• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh: Adri Febrianto**

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Oleh: Adri Febrianto**"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH WORKSHOP STRATEGI PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN SOSIOLOGI DI SEKOLAH MENENGAH Padang, Aula Fakultas 

Masyarakat Majemuk dan Multikultural dalam Materi Ajar Sosiologi di Sekolah Menengah dan Sebuah Pemikiran tentang Kebudayaan Indonesia

dalam Konteks Masyarakat Multikultural*

Oleh: Adri Febrianto**

Pengantar

Makalah ini mengulas perbedaan konsep antara masyarakat majemuk dan masyarakat multikultural yang cenderung disamakan di dalam buku-buku teks pelajaran sosiologi di sekolah menengah. Selanjutnya diteruskan dengan sebuah pemikiran tentang kebudayaan Indonesia dalam perspektif multikulturalisme. Multikulturalisme yang merayakan keragaman pada dasarnya menonjolkan perbedaan-perbedaan yang ada di dalam kesederajatan. Di samping itu, Indonesia dengan keragaman etnik dan kebudayaan yang besar dengan kandungan perbedaan-perbedaan tersebut

apakah diperlukan cultural identityyang dapat menyatukan dari keragaman tersebut? Jika diperlukan

cultural Identity itu berasal dari kebudayaan yang mana? Atau justru tidak diperlukan? Ataukah diperlukan dominasi kebudayaan tertentu seperti yang telah terjadi di dalam masa orde baru? Makalah ini menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Keragaman di Indonesia

Indonesia dikenal sebagai negara dengan tingkat keragaman yang tinggi. Keragaman itu didasari oleh perbedaan secara horizontal seperti kelompok sukubangsa (ethnic groups), agama, perbedaan ideologi maupun perbedaan vertikal seperti perbedaan status sosial ekonomi. Perbedaan kesukubangsaan diperkuat dengan perbedaan agama sehingga agama bisa ditambahkan menjadi ciri sukubangsa (etnoreligius).

Dari keragaman itu, perbedaan sukubangsa yang paling menyolok. Ada 657 kelompok sukubangsa

terdapat di Indonesia.1 Perbedaan sukubangsa dan penguasaan sumber daya ekonomi selalu

menjadi pemicu konflik antar sukubangsa yang bermuara kepada disintegrasi, terbukti seiring dengan proses reformasi yang berlangsung di Indonesia. Banyak terjadi kasus yang memperlihatkan benturan-benturan dalam masyarakat. Berbagai kasus yang terjadi seperti peristiwa Mei 1998 di Jakarta, konflik antar kelompok sukubangsa di Ketapang, Kupang, Ambon, Batam, Sambas, Sampit dan lainnya memperlihatkan konflik tersebut dengan jelas. Sangat menyolok adalah timbulnya keinginan sebagian masyarakat untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia atau membentuk negara sendiri, seperti Papua Merdeka dan Aceh Merdeka. Keragaman bisa menjadi faktor disintegrasi jika tidak terdapat faktor-faktor yang mempersatukan perbedaan.

      

*    Makalah  yang  dipresentasikan  dalam  Seminar  dan  Workshop  Nasional  Strategi  Peningkatan  Kualitas  Pembelajaran Sosiologi di Sekolah Menengah di  Ruang Auditorium Fakultas Ekonomi  UNP tanggal  11‐12  Mei 2011 oleh Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Padang. 

** Staf pengajar Antropologi di Prodi Pendidikan Sosiologi‐Antropologi di Jurusan Sosiologi FIS UNP. 

1

(2)

MAKALAH WORKSHOP STRATEGI PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN SOSIOLOGI DI SEKOLAH MENENGAH Padang, Aula Fakultas  Pada masa Orde Baru konflik-konflik tidak pernah muncul ke permukaan secara gamblang, karena

adanya tindakan-tindakan represif yang sangat sistematis untuk membungkamnya.2 Dengan

demikian konflik tidak dinyatakan secara manifes, tetapi ada secara laten di dalam masyarakat. Di era reformasi kebebasan yang selama reformasi tidak diperoleh, diluapkan dengan cara berlebihan (euforia) dan banyak daerah di Indonesia yang mengalami konflik antaretnik. Bahkan pertikaian perantau Madura dengan penduduk lokal, sebagai contoh, telah terjadi berulangkali di Kalimantan Barat sejak tahun 1962. Sejak 1962 itu, pertikaian yang melibatkan suku bangsa Madura, Melayu, Dayak, dan Tionghoa terus berlangsung pada tahun 1963, 1968, 1972, 1977, 1979, 1983, 1996, 1997, 1999, dan 2000. Peristiwa yang terjadi di Kalimantan Tengah pada bulan Pebruari 2001 yang

lalu merupakan contoh tentang betapa rumitnya persoalan sukubangsa di Indonesia.3 Akhir-akhir ini

konflik muncul lebih dipicu oleh perbedaan-perbedaan penafsiran atas teks-teks keagamaan yang memunculkan sekte-sekte tertentu yang kemudian dianggap menyimpang oleh kelompok lainnya, yang biasanya adalah kelompok yang lebih besar, sehingga sekte itu harus enyah dari wilayah tertentu.

