11
PENGARUH PENGOBATAN TIOTROPIUM BROMIDE PADA
PENDERITA SERANGAN ASMA DERAJAT SEDANG-BERAT
Titi Sundari * , M Amin **
*PPDS I Paru FK Unair/RSU Dr Soetomo Surabaya **Staf Bagian Paru FK Uniar/RSU Dr Soetomo Surabaya
PENDAHULUAN
Asma bronkial merupakan inflamasi kronis yang melibatkan banyak sel inflamasi, mediator-mediator yang dihasilkan, serta sel dan jaringan di saluran pernapasan. Interaksi ini menghasilkan berkurangnya aliran udara akibat bronkokonstriksi, pembengkakan dinding saluran pernapasan, peningkatan sekresi mukosa dan remodeling saluran napas. Selain itu inflamasi ini akan menyebabkan hipereaktiviti saluran pernapasan (Gina, 2002).
Prinsip pengobatan asma tidak saja mengobati dan menghilangkan gejala segera setelah pengobatan dihentikan akan tetapi merupakan pengobatan jangka lama. Walaupun pemberian inhalasi glukokortikoid sangat efektif untuk mengontrol inflamasi yang terjadi pada asma, akan tetapi pada keadaan tertentu pemberian glukokortikoid tidak efektif (Amin, 2003).
Peran saraf parasimpatis pada pengaturan tonus bronkial telah banyak diketahui khususnya pada dekade akhir-akhir ini. Akan tetapi pengetahuan tersebut tidak diimbangi dengan kemajuan penelitian obat antikolinergik yang aman, efektif dan mempunyai efek bronkodilatasi yang jelas. Akibatnya ketertarikan untuk menggunakan obat antikolinergik sebagai pengobatan standar asma bronkial masih belum banyak, apalagi berdasarkan pedoman penatalaksanaan asma yang sekarang dikeluarkan oleh banyak lembaga yang
merekomendasikan bahwa agonis β2 adalah obat
yang paling superior di samping glukokortikoid (Amin, 2003).
Meta analisis penelitian menunjukkan ipratropium bromide mempunyai efek
meningkatkan bronkodilatasi agonis β2 kerja
singkat pada serangan asma, memperbaiki faal paru dan menurunkan risiko perawatan rumah
sakit secara bermakna. Oleh karena itu disarankan menggunakan kombinasi inhalasi
antikolinergik dan agonis β2 kerja singkat sebagai
bronkodilator pada terapi awal serangan asma berat atau pada serangan asma yang kurang
respon terhadap agonis β2 saja sehingga efek
bronkodilatasi maksimal (Gross, 1999; Rodrigo, 2002; Siwik, 2002; PDPI, 2004).
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian,Clinical trials, Pre-Post Test Control Group Design
Kriteria Inklusi: Penderita asma yang mendapat
serangan sesak nafas, mengi dan batuk dengan skor prediksi asma 1-7. Penderita berusia lebih dari 13 tahun hingga 50 tahun.
Pria dan wanita, tidak sedang hamil. Tidak merokok. Tidak menderita penyakit lain selain asma bronkial yang ditentukan dengan melakukan anamnesa, pemeriksaan fisik dan foto dada. Bersedia ikut penelitian dengan menandatangani informed consent
Kriteria eksklusi: Terdapat penyakit lain selain
asma bronkial.. Tidak bersedia ikut penelitian. Penderita tidak kooperatif dan tidak mampu menghisap obat.
Batasan operasional
- Asma
Yang dimaksud penderita asma adalah penderita dengan riwayat gejala-gejala: wheezing (mengi), sesak nafas, rasa berat di dada, dengan / tanpa batuk pada malam hari atau pagi dini hari, yang berlangsung lama dan kambuhan, namun bersifat reversibel yaitu peningkatan PEFR sekurang-kurangnya 15% setelah pemberian inhalasi bronkodilator.
12
- Serangan asma derajat sedang-berat adalah asma yang memenuhi skor prediksi asma (SPA) 1-7 menurut Fischl (tabel 1.)
- FEV1 adalah volume udara yang dapat
dikeluarkan dengan ekspirasi maksimal setelah inspirasi maksimal dalam waktu 1 detik. Dikatakan bermakna bila terjadi peningkatan
FEV1 sekurang-kurangnya 15% setelah
pemberian inhalasi bronkodilator.
- PEFR adalah pengukuran aliran udara maksimal yang dapat dicapai saat ekspirasi paksa dalam waktu tertentu yang dilakukan dengan menggunakan peak flow meter atau spirometer. Dikatakan bermakna bila terjadi peningkatan sekurang-kurangnya 15% setelah pemberian inhalasi bronkodilator .
