumi ini, yaitu bangsa Indonesia, meskipun berbeda-beda (suku bangsa) tetapi satu (bangsa Indonesia). Dan dikuatkan dengan pilar Sumpah Palapa diikuti oleh Sumpah Pemuda yang mengikrarkan persatuan dan kesatuan Nusantara / bangsa Indonesia, serta proklamasi kemerdekaan dalam kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia

(8)

8

yang utuh dan menyeluruh. Hal itu tidak terlepas dari pembentukan jati diri daerah sebagai dasar pembentuk jati diri bangsa.

2.4 Demokrasi pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika solusi heterogenitas

Bhineka Tunggal Ika merupakan esensi wawasan kebangsaan Indonesia, karena Indonesia secara geografis kepulauan dan penduduknya heterogen. Dalam kondisi demikian, pilihan Bhineka Tunggal Ika bukanlah suatu kebetulan melainkan suatu kebutuhan. Secara sosiologis perbedaan memang potensial untuk terjadinya konflik, walaupun secara filosofis bahwa persatuan yang sinergik, produktif adalah persatuan yang unsur-unsurnya berbeda. Kelangsungan prinsip Bhineka Tunggal Ika akan tetap eksis sejalan dengan berkembangnya wawasan kebangsaan, yang berbasis pada kesadaran identitas bahwa Indonesia adalah negara kepulauan dan heterogen penduduknya. Sebagai negara yang berbentuk kepulauan, membawa konsekuensi bahwa wilayah Indonesia adalah wilayah laut dimana ditengah - tengahnya terdapat pulau - pulau dan gugusan pulau - pulau.

Oleh karenanya, laut disini bukan sebagai pemisah melainkan sebagai pemersatu, konsekuensi selanjutnya adalah diantara kita hak dan kewajibannya sama. Sehingga, jika salah satu wilayah di salah satu pulau mendapat ancaman baik dari dalam maupun dari luar, maka seluruh isi pulau yang lain di Indonesia wajib membelanya. Tetapi juga sebaliknya, jika disalah satu wilayah (pulau) ada rejeki dari Tuhan, maka dibagi - bagi keseluruh pulau yang ada, tentu melalui mekanisme yang legal. Demikian juga sebagai bangsa yang heterogen, hanya dapat bersatu jika masing masing pihak menghargai perbedaan, dan tidak memaksakan orang lain untuk sama dengan dirinya. Oleh karena itu persatuan disini, tidak berarti menghilangkan identitas daerah, dengan kata lain persatuan yang sinergik. Bhineka Tunggal Ika adalah solusi kehidupan modern dalam berbangsa dan bernegara, karena di era globalisasi, dunia menjadi satu sistem sehingga tidak ada satupun negara yang homogen, oleh karenanya paham nasionalisme menjadi kebutuhan.

Persatuan adalah kebutuhan bagi bangsa negara, mengingat dampak negatif globalisasi akan menggerogoti kedulatan bangsa negara, dalam hal inilah prinsip Bhineka Tunggal Ika menjadi penting.

(9)

9

Keanekaragaman baru dapat menjadi perekat bangsa bahkan menjadi kekuatan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, jika:

1. Ada nilai yang berperan sebagai acuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

2. Adanya standar yang dijadikan sebagai tolok ukur dalam rangka menilai sikap dan tingkah laku serta cara bangsa menuju tujuan.

3. Mengakui dan menghargai hak dan kewajiban serta hak asasi manusia dalam berbagai aspek (agama, suku, keturunan, kepercayaan, kedudukan sosial)

4. Nilai kesetiaan dan kecintaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kesemuanya diatas, berada dalam sistem nilai Pancasila, oleh karenanya Bhineka Tunggal Ika keberlanjutanya tergantung pada komitmen bangsa terhadap Pancasila.

Disamping beberapa hal tersebut diatas, juga dukungan sistem pemerintahan yang demokratis, desentralisasi (otonomi) akan memberi ruang yang kondusif bagi perkembangan positif heterogenitas bangsa Indonesia. Tentu perlu adanya pemerintah daerah yang semakin dewasa, dan pemerintah pusat yang berwibawa untuk menjamin stabilitas nasional dan kesatuan bangsa, hubungan masyarakat yang saling menghargai dan menghormati dalam kelompok sosial. Heterogenitas (suku, agama, ras) adalah de facto sebagai bangsa Indonesia.

Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika adalah solusi terhadap fakta yang kita hadapi guna mencapai cita-cita berbangsa dan bernegara. Embrio Bhineka Tunggal Ika adalah sumpah pemuda 28 Oktober 1928, sedang causa material Pancasila adalah budaya, agama, adat istiadat yang berkembang di wilayah nusantara. Oleh karenanya Pancasila adalah ruang untuk berkembangnya heterogenitas, sedang Bhineka Tunggal Ika adalah prinsip-prinsip (komitmen) yang dipegang dalam mengembangkan heterogenitas bangsa ini. Pancasila, sebagai sistem nilai sangat abstrak, oleh karenanya perlu diimplementasikan, dalam kaitan inilah Bhineka Tunggal Ika berfungsi sebagai basis kesadaran

(10)

10

identitas sebagai bangsa dalam mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam kesadaran Bhineka Tunggal Ika, tidak ada ruang untuk berbuat diskriminasi, karena istilah “IKA” mencerminkan suasana “persamaan”, “kesetaraan” sebagai warga negara, dan Pancasila memfasilitasi suasana tersebut. Sebagai fasilitator Pancasila yang telah dimplementasikan dalam bentuk hukum positif, maka tidak akan berguna tanpa dikawal oleh penegakan hukum. Persamaan dan kesetaraan, tercermin dalam sistem demokrasi yang kita miliki, yakni demokrasi yang dijiwai oleh sila ke-4 Pancasila (Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan). Secara prinsip, demokrasi bukanlah bersifat ideologis sehingga demokrasi tidak harus seperti di Barat, demokrasi nuansanya budaya, oleh karenanya demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang berakar pada nilai-nilai bangsa Indonesia. Memang “demokrasi” ansich bersifat universal, tetapi pada tataran implementatif maka demokrasi akan terikat oleh kondisi obyektif bangsa yang bersangkutan.

Pancasila sebagai sistem nilai bangsa, memiliki hak paten untuk mewarnai demokrasi di Indonesia. Memang demokrasi merupakan alat, oleh karenanya efektivitas dan produktivitas alat tersebut akan sangat dipengaruhi oleh si pengguna alat tersebut. Jika Pancasila ingin berperan dalam demokrasi di Indonesia, maka Pancasila harus mampu mengatasi masalah-masalah yang menjadi prasarat untuk terlaksananya demokrasi secara baik. Demokrasi, dari kata demos dan kratos, artinya kedaulatan ditangan rakyat, maka rakyat sebagai pemilik kedaulatan harus independen, terlepas dari ketergantungan pihak lain, sehingga jika rakyat masih terikat oleh kemiskinan maka rakyat menjadi tidak independen. Selama rakyat masih terikat oleh kemiskinan, maka selama itu pula demokrasi tidak akan berjalan baik (terjadi politik uang), maka kesejahteraan sebagai salah satu prasarat berlangsungnya demokrasi yang baik. Oleh karena itu “persamaan” dan “kesetaraan” (IKA) lebih diarahkan pada penciptaan kesejahteraan masyarakat yang humanism religious (Pancasila). Pancasila baik sebagai sarana maupun sebagai tujuan bangsa Indonesia, pada dasarnya ingin mencapai suatu kondisi yang mencerminkan suasana humanisme religious. Pemerintahan dijalankan berdasarkan konstitusi, hal ini

(11)

11

bermakna bahwa demokrasi Pancasila senantiasa sejalan dengan hukum positif yang ada, sehingga dalam mengimplementasikannya tidak boleh dengan mengatasnamakan nilai-nilai demokrasi tetapi menimbulkan disintegrasi bangsa, atau konflik SARA Pemilu secara berkesinambungan, sebagai implementasi dari kesadaran bahwa sumber legitimasi kekuasaan politik bukan lagi dari atas, melainkan dari bawah (rakyat), maka rakyatlah yang punya kedaulatan untuk menentukan pemimpinnya.

