• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tatalaksana Leukemia Mieloid Kronik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tatalaksana Leukemia Mieloid Kronik"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Alamat Korespondensi email:

Akreditasi PB IDI–2 SKP

Tatalaksana Leukemia Mieloid Kronik

Hastarita Lawrenti

Medical Department PT Kalbe Farma Tbk. Jakarta, Indonesia

ABSTRAK

Leukemia mieloid kronik merupakan kanker yang berasal dari sel-sel di sumsum tulang pembentuk sel-sel darah putih (selain limfosit), sel darah merah, atau trombosit. Penyakit ini dijumpai pada sekitar 15% dari semua leukemia dan 7-20% dari leukemia pada dewasa. Median usia saat didiagnosis adalah 55-60 tahun. Sampai dengan 50% pasien tidak menunjukkan gejala dan sering didiagnosis secara tidak sengaja saat pemeriksaan darah rutin. Kromosom Philadelphia akibat translokasi kromosom 9 dan 22, diidentifikasi pada sebagian besar pasien. CML (Chronic

Myeloid Leukemia) diklasifikasikan menjadi 3 fase, yaitu fase kronik, akselerasi, dan blast. Pilihan terapi CML termasuk transplantasi sel punca

alogeneik, penghambat tyrosine kinase, penghambat sintesis protein, serta obat-obat lain yang sedang dikembangkan. Penghambat tyrosine

kinase memperbaiki harapan hidup. Pemilihannya tergantung fase penyakit, profil efek samping, dan kondisi pasien.

Kata kunci: Leukemia mieloid kronik, tatalaksana

ABSTRAcT

Chronic myeloid leukemia (CML) is a cancer from bone marrow cells that may produce white blood cells (except lymphocytes), red blood cells, or platelets. It accounts for approximately 15% of all leukemias and 7-20% of adult leukemias. Median age at diagnosis is 55-60 years old. Up to 50% of patients are asymptomatic and incidentally diagnosed by routine blood test. The Philadelphia chromosome, as a result of translocation of chromosomes 9 and 22, is identified in most CML patients. CML is classified into 3 phases, which are chronic phase, accelerated phase, and blast phase. Treatment options include allogeneic stem cell transplantation, tyrosine kinase inhibitors, protein synthesis inhibitor, and other drugs. Tyrosine kinase inhibitors may improve patients’ survival. The selection of tyrosine kinase inhibitors depends on the disease phase, side effect profile, and condition of the patient. Hastarita Lawrenti. Management of chronic Myeloid Leukemia.

Keywords: Chronic myeloid leukemia, management

PENDAHULUAN

Leukemia merupakan kanker yang berasal dari sel-sel pembentuk darah dalam sumsum tulang.1,2 Penyakit ini dijumpai pada anak

dan dewasa, yang dapat terjadi jika terdapat perubahan dalam proses pengaturan sel normal sehingga mengakibatkan proliferasi sel-sel punca hematopoietik dalam sumsum tulang.2 Ada 4 subtipe leukemia yang

ditemukan yaitu leukemia limfositik akut, leukemia mieloid akut, leukemia limfositik kronik, dan leukemia mieloid kronik.1-3

Suatu leukemia dikatakan akut atau kronik adalah tergantung pada sebagian besar sel-sel abnormal yang dijumpai.1 Jika sel-sel lebih

menyerupai sel punca (imatur) maka dikatakan

akut, sedangkan jika sel-sel lebih menyerupai sel normal (matur) maka dikatakan kronik.1

Pada leukemia akut, sel-sel imatur terus memperbanyak diri dan tidak dapat menjadi matur sebagaimana mestinya.1,3 Tanpa

terapi, sebagian besar pasien leukemia akut hanya hidup beberapa bulan.1,3 Berbeda

halnya dengan sel-sel pada leukemia kronik, pertumbuhannya lambat dan pasien dapat hidup lebih lama sebelum timbul gejala.1,3

Kali ini, yang akan dibahas lebih lanjut adalah mengenai leukemia mielogenous kronik. Leukemia Mieloid Kronik

Leukemia mieloid (disebut juga mielositik, mielogenous, atau non-limfositik) berasal dari sel-sel mieloid tahap awal, yang akan

membentuk sel darah putih (selain limfosit), sel darah merah, dan trombosit.1-3 Leukemia

mieloid kronik ditandai dengan terdeteksinya kromosom Philadelphia (Ph).4-6 Abnormalitas

kromosom ini pertama kali ditemukan di Philadelphia pada tahun 1960 oleh Peter C. Nowell dan David Hungerford.6,7 Kromosom