Di samping kelompok-kelompok sukubangsa itu di dalam masyarakat kota maupun pedesaan kebudayaan asing masuk karena proses modernisasi. Unsur-unsur kebudayaan dari berbagai kelompok sukubangsa terutama dari barat masuk ke dalam masyarakat yang terbuka tanpa filtrasi, yang lebih berisi komoditi dan budaya konsumen. Perubahan menjadi berlangsung sangat cepat, keragaman kebudayaan menjadi semakin kompleks. Masyarakat dengan tingkat kompleksitas yang tinggi atas perbedaan-perbedaan itu bisa menjadi rapuh jika tidak terdapat faktor pemersatu yang dapat mengintegrasikan perbedaan-perbedaan ke dalam satu kesatuan yang dapat diterima oleh kelompok-kelompok yang berbeda tersebut.

Masyarakat Majemuk dan Masyarakat Multikultural

Indonesia dengan keragaman yang tinggi seperti ini sudah dinyatakan Furnivall sebagai masyarakat majemuk, yang dimaksudkannya sebagai masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen atau

tatanan sosial yang hidup berdampingan, namun tanpa membaur, dalam satu unit politik.4

Masyarakat majemuk terbentuk dari dipersatukannya masyarakat-masyarakat suku bangsa oleh sistem nasional, yang biasanya dilakukan secara paksa (by force) menjadi sebuah bangsa dalam

wadah negara.5 Di dalam kehidupan politik, pertanda paling jelas dari masyarakat Indonesia yang

      

2

Usman Pelly, “Mewaspadai Ancaman Disintegrasi Nasional”, Harian Republika, Rabu 6 Januari 1999. Hal. 4.  3

 Abdullah, Irwan. 2001. Penggunaan dan Penyalahgunaan Kebudayaan di Indonesia: Kebijakan Negara dalam  Pemecahan  Konflik  Suku  Bangsa,  Makalah  yang  disampaikan  pada  2nd  International  Symposium  of  The  Journal Antropologi Indonesia, Padang. 18‐21 Juli 2001. 

4

 Nasikun 1993, hal.29; Hefner2007, hal.16.  5 

Suparlan,  “Masyarakat  Majemuk,  Masyarakat  Multikultural,  dan  Minoritas:  Memperjuangakan  Hak‐hak 

Minoritas,”  makalah  yang  dipresentasikan  dalam  Workshop  Yayasan  Interseksi,  Hak‐hak  Minoritas  dalam  Landscape Multikultural, Mungkinkah di Indonesia?, Wisma PKBI, 10 Agustus 2004. 

(3)

MAKALAH WORKSHOP STRATEGI PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN SOSIOLOGI DI SEKOLAH MENENGAH Padang, Aula Fakultas  bersifat majemuk itu adalah tidak adanya kehendak bersama (common will). Masyarakat Indonesia secara keseluruhan terdiri dari elemen-elemen yang terpisah satu sama lain oleh karena perbedaan ras, masing-masing merupakan kumpulan-kumpulan individu daripada satu keseluruhan yang bersifat

organis, dan sebagai individu kehidupan sosial mereka tidaklah utuh.6 Pernyataan dalam kalimat

sebelum ini adalah dalam konteks sebelum Indonesia kemerdekaan, namun sekarang perbedaan kesukubangsaan lebih menonjol.

Adanya stereotip di dalam masyarakat terhadap kelompok sukubangsa yang berbeda menandakan adanya sudut pandang etnosentris. Pandangan etnosentris adalah reaksi karena ketidaktahuan dan pandangan negatif terhadap sukubangsa yang berbeda tersebut. Ketidaktahuan dan pandangan negatif karena memang tidak saling mengenal, sehingga tidak ada yang dapat mempersatukan. Inilah salah satu yang dapat memicu konflik yang tidak muncul ke permukaan pada masa orde baru dan yang banyak terjadi pada awal-awal reformasi, sebahagian besar dipicu oleh faktor-faktor ekonomi. Pemikiran ini perlu untuk dikaji lebih lanjut, namun konflik-konflik antar sukubangsa tersebut mengindikasikan hal ini.