- Onset terapi adalah waktu yang diperlukan dari saat mulai pengobatan hingga sesak menghilang yang diukur secara obyektif lama wheezing menghilang, melalui pemeriksaan auskultasi
- Terapi standar pada penelitian ini adalah pemberian bronkodilator salbutamol inhalasi 2,5 mg, aminofilin 240 mg intravena bolus dan deksametason 5 mg intravena
Tabel 1. Skor Prediksi Asma
Pemeriksaan fisik Skor 0 Skor 1
Denyut nadi / menit Pernapasan / menit
Pulsus paradoksus / mmHg
PEFR (liter/menit) Sesak nafas
Otot bantu pernapasan Wheezing <120 < 30 <18 >120 (-) – ringan (-) – ringan (-) – ringan ≥ 120 ≥30 ≥ 18 ≤120 sedang – berat sedang – berat sedang – berat Lokasi Penelitian
Pada Instalasi Rawat Jalan Paru dan Instalasi Rawat Darurat RSU Dr. Soetomo Surabaya
Populasi
Penderita serangan asma derajat sedang-berat yang sedang dirawat di IRD dan Instalasi Rawat Jalan Paru RSU Dr. Soetomo Surabaya
Sampel
Penderita serangan asma derajat
sedang-berat yang dirawat di IRD dan Instalasi Rawat
Jalan Paru RSU Dr. Soetomo yang memenuhi kriteria inklusi
Tehnik Sampling: Simple Randomized
Sampling
Dibagi 2 (dua) kelompok, kelompok test (A) dan kelompok kontrol (B)
Kelompok A : kelompok yang mendapat terapi standar dan tiotropium bromide
Kelompok B : kelompok yang mendapat terapi standar dan placebo
Variabel Penelitian
-Variabel Bebas
• Terapi standar dan tiotropium bromide • Terapi standar dan placebo
- Variabel tergantung • FEV1 • PEFR • Frekwensi napas • Denyut nadi • Wheezing
• Skor derajat asma
Teknik Pemeriksaan Variabel
- Pemeriksaan FEV1 dengan alat autospirometri,
terlebih dahulu diajarkan cara meniup yang benar dari alat tersebut dan cara pengukuran
FEV1: dilakukan dengan cara duduk alat
dipegang tangan sebelah kanan, penderita disuruh menarik napas sedalam mungkin, kemudian mouthpiece diletakkan ke dalam mulut dengan gigi mengelilingi sekitarnya. Kemudian ditiup sekuat dan sekeras mungkin sekuat tenaga mengeluarkan udara yang berasal dari paru. Pemeriksaan dilakukan 3 kali dan diambil hasil yang reproducible, dilakukan sebelum dan sesudah nebulisasi/inhalasi menit ke 30, 60 dan 120.
- Pemeriksaan PEFR dengan peak flow meter: Skala pengukuran pada alat harus dibuat nol. Pasien menghirup udara sebanyak mungkin dengan cepat kemudian letakkan alat pada mulut dan katupkan bibir di sekeliling mouthpiece, udara dikeluarkan dengan tenaga maksimal (secara cepat dan kuat) segera setelah bibir dikatupkan dan pastikan tidak ada kebocoran. Pemeriksaan dilakukan 3 kali dan diambil nilai yang tertinggi sebelum dan sesudah menit ke 30, 60 dan 120.
13
- Onset terapi diukur secara obyektif dengan mencatat lama wheezing menghilang selama terapi, dengan pemeriksaan auskultasi.
- Dilakukan pengukuran frekuensi napas dan denyut nadi sebelum dan sesudah terapi pada menit 30, 60 dan 120.
Prosedur penelitian
Penderita asma yang mendapat serangan dengan skor prediksi asma 1-7 dilakukan pemeriksaan berupa anamnesa dan pemeriksan fisik rutin untuk memilih penderita yang sesuai dengan kriteria inklusi. Termasuk tinggi badan, berat badan, umur dan jenis kelamin.
Dilakukan pemeriksaan radiologi (foto toraks) untuk menyingkirkan penyakit lainnya.
Pemberian bronkodilator salbutamol inhalasi 2,5 mg, placebo, aminofilin 240 mg intravena bolus pelan dan deksametason 5 mg intravena untuk kelompok terapi standar.
Pemberian bronkodilator salbutamol inhalasi 2,5 mg, penambahan tiotropium bromide (spiriva) 18 mcg, aminofilin 240 mg intravena bolus pelan dan deksametason 5 mg intravena untuk kelompok lainnya.
Semua penderita diberikan oksigen 4 liter/menit nasal selama penelitian.
Pengukuran FEV1, PEFR, frekuensi napas,
denyut nadi sebelum dan sesudah terapi pada menit 30, 60 dan 120.
Dilakukan pencatatan lama menghilangnya wheezing.
Alat dan bahan yang digunakan
Autospirometer merk Minato Autospiro AS-500 Tabel nilai normal faal paru Indonesia
(Pneumomobile)
Pengukuran berat badan dan tinggi badan Tensimeter merk Reister Nova Presanmeter
dan stethoscope merk Spirit Alat nebuliser Pulmomate
Salbutamol nebule 2,5 mg solution for inhalation
Tiotropium bromide capsule 18 mcg handihaler untuk kelompok A
Placebo capsule untuk kelompok B Metilsantin ampul 240 mg
Deksametason ampul 5 mg
Estimasi besar sampel
2( z1/2α + zβ )2 . σ12 n = _________________ ( μ1 – μ2 ) 2 z1/2α = α 0,05 = 1,96 z β 0,20 = 0,842 z β 0,10 = 1,282
μ1 dari FEV1 salbutamol untuk asma σ1
μ2 dari FEV1 tiotropium bromide untuk asma
Rumus kasar ( general)
(r-1) (t-1) ≥ 15 (r-1) (2-1) ≥ 15 r≥ 15+1
r≥ 16
r = replikasi (perlakuan diulang pada sejumlah subyek tertentu)
t = treatment
Analisa data
Untuk membandingkan besarnya perubahan variabel tergantung pada masing-masing kelompok digunakan uji statistik Paired Sample T-test, sedangkan untuk membandingkan antara kedua kelompok digunakan uji statistik Independent-sample T-test.