Philadelphia merupakan hasil translokasi kromosom 9 dan 22 yang mengakibatkan fusi gen ABL, menghasilkan protein fusi BCR-ABL yang berperan dalam terjadinya leukemia mieloid kronik.4,5,8 BCR-ABL memiliki aktivitas

tyrosine kinase yang memicu pertumbuhan

dan replikasi sel leukemik melalui downstream

pathway seperti RAS, RAF, JUN kinase, MYC,

dan STAT.8 Kromosom Philadelphia ditemukan

pada 95% pasien leukemia mieloid kronik,9,10

(2)

5% pasien mengalami translokasi kompleks atau varian yang melibatkan kromosom tambahan yang akhirnya mengakibatkan fusi gen BCR-ABL.10

EPIDEMIOLOGI

Pada tahun 2016, di AS diperkirakan ada sekitar 8.220 kasus baru leukemia mieloid kronik dan sekitar 1.070 orang meninggal karena penyakit tersebut.1 Usia median saat

didiagnosis leukemia mieloid kronik 55-60 tahun, penyakit ini terutama dijumpai pada orang dewasa.1,9,11 Di Indonesia median usia

saat didiagnosis leukemia mieloid kronik adalah 34-35 tahun.11

Leukemia mieloid kronik dijumpai sekitar 15% dari semua leukemia dan 7-20% dari leukemia pada dewasa.9 Pria sedikit lebih sering

dibandingkan wanita (1,3-2,2 : 1).9

KLINIS

Sampai dengan 50% pasien asimptomatik dan didiagnosis secara tidak sengaja setelah pemeriksaan laboratorium.12 Gejala umumnya

tidak spesifik dan sering akibat anemia atau splenomegali (46-76%), seperti fatigue, nyeri, atau massa perut kiri atas.8,9,12 Gejala lain

berupa demam, anoreksia, penurunan berat badan, berkeringat malam hari.12 Manifestasi

yang jarang yaitu perdarahan, trombosis, artritis gout, priapismus.8,9,12 Hiperleukositosis

dan hiperviskositas juga dapat dijumpai.8,9,12

Penyakit ini dibagi menjadi 3 fase: 1. Fase Kronik

Sebagian besar pasien (85%) pada fase ini, jika tidak diterapi akan berlanjut menjadi fase akselerasi dan blast.9 Progresivitas menjadi fase

blast terjadi pada 3-5 tahun setelah diagnosis

pada pasien yang tidak diterapi, dengan atau tanpa fase akselerasi.12 Pada fase ini, pasien

memiliki blast dalam darah atau sumsum tulang kurang dari 10%.1 Gejala ringan dan

biasanya berespons terhadap terapi.1

2. Fase Akselerasi

Sekitar 10-20% pasien meninggal pada fase ini.9 Menurut kriteria WHO, pasien dikatakan

berada pada fase akselerasi jika blast 10-19% dalam darah atau sumsum tulang, basofil dalam darah perifer ≥ 20%, trombosit < 100 x 109/L tidak terkait terapi atau > 1000 x 109/L

tidak terkontrol dengan terapi, abnormalitas kromosom, peningkatan jumlah leukosit dan ukuran limpa.4,12

3. Fase Blast

Jika blast ≥ 20% dalam darah atau sumsum tulang, proliferasi blast ekstrameduler

(di kelenjar getah bening, kulit, jaringan subkutan, tulang, dan sistem saraf pusat), dan adanya fokus blast besar dalam sumsum tulang atau limpa.4,9,12 Pada fase ini, gejalanya

antara lain penurunan berat badan, demam, berkeringat malam hari, nyeri tulang, infeksi, dan perdarahan.9,12

DIAGNOSIS

Pemeriksaan diagnostik pasien leukemia mieloid kronik adalah:

1. Sitogenetika

Merupakan pemeriksaan baku emas untuk deteksi kromosom Philadelphia.9,13 Hasil

pemeriksaan ini yaitu jumlah kromosom Philadelphia positif dari setidaknya 20 metafase.13 Walaupun sensivitas rendah

dan spesimen diambil dari aspirasi sumsum tulang, pemeriksaan ini banyak dilakukan di pusat-pusat kesehatan dan dalam uji klinik.13

Selain untuk diagnosis, pemeriksaan ini juga diperlukan untuk memantau respons sitogenetik.13

2. FISH

Fluorescent in situ hybridization dilakukan

untuk mencari gen BCR-ABL yang spesifik pada kromosom.1 FISH terutama digunakan

jika pemeriksaan sitogenetika negatif atau tidak dapat mendapat sel-sel metafase.13

