• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEARIFAN LOKAL PEMANFAATAN OBAT-OBATAN TRADISIONAL OLEH ETNIK KARO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEARIFAN LOKAL PEMANFAATAN OBAT-OBATAN TRADISIONAL OLEH ETNIK KARO"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR –FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEARIFAN LOKAL

PEMANFAATAN OBAT-OBATAN TRADISIONAL OLEH ETNIK KARO

Rospita Odorlina P. Situmorang dan Alfonsus H. Harianja Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli

Jln. Raya Parapat Km.10,5 Desa Sibaganding Parapat, Sumatera Utara

E-mail : pita_80s@yahoo.com, alfonso_hrj@yahoo.com Abstrak

Kearifan lokal merupakan suatu bentuk kearifan lingkungan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat di suatu tempat atau daerah. Penelitian bertujuan untuk: 1) mendeskripsikan eksistensi hutan di Kabupaten Karo dalam pemenuhan bahan baku obat-obatan; 2) mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi eksistensi kearifan lokal masyarakat Karo dalam memanfaatkan obat-obatan tradisional; serta 3) menggambarkan hal-hal yang dapat mengancam hilangnya pengetahuan penggunaan obat-obatan tersebut dalam budaya Karo. Penelitian bersifat kualitatif dan dianalisis menggunakan analisis taksonomi untuk mengungkap domain-domain yang mempengaruhi terpeliharanya kearifan lokal etnik Karo dalam memanfaatkan tanaman hutan obat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) hutan memberi manfaat berupa penyediaan bahan baku obat-obatan, serta meningkatkan kesehatan dan ekonomi masyarakat; 2) faktor-faktor yang mempengaruhi eksistensi kearifan lokal masyarakat Karo dalam memanfaatkan obat-obatan tradisional terdiri atas faktor dasar, faktor pendukung dan pendorong. Faktor dasar terdiri atas kegiatan adat istiadat, keyakinan pada khaisat obat-obat tradisional serta pandangan hidup etnik Karo yang menganggap bahwa setiap penyakit ada obatnya. Faktor pendukung terdiri atas keterbatasan fasilitas kesehatan dari segi jarak, fasilitas yang masih kurang, bahan baku obat di alam masih tersedia, serta pertimbangan ekonomis. Faktor pendorong berupa peranan media massa, tingkat keseriusan penyakit, dan pengaruh tokoh yaitu peramu obat-obatan dan orang yang aktif menggunakan obat-obatan tradisional; 5) era teknologi modern, minimnya promosi dan berkurangnya luas kawasan hutan dapat mengancam kelestarian kearifan lokal masyarakat pada komunitas tertentu dalam memanfaatkan obat-obatan tradisional.

Kata kunci : kearifan lokal, etnik Karo, tumbuhan, hutan, obat tradisional

I. Pendahuluan

Semua kelompok masyarakat sesuai karakter wilayah dan adatnya memiliki ketergantungan pada berbagai tumbuhan, paling tidak untuk sumber pangan (Winarti dan Nurdjanah, 2005; Gerique, 2006). Kehidupan modern telah mengenal lebih dari seratus jenis tumbuhan untuk sumber makanan, tetapi sebenarnya telah dipergunakan ribuan jenis tumbuhan di berbagai belahan bumi oleh berbagai etnik. Menurut Kementerian Kehutanan (2010), keunikan Indonesia yang memiliki keanekaragaman biodiversitas terbesar kedua setelah Brasil memiliki keunggulan komparatif dalam menumbuhkan ilmu pengetahuan tersebut. Tercatat tidak kurang dari 515 spesies mamalia (terbanyak di dunia), 1.519 spesies burung (keempat terbanyak), 270 spesies amfibia (kelima terbanyak), 600 spesies reptil (ketiga

(2)

terbanyak), 121 spesies kupu-kupu (terbanyak) dan 20.000 spesies tumbuhan berbunga (ketujuh terbanyak) menghuni habitat-habitat daratan dan lautan di kepulauan Indonesia.

Kearifan lokal merupakan suatu bentuk kearifan lingkungan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat di suatu tempat atau daerah. Menurut Suhartini (2009) kearifan lokal merupakan tatanilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan secara arif. Kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Keraf (2002) menambahkan bahwa semua bentuk kearifan lokal ini dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari generasi ke generasi sekaligus membentuk pola perilaku manusia terhadap sesama manusia, alam maupun gaib. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dilihat bahwa kearifan lokal tidak sama pada tempat dan waktu yang berbeda dan suku yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh tantangan alam dan kebutuhan hidup yang berbeda-beda, sehingga pengalaman dalam memenuhi kebutuhan hidup memunculkan berbagai sistem pengetahuan baik yang berhubungan dengan lingkungan maupun sosial.