HASIL DAN ANALISA PENELITIAN
Telah dilakukan penelitian secara eksperimental terhadap 40 penderita serangan asma derajat sedang-berat, yang terdiri atas laki-laki 10 orang dan perempuan 30 orang. Usia termuda 13 tahun dan usia tertua 50 tahun, tinggi badan terendah 148 cm dan tertinggi 166 cm, berat badan terendah 38 kg dan terberat 88 kg.
Dari 40 penderita dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok A mendapat terapi standar yaitu: salbutamol 2,5 mg inhalasi, aminofilin 240 mg intravena dan deksametason 5 mg intravena ditambah tiotropium bromide (spiriva) 18 mcg. Kelompok B mendapat terapi standar dan placebo. Semua penderita diberikan oksigen 4 liter/menit.
Respon pengobatan dipantau dengan
14
dan 120 setelah terapi. Selain itu juga diukur perubahan nadi, frekuensi napas, wheezing dan skor asma.
Karakteristik sampel
Dari tabel uji homogenitas variabel jenis kelamin, umur, tinggi badan antar kelompok didapatkan hasil:
Tidak ada perbedaan yang bermakna pada jenis kelamin kedua kelompok (p= 0,715) Tidak ada perbedaan yang bermakna pada
umur kedua kelompok (p = 0,507)
Tidak ada perbedaan yang bermakna pada tinggi badan kedua kelompok (p= 0,347)
Selanjutnya variabel ini tidak mempengaruhi penelitian selama pemberian perlakuan.
Dari hasil penelitian dilakukan uji statistik paired t
tes untuk pemeriksaan FEV1 menit 30, 60 dan
120.
Pada kelompok terapi standar + tiotropium, didapatkan :
Nilai FEV1 cenderung meningkat antara pre,
30', 60' dan 120'. Dari baseline 24,2% predicted naik menjadi 46,8% (menit 30), 50,9% (menit 60) dan 52,5% (menit 120). Hasil uji statistik semua signifikan ( p < 0,05)
Ada peningkatan FEV1 yang bermakna mulai
pengukuran menit ke 30, 60 hingga 120.
Pada kelompok terapi standar + placebo didapatkan :
Nilai FEV1 cenderung meningkat antara pre,
30', 60', dan 120'. Dari baseline 26,8% predicted menjadi 40,3%, 42,3% dan 43,8% pada 30', 60', dan 120' setelah terapi.
Hasil uji statistik semua signifikan ( p < 0,05)
Ada peningkatan FEV1 yang bermakna mulai
menit ke 30, 60, hingga 120.
Kesimpulan : baik pada penderita asma derajat sedang-berat yang diberikan terapi standar + tiotropium atau terapi standar + placebo,
sama-sama menunjukkan adanya peningkatan FEV1.
Tabel 2: Uji homogenitas variabel jenis kelamin, umur, tinggi badan dan berat badan antar kelompok
Variabel Kelompok Uji
statistik
Harga
p Keterangan
Terapi standar +Tiotropium Terapi standar+ placebo
Kelamin (L:P) 6 (30,0%):14(70,0%) 4(20,0%):16(80%) X2 0,715 NS
Umur 32,3±11,7 34,7±10,5 t tes 0,507 NS
Berat badan 52,8±8,8 55,6±11,5 t tes 0,392 NS
Tinggi badan 154,5±6,4 156,5±6,5 t tes 0,347 NS
Tabel 3: Perubahan FEV1 (% predicted) selama pengobatan
Menit ke Uji Statistik Kelompok
Terapi standar
+Tiotropium harga p
Terapi standar +
placebo harga p
Pre Paired t tes 24,2±8,9 - 26,8±9,0 -
Menit ke 30 Paired t tes 46,8±16,9 0,0001 40,3±12,9 0,0001
Menit ke 60 Paired t tes 50,9±19,2 0,0001 42,3±13,6 0,0001
Menit ke 120 Paired t tes 52,5±21,8 0,0001 43,8±14,5 0,0001
Tabel 4: Perubahan PEFR (% predicted) selama pengobatan Menit ke Uji Statistik
Kelompok
Terapi standar +Tiotropium harga p Terapi standar +
placebo harga p
Pre Paired t tes 14,4±5,8 - 15,3±6,0 -
Menit ke 30 Paired t tes 31,7±13,7 0,0001 24,6±9,0 0,0001
Menit ke 60 Paired t tes 36,7±14,3 0,0001 27,3±11,8 0,0001
15
Dari hasil penelitian dilakukan uji statistik paired t tes untuk pemeriksaan PEFR menit 30, 60 dan 120.
Pada kelompok terapi standar + tiotropium didapatkan:
Nilai PEFR cenderung meningkat antara pre, 30', 60', dan 120'. Dari baseline 14,4% predicted menjadi 31,7%, 36,7% dan 37,6% pada 30', 60', dan 120' setelah terapi.
Hasil uji statistik semua signifikan ( p < 0,05) 24,2 52,5 46,8 50,9 26,8 40,3 42,3 43,8 20 30 40 50 60 PRE 30 60 120 Menit F E V1 -% p r ed ict ed
Terapi Standar + Tiotropium Terapi Standar+placebo
14,4 37,6 31,7 36,7 15,3 24,6 27,3 30,3 0 10 20 30 40 50 PRE 30 60 120 Menit P E F R % p r ed ict ed
Terapi Standar + Tiotropium Terapi Standar+ placebo
105,8 104,0 112,2 98,8 120,5 113,6 117,0 119,4 90 100 110 120 130 PRE 30 60 120 Menit D en yu t N ad i
Terapi Standar + Tiotropium Terapi Standar+placebo
25,2 30,7 23,2 27,0 25,4 30,9 27,8 26,3 20 25 30 35 PRE 30 60 120 Menit F r eku en si N ap as
Terapi Standar + Tiotropium Terapi Standar + placebo
2 15 6 19 0 5 10 15 20 PRE 30 60 120 Menit J um la h P e nde ri ta de nga n Whe e zi ng Ne ga ti f
Terapi Standar + Tiotripium Terapi Standar + placebo
(95% )
(30% )
Grafik 1. Perubahan FEV1 (% predicted) pada
kedua kelompok
Grafik 2. Perubahan PEFR (% predicted) pada kedua kelompok
Grafik 3. Perubahan denyut nadi selama pengobatan
Grafik 4. Perubahan frekuensi napas selama pengobatan
16
Ada peningkatan PEFR yang bermakna mulai pengukuran menit ke 30, 60 hingga 120.