Konflik antar sukubangsa itulah yang membuktikan bahwa Indonesia masih berada di dalam konteks masyarakat majemuk, karena tidak ada yang menjadi faktor pemersatu di dalam hubungan antar sukubangsa. Cara pandang dalam melihat fenomena keragaman dan konflik inilah yang berbeda penjelasan di dalam buku-buku teks pelajaran sosiologi di sekolah menengah, seakan-akan disamakan saja antara masyarakat majemuk dengan masyarakat multikultural. Dari dua buku ajar yang diterbitkan oleh Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, seperti dikutip berikut ini menyatakan:

Pada hakikatnya masyarakat multikultural adalah masyarakat yang terdiri atas berbagai macam suku yang masing-masing mempunyai struktur budaya (culture) yang berbeda-beda. Dalam hal ini masyarakat multikultural tidak bersifat homogen, namun memiliki karakteristik heterogen di mana pola hubungan sosial antarindividu di masyarakat bersifat toleran dan harus menerima kenyataan untuk hidup berdampingan secara damai (peace co-exixtence) satu sama lain dengan perbedaan yang melekat pada tiap entitas sosial dan politiknya. Oleh karena itu, dalam sebuah masyarakat multikultural sangat mungkin terjadi konflik vertikal dan horizontal yang dapat menghancurkan masyarakat tersebut. Sebagai contoh, pertikaian yang melibatkan sentimen etnis, ras, golongan dan juga agama terjadi di berbagai negara mulai dari Yugoslavia, Cekoslavia, Zaire hingga

Rwanda, dari bekas Uni Soviet sampai Sudan, dari Sri Lanka, India hingga Indonesia.7

Dalam sebuah ringkasan di dalam buku lainnya dinyatakan, berikut ini:

       6   Nasikun1993. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. Hal.29  7  Laning 2009, Sosiologi untuk Kelas XI SMA/MA. Jakarta:Pusat Perbukuan Depdiknas. Hal. 77‐78. Penebalan  dan cetak miring sengaja diberikan di sini sebagai penekanan. 

(4)

MAKALAH WORKSHOP STRATEGI PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN SOSIOLOGI DI SEKOLAH MENENGAH Padang, Aula Fakultas 

1. Masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terbagi ke dalam subsubsistem yang kurang lebih berdiri sendiri-sendiri.

2. Kehidupan masyarakat multikultural akan menyebabkan integrasi, konflik, dan kesenjangan sosial.

3. Masyarakat majemuk diidentifikasikan melalui keragaman kebudayaan, komunitas kultural yang terorganisasi secara politik dan alienasi

etnik.

4. Konsolidasi parameter struktur sosial merupakan kendala yang paling besar bagi terciptanya integrasi sosial.

5. Kesenjangan ekonomi disebabkan perbedaan kemampuan dalam mengakses ekonomi dan politik.

6. Multikulturalisme merupakan suatu strategi dari integrasi sosial di mana keanekaragaman budaya diakui dan dihormati.8

Padahal di dalam buku yang sama dinyatakan bahwa:

Multikulturalisme merupakan suatu konsep keanekaragaman budaya dan kompleksitas kehidupan di dalamnya. Multikulturalisme mengajak masyarakat dalam arus perubahan sosial, sistem tata nilai kehidupan yang menjunjung tinggi toleransi, kerukunan, dan perdamaian bukan konflik atau kekerasan meskipun terdapat perbedaan sistem sosial di dalamnya. Multikulturalisme bertujuan untuk meredam konflik dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan agama. Multikulturalisme mendukung kekayaan budaya, potensi-potensi pengembangan, dan kemajuan melalui ide keanekaragaman kebudayaan yang sejalan dan mendukung berlakunya demokrasi dalam kehidupan masyarakat.9

Dua kutipan terakhir diambil dari satu buku yang sama yang dikarang oleh Budiono, memperlihatkan kerancuan terhadap penjelasan masyarakat multikultural, pada satu bagian masyarakat multikultural menyebakan konflik, dan pada bagian lain malah dinyatakan dapat meredam konflik. Demikian juga di dalam buku yang dikarang oleh Laning, yang menyatakan bahwa di dalam dalam sebuah masyarakat multikultural sangat mungkin terjadi konflik vertikal dan horizontal yang dapat menghancurkan masyarakat tersebut. Penjelasan-penjelasan seperti ini diduga terjadi karena kurang pemahaman penulis buku tersebut atas masyarakat majemuk dan masyarakat multikultural. Inilah yang menimbulkan kerancuan dan salah paham atas masyarakat masyarakat majemuk dan multikultural itu pada siswa, karena banyak terjadi kedua konsep tersebut diajarkan seakan-akan

sama.10 Bahkan pada buku karangan Budiono tersebut masyarakat majemuk ditulis seakan

menyederhanakan seperti ini, “dengan adanya dua kebudayaan atau lebih di suatu daerah terbentuk       

8

  Budiono  2009,  Sosiologi  Untuk  SMA  dan  MA.  Jakarta:Pusat  Perbukuan  Depdiknas.  Hal.139.  Kembali  penebalan dan cetak miring sengaja diberikan di sini sebagai penekanan.  9    Ibid, hal.137.  10   Berdasarkan wawancara dengan beberapa mahasiswa Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi FIS  UNP yang telah melakukan praktek mengajar di sekolah‐sekolah. 