Pengetahuan lokal dikembangkan berdasarkan pengalaman, telah diuji penggunaanya selama berabad-abad, dan telah diadaptasikan dengan budaya dan lingkungan setempat. Aspek ekologis dari pengetahuan masyarakat seringkali diselubungi oleh mistik atau tahyul karena praktek tersebut sudah lama dilakukan. Berkaitan dengan pemanfaatan obat tradisional, pengetahuan tersebut telah melalui tahapan yang panjang dan telah teruji secara turun temurun oleh masyarakat sehingga melahirkan pengetahuan yang masih bertahan hingga saat ini.

Etnik Karo merupakan salah satu suku di Sumatera Utara yang dalam kehidupan sehari-hari selalu berinteraksi dengan alam sekitarnya. Mereka memanfaatkan tumbuhan-tumbuhan untuk kepentingan sehari-hari, seperti kebutuhan pangan, pesta adat dan budaya, serta obat-obatan tradisional. Masyarakat Karo sejak dulu telah mengenal obat-obatan tradisional yang beragam. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Karo mengenal beberapa jenis penyakit dan juga cara-cara mengobatinya. Pengetahuan ini dikatakan sebagai salah satu kearifan lokal yang masih bertahan hingga saat ini.

Berkembangnya zaman dan masuknya budaya-budaya modern sering menjadi salah satu faktor penyebab hilangnya kebudayaan tradisional. Era globalisasi yang

(3)

juga sudah masuk ke Indonesia selain memberikan dampak positif dari sisi kemajuan teknologi, juga memberikan dampak negatif yaitu masuknya budaya barat yang dapat menggeser budaya lokal. Masuknya budaya modern tidak menutup kemungkinan dapat mengikis pengetahuan lokal masyarakat dalam meramu dan menggunakan obat-obatan tradisional. Mengantisipasi hal tersebut, pengetahuan-pengetahuan lokal yang bersifat positif perlu digali, diteliti, dipublikasikan dan diwariskan dari generasi ke generasi. Penelitian ini bermaksud untuk menggali lebih dalam hal-ahal apa saja yang dipandang mempengaruhi eksistensi kearifan lokal suku Karo dalam memanfaatkan tanaman obat-obatan. Apakah budaya-budaya modern tidak mempengaruhi tingkat penggunaan obat-obatan tradisional tersebut? Berdasarkan pertibangan dan pertanyaan tersebut maka dilakuka penelitian ini dengan idul “ Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kearifan Lokal Pemanfaatan Obat-Obatan Tradisional oleh Etnik Karo”

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendeskripsikan eksistensi kawasan hutan di Kabupaten Karo dalam pemenuhan bahan baku obat-obatan.

2. Mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi eksistensi kearifan lokal masyarakat Karo dalam memanfaatkan obat-obatan tradisional.

3. Menggambarkan faktor-faktor yang dapat mengancam hilangnya pengetahuan pemanfaatan obat-obatan tersebut dalam budaya suku Karo.

II. Metode Penelitian

a. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan metode pendekatan kualitatif. Penelitian deskriptif adalah penelitan yang tujuannya untuk menyajikan gambaran mengenai sebuah fenomena dan hubungan yang akan diuji. Penelitian ini mendeskripsikan eksistensi hutan di Kabupaten Karo dalam memenuhi bahan baku obat-obatan, faktor-faktor yang mempengaruhi eksistensi kearifan lokal masyarakat Karo memanfaatkan obat-obatan tradisional serta hal-hal apa saja yang dipandang dapat mengancam hilangnya pengetahuan dalam pemanfaatkan obat-obatan tersebut dalam budaya Karo.

b. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kabupaten Karo yang dilaksanakan pada bulan Mei hingga Nopember 2013.

(4)

c. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer terdiri atas hasil obervasi lapangan dan hasil wawancara. Data sekunder berupa dokumentasi data kependudukan dan perdagangan yang diperoleh dari Badan Pusat Statistika Kabupaten Karo, dan data eksisting hutan di Kabupaten Karo yang diperoleh dari Dinas Kehutanan Kabupaten Karo. Cara pengambilan sampel dilakukan secara acak (

random sampling

) dan sampel bertujuan (

purposive

sampling).

Sampel acak dilakukan kepada responden pengguna obat-obatan tradisional. Sementara

purposive sampling

dilakukan kepada responden yang terdiri atas peramu obat-obatan tradIsional. Data yang dikumpulkan berasal dari 46 responden, yang terdiri atas 38 responden pengguna obat-obatan tradisional, 2 orang petani pengumpul obat, dan 6 responden peramu obat-obatan tradisional. d. Teknik Analisis

Data yang diperoleh dianalisis dengan pendekatan kualitatif. Teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis taksonomi (

taxonomic analysis

). Bungin (2003) menyatakan bahwa teknik analisis taksonomik adalah teknik analisis yang terfokus pada domain-domain tertentu, kemudian memilih domain menjadi subdomain serta bagian yang lebih khusus dan dijadikan sebagai variabel dan indikator penelitian. Dalam penelitian ini, dikelompokkan domain-domain penting yang menjadi cakupan kearifan lokal yang memberi pengaruh terhadap eksistensi dan ancaman kearifan lokal memanfaatkan obat-obatan tradisional oleh etnik Karo.