Pada kelompok terapi standar + placebo didapatkan :
Nilai PEFR cenderung meningkat antara pre, 30', 60', 120'. Dari baseline 15,3% predicted menjadi 24,6%, 27,3% dan 30,3% pada menit 30, 60 dan 120 setelah terapi.
Hasil uji statistik semua signifikan ( p < 0,05) Ada peningkatan PEFR yang bermakna mulai
pengukuran menit ke 30, 60 hingga 120.
Kesimpulan : Baik pada penderita asma derajat sedang-berat yang mendapat terapi standar + tiotropium atau terapi standar + placebo, sama-sama menunjukkan adanya peningkatan PEFR.
Pada penelitian ini dilakukan uji statistik Wilcoxon signed rank tes karena distribusi nadi awal tidak normal.:
Frekuensi napas cenderung menurun antara pre, 30', 60' hingga 120'.
Hasil uji statistik semua signifikan ( p < 0,05) Ada penurunan frekuensi napas yang
bermakna mulai pengukuran menit ke 30, 60 hingga 120.
Pada kelompok terapi standar + placebo didapatkan:
Frekuensi respirasi cenderung menurun antara pre, 30', 60' hingga 120'.
Hasil uji statistik semua signifikan ( p < 0,05) Ada penurunan frekuensi napas yang
bermakna mulai pengukuran menit ke 30, 60 hingga 120.
Kesimpulan : Baik pada penderita asma derajat sedang-berat yang diberikan terapi standar + tiotropium ataupun terapi standar + placebo, sama-sama menunjukkan penurunan frekuensi napas.
Dari hasil pengujian pada kelompok terapi standar + tiotropium didapatkan :
Denyut nadi cenderung menurun antara pre, 30',60', hingga 120'.
Hasil uji statistik semua signifikan ( p < 0,05). Ada penurunan denyut nadi yang bermakna
mulai pengukuran menit ke 30, 60 hingga 120. Pada kelompok terapi standar + placebo didapatkan :
Denyut nadi cenderung menurun antara pre, 30',60', hingga 120'.
Hasil uji statistik semua signifikan ( p < 0,05). Ada penurunan denyut nadi yang bermakna
mulai pengukuran menit ke 30, 60 hingga 120. Kesimpulan : Baik pada penderita asma derajat sedang-berat yang diberikan terapi standar + tiotropium maupun terapi standar + placebo, sama-sama menunjukkan penurunan denyut nadi. Dari hasil penelitian dilakukan uji statistik paired t tes untuk pemeriksaan frekuensi napas menit 30 dan 120. Sementara menit ke 60 menggunakan Wilcoxon signed rank tes.
Dari hasil pengujian pada kelompok terapi standar + tiotropium didapatkan:
Tabel 5: Perubahan denyut nadi selama pengobatan :
Menit ke Kelompok
Terapi standar +Tiotropium harga p Terapi standar +placebo harga p
Pre 120,5±4,6 - 119,4±3,7 -
Menit ke 30 112,2±7,7 0,0001 117,0±3,6 0,0003
Menit ke 60 104,0±10,0 0,0001 113,6±6,0 0,0001
Menit ke 120 98,8±10,2 0,0001 105,8±6,6 0,0001
Tabel 6: Perubahan frekuensi napas selama pengobatan : Menit ke Uji Statistik
Kelompok Terapi standar
+Tiotropium harga p
Terapi standar +
placebo harga p
Pre Paired t tes 30,7±3,4 - 30,9±2,6 -
Menit ke 30 Paired t tes 27,0±2,5 0,0001 27,8±1,9 0,0001
17
signed rank tes
Menit ke 120 Paired t tes 23,2±1,9 0,0001 25,2±1,8 0,0001
Tabel 7: Perubahan wheezing selama pengobatan :
Menit ke
Wheezing (-)
Terapi standar+Tiotropium Terapi standar+placebo
n (%) harga p n (%) harga p
Pre 0 (0%) - 0 (0%) -
Menit ke 30 0 (0%) 1,000 0 (0%) 1,000
Menit ke 60 6 (30%) 0,031 2 (10%) 0,500
Menit ke 120 19 (95%) 0,0001 15 (75%) 0,0001
Tabel 8: Perubahan skor asma selama pengobatan: Skor asma
Terapi standar + Tiotropium Terapi standar + placebo
pre 30' 60' 120' pre 30' 60' 120' 0 0(0%) 0(0%) 6(30%) 16(80%) 0(0%) 0(0%) 2(10%) 13(65%) 1 0(0%) 0(0%) 0(0%) 3(15%) 0(0%) 0(0%) 0(0%) 2(10%) 2 1(5%) 12(60%) 10(50%) 0(0%) 0(0%) 5(25%) 9(45%) 2(10%) 3 4(20%) 6(30%) 3(15%) 1(5%) 6(30%) 10(50%) 9(45%) 3(15%) 4 4(20%) 1(5%) 1(5%) 0(0%) 3(15%) 4(20%) 0(0%) 0(0%) 5 11(55%) 1(5%) 0(0%) 0(0%) 11(55%) 1(5%) 0(0%) 0(0%) Wilcoxon