Pemeriksaan ini dapat menggunakan sampel

darah perifer atau dari sumsum tulang.1

3. PCR

Polymerase chain reaction termasuk pemeriksaan yang sangat sensitif untuk memberikan informasi adanya BCR-ABL

transcript.1,13 Pemeriksaan PCR untuk diagnosis

adalah PCR kualitatif, sedangkan PCR kuantitatif untuk memantau hasil terapi.13

Pemeriksaan ini dapat menggunakan sampel darah perifer atau dari sumsum tulang.1

TERAPI

Transplantasi Sel Punca Alogeneik

Transplantasi sel punca alogeneik bersifat kuratif pada pasien leukemia mieloid kronik tertentu dan paling efektif jika dilakukan selama fase kronik.4,9 Pada fase kronik,

transplantasi sel punca alogeneik dikaitkan dengan 3to5-year survival rate 40-80% dan

10-year survival rate 30-60%.9 Transplantasi

sel punca mulai menurun setelah ada agen penghambat tyrosine kinase4 karena adanya

risiko kematian (5-50%) dan penggunaan agen penghambat tyrosine kinase secara oral lebih nyaman.4,9 Transplantasi sel punca

alogeneik tetap penting sebagai pilihan terapi pasien leukemia mieloid kronik fase kronik yang gagal dengan setidaknya 2 penghambat

tyrosine kinase dan yang mengalami mutasi

T315I.8 Untuk pasien fase akselerasi dan blast,

transplantasi sel punca alogeneik termasuk kuratif dengan overall cure rate 15-40% dan 5-20%.8

(3)

PENGHAMBAT TYROSINE KINASE

Dengan penghambat tyrosine kinase, 5-year survival rate leukemia mieloid kronik

meningkat sekitar 2 kali lipat dari 31% pada awal tahun 1990-an menjadi 63% pada tahun 2005-2011.14 Target penghambat tyrosine

kinase adalah BCR-ABL tyrosine kinase sehingga

menghambat proliferasi, harapan hidup, dan diferensiasi sel leukemia mieloid kronik.1

Tujuan pertama terapi leukemia mieloid kronik adalah normalisasi hitung darah (mencapai respons hematologi komplit) dan tujuan berikutnya adalah mencapai respons sitogenetik komplit (kromosom Philadelphia negatif).4

Definisi Respons Terapi dan Pemantauan Respons Terapi

Untuk banyak penyakit, pengukuran efektivitas terapi adalah survival.15 Namun, untuk

leukemia mieloid kronik, pemantauan terapi untuk menentukan efikasi atau kegagalan terapi menggunakan definisi:12,15

„ Respons hematologi komplit (CHR): hitung darah normal dan tidak terdapat splenomegali.

„ Respons sitogenetik (CyR)

„ Dibagi berdasarkan persentase kromosom Philadelphia positif dari 20 metafase (dari sumsum tulang), yaitu:

„ Respons sitogenetik komplit (CCyR) : kromosom Philadelphia 0%.

„ Respons sitogenetik minor (minor CyR): kromosom Philadelphia 36-95%. „ Respons sitogenetik mayor (major

CyR): kromosom Philadelphia 1-35%. „ Respons molekuler mayor (MMR):

BCR-ABL skala Internasional ≤ 0,1%.

„ Respons molekuler komplit (CMR): BCR-ABL tidak terdeteksi dengan sensitivitas

assay ≥ 4,5 atau 5 log.

Berikut tabel pemantauan respons terapi penghambat tyrosine kinase sebagai terapi lini pertama (Tabel 1).16

Sediaan penghambat tyrosine kinase dari berbagai generasi:

1. Imatinib

Imatinib (awalnya disebut STI571) merupakan

penghambat tyrosine kinase generasi pertama, yang pertama kali ditemukan oleh sekelompok ahli yang dipimpin oleh Nicholas Lyndon di laboratorium Ciba-Geigy pada awal tahun 1990-an.15,17 Uji klinik pertama dilakukan

pada tahun 1998, dan imatinib disetujui oleh US FDA pada tahun 2001.17 Salah satu indikasi

imatinib adalah untuk leukemia mieloid kronik

fase kronik dan fase kronik, akselerasi, dan

blast setelah gagal dengan terapi interferon.18

Response rate tinggi pada pasien leukemia

mieloid kronik fase lanjut dan pasien yang pernah diterapi interferon alfa.19 Studi lain,

yaitu IRIS, pada pasien leukemia mieloid kronik fase kronik memberikan hasil respons sitogenetik komplit pada 5 tahun sebesar 87% dan overall survival pada 5 tahun sebesar 89%.20

Imatinib umumnya ditoleransi dengan baik,

efek samping biasanya ringan dan jarang menyebabkan terapi dihentikan.21 Efek

samping imatinib antara lain edema dan retensi cairan; mual; ruam kulit; nyeri sendi, otot, dan tulang; toksisitas hati; mielosupresi (neutropenia dan trombositopenia).17,19,21

Walaupun imatinib menunjukkan hasil baik, sekitar 40% pasien beralih, antara lain karena resisten.22 Pada prinsipnya, terdapat 2 tipe

resistensi terhadap imatinib:23

„ Resistensi primer yaitu kurangnya respons terhadap terapi imatinib inisial.