Penghargaan HAM serta perlindungan hak-hak minoritas, demokrasi Pancasila merujuk kepada prinsip humanism-religious, sehingga demokrasi tidak akan berarti apa apa tanpa dijiwai oleh HAM, tentu bertolak pada hakekat manusia yang monopluralis, yang berbeda dengan konsep manusia model liberalis maupun sosialis-komunis. Kompetisi berbagai ide dan cara untuk menyelesaikan masalah. Disinilah salah satu ciri pembeda dengan demokrasi Barat, bahwa demokrasi Pancasila dalam menyelesaikan masalah dengan melalui kompetisi ide - ide, sehingga keputusan bukan berdasarkan suara terbanyak melainkan berdasarkan ide yang paling baik dengan melalui musyawarah mufakat. Partai Poitik, bukan berarti semakin banyak partai politik semakin sempurna demokrasi, bagi bangsa Indonesia yang heterogen terlalu banyak partai politik justru akan kontra produktif, mengingat demokrasi Pancasila lebih cenderung bersifat kualitatif. Dengan demikian demokrasi Pancasila, menjamin kesetaraan rakyat dalam kehidupan bernegara, menjamin tegaknya hukum yang berdasarkan nilai Pancasila serta menjamin hubungan harmonis antara lembaga tinggi negara, sehingga tidak ada salah satupun lembaga tinggi negara yang lebih dominan atau tidak akan terjadi hegemoni kewenangan oleh salah satu lembaga tinggi negara. Demokrasi Pancasila, tidak mengutamakan voting dalam mengambil keputusan, melainkan dengan melalui pertimbangan - pertimbangan dari semua pihak yang terkait, oleh karena itu prinsip kebebasan dan kesetaraan, bermakna disamping bebas menyampaikan pemikirannya juga harus bersedia untuk mendengarkan dan adanya kesediaan untuk memahami pihak lain.

Oleh karena itu, Demokrasi Pancasila merupakan jawaban yang memang sangat diperlukan oleh bangsa Indonesia, terutama dalam menyatukan berbagai kepentingan yang timbul dalam masyarakat heterogen,

(12)

12

sehingga setiap kebijakan publik lahir dari hasil bukan dipaksakan. Demokrasi Pancasila, tidak saja menyangkut demokrasi politik sebagaimana telah terungkap diatas, melainkan juga demokrasi dalam bidang ekonomi maupun sosial-budaya.

2.5 Penyebab lunturnya makna Bhinneka Tunggal Ika 1. Diskriminasi

Bahwa ada masa ketika istilah SARA demikian popular, merupakan pengakuan tidak Iangsung (sekurang-kurangnya) ada masa dimana terjadi diskriminasi ras - etnik di negeri ini. Dalam praktik, pemenuhan hak-hak sipil yang merupakan bagian masyarakat ditandai dengan keturunan Tionghoa, bahkan sampai detik inipun masih terjadi diskriminasi. Pembedaan perlakuan ketika mengurus dokumen paspor, dengan keharusan melampirkan Surat Bukti Kewarganegaraan, merupakan salah satu contoh praktik diskriminasi ras. Atas praktik semacam itu, Hamid Awaludin dalam acara Dialog Kewarganegaraan dan Persatuan tersebut dengan lantang mengatakan, "Tidak usah mendebat (pejabat imigrasi yang bersangkutan). Catat namanya dan laporkan kepada saya." Diskriminasi ras - etnik, khususnya terhadap orang-orang Indonesia suku Tionghoa sudah menjadi kisah panjang. Masih segar di ingatan kita, peragaan sikap alergi penguasa terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan suku Tionghoa. Aksara, musik, bahasa, praktik kepercayaan, bahkan ciri-ciri fisikpun dipermasalahkan.