signed rank tes - 0,0001 0,0001 0,0001 - 0,0001 0,0001 0,0001
Tabel 9: Perbedaan perubahan FEV1 (% predicted) antara 2 kelompok :
Perubahan FEV1 Pre dengan Terapi standar + Tiotropium Terapi standar + placebo
Harga p dari uji t 2
sampel Keterangan Menit ke 30 22,6±12,5 13,4±10,4 0,0016 S Menit ke 60 26,7±15,0 15,5±11,1 0,0011 S Menit ke 120 28,3±17,7 17,0±12,3 0,024 S
Tabel 10: Perbedaan perubahan PEFR (% predicted) antara 2 kelompok: Perubahan PEFR Pre dengan Terapi standar + Tiotropium Terapi standar + placebo
Harga p dari uji t 2
sampel Keterangan Menit ke 30 17,3±10,1 9,3±5,8 0,004 S Menit ke 60 22,3±11,0 12,0±10,1 0,004 S Menit ke 120 23,2±12,2 15,0±11,1 0,032 S
Tabel 11: Perbedaan perubahan denyut nadi antara 2 kelompok: Perubahan nadi
Pre dengan
Terapi standar + Tiotropium
Terapi standar
+ placebo Uji Statistik
Harga
p Ket
Menit ke 30 -8,3±6,3 -2,4±2,7 Mann Whitney
tes
0,0001 S
Menit ke 60 -16,5±8,6 -5,8±5,7
18
Menit ke 120 -21,7±8,1 -13,6±6,4
Uji t 2 sampel 0,0001 S
Pada penelitian ini dilakukan uji statistik Mc Nemar karena data nominal
Dari hasil pengujian pada kelompok terapi standar + tiotropium didapatkan:
Sebelum terapi seluruh penderita (100%) mengalami wheezing.
Pada menit ke-30 wheezing masih positif pada seluruh penderita (100%). Wheezing menghilang pada menit ke-60 pada 6 penderita (30%) dan pada menit ke-120 sebanyak 19 orang (95%)
Ada perubahan wheezing yang bermakna mulai menit ke-60 dan 120.
Pada kelompok standar + placebo didapatkan: Wheezing menghilang pada 2 penderita (10%)
pada menit ke-60 dan sebanyak 15 penderita (75%) pada menit ke-120.
Ada perubahan wheezing yang bermakna pada menit ke-120.
Kesimpulan : Pada kelompok terapi standar + tiotropium, wheezing menghilang lebih cepat dibandingkan kelompok yang tidak diberikan tiotropium.
Pada penelitian ini dilakukan uji statistik Wilcoxon signed rank tes karena data skoring ( ordinal). Dari hasil pengujian pada kelompok terapi standar + tiotropium didapatkan:
Sebelum perlakuan, skor asma terbanyak adalah 5, sebesar 11 penderita (55%). 30 menit setelah terapi, skor asma terbanyak adalah 2, sebesar 12 penderita (60%) dan 120 menit setelah terapi, skor asma yang terbanyak adalah 0, sebesar 16 penderita (80%).
Hasil uji statistik menunjukkan adanya perbedaan signifikan mulai menit ke- 30, 60, 120.
Pada kelompok terapi standar + placebo:
Sebelum perlakuan skor asma terbanyak adalah 5, sebesar 11 penderita (55%). 30 menit setelah terapi skor asma yang terbanyak adalah 3, sebesar 10 penderita (50%) dan 120 menit setelah terapi skor asma yang terbanyak adalah 0, sebesar 13 penderita ( 65% ).
Hasil uji statistik menunjukkan adanya perbedaan signifikan mulai menit ke 30, 60, 120.
Kesimpulan : Baik diberi tiotropium atau tidak, skor asma menurun secara signifikan mulai menit ke 30, 60, dan 120.
Dari hasil penelitian dilakukan uji statistik t 2
sampel untuk pemeriksaan perubahan FEV1 pada
0' - 30', 0' - 60' dan 0'-120'.
Hasil pengujian menunjukkan: Peningkatan FEV1 pada kelompok yang diberikan tiotropium lebih besar dibanding kelompok standar + placebo.
Pada menit 30 nilai FEV1 meningkat 22,6% dari
baseline, sementara kelompok standar + placebo hanya 13,4%. Demikian juga pada menit 60 (meningkat 26,7% dibanding 15,5%), dan pada menit 120 meningkat 28,3% dibanding kelompok standar + placebo yang hanya 17,0% dari baseline dengan hasil analisa statistik yang menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna.
Tabel 12: Perbedaan frekuensi napas antara 2 kelompok.