(5)

MAKALAH WORKSHOP STRATEGI PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN SOSIOLOGI DI SEKOLAH MENENGAH Padang, Aula Fakultas 

masyarakat multikultural.”11 Masyarakat multikultural tidaklah terbentuk begitu saja hanya karena

adanya dua kebudayaan atau lebih, tetapi penekanannya kepada kesederajatan dan persamaan hak untuk mendapatkan kesempatan yang sama oleh individu-individu dari semua kelompok yang berbeda, dengan kebudayaan yang berbeda, terutama di dalam pranata kehidupan bernegara. Masyarakat multikultural merayakan keragaman dalam kesederajatan, maka akan hilanglah diskriminasi dan konflik. Perbedaan dalam persamaan ini telah masuk ke dalam tatanan ideologi, oleh karena itu disebut juga dengan ideologi multukulturalisme. Artinya prinsip masyarakat multikultural itu telah berada pada tingkat kesadaran dan milik setiap warga masyarakat. Inilah yang mereduksi konflik, karena perbedaan-perbedaan tersebut sudah merupakan kewajaran, termasuk perbedaan dalam menyatakan pendapat, selama tidak melanggar hak-hak azazi manusia. “Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang menekankan pengakuan dan penghargaan pada kesederajatan

perbedaan kebudayaan.”12

Apakah masyarakat Indonesia sudah berada dalam tatanan masyarakat multikultural? Rasanya masih panjang jalan yang harus dilalui utnuk mencapainya, dari pada sekedar hanya ada di tataran wacana saja. Walau terjadi kekurangan dalam dalam buku ajar dan penyampaian materi di sekolah menengah, pengenalan masyarakat multikultural semenjak lebih awal sebenarnya sangat diperlukan, mengingat keragaman yang sangat tinggi di dalam masyarakat Indonesia. Jika perlu sejak dari sekolah dasar, tentu saja dengan metode pengajaran yang berbeda.

Kebudayaan sukubangsa dan Kebudayaan Nasional

Kebudayaan sukubangsa yang sangat beragam di Indonesia sesuai dengan jumlah kelompok sukubangsa itu. Kebudayaan itu menjadi identitas kultural dari setiap kelompok sukubangsa tersebut dan pada setiap orang per orang sebagai pendukung kelompok sukubangsa itu. Setiap individu sudah disosialisasikan dan diinternalisasikan di dalam dirinya sejak lahir sehingga menjadi identitas yang dapat membedakan dari orang lain. Identitas kultural ini dapat diketahui dari bahasa yang dipakai, karena bahasa menjadi identitas kultural yang paling penting, menjadi ciri identitas kesukubangsaan.

Dalam konteks bernegara, untuk menyatukan perbedaan-perbedaan yang besar itu sejak lama sudah dinyatakan pancasila sebagai dasar dari identitas nasional. Walaupun negara mencanangkan

identitas nasional ini sebagai bagian dari pencarian legitimasi ideologisnya,13 tetapi kenyataannya

Bahasa Indonesia sebagai unsur dari identitas nasional itu telah dipakai di hampir seluruh Indonesia, yang dijadikan alat komunikasi antar sukubangsa yang berbeda dan di dalam suasana-suasana formal. Bahasa Indonesia yang dicetuskan 28 Oktober 1928 itu menjadi pengikat yang kuat dari        11  Budiono 2009. Ibid. Hal.121.  12  Fay 1996, Watson 2000, Suparlan 2004.  13  Lihat Keith Foulcher (?), “Konstruksi Kebudayaan Nasional Indonesia: Pola‐pola Hegemoni  dan Resistensi,”  dalam Idi Subandi Ibrahim (ed.), Lifestyle Ecstasy Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia,  Yogyakarta: Jalasutra 

(6)

MAKALAH WORKSHOP STRATEGI PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN SOSIOLOGI DI SEKOLAH MENENGAH Padang, Aula Fakultas  banyak sukubangsa di Indonesia. Bahasa Indonesia ini pun diangkat bukan dari bahasa kelompok sukubangsa yang memiliki populasi terbesar seperti Jawa dan Sunda, tetapi dari bahasa Melayu

yang di dalam sejarah di Nusantara memiliki pengaruh kebudayaan yang dahulu cukup besar.14 Di

luar bahasa pengaruh kebudayaan Jawa kuat mempengaruhi pembentukan kebudayaan nasional. “Sejarah negara-bangsa ini menunjukkan bahwa budaya kelompok etnik dominan dan elit kekuasaan