Sebagian orang sekarang menghubungkannya dengan perang dingin yang mempengaruhi hubungan antarnegara saat itu. Tapi jauh sebelum itu, sudah terjadi PP 10 yang membatasi ruang gerak suku Tionghoa yang tinggal di desa-desa sehingga kemudian berlanjut dengan arus "pulang" ke Tiangkok. Sudah terjadi pula imbauan untuk mengganti nama tiga suku dengan ''nama Indonesia''. Sudah terjadi pembatasan pilihan pekerjaan / profesi bagi orang-orang Tionghoa, juga pembatasan masuk universitas - universitas negeri. Diskriminasi terhadap kaum minoritas di Indonesia masih merupakan masalah aktual. Hal ini seharusnya tidak terjadi lagi, karena dalam masa reformasi ini telah diadakan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, serta oleh pemerintahpemerintah sejak masa

(13)

13

Presiden Habibie, Gus Dur, hingga Megawati telah dikeluarkan beberapa Inpres yang menghapuskan peraturan-peraturan pemerintah sebelumnya khususnya Orde Baru yang bersifat diskriminatif terhadap kebudayaan minoritas, dalam arti adat istiadat, agama dari beberapa suku bangsa minoritas di tanah air. Mengapa hal demikian dapat terjadi terus, seakan - akan rakyat kita sudah tak patuh lagi dengan hukum yang berlaku di negara kita. Untuk menjawab ini, tidak mudah karena penyebabnya cukup rumit, sehingga harus ditinjau dari beberapa unsur kebudayaan, seperti politik dan ekonomi.

2. Konflik

Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi perbedaan - perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik. Faktor-faktor penyebab terjadinya konflik antara lain:

 Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.

 Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.

 Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.

 Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat

(14)

14 3. Egoisme

Egoisme merupakan motivasi untuk mempertahankan dan meningkatkan pandangan yang hanya menguntungkan diri sendiri. Egoisme berarti menempatkan diri di tengah satu tujuan serta tidak peduli dengan penderitaan orang lain, termasuk yang dicintainya atau yang dianggap sebagai teman dekat. Istilah lainnya adalah "egois". Lawan dari egoisme adalah altruisme. Hal ini berkaitan erat dengan narsisme, atau "mencintai diri sendiri," dan kecenderungan mungkin untuk berbicara atau menulis tentang diri sendiri dengan rasa sombong dan panjang lebar. Egoisme dapat hidup berdampingan dengan kepentingannya sendiri, bahkan pada saat penolakan orang lain. Sombong adalah sifat yang menggambarkan karakter seseorang yang bertindak untuk memperoleh nilai dalam jumlah yang lebih banyak dari pada yang ia berikan kepada orang lain. Egoisme sering dilakukan dengan memanfaatkan altruisme, irasionalisme dan kebodohan orang lain, serta memanfaatkan kekuatan diri sendiri dan / atau kecerdikan untuk menipu. Egoisme berbeda dari altruisme, atau bertindak untuk mendapatkan nilai kurang dari yang diberikan, dan egoisme, keyakinan bahwa nilai-nilai lebih didapatkan dari yang boleh diberikan. Berbagai bentuk "egoisme empiris" bisa sama dengan egoisme, selama nilai manfaat individu diri sendirinya masih dianggap sempurna

4. Hambatan dari dalam

Bung Karno, sang proklamator, pernah berkata, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Dalam perkataan beliau, sudah nampak jelas bahwa apa yang menjadi substansi ke depan bagi rakyat Indonesia adalah sebuah perjuangan untuk mengatasi hambatan dari dalam dan bukan lagi dari luar, karena Soekarno sendiri telah menyudahi penjajahan di Indonesia ini dengan memproklamirkan berdirinya Negara Kesatuan Rpublik Indonesia. Di negara ini, masih banyak yang berjuang atas nama agama, suku, golongan, dan ras. Masing-masing beranggapan bahwa dirinya lebih baik dari yang lain. Hal inilah yang menjadi kesalahan. Adanya perbedaan bukan dipandang sebagai sebuah kekayaan bangsa yang seyogyanya dipertahankan dan dilesatrikan, melainkan dipandang

(15)

15

sebagai sesuatu yang bisa menyulut konflik berkelanjutan. Mengatasi hambatan yang berasal dari luar memang lebih mudah, sebab semua perbedaan bisa segera dihilangkan untuk mengatasi hambatan tersebut. Lain halnya ketika hambatan itu berasal dari dalam, sebab masing-masing kelompok memiliki ego masing-masing.