III. Hasil dan Pembahasan

a. Eksistensi Hutan Bagi Pemenuhan Obat-Obatan Tradisional

Sumber daya hutan mempunyai potensi multifungsi yang dapat memberikan manfaat ekonomi, lingkungan dan sosial bagi kesejahteraan manusia. Manfaat sumber daya hutan berasal dari hasil hutan kayu dan hasil hutan non kayu. Tanaman obat merupakan golongan hasil hutan bukan kayu (HHBK). HHBK dipandang memiliki peranan penting yang sangat bersinggungan dengan mayarakat sekitar hutan. HHBK memilki peran dalam peningkatan perekonomian, dan sekaligus dapat menjaga kelestarian hutan karena cara pengambilannya sebagian besar tidak melalui proses penebangan.

Peranan hutan dalam pemenuhan bahan baku obat-obatan juga sangat besar. Hal ini disebabkan oleh berbagai jenis bahan obat-obatan yang diramu untuk

(5)

pengobatan masih banyak belum dibudidayakan (belum ditanam sendiri) dan masih mengambil dari hutan. Hal ini juga sejalan dengan penelitian sebelumnya mengenai eksplorasi tanaman obat yang dilakukan di hutan alam ataupun hutan konservasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Harianja, dkk (2010) ditemukan 156 jenis tanaman obat yang dieksplorasi dari hutan alam di Kecamatan Barusjahe dan Namanteran serta dari Taman Hutan Raya (Tahura) di Berastagi. Patimah (2010) juga melakukan eksplorasi tumbuhan obat di kawasan hutan gunung Sinabung dan menemukan 21 jenis tumbuhan obat. Harianja (2012) juga menyebutkan bahwa bahan baku obat-obatan banyak diambil oleh masyarakat dari Taman Hutan Raya (Tahura) di Tongkoh dan hutan alam. Sembiring (2013) juga telah mengidentifikasi 38 jenis tumbuhan obat dari lokasi hutan pendidikan Universitas Sumatera Utara yang berada di dalam kawasan Tahura Tongkoh.

b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Tanaman Obat-obatan oleh Etnik Karo

Ramuan obat-obatan yang dibuat oleh etnik Karo dikenal dengan “obat Karo” sudah dikenal luas oleh masyarakat Karo, bahkan juga di luar Kabupaten Karo. Obatan-obatan tradisional tersebut diperdagangkan dalam bentuk bahan baku dasar ataupun dalam bentuk olahan. Obat Karo yang pada umumnya sudah dalam bentuk siap pakai tersebut cukup diminati oleh konsumen karena penggunaannya sudah relatif lebih mudah jika dibandingkan dengan penggunaan bahan dasar (misalnya dalam bentuk daun, buah, biji, kulit batang, dll). Bahan-bahan olahan tersebut dibuat dalam bentuk tepung, minyak urut dan minyak oles, padatan berbentuk bulat padat ( disebut

param

yang cara penggunaannya dilumerkan dan dioleskan ke badan).

Menurut Ritohardoyo (2009) pandangan, perilaku dan tindakan manusia terhadap sesuatu hal dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor- faktor tersebut terdiri atas faktor dasar, faktor pendukung dan faktor pendorong. Faktor dasar terdiri atas esensi manusia itu sendiri, faktor pendukung yang terdiri atas pendidikan, pekerjaan, strata sosial, budaya, fasilitas, dan lain-lain. Sementara faktor pendorong adalah media, penyuluhan, tokoh agama dan masyarakat.

Eksistensi kearifan lokal masyarakat Karo dalam mempertahankan pengetahuan penggunaan obat-obatan tradisional diyakini juga dipengaruhi oleh berbagai faktor yang terdapat dalam konsep menurut Ritohardoyo (2009). Faktor-dasar, faktor pendukung dan faktor pendorong yang mempengaruhi kearifan lokal

(6)

pemanfaatan obat-obatan tradisional oleh etnik Karo disajikan pada Gambar 1 berikut.