cenderung menjadi kekuatan pembentuk kebudayaan nasional.”15 Di beberapa negara, seperti Belgia

dan Yugoslavia, tidak adanya unsur kebudayaan nasional seperti bahasa menyebabkan konflik

karena sulit mengembangkan integrasi nasionalnya.16 Sebaliknya, Jepang adalah suatu negara yang

telah mencapai suatu kemakmuran dan di antara berbagai hal lain yang menjadi pendorong dari kemakmuran ekonomi Jepang yang sedemikian cepat itu, adalah keseragaman kebudayaan dan bahasa Jepang, yang dalam tahap-tahap pertama dalam pembangunan amat memudahkan penyusunan rencana-rencana dan kebijaksanaan yang seragam dan amat memudahkan

komunikasi.17 Apakah dengan kebudayaan dominan atau dari keseragaman itukah kebudayaan

Indonesia terbentuk?

Beberapa ahli berpendapat bahwa kebudayaan nasional itu memperlihatkan adanya satu bentuk

kepribadian nasional.18 Kepribadian nasional itu haruslah merupakan hasil proses sosialisasi dan

internalisasi yang menjadi bagian diri dari setiap warga negara Indonesia. Setiap kebudayaan memiliki nilai-nilai yang menjadi bagian yang terpenting dari kebudayaan. Nilai-nilai budaya inilah yang disosialisasikan dan diinternalisasikan sehingga menjadi milik setiap anggota kelompok sukubangsa. Dalam konteks kebudayaan nasional semua warga negara yang berbeda haruslah memiliki nilai-nilai dari kebudayaan nasional itu. Akan tetapi, nilai-nilai budaya dari kebudayaan nasional yang berasal dari kelompok etnik dominan seperti yang ditulis oleh Foulcher itukah yang menjadi kebudayaan nasional? Dominasi kebudayaan menunjukkan adanya hegemoni satu kebudayaan terhadap kebudayaan lainnya. Namun jika suasana kebudayaan nasional yang sudah dirasakan oleh sebahagian besar warga negara Indonesia di dalam suasana-suasana formal itu dapat diterima dan nilai-nilai kebudayaan nasional itu telah menjadi milik sebahagian besar dari kelompok-kelompok sukubangsa yang berbeda karena telah diinternalisasi oleh sebahagian besar orang Indonesia dan mereka menjadi bangga akan hal itu serta telah dipakai di dalam kehidupan sehari-hari maka dapatlah disebut sebagai kebudayaan Indonesia.

Yunus Melalatoa menyatakan di Indonesia terdapat tiga macam kebudayaan dalam masyarakat Indonesia:

1. Kebudayaan Nasional Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. 2. Kebudayaan suku bangsa

       14  Lihat Koentjaraningrat 1993. Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional. Jakarta:UI Press. Hal.1‐60.  15  Keith Foulcher.Ibid. hal.267‐268.  16  Koentjraningrat.Ibid.  17  Koentjaraningrat 1995, “Aneka Warna Manusia dan Kebudayaan Indonesia dalam Pembangunan,” dalam  Koentjaraningrat (ed.) Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Hal.382.  18  Lihat Sartono Kartodirjdo.1993. Pembangunan Bangsa. Yogyakarta:Aditya Media. Hal.3‐54. 

(7)

MAKALAH WORKSHOP STRATEGI PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN SOSIOLOGI DI SEKOLAH MENENGAH Padang, Aula Fakultas  3. Kebudayan umum lokal sebagai wadah yang mengakomodasi lestarinya

perbedaan-perbedaan identitas sukubangsa serta masyarakat-masyarakat yang saling berbeda

kebudayaannya yang hidup dalam suatu wilayah, misalnya pasar atau kota.19

Penggolongan kebudayaan yang ada di Indonesia ini masih dapat diterima, dan kenyataannya kebudayaan nasional masih dipakai di dalam suasana kebudayaan yang formal, dan dalam proses interaksi di antara kelompok sukubangsa yang berbeda, tetapi belum di suasana-suasana keseharian masyarakat, sehingga masih sebagai kebudayaan nasional. Sedangkan kebudayaan umum lokal kadang masih didominasi oleh kebudayaan sukubangsa yang dominan di daerah itu, walaupun ada aturan-aturan dan sanksi sebagai isi dari kebudayaan itu ada perbedaan-perbedaan di dalam kebudayaan umum lokal. Kebudayaan itu menjadi umum lokal apabila dapat dimasuki oleh setiap orang dari berbabai latar belakang yang berbeda dan dapat menerima aturan dan sanksi yang berlaku secara lokalitas tersebut. Oleh karena itu kebudayaan umum lokal tidak dapat dijadikan sebagai kebudayaan Indonesia.