Perubahan respirasi Pre dengan Terapi standar + Tiotropium Terapi standar + placebo
Harga p dari uji t 2
sampel Ket
Menit ke 30 -3,7±2,1 -3,1±2,2 0,361 NS
Menit ke 60 -5,3±2,6 -4,6±2,0 0,344 NS
19
Tabel 13: Perbedaan perubahan wheezing antara 2 kelompokMenit ke
Terapi standar +Tiotropium Terapi standar + placebo
Harga p Ket Wheezing Wheezing (+) (-) (+) (-) X2 30 20(100%) 0(0%) 20(100%) 0(0%) - - 60 14(70%) 6(30%) 18(90%) 2(10%) 0,235 NS 120 1(5%) 19(95%) 5(25%) 15(75%) 0,182 NS
Tabel 14: Perbedaan perubahan skor asma antara 2 kelompok Menit ke
Median skor asma
Harga p Ket
Terapi standar+Tiotropium Terapi standar + placebo
Pre 5 5 0,964 NS
Menit 30 2 3 0,052 NS
Menit 60 2 2 0,068 NS
Menit 120 0 0 0,221 NS
Tabel 15. Efek samping pengobatan
Terapi standar+Tiotropium Terapi standar + placebo
Mulut kering 0(0%) 0(0%)
Mual 1(5%) 2(10%)
Palpitasi 1(5%) 1(5%)
Glaukoma 0(0%) 0(0%)
Tremor 0(0%) 0(0%)
Tabel 16 Relative Risk penderita rawat inap setelah pengobatan
Rawat Inap Kelompok Total
Terapi standar+Tiotropium Terapi standar+placebo
Ya 3 (15%) 5(25%) 8(20%)
Tidak 17(85%) 15(75%) 32(80%)
Total 20(100%) 20(100%) 40(100%)
RR=1,3 CI 95% (0,7-2,6) Fisher Exact; p=0,695
Dari hasil penelitian dilakukan uji statistik t 2 sampel untuk pemeriksaan perubahan frekuensi
napas pada 0' - 30', 0' - 60' dan 0'-120'. Hasil
pengujian menunjukkan: Frekuensi napas menurun lebih besar pada kelompok terapi standar yang diberi tiotropium, namun secara statistik penurunan ini tidak signifikan.
Dari hasil penelitian dilakukan uji statistik
X2 untuk pemeriksaan perubahan wheezing pada
0' - 30', 0' - 60' dan 0'-120'. Hasil pengujian menunjukkan: Wheezing menghilang lebih cepat pada kelompok standar yang diberikan tiotropium, namun secara statistik penurunan wheezing ini tidak signifikan.
Dari hasil penelitian dilakukan uji statistik Mann Whitney untuk pemeriksaan perbedaan skor
asma pada 0' - 30', 0' - 60' dan 0'-120'. Hasil
pengujian menunjukkan: Tidak ada perbedaan yang bermakna pada skor asma antara kelompok terapi standar yang diberi tiotropium dengan kelompok terapi standar + placebo pada seluruh pengamatan.
Pada kelompok tiotropium sebanyak 1 orang (5%) mengalami mual dan 1 orang (5%) merasa berdebar, sementara pada kelompok standar 2 orang (10%) merasa mual dan 1 orang (5%) berdebar.
Jumlah penderita yang harus dirawat inap lebih tinggi pada kelompok standar + placebo (25%)
20
dibanding kelompok tiotropium (15%) dengan relative risk 1,3. Secara statistik perbedaan ini tidak bermakna.
PEMBAHASAN
Serangan asma bronkial adalah suatu keadaan pada penderita asma bronkial yang timbul mendadak dan makin memberat dimana didapatkan keluhan sesak napas, mengi, batuk atau kombinasi sehingga penderita mengalami kesukaran bernapas. Serangan asma bronkial dapat terjadi pada semua jenis kelamin dan semua usia. Dari hasil penelitian, didapatkan sebanyak 40 penderita asma bronkial derajat sedang-berat dengan dengan usia termuda 13 tahun dan usia tertua 50 tahun. Rasio laki-laki dan perempuan adalah 10 orang dan 30 orang. Perbandingan tersebut sesuai dengan proporsi penderita asma di masyarakat, pada usia pascapuberti penderita asma banyak ditemukan pada perempuan.
Pada penelitian ini jumlah sampel minimal sesuai perhitungan statistik adalah 32 sampel, namun diambil kebijaksanaan mencukupkan 40 sampel untuk 2 kelompok. Kelompok A diberi terapi standar + tiotropium sedangkan kelompok B diberi terapi standar dan placebo.
Dasar terapi serangan asma bronkial ini adalah secepat mungkin mengembalikan saluran napas yang menyempit tersebut menjadi normal kembali. Penanganan asma akut terdiri dari terapi bronkodilator inhalasi, suplemen oksigen dan
kortikosteroid sistemik. Agonis β2 biasanya
direkomendasikan sebagai terapi bronkodilator awal yang bisa diberikan lewat MDI ataupun dengan tambahan peralatan spacer (Fitzgerald, 1997).
Terapi dengan menggunakan golongan
agonis β2 saat ini cukup populer dan merupakan
trend pada negara-negara maju. Cara kerja obat
golongan agonis β2 adalah relaksasi otot polos
bronkus, peningkatan klirens mukus, menghambat pengeluaran mediator-mediator kimiawi dari sel epitelial permukaan dan mencegah edema pada
sel endotelial. Salbutamol merupakan agonis β2
kerja cepat untuk merangsang reseptor adrenergik
β2 mengaktifkan adenilsiklase, mengikatkan cAMP
di intra sel dengan hasil akhir relaksasi otot polos bronkus.
Pada serangan asma yang berat
disarankan juga penggunaan kombinasi agonis β2
dengan antikolinergik pada tahap awal terapi. Rasionalisasi penggunaan terapi antikolinergik adalah fakta bahwa mekanisme reflek kolinergik yang berlebihan tampaknya didapatkan pada serangan asma. Kombinasi terapi bronkodilator inhalasi pada beberapa penelitian menunjukkan efek bronkodilatasi yang lebih besar dibanding
monoterapi dengan agonis β2 saja (Fitzgerald,
1997; Rodrigo, 2002).