Apa yang bisa menghentikan ini adalah dengan kembali kepada Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, mengimplementasikan secara serius dan total dalam segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Dua dasar inilah yang akan mempersatukan dan menjawab tantangan Soekarno dalam menghadapi hambatan dari dalam. Sudah seyogyanya dua dasar ini bukan hanya terletak sebagai sebuah pajangan yang dianggap membanggakan. Tanpa implementasi yang sungguh-sungguh, pajangan ini tidak bisa dikatakan membanggakan, melainkan memalukan karena hanya sebagai sebuah wacana kosong. Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika tidak boleh dipensiunkan sebagai sebuah dasar negara. Mereka adalah sebuah dasar yang hingga kapanpun tidak bisa dipensiunkan, tidak bisa digantikan, apalagi dihilangkan. Tanpa mereka, Indonesia hanya akan berjalan setapak demi setapak menuju jurang kehancuran.

(16)

16 BAB III Kesimpulan 3.1 Kesimpulan

Semangat Bhineka Tunggal Ika sangat diperlukan untuk memperkokoh persatuan Indonesia merupakan syarat terpenting untuk menjadikan Indonesia negara yang kaya akan potensi dan tidak dipandang sebelah mata oleh bangsa lain. Jika Bhineka Tunggal Ika benar - benar diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari oleh masyarakat Indonesia, keragaman masyarakat dan budayanya justru menjadi nilai lebih dimata dunia sekaligus menjadi negara yang disegani karena integrasi bangsanya. Seperti kata orang bijak : Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh, sebuah pepatah yang mutlak kebenarannya.

Maka dari itu kita harus menghargai sejarah yang dimana dalam pembentukkan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara, jati diri bangsa tentunya dengan tidak mudah didapatkan. Demokrasi pancasila akan berjalan dengan sempurna bila didampingi dengan pengimpletasian Bhinneka Tunggal Ika secara baik dan benar. Marilah kitabersama – sama mengingat kembali sejarah, mengerti dan memahami makna dari Bhinneka Tunggal Ika sehingga kita tidak perlu menyelesaikan penjajahan dari bangsa sendiri karena bangsa Indonesia yang menerapkan Bhinneka Tunggal Ika tidak akan terjadi konflik sebab bagi bangsa Indonesia perbedaan adalah pemersatu yang Indah untuk menuju Negara Kesatuan Republik Indonesia yang utuh.

(17)

17 Daftar pustaka http://staff.ui.ac.id/system/files/users/turita.indah/publication/2009btisebagaipembent ukjdb.pdf http://research.amikom.ac.id/index.php/STI/article/viewFile/6829/4686 http://download.portalgaruda.org/article.php?article=106635&val=2274&title http://tikanayya.blogspot.com/2014/01/makalah-bhineka-tunggal-ika.html http://www.pusat-definisi.com/2012/11/bhineka-tunggal-ika-adalah.html

Referensi

Dokumen terkait

Sensor SEN1069 yang terhubung dengan arduino mengambil data pengamatan pada air kemudian arduino melakukan komputasi data hasil pengamatan yang dilakukan oleh

Menurut Azhar Maksum, Guru Besar Ilmu Akuntansi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara (2005), manfaat dari penerapan Good Corporate Governance adalah:.. 1)

Rerata yang tinggi untuk variabel ini menunjukkan bahwa guru pada pondok pesantern Al Aziziah menyadari bahwa bekerja sebagai guru pada pondok pesantren merupakan bagian

Purse seine merupakan salah satu alat tangkap yang produktif untuk menangkap ikan pelagis kecil di Kecamatan Sasak Ranah Pasisie, Kabupaten Pasaman Barat.Tujuan

BIMBINGAN SPIRITUAL UNTUK MENGEMBANGKAN PERILAKU ALTRUIS PESERTA DIDIK.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Bersama surat ini, kami pihak sekolah mengharap kehadiran Bapak/Ibu/Wali Murid dari Miftahul Huda Kelas VIII B pada :. Hari

Menerima, mencatat, memproses dan menyimpan surat dan dokumen minat dan penalaran mahasiswa sesuai dengan ketentuan dalam rangka tertib administrasi.. Menerima

[r]