Kebudayaan dalam Perspektif Multikulturalisme

Dalam setiap kebudayaan tercakup para pelaku pendukung kebudayaan tersebut, baik secara individual maupun secara kelompok, dan terutama ditujukan terhadap golongan sosial askriptif yaitu sukubangsa (dan ras), gender, dan umur. Ideologi multikulturalisme secara bergandengan tangan saling mendukung dengan proses-proses demokratisasi, yang pada dasarnya adalah kesederajatan pelaku secara individual (HAM) dalam berhadapan dengan kekuasaan dan komuniti atau masyarakat setempat.20

Akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan. Pengertian kebudayaan di antara para ahli harus dipersamakan atau setidak-tidaknya tidak dipertentangkan antara satu konsep yang dipunyai

oleh seorang ahli dengan konsep yang dipunyai oleh ahli atau ahli-ahli lainnya. Karena

multikulturalisme itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya, maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif

fungsinya bagi kehidupan manusia.21 Dalam konteks itu kebudayaan yang banyak terdapat di dalam

masyarakat harus dipahami sebagai suatu aturan yang berlaku bagi masing-masing kelompok dan diakui setara antara satu dengan lainnya. Dalam keragaman seperti itu kebudayaan dipahami dalam simbol-simbol maupun konsepsi-konsepsi yang senantiasa bersifat cair, dinamis, variatif dan sementara karena keberadaannya pada praksis para aktornya yang berada di dalam konteks sosial

tertentu, yang sudah barang tentu memiliki kepentingan tertentu.22 Oleh karena itu penghargaan

diberikan sama terhadap individu-individu dari kebudayaan yang berbeda, dan dengan sendirinya        19  Yunus Melalatoa.1997.”Rujukan Studi Indonesia,” dalam Yunus Melalatoa (ed.) Sistem Budaya Indonesia.  Jakarta: Fisip UI &Pamator. Hal.6.  20  Parsudi Suparlan. Ibid.  21  Parsudi Suparlan. “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural,” makalah dalam Simposium  Internasional Bali ke‐3, Jurnal Antropologi Indonesia, Denpasar Bali, 16‐21 Juli 2002.  22  Lihat Bachtiar Alam.1998. “Globalisasi dan Perubahan Budaya, Perspektif Teori Kebudayaan,” Antropologi  Indonesia, 54, XII. 

(8)

MAKALAH WORKSHOP STRATEGI PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN SOSIOLOGI DI SEKOLAH MENENGAH Padang, Aula Fakultas  diskriminasi direduksi pada tingkat paling rendah atau dihilangkan sama sekali. Dengan demikian proses demokratisasi dan keadilan bisa berlangsung dan berjalan dengan baik. Kebudayaan dalam perspektif seperti ini lebih menonjolkan sisi kemanusian dan perbedaan adalah suatu kewajaran. Dalam konteks itu kebebasan berfikir, bertindak dan berprilaku diberikan kebebasan sampai kepada tingkat individu maupun kelompok, tetapi tetap menjunjung nilai-nilai hak azazi manusia, itulah yang tidak boleh dilanggar.

Kebudayaan Indonesia di dalam Konteks Masyarakat Multikultural

Masyarakat multikultural dengan ideologi multikulturalisme seperti dinyatakan di atas, tidak memberi peluang atau ruang untuk terjadinya dominasi kebudayaan tertentu. Maka kebudayaan nasional Indonesia dalam konteks bhinneka tunggal ika dengan dominasi kebudayaan tertentu (Jawa) akan mengalami penolakan. Kebudayaan yang berlaku dalam suasana formal hanya sebagai salah satu kebudayaan yang hidup di tengah masyarakat, yaitu dalam suasana yang formal itu. Lalu, kebudayaan yang mana yang dapat disebut dengan kebudayaan Indonesia?

Penghargaan terhadap keragaman di dalam kesetaraan ini memberi peluang terhadap semua kebudayaan yang ada di tengah masyarakat untuk tumbuh dan berkembang atau hilang dengan sendirinya karena dianggap tidak memberikan peluang untuk pengembangan diri dan masyarakat sesuai dengan kebutuhan individu dan masyarakat tersebut. Sebagaimana telah dinyatakan di atas bahwa apabila kebudayaan nasional telah menjadi kebanggaan dan dipakai di dalam kehidupan sehari-hari oleh individu-individu di dalam banyak kelompok masyarakat atau sukubangsa yang berbeda bisa dikatakan sebagai kebudayaan Indonesia, maka sebagai sebuah pemikiran yang ditawarkan di sini bahwa kebudayaan Indonesia dalam perspektif multikulturalisme merupakan sebuah bentuk nation building yang baru yang perlu dipikirkan dalam menghadapi perubahan yang berlangsung dengan cepat, yaitu di dalam keragaman kebudayaan yang ada di dalam batas-batas sebuah bangsa (nation) dan terdapat kebanggaan dari masing-masing individu dan kelompok terhadap kebudayaannya maupun kebudayaan individu dan kelompok sukubangsa lainnya yang tetap terikat di dalam sentimen bersama sebagai sebuah bangsa. Maka, unsur-unsur dari kebudayaan Jawa, Bali, Minangkabau dan banyak lainnya yang ada di Indonesia menjadi kebanggaan bagi semua orang Indonesia dan dapat menimbulkan kemarahan olektif dari anggota kelompok banyak kelompok sukubangsa yang berbeda apabila ada kelompok di luar nation itu yang mengkomersialkannya. Jika itu terjadi berarti sudah ada kebudayaan Indonesia.