„ Resistensi sekunder (didapat) yaitu tidak terdapat manfaat imatinib setelah respons inisial.

Mekanisme resistensi:23

„ Imatinib gagal menghambat aktivitas kinase BCR-ABL secara efektif

(target-dependent resistance). Hal ini dapat

disebabkan oleh amplifikasi gen BCR-ABL yang akhirnya meningkatkan protein BCR-ABL dan mutasi BCR-BCR-ABL. Mutasi T315I

dijumpai pada 10-20% semua mutan yang terdeteksi.24

„ Pertumbuhan dan harapan hidup sel maligna tidak tergantung pada aktivitas kinase BCR-ABL (target independent

resistance). Ada jalur lain yang memicu

progresivitas penyakit seperti jalur PI3K-mTOR dan Src family kinase.

„ Ketersediaan obat dalam sel tidak cukup untuk menghambat aktivitas kinase BCR-ABL (drug dependent resistance). Adanya

efflux pump atau peningkatan kadar

A1AGP mengakibatkan penurunan kadar obat intraseluler.

Beberapa strategi dikembangkan untuk mengatasi resistensi terhadap imatinib seperti meningkatkan dosis imatinib,

mengkombinasikan imatinib dengan agen lain, dan menggunakan penghambat BCR-ABL generasi berikutnya (contohnya nilotinib,

dasatinib, dll).17,23

2. Nilotinib

Nilotinib merupakan penghambat tyrosine kinase generasi kedua yang dikembangkan

karena adanya resistensi terhadap imatinib.15

Studi in vitro menunjukkan bahwa

nilotinib setidaknya 10-30 kali lebih poten

dibandingkan imatinib.25

Nilotinib telah disetujui untuk leukemia

mieloid kronik Philadelphia positif fase kronik dan fase kronik, fase akselerasi yang resisten atau intoleransi terhadap terapi sebelumnya termasuk imatinib.26 Nilotinib menghasilkan

respons sitogenetik mayor sebesar 31% pada fase akselerasi, 40% pada fase blast, dan 57% pada fase kronik pada pasien yang resisten

Tabel 1. Pemantauan respons terapi penghambat tyrosine kinase16

Time Optimal response Failure Warnings

Diagnosis N/A N/A High risk or

CCA/Ph+a, major route 3 months BCR-ABL1 ≤10% and/or Ph+ ≤35% Non-CHR and/or Ph+

>95% BCR-ABL1 >10% and/or Ph+ 36-95% 6 months BCR-ABL1 <1% and/or Ph+0 BCR-ALB1 >10% and/or Ph >35% BCR-ABL1 1-10% and/or Ph+ 1-35% 12 months BCR-ABL1 ≤0.1% BCR-ABL1 >1% and/or Ph+ >0 BCR-ABL1 >0.1-1%

Any time during treatment

BCR-ABL1 ≤0.1% Loss of CHR Loss of CCyR Confirmed

loss of MMR* Mutations CCA/Ph+a CCA/Ph- (-7. or 7q-)

aCCA/Ph+ is a warning factor at diagnosis. Its occurrence during treatment (i.e. clonal progression) is a marker of

treatment failure.

Two consecutive cytogenetic tests are required and must show the same CCA in at least two Ph+ cells.

*MMR loss in 2 consecutive tests, of which one with a BCR-ABLI transcripts level ≥1%

(4)

atau intoleran terhadap imatinib.27 Studi ENEST

membandingkannya dengan imatinib pada pasien leukemia mieloid kronik fase kronik, menunjukkan bahwa nilotinib memberikan manfaat klinis jangka panjang yang lebih bermakna dalam hal respons molekuler dan

survival.28 Namun, nilotinib lebih dikaitkan

dengan kejadian kardiovaskular, peningkatan kadar kolesterol, dan kadar gula darah.28

Informasi produk nilotinib telah memberi peringatan adanya pemanjangan interval QT.26

Efek samping nilotinib antara lain mielosupresi (neutropenia dan trombositopenia), toksisitas hati, toksisitas kulit, dan sakit kepala.25,27