Gambar 1. Taksonomi faktor-faktor yang mempengaruhi kearifan lokal pemanfaatan tanaman obat oleh etnik Karo (Sumber: Data Primer 2013)

Faktor dasar yang mempengaruhi kearifan lokal pemanfaatan obat-obatan tradisional oleh etnik Karo terdiri atas faktor adat-istiadat, keyakinan dan pandangan hidup. Pengobatan tradisional Karo sudah ada sejak dahulu kala. Pada jaman dahulu sebutan bagi orang yang pandai mengobati disebut “guru” sedangkan sekarang maknanya menjadi tabib atau dukun. Namun pada jaman dahulu peranan guru tidak hanya dalam kegiatan pengobatan, tetapi juga menjadi tokoh dalam

Faktor Dasar Adat istiadat Kepercayaan Pandangan hidup

Menggunakan tanaman obat dalam upacara adat Yakin dengan obat Karo karena sudah lama dipakai

Masih ada filosofi hidup lit bisa lit tawar

Faktor Pendukung Pertimbangan ekonomis Kemudahan akses

Harga relatif lebih murah

Fasilitas kesehatan yang masih relatif jauh khususnya di daerah pedesaan

Faktor Pendorong Media Massa dan penyuluhan Tokoh/ orang lain Tingkat keseriusan penyakit

Media massa yang mengangkat keunggulan penggunaan produk-produk alami

Peramu obat tradisional masih eksis hingga saat ini

Penyakit-penyakit serieus semakin meningkat Mencoba berbagai alternatif pengobatan termasuk obat tradisional demi kesembuhan Apapun akan dilakukan demi kesembuhan

Pengalaman dari orang lain yang menggunakan produk yang sama

Yakin efek samping obat alami yang lebih rendah

Bahan baku pada umumnya masih mudah diperoleh

Dapat dijadikan sebagai sumber mata pencaharian F A K T O R - F A K T O R

(7)

kegiatan ritual keagamaan dan upacara tradisional. Seperti misalnya dahulu dikenal ramuan “pangir” yang berfungsi untuk pengobatan dan diberikan oleh guru terhadap pasien untuk menyembuhkan penyakit tertentu. Bahan-bahan pangir tersebut sebagian besar berasal dari tumbuh-tumbuhan.

Pengalaman dalam mengobati serta mengenal beberapa jenis jenis tumbuhan obat diperoleh ketika “sang guru” mulai memperhatikan berbagai jenis bahan obat-obatan lainnya seiring dengan datangnya berbagai pasien dengan gejala penyakit yang berbeda. Melalui pengalaman menyembuhkan berbagai penyakit, memunculkan adanya filosofi “

lit bisa lit tawar”

pada masayarakat Karo dahulu. Filosofi tersebut memiliki arti setiap racun pasti ada penawarnya atau setiap penyakit pasti ada obatnya. Hal ini menunjukkan bahwa adat-istiadat tradisional dan pandangan hidup etnik Karo memiliki hubungan yang erat dengan tradisi pengobatan menggunakan tumbuh-tumbuhan.

Sejalan dengan pengaruh adat istiadat, dan pandangan hidup, masih bertahannya pemanfaatan obat-obatan tradisional juga disebabkan oleh keyakinan pada khasiat obat tradisional itu sendiri. Keyakinan ini muncul karena obat-obatan tersebut sudah dipakai secara turun temurun, dari generasi ke generasi. Meskipun perkembangan jaman sekarang sudah mulai mengikis budaya-budaya tradisional, namun produk obat-obatan tradisional masih bertahan hingga saat ini disebabkan keyakinan pada rendahnya efek negatif obat tradisional dan obat yang berasal dari bahan-bahan alami.

Faktor pendukung pemanfaatan obat-obat tradisional terdiri dari faktor ekonomis dan kemudahan akes. Masyarakat sebagian besar menganggap obat-obatan tradisional lebih murah jika dibandingaan dengan obat - obat-obatan modern/kimia sehingga kebutuhannya masih relatif tinggi. Kebutuhan yang tinggi ini mengakibatkan terciptanya pasar obat-obatan tradisional sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu peluang usaha. Beberapa pasar tersebut dapat ditemukan di pusat Pasar Kabanjahe, Pasar Berastagi, Pasar Tigapanah, dan Pasar Singa. Obat-obatan seperti

kuning, tawar

, dan minyak urut merupakan obat-obatan yang memiliki permintaan yang tinggi karena obat-obatan ini dianggap sebagai “obat wajib” yang dimiliki oleh orang Karo.

Pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) yang jauh dari pemukiman penduduk serta keterbatasan alat-alat kesehatan di pusat kesehatan juga dipandang mempengaruhi penggunaan obat-obatan tradisional. Obat-obatan

(8)

tradisional biasanya digunakan sebagai pertolongan pertama. Pengobatan medis dilakukan jika penyakit yang dialami semakin parah.