Memang dalam konteks masyarakat yang terbuka (borderless society) tidak bisa membatasi orang di luar batasan nation itu untuk mengambil, meniru dan memiliki, karena kebudayaan memang saling pengaruh mempengaruhi dan bersifat cair melalui proses difusi, akulturasi dan mungkin saja terjadi asimilasi, tetapi mengklaim sepihak dan mengkomersialkannya itulah yang menjadi problem. Maka

(9)

MAKALAH WORKSHOP STRATEGI PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN SOSIOLOGI DI SEKOLAH MENENGAH Padang, Aula Fakultas 

diperlukan kebijakan ‘politik multikulturalisme’23 dan pengakuan yang tegas yang dapat melindungi

banyak kebudayaan di dalam satu nation oleh pemegang kekuasaan atau pemerintah, sehingga juga diakui oleh masyarakat di luar nation itu.

Memang masyarakat multikultural masih dalam proses dan lebih banyak pada wacana, karena memang dibutuhkan perubahan paradigma dari masyarakat yang masih berfikir dan bertindak etnosentrisme dalam kerangka masyarakat majemuk ke dalam cara berfikir dan bertindak multikulturalisme, melalui jalan pendidikan sejak dari tingkat pendidikan dasar. Ini masih membutuhkan langkah besar untuk sampai ke kebudayaan Indonesia dalam konteks masyarakat multikultural tersebut, jika memang masyarakat multikultural menjadi pilihan. Masyarakat terbuka itu memberikan alternatif yang beragam pula terhadap pilihan-pilihan kebudayaan yang dianggap baik secara kolektif, dan penghargaan terhadap kebudayaan lain yang diwujudkan ke dalam pengakuan dan tindakan.

Studi masyarakat multikultural dan nasionalisme dalam konteks nation itu secara antropologis juga masih studi yang baru dan membutuhkan pendekatan baru sesuai dengan perkembangan negara bangsa itu. Hal ini telah ditawarkan oleh Ahmad Fedyani Saiufuddin dalam membahas buku karangan Norsalim, dkk, Hak Minoritas. Multikulturalisme dan Dilema Negara Bangsa (2007). Antropologi tidak lagi hanya berkutat dengan “masyarakat sederhana,” atau the others. Walaupun demikian banyaknya pemikiran dari berbagai disiplin juga dibutuhkan dalam rangka untuk terciptanya masyarakat Indonesia sejahtera yang demokratis dan hidup berdampingan dalam kesetaraan. Dalam konteks masyarakat multikultural tersebut konflik antar kelompok sukubangsa dengan sendiri hilang, karena kelompok-kelompok yang berbeda telah memandang kelompok lain tidak sebagai lawan, tetapi sebagai kompetitor yang fair dalam mengambil peluang-peluang ekonomis.

Penutup

Sebagai akhir dari makalah ini kebudayaan Indonesia dalam perspektif multikulturalisme tetap merayakan keragaman yang menonjolkan perbedaan-perbedaan yang ada di dalam kesederajatan. Indonesia dengan keragaman sukubangsa dan kebudayaan yang besar yang mengandung

perbedaan-perbedaan tersebut tidak diperlukan sebuah cultural identityyang dapat menyatukan dari

keragaman tersebut, tetapi diperlukan saling penghargaan dan kebanggaan dan sentimen bersama bangsa terhadap unsur-unsur dan hasil-hasil kebudayaan yang ada di Indonesia. Hal ini harus ditunjang oleh kebijakan pemerintah berupa politik multikultural terhadap kebudayaan yang ada di Indonesia ini, yang perlu dipikirkan. Di samping itu proses pendidikan formal sebagai salah satu jalan untuk mencapai masyarakat multikultural, seharusnya tidak mengajarkan konsep dan pengertian yang keliru kepada peserta didik, tetapi memberikan pengertian dan pemahaman yang benar, bahkan sejak pendidikan dasar hendaknya. Oleh karena itu, banyak hal yang perlu diperhatikan dan perubahan kebijakan oleh pengambil kebijakan di dalam pendidikan nasional untuk mencapai cita-cita bersama. Terima kasih.