Pengukuran faal paru dengan spirometer akan membuktikan secara langsung tentang adanya penurunan aliran udara dan
reversibilitinya. Penilaian FEV1 dapat dipakai
untuk menentukan beratnya serangan asma dan evaluasi respons terapi. Pada penelitian ini dapat
dilihat bahwa FEV1 cenderung mengalami
kenaikan pada kedua kelompok penelitian ( terapi standar + tiotropium dan terapi standar + placebo) (tabel 2). Demikian pula pengukuran PEFR mengalami peningkatan yang bermakna pada kedua kelompok penelitian (tabel 3). Namun
ternyata peningkatan FEV1 dan PEFR pada
kelompok yang diberikan tiotropium lebih besar dibanding kelompok standar yang diberi placebo. Pada menit 30, 60 dan 120 hasil analisa statistik menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna (tabel 8,9).
Penelitian Rodrigo (2002) menunjukkan pemberian multiple dose ipratropium bromide dan salbutamol meningkatkan FEV1 dan PEFR secara
bermakna. Dari baseline FEV1 26,0 % predicted
berubah menjadi 47,27% (menit 30), 53,93% (menit 60) dan 59,09 % (menit 120). Sementara PEFR dari baseline 32,8 % predicted meningkat menjadi 52,43% (menit 30), 57,19% (menit 60) dan 62,58% (menit 120) seperti halnya pada penelitian ini.
Pada saat serangan asma, frekuensi napas dan denyut nadi meningkat. Terjadi takikardi oleh karena hipoksemia atau akibat rangsangan adrenergik. Pemeriksaan denyut nadi cenderung menurun pada kedua kelompok penelitian. Terdapat perbedaan yang bermakna penurunan denyut nadi pada menit 30, 60 dan 120 (tabel 4), namun pada uji statistik antar kelompok denyut nadi menurun lebih cepat pada kelompok yang diberi tiotropium (tabel 10).
21
Pemeriksaan frekuensi napas terdapat kecenderungan yang menurun pada kedua kelompok penelitian. Pemeriksaan terhadap penurunan frekuensi napas didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan yang bermakna pada kedua kelompok penelitian pada menit 30, 60 dan 120 (tabel 5). Namun pada pemeriksaan frekuensi napas antar kelompok, frekuensi napas menurun lebih besar pada kelompok yang diberi tiotropium walaupun secara statistik penurunan ini tidak signifikan (tabel 11).
Pada uji klinis, terdapat perubahan wheezing (+) ke (-) pada menit ke 60 dan 120. Wheezing menghilang lebih cepat pada kelompok yang diberi tiotropium, namun secara statistik penurunan ini tidak signifikan (tabel 6 dan12).
Pada pemeriksaan skor asma, sebelum perlakuan skor asma terbanyak pada penderita serangan asma derajat sedang-berat adalah 5. Hasil uji statistik menunjukkan penurunan skor asma pada kedua kelompok penelitian secara signifikan mulai menit 30, 60 dan 120 (tabel 7). Namun perbedaan skor asma antar kelompok pada pre - 30', 30' - 60' dan 60'-120' tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (tabel 13).
Efek samping tiotropium yang sering didapatkan adalah mulut kering. Insiden mulut kering secara statistik signifikan terjadi pada kelompok tiotropium dibanding kelompok pembanding. Mulut kering biasanya ringan dan hilang setelah pengobatan dihentikan. Efek samping yang lain adalah konstipasi, moniliasis, sinusitis dan faringitis .
Pada penelitian ini, efek samping yang paling sering dikeluhkan adalah mual. Baik pada kelompok tiotropium maupun kelompok standar tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. Karena kedua kelompok memakai aminofilin sebagai salah satu komponen terapi, maka kemungkinan penyebab dari mual ini adalah aminofilin. Keluhan mulut kering tidak didapatkan pada penderita asma serangan akut yang diterapi di IRD ataupun unit rawat jalan. Hal ini mungkin disebabkan pemberian tiotropium yang hanya satu kali saja pada saat serangan asma belum memberikan efek samping yang berarti.
Penggunaan single dose protocol obat
antikolinergik dengan agonis β2 pada anak-anak
dengan serangan asma akut berat, menunjukkan
perbaikan sedang pada fungsi paru tanpa reduksi dari hospital adsmission rate. Namun pada orang dewasa, data menunjukkan peningkatan fungsi paru yang sama dengan penurunan hospital admission rate sekitar 35%. Sebaliknya pada penderita dengan asma akut ringan-sedang, tidak didapatkan keuntungan dari penambahan dosis tunggal obat antikolinergik (Rodrigo, 2003).
Pada penelitian ini jumlah penderita yang harus menjalani rawat inap setelah pengobatan lebih tinggi pada kelompok terapi standar yang diberi placebo dibanding kelompok dengan tiotropium, namun secara statistik tidak signifikan dengan relative risk 1,3.
Tiotropium bromide dipilih pada penelitian ini untuk melihat efek obat yang lebih baru. Tiotropium bersifat selektif pada reseptor muskarinik yang menimbulkan bronkokonstriksi dan bersifat bersifat long acting. Walaupun mempunyai onset yang lebih lama dibanding ipratropium, pada penelitian ini dalam waktu 30 menit sudah terlihat efek bronkodilatasi. Tiotropium mempunyai efek long acting sehingga diharapkan pemberian satu kali sehari sudah cukup untuk mempertahankan efek bronkodilatasinya.