Ketersediaan bahan baku yang masih mudah diperoleh juga ikut mempengaruhi permintaan obat-obatan tradisional. Pada saat penelitian ini dilaksanakan, pedagang obat-obatan menyatakan bahwa perolehan bahan baku obat dari alam masih belum menjadi kendala. Antisipasi kekosongan bahan baku dilakukan dengan cara penyediaan baha baku dalam jumlah yang besar. Bahan baku segar kemudian dikeringkan atau kemudian dihaluskan agar lebih tahan lama. Pedagang biasanya melakukan kerjasama dengan petani pengumpul untuk memudahkan pemenuhan bahan baku.

Peran faktor pendorong juga penting dalam mempertahankan eksistensi penggunaan obat-obat tradisional pada Etnik Karo. Faktor pendorong tersebut adalah peranan media massa, peranan tokoh dan tingkat keseriusan penyakit. Media massa yang banyak mempromosikan obat-obatan berbahan alami atau biasa disebut obat herbal turut mempengaruhi pola pikir masyarakat untuk kembali ke produk alami (

back to nature

). Prisip

back to nature

dapat peningkatan permintaan produk-produk herbal atau obat tradisional. Sementara peran tokoh/personal yang memberi informasi kepada pengguna dianggap sebagai peran yang paling mempengaruhi konsumsi obat-obatan tradisional. Tokoh atau personal dimaksud adalah pengguna yang sudah berpengalaman, peramu obat-obatan (tabib), atau pelaku usaha obat-obatan. Mereka mempromosikan khasiat obat-obatan tradisonal dan kadang-kadang dibuktikan dengan kesembuhan yang talah diperoleh.

Berkembangnya jenis penyakit berat atau penyakit serius juga dipandang sebagai faktor pendorong masih bertahannya kearifan lokal pemanfaatan obat tradisonal hingga saat ini. Penyakit-penyakit serius seperti sakit jantung, kanker, diabetes, darah tinggi dan penyakit-penyakit serius lainnya semakin meningkat karena pola hidup yang tidak sehat. Penyakit-penyakit serius tersebut akan mempengaruhi si penderita untuk melakukan berbagai tindakan pengobatan untuk memperoleh kesembuhan termasuk mengkonsumsi obat-obat tradisional. Sebagai contoh yang ditemukan pada lokasi penelitian, dimana sebagian besar penderita diabetes mengkonsumsi obat-obatan tradisional secara rutin disamping mengkonsumsi obat dari dokter.

(9)

c. Faktor-Faktor yang Mengancam

Tiga dekade terakhir terjadi pertumbuhan pengobatan bahan alam yang cukup substansial di berbagai penjuru dunia. Saat ini, 80% populasi di negara berkembang menggunakan obat berbasis bahan alam. WHO telah memprediksikan bahwa pada dekade mendatang persentase yang sama dari penduduk dunia akan menggunakan obat dari bahan alam. Di negara-negara berkembang, penggunaan obat dari bahan alam didukung oleh efek samping dari obat bahan kimia dan semakin besarnya akses publik tentang informasi kesehatan. Pengobatan berbasis tanaman tahun 2005 telah mencapai 30% (WHO, 2005

dalam

Pasaribu, 2009).

Sejalan dengan prediksi WHO tersebut, peramu dan sekaligus distributor obat-obatan tradisional di Kabupaten Karo juga mengungkapkan hal yang sama, yaitu permintaan obat-obat tradisional tetap meningkat. Namun tingginya animo masyarakat terhadap permintaan obat sering menghadapi beberapa tantangan. Beberapa tantangan tersebut adalah terjadinya degradasi pengetahuan dan penggunaan obat-obat tradisional pada generasi muda, kurangnya dukungan pengembangan, dan semakin menurunnya ketersediaan bahan baku obat.

Kearifan lokal masyarakat Karo dalam meramu dan menggunakan obat-obatan tradisional terjadi secara turun temurun. Pengetahuan tersebut diturunkan dari orangtuanya bahkan dari kakek-buyutnya sehingga sering dijumpai kelompok penjual obat-obat tradisional berasal dari satu keluarga atau satu keturunan. Pengetahuan peramu obat-obatan juga sering disertai dengan pengetahuan memijat (urut atau kusuk) dan menyembuhkan beberapa penyakit secara tradisional. Pengetahuan didapat karena diajarkan oleh orang tua, keluarga atau karena sudah terbiasa dilingkungan pengguna dan ahli obat-obatan tradisional.