       23

 Dengan meminjam judul buku Rober W. Hefner (ed.), The Poltics of Multiculturalism, Pluralism and  Citizenship in Malaysia, Singapura and Indonesia (2001). 

(10)

MAKALAH WORKSHOP STRATEGI PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN SOSIOLOGI DI SEKOLAH MENENGAH Padang, Aula Fakultas 

Bacaan

Abdullah, Irwan. 2001. Penggunaan dan Penyalahgunaan Kebudayaan di Indonesia: Kebijakan Negara dalam Pemecahan Konflik Suku Bangsa, Makalah yang disampaikan pada 2nd International Symposium of The Journal Antropologi Indonesia, Padang. 18-21 Juli 2001. Alam, Bachtiar.1998. “Globalisasi dan Perubahan Budaya, Perspektif Teori Kebudayaan,” Antropologi

Indonesia, 54, XII.

Budiyono, 2009. Sosiologi untuk SMA dan MA Kelas XI. Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas. Fay, Brian, 1996, Contemporary Philosophy of Social Science: A Multicultural Approach. Oxford:

Blackwell

Foulcher, Keith (?), “Konstruksi Kebudayaan Nasional Indonesia: Pola-pola Hegemoni dan Resistensi,” dalam Idi Subandi Ibrahim (ed.), Lifestyle Ecstasy Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia, Yogyakarta: Jalasutra

Hefner, Robert W. (ed.)2007. Politik Multikulturalisme. Menggugat Realitas Kebangsaan (terj.). Yogyakarta:Kanisius

Hidayah, Zulyani. 1988. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta: LP3ES. Kartodirjdo, Sartono.1993. Pembangunan Bangsa. Yogyakarta:Aditya Media.

Koentjaraningrat 1993. Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional. Jakarta:UI Press.

--- 1995, “Aneka Warna Manusia dan Kebudayaan Indonesia dalam Pembangunan,” dalam Koentjaraningrat (ed.) Manusia dan Kebudayaan di Indonesia.

Laning, Vina Dwi. 2009. Sosiologi untuk Kelas XI SMA/MA. Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas. Melalatoa, Yunus.1997.”Rujukan Studi Indonesia,” dalam Yunus Melalatoa (ed.) Sistem Budaya

Indonesia. Jakarta: Fisip UI & Pamator.

Nasikun1993. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

Saifuddin, Ahmad Fedyani (?) “Kesukubangsaan, Nasionalisme dan Multikulturalisme.” Sebuah Esai Pembahasan Buku.

Suparlan, Parsudi. 2004. “Masyarakat Majemuk, Masyarakat Multiultural, dan Minoritas: Memperjuangakan Hak-hak Minoritas,” makalah yang dipresentasikan dalam Workshop Yayasan Interseksi, Hak-hak Minoritas dalam Landscape Multikultural, Mungkinkah di Indonesia?, Wisma PKBI, 10 Agustus 2004.

---. “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural,” makalah dalam Simposium Internasional Bali ke-3, Jurnal Antropologi Indonesia, Denpasar Bali, 16-21 Juli 2002. Pelly, Usman, “Mewaspadai Ancaman Disintegrasi Nasional”, Harian Republika, Rabu 6 Januari

1999.

Referensi

Dokumen terkait

Programmable Logic Controller (PLC) adalah suatu peralatan elektronika yang bekerja secara digital memiliki memori yang dapat diprogram, menyimpan perintah-perintah

Pada siklus III (tindakan 2) terjadi peningkatan rata-rata kompetensi sebesar 2,0% dan jumlah kelulusan peserta didik meningkat menjadi 25 peserta didik dari semula

Seiring dengan perkembangan zaman, fasilitas dalam bidang ilmu falak ikut turut berkembang tidak hanya dalam bentuk metode ataupun alat yang digunakan dalam penentuan

Berdasarkan dasar-dasar pemikiran itu, maka peneliti bermaksud untuk melakukan penelitian mengenai “Pengaruh Brand Image terhadap Loyalitas Konsumen Pengguna Apple

Iklan tablet Samsung Galaxy Note pada media online khususnya website Samsung dapat memudahkan khalayak dalam mencari informasi yang penting terhadap tablet yang

Berkaitan dengan hal tersebut kebijakan yang dirumuskan antara lain yaitu peraturan daerah, peraturan kepala daerah dan ketentuan lainnya, salah satu peraturan daerah

yang negatif akan diketahui faktor-faktor penyebab penghambatnya, untuk selanjutnya sebagai bahan melakukan pembinaan dan mendorong minatnya untuk mengikuti program

Desain penelitian yang digunakan adalah jenis deskriptif asosiasi dengan pendekatan yang digunakan adalah Cross Sectional atau potong lintang., karena didasarkan pada