Penelitian ini hanya mengamati penderita serangan asma selama kurang lebih 2 jam terapi. Sementara efek long acting tiotropium tidak bisa dinilai hanya dengan waktu 2 jam, karena itu tidak bisa disimpulkan adanya efek long acting obat pada penelitian ini.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
1. Pemberian terapi standar + placebo ataupun terapi standar + tiotropium pada penderita serangan asma derajat sedang-berat akan
terjadi kecenderungan kenaikan FEV1, PEFR,
penurunan denyut nadi, penurunan frekuensi napas, penurunan skor asma dan menghilangnya wheezing.
2. Terdapat perbedaan respon kenaikan FEV1,
PEFR, penurunan denyut nadi, penurunan frekuensi napas pada setiap kelompok penelitian pada menit ke 30, 60 dan 120.
3. Terdapat perbedaan yang bermakna kenaikan
FEV1 dan PEFR antara kelompok yang diberi
22
4. Penambahan tiotropium pada penderita
serangan asma derajat sedang-berat akan menurunkan denyut nadi, frekuensi napas dan skor asma lebih cepat dibanding dengan kelompok yang mendapat terapi standar + placebo.
5. Wheezing menghilang lebih cepat pada kelompok standar yang diberi tiotropium dibanding kelompok dengan placebo.
6. Efek samping pada penelitian ini jarang. Yang sering dikeluhkan adalah mual dan berdebar yang kemungkinan karena efek dari aminofilin
dan agonis β2. Sementara keluhan mulut
kering yang sering terjadi pada penderita yang memakai tiotropium tidak didapatkan.
7. Penderita serangan asma yang harus dirawat inap lebih tinggi pada kelompok standar yang diberi placebo dengan relative risk 1,3.
Saran
1. Tiotropium bromide dapat dipakai sebagai additional therapy dalam meningkatkan status kesehatan penderita serangan asma derajat sedang-berat.
2. Perlu penelitian lebih lanjut dengan waktu yang lebih lama untuk evaluasi efek long acting dari tiotropium
DAFTAR PUSTAKA
Amin M (2003). Peranan Antikolinergik Pada Asma. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Paru VI, Surabaya, 18 Oktober.
Barnes PJ (1993). Inflamation. In Bronkial Asthma
Mechanisms and therapeutics. 3rd ed. Editors:
Weiss EB, Stein M. Little Bown Co Boston: 88-95. Barnes PJ (1999). Airway Muscarinic Receptors in Anticholinergic Agents in The Upper and Lower Airways. Ed. Spector SL. New York: Marcel Dekker, 31-55.
Barnes PJ (2000). The Pharmacological Properties of Tiotropium. Chest, 117:63S-66S.
Buhl R, Farmer SG (2003). Current and Future Pharmacologic Therapy of Exacerbations in Chronic Obstructive Pulmonary Diasease and Asthma. Proc Am Thorax Soc; 1: 136-142.
Fitzgerald JM, Grunfeld A, Pare PD et al (1997). The Clinical Efficacy of Combination Nebulized Anticholinergic and Adrenergic Bronchodilator vs Nebulized Adrenergic Bronchodilator Alone in Acute Asthma. Chest, 111:311-15.
Garrett JE (1999). Anticholinergic Drug Therapy in the Management of Acute Severe Asthma in Anticholinergic Agents in The Upper and Lower Airways. Ed. Spector SL. New York: Marcel Dekker, 73-85.
Global Initiative for Asthma (2002). A six-part asthma management program. In Global Strategy for Asthma Management And Prevention. National Institutes of Health, National Heart, Lung and Blood Institute. 94-147.
Gross NJ (1999). Anticholinergic Agents as Bronchodilator in Anticholinergic Agents in The Upper and Lower Airways. Ed. Spector SL. New York: Marcel Dekker, 59-85.
Hall IP, Tattersfield AE (1992). β-Agonists in Asthma. 3 rd ed. Ed:Clark TJH, Godfrey S, Lee TH. London: Chapman & Hall, 341-365.
Mangunnegoro H. Asma. Patogenesis, Diagnosis dan Penatalaksanaan. Bagian Pulmonologi FKUI/Unit Paru. RSUP Persahabatan, Jakarta: 35-52.
Norman P, Graul A, Rabasseda X (2000). Tiotropium Bromide. Treatment of COPD Bronchodilator Muscarinic Antagonist. Drugs of the Future, 25(7): 693-699.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2004). Asma. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, Penerbit FK- UI Jakarta, 28-73.
Rodrigo GJ, Rodrigo C (2002). The Role of Anticholinergic in Acute Asthma Treatment. An Evidence Based Evaluation. Chest, 121:1977-1987.
Rodrigo GJ, Rodrigo C (2003). Triple Inhaled Drug Protocol for Treatment of Acute Severe Asthma. Chest, 123: 1908-1915
23
Rodrigo GJ, Rodrigo C, Hall JB (2004). Acute Asthma ini Adults. A Review. Chest, 125: 1081-1102.
Seale JP (2003). Anticholinergic bronchodilators. Austr Prescr; 26: 33-5.
Silverman R (2000). The Pathobiology of Asthma: Implications for Treatment. Clin in Chest Med; 21: 2
Siwik JP, Nowak RM, Zoratti EM (2002). The Evaluation and management of acute, severe asthma. Med Clin N Am; 86: 1049-1071.
Thomson NC (1992). Anticholinergic Drugs in Asthma. 3 rd Ed. Clark TJH, Godfrey S, Lee TH.