Globalisasi yang memungkinkan masuknya teknologi modern dapat mempengaruhi pola pikir generasi muda untuk memandang masa depan sebagai kehidupan yang modern dan jauh dari hal-hal yang bersifat tradisional. Hal ini dapat mengakibatkan menurunnya minat generasi muda untuk menekuni bidang-bidang yang bersifat tradisional temasuk menekuni pengetahuan di bidang-bidang pengobatan tradisional. Kondisi tersebut juga ditemukan pada masyarakat Karo. Pengetahuan akan kasiat berbagai tanaman obat yang biasanya didapat dari pangalaman mengkonsumsi sendiri atau dari orang lain semakin menurun karena menurunnya minat generasi muda dalam menekuni bidang pengobatan tradisional. Degradasi pengetahuan tersebut semakin cepat karena kurangnya motivasi dari

(10)

pelaku usaha peramu obat-obatan. Orang tua yang memiliki profesi sebagai peramu obat pada asaat ini lebih cenerung menyarankan anaknya untuk bekerja di kantoran seperti pengawai bank, pegawai negeri, dokter, ahli hukum, dan ahli ekonomi. Pekerjaan tersebut dianggap lebih “bergengsi” dan dapat menjamin masa depan anak-anak mereka. Pekerjaan menjadi peramu obat dan penjual obat dipandang sebagai pekerjaan ketika sudah tidak ada harapan dapat bekerja di sektor-sektor tersebut. Sebagai akibatnya, keberadaan kearifan lokal meramu obat tradisional Karo dapat mengalami degenerasi.

Eksistensi pengetahuan dalam memanfaatkan obat tradisonal dapat terancam karena kurangnya upaya pengembangan. Promosi, gelar teknologi, studi banding dan peningkatan pengetahuan para pelaku usaha juga dianggap sebagai faktor yang dapat mendukung pengembangan pemanfaatan obat tradisional. Kegiatan-kegiatan tersebut sangat jarang dilakukan untuk peningkatan kapasitas pelaku usaha. Mereka jarang dilibatkan dalam temu usaha dan gelar teknologi dengan para pelaku usaha yang berasal dari daerah lain. Kondisi ini dapat mengakibatkan pengetahuan masyarakat mengelola obat-obatan tradisional menjadi „jalan ditempat‟ dan bahkan mundur karena tidak adanya peningkatan pengetahuan, kurang dukungan pemerintah, dan tidak mendapat sentuhan modern.

Pada umumnya pelaku usaha obat tradisional Karo mempertahankan pengetahuan mereka atas upaya sendiri. Mereka membuat buku catatan resep obat-obatan sehingga dapat dipakai oleh orang lain atau generasi berikutnya. Mereka merasa kurang mendapat dukungan dari pemerintah. Menurut pengakuan pelaku usaha, meskipun „obat Karo‟ sudah cukup dikenal, mereka kadang takut menjalankan usaha karena tidak memiliki ijin usaha karena penerbitan ijin yang sulit, dan adanya anggapan pihak medis bahwa dosis obat tradisional tidak direkomendasikan oleh dokter dan beresiko untuk dikonsumsi. Dalam pasar modern, obat Karo juga kurang mendapat pengakuan karena tidak memiliki dosis yang tepat, kurang higenis, dan kemasan kurang menarik karena kurang mendapat sentuhan modern seperti obat-obat herbal yang akhir-akhir ini semakin berkembang.

Berkurangnya pasokan bahan baku juga dapat mengancam kearifan lokal dalam penggunaan tanaman obat. Tingginya eksploitasi hutan, penanaman hutan secara monokultur dan tidak adanya upaya budidaya dapat menurunkan pasokan bahan baku. Bahan baku yang dulunya mudah diperoleh menjadi susah dicari dan jumlahnya terbatas. Belum ada upaya budidaya dalam bentuk pembuatan kebun

(11)

tanaman untuk mengkoleksi tanaman obat dan sekaligus memproduksi bahan baku tanaman untuk diolah. Kondisi tersebut juga dialami oleh pelaku usaha obat-obatan di Kabupaten Karo, yaitu beberapa bahan baku sudah semakin susah ditemukan, pengambilannya semakin jauh ke dalam hutan, dan kadang-kadang bahan baku harus didatangkan dari luar Kabupaten Karo.

d. Rekomendasi Pengelolaan

Implementasi yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah rekomendasi kebijakan dan strategi pengembangan tanaman obat untuk mewujudkan agrobisnis dan agroindustri kehutanan yang berdayasaing, berkelanjutan dan mampu meningkatkan kesejahteraan petani. Pola pengembangan dan pemberdayaan masyarakat disajikan pada Gambar 2 berikut :

Gambar 2. Pola pengembangan dan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan tanaman obat-obatan tradisional.

Tanaman potensial obat-obatan perlu diperhatikan ketersediaannya di hutan. Berbagai jenis tanaman hutan yang sering dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan obat-obatan tradisional hendaknya lebih diperhatikan. Tanaman dengan tingkat pemanfaatan yang tinggi perlu diperhatikan untuk dibudidayakan. Teknik budidaya (silvikultur) jenis-jenis tanaman tersebut perlu dipelajari dan disosialisasikan kepada petani untuk mencegah kepunahan di alam dan sekaligus Pengelolaan pemanenan Budidaya Kelestarian hutan Penguatan kapasitas kelembagaan dan pendanaan Peningkatan Produktivitas Jaringan Pemasar-an Teknologi pascapanen, pengembangan Industri hilir (farmasi),

dan jaminan mutu

Pelatihan untuk optimalisasi

potensi Dukungan:

SDA (hutan) dan pengetahuan masyarakat (SDM)

Kemandirian dan kesejahtera-an masyarakat sekitar hutan (hukum, sosial, ekonomi)

(12)

mengembangkan tanaman-tanaman potensial bahan baku obat penyakit berbahaya. Tanaman hutan jenis perdu/semak sebagian besar cocok dijadikan sebagai tanaman pekarangan. Usaha pembuatan kebun tanaman obat-obatan perlu dipertimbangkan unutk mengurangi ketergantungan kepada hutan, melestarikan jenis tananaman potensial, dan meningkatkan ketersediaan bahan baku secara kontinu.

Penguasaan teknologi pascapanen bahan-bahan organik seperti tanaman perlu diketahui oleh pengusaha dan distributor obat-obatan tradisonal. Teknologi ini perlu dikuasai agar produk-produk olahan dapat bertahan dalam jangka waktu yang lebih lama tanpa merusak atau meminimalisir kerusakan kandungan kimia yang bermanfaat. Sosialisasi dan pengolahan lanjutan (industri hilir) dari bahan baku obat-obatan ini perlu dilakukan dalam rangka menindaklanjuti pengolahan produk-produk obat tradisional menjadi obat-obatan yang lebih modern, tepat dosis, memiliki jaminan mutu, kemasan menarik dan mudah dikonsumsi. Perkembangan teknologi hilir yang membutuhkan bahan baku dari alam akan memicu peningkatan produktivitas bahan baku di tingkat petani.

Pelatihan, magang, penyuluhan teknologi, dan ekspose teknologi merupakan metode pembelajaran yang digunakan sebagai media penyebarluasan teknologi di tingkat petani. Melalui penyebarluasan dapat meningkatkan motivasi dari pelaku usaha kecil dalam pengembangan tanaman berkhasiat obat.

Tanaman obat (biofarmaka) pada hakekatnya merupakan tanaman yang potensial dan menguntungkan untuk dikembangkan. Keterbatasan pasar akibat kualitas, kuantitas dan kontinuitas, serta belum memenuhi standar perlu diperbaiki dalam rangka upaya perluasan pasar tidak hanya di dalam negeri, tetapi di luar negeri. Penguatan kelembagaan dan pemasaran dapat membantu mewujudkan kemitraan antara produsen atau pelaku usaha dengan industri nasional (industri farmasi). Kelembagaan yang kuat perlu dijalin untuk menciptakan bisnis yang saling menguntungkan kedua-belah pihak.

IV. Kesimpulan dan Saran

a. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, maka diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :

(13)

1. Hutan memberi manfaat bagi masyarakat etnik Karo dalam menyediakan bahan baku obat-obatan dan sekaligus memberi dampak pada peningkatan kesehatan dan ekonomi masyarakat.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi eksistensi kearifan lokal masyarakat Karo dalam memanfaatkan obat-obatan tradisional terdiri atas faktor dasar, faktor pendukung dan pendorong. Faktor dasar terdiri atas kegiatan adat istiadat yang berhubungan dengan penggunaan berbagai tumbuhan untuk pengobatan, keyakinan pada khaisat obat-obat tradisional serta pandangan hidup etnik Karo yang menganggap bahwa setiap penyakit ada obatnya. Faktor pendukung terdiri atas keterbatasan fasilitas kesehatan dari segi jarak, fasilitas yang masih kurang, bahan baku obat di alam masih tersedia, serta pertimbangan ekonomis dari segi harga serta dapat meningkatkan pendapatan ekonomi. Faktor pendorong berupa peranan media massa yang mengangkat penggunaan produk-produk alami, tingkat keseriusan penyakit, dan pengaruh tokoh yaitu peramu obat-obatan dan orang yang aktif menggunakan obat-obat-obatan tradisional.

3. Era teknologi yang semakin canggih, kurangnya promosi dari pemerintah serta berkurangnya luas kawasan hutan dapat mengancam kelestarian kearifan lokal masyarakat pada komunitas tertentu dalam memanfaatkan obat-obat tradisional.

b. Saran

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, maka diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Kearifan lokal masyarakat dalam memanfaatkan tanaman obat-obatan perlu dilestarikan karena pengetahuan itu dapat dijadkan sebagai modal dalam pengembangan dibidang farmasi ditengah semakin kompleksnya berbagai jenis penyakit saat ini.

2. Diperlukan upaya pemerintah dalam menggali potensi pengetahuan masyarakat secara khusus para peramu obat-obatan melalui kegiatan penambahan wawasan, studi banding, upaya budidaya tanaman obat dan saling berbagi pengalaman dengan pihak-pihak yang tertarik dengan bidang pengobatan tradisional. Hal ini diperlukan agar pengetahuan peramu obat-obatan semakin meningkat, promosi meningkat, ketersediaan bahan baku dapat dipertahankan dan terjadi transfer pengetahuan kepada generasi selanjutnya.

(14)

DAFTAR PUSTAKA

BPS. 2012. Karo dalam Angka 2012. Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo. Kabanjahe.

Bungin, B. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Raja Grafindo Persada. Jakarta Gerique, A. 2006. An introduction to Ethnoecology and Ethnobotany Theory and

Methods. Advanced Scientific Training, Loja. Ecuador.

Harianja, A., W. Kuswanda, dan A. Sukmana. 2010. Peningkatan Manfaat Tanaman Obat dari Hutan Konservasi pada Komunitas Karo, Sumatera Utara. Laporan Hasil Penelitian, Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli. Parapat.

Harianja, A. 2012. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Tumbuhan Obat dari Hutan Konservasi di Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Makalah utama pada Ekspos Hasil-hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli tahun 2012. Medan.

Kementerian Kehutanan. 2010. Rencana Penelitian Integratif. Puskonser Libang Kehutanan. Bogor.

Keraf, A.S. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta

Pasaribu, G. T. 2009. Zat Ekstraktif Kayu Raru dan Pengaruhnya terhadap Penurunan Kadar Gula Darah Secara In Vitro. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Patimah. 2010. Keanekaragaman Tumbuhan Obat di Kawasan Hutan Gunung Sinabung Kabupaten Karo Sumatera Utara. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan

Ritohardoyo, S. 2009. Ekologi Manusia. Bahan Ajar Program Studi Ilmu Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, UGM. Yogyakarta

Sembiring, R., B. Utomo dan R. Batubara. 2013. Keanekaragaman Vegetasi Tanaman Obat di Hutan Pendidikan Universitas Sumatera Utara Kawasan Taman Hutan Raya Tongkoh Kabupaten Karo Sumatera Utara.

jurnal.usu.ac.id/index.php/PFSJ/article/download/3521/1679.

Diakses pada tanggal 1 September 2013.

Suhartini. 2009. Kajian Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta. Nomor B - 206 – B218. (h

ttp://staff. uny.ac.id/sites/default/ files/ penelitian/

Ir.%20Suhartini,%20MS./Shtn%20Semnas%20MIPA%2009%20Kearifan%20L

okal.pdf

. Diakses pada tanggal 20 Maret 2013.

Winarti, C dan N. Nurdjanah. 2005. Peluang Tanaman Rempah dan Obat Sebagai Sumber Pangan Fungsional. Jurnal Litbang Pertanian, 24 (2), 2005, Halaman: 47-55. http://pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/p3242051.pdf. Diakses pada tanggal 5 Januari 2013.

Gambar

Gambar 1. Taksonomi faktor-faktor yang mempengaruhi kearifan lokal pemanfaatan  tanaman obat oleh etnik Karo (Sumber: Data Primer 2013)
Gambar 2. Pola pengembangan dan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan  tanaman obat-obatan tradisional

Referensi

Dokumen terkait

Rasa cinta tanah air atau nasionalisme dalam tulisan ini adalah rasa kebanggaan, rasa memiliki, rasa menghargai, rasa menghormati dan loyalitas yang dimiliki oleh

Berdasarkan pertimbangan sebagaimana telah diuraikan di atas maka tindakan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Demak dalam menerbitkan Sertipikat Hak Milik Nomor

Kedua selebiti tersebut adalah Eko patrio dan Primus Yustisio, artinya hanya 11% saja rasio keberhasilan caleg dari kalangan artis yang memenangkan pertarungan

Berdasarkan hasil penelitian diketahui gambaran nyata bahwa variabel prediktor yang diteliti, yakni Kemampuan Manajerial Kepala Sekolah, Budaya Organisasi dan

Ekspor Produk COVID-19 Medical Supplies asal Indonesia juga tidak terlepas dari interdependensi dengan negara lain pada level yang beragam. Dari 17 kelompok produk yang merupakan

Open loop system merupakan sebuah sistem yang tidak menggunakan feedback dari hasil output sebelumnya. Sehingga Open loop system hanya akan memberikan output

Hal ini terlihat bahwa kementerian/Lembaga menjalankan kebijakannya sesuai dengan kepentingan masing-masing, termasuk membuat kebijakan mengenai perbatasan cenderung

Faktor kegiatan manusia yang dapat menyebabkan banjir adalah adanya pemukiman liar di daerah bantaran sungai, penggunaan alih fungsi resapan air untuk pemukiman, tata kota yang