3. Dasatinib

Dasatinib merupakan penghambat

tyrosine kinase generasi kedua yang juga

dikembangkan karena adanya resistensi terhadap imatinib.15 Dasatinib dikatakan 325

kali lebih poten dibandingkan imatinib dan 16 kali lebih poten dibandingkan nilotinib.29,30

Indikasi dasatinib hampir serupa dengan

nilotinib, dengan tambahan indikasi untuk

leukemia limfositik akut Philadelphia positif yang resisten atau intoleransi dengan terapi sebelumnya.31

Dalam hasil final (5 tahun), studi DASISION pada pasien leukemia mieloid kronik fase kronik menyebutkan bahwa pasien dengan

dasatinib mengalami respons molekuler lebih

cepat dibandingkan imatinib, dengan PFS dan OS sebanding.32 Efek samping efusi pleura

lebih sering dijumpai pada dasatinib.32,33

Dasatinib dan nilotinib menghasilkan outcome

respons dan survival yang sebanding pada pasien leukemia mieloid kronik fase kronik.34

Kedua obat tersebut dapat dipertimbangkan sebagai pilihan terapi lini pertama pada pasien tersebut.34

4. Bosutinib

Bosutinib merupakan penghambat tyrosine kinase generasi kedua yang dikembangkan

karena adanya resistensi dengan penghambat

tyrosine kinase lainnya.15 Obat ini memiliki

aktivitas tambahan terhadap Src kinase yang berperan dalam transformasi sel maligna, progresivitas tumor, dan metastasis.35

Selain itu, bosutinib juga memiliki aktivitas terhadap tyrosine kinase dan serine-threonine

kinase yang dikaitkan dengan proliferasi sel

leukemia mieloid kronik dan hambatan

BCR-ABL resisten imatinib (kecuali mutasi T315I dan V299L).35,36 Tidak seperti penghambat

tyrosine kinase generasi kedua lainnya, bosutinib lebih minimal dalam c-KIT dan

PDGFR (platelet-derived growth factor receptor) yang berperan dalam hematopoiesis normal sehingga berpotensi mielosupresi lebih rendah terutama neutropenia derajat 3 atau 4.35 Bosutinib telah disetujui untuk leukemia

mieloid kronik Philadelphia positif fase kronik, akselerasi, atau blast yang resisten atau intoleransi terhadap terapi sebelumnya.37

Jika dibandingkan dengan imatinib, pada pasien fase kronik bosutinib superior dalam hal respons molekuler mayor pada 12 bulan, waktu sampai respons sitogenetik komplit dan respons molekuler mayor, transformasi menjadi fase akselerasi/blast, dan kematian terkait leukemia mieloid kronik.38 Profil

keamanan bosutinib dan imatinib berbeda, efek samping saluran cerna dan hati lebih sering pada bosutinib, sedangkan neutropenia, gangguan muskuloskeletal, dan edema lebih sering pada imatinib.38

5. Ponatinib

Ponatinib termasuk penghambat tyrosine kinase generasi ketiga yang sangat poten,

didesain secara spesifik untuk terapi mutasi T315I.39 Studi awal ponatinib menghasilkan

respons sitogenetik mayor sebesar 60% pada pasien leukemia mieloid kronik fase kronik

heavily treated.39 Ponatinib disetujui oleh US

FDA pada tahun 2012 tetapi karena kejadian trombosis vaskular, ditarik sementara dari peredaran di US dan kemudian diperkenalkan kembali pada Januari 2014.39,40

Ponatinib diindikasikan untuk leukemia

mieloid kronik fase kronik, akselerasi, blast dengan mutasi T315I atau leukemia limfositik

akut Philadelphia positif dengan mutasi T315I dan jika terapi penghambat tyrosine kinase lain tidak diindikasikan.41 Studi fase III pada pasien

baru fase kronik tidak dapat dinilai karena dihentikan lebih awal sehubungan dengan adanya efek samping vaskular di kelompok

ponatinib.42 Ponatinib tidak dianjurkan pada

pasien fase kronik newly diagnosed. Dalam informasi produk ponatinib, disebutkan risiko oklusi vaskular, gagal jantung, dan hepatotoksisitas.41

6. Radotinib

Radotinib merupakan penghambat tyrosine kinase generasi kedua yang disetujui sebagai

terapi lini kedua leukemia mieloid kronik di Korea.43 Studi pra-klinik menunjukkan bahwa

radotinib superior dibandingkan imatinib

terhadap wild-type dan mutant BCR-ABL1

positive CML cell lines.44 Hasil studi fase II

tampak menjanjikan pada pasien fase kronik yang resisten dan/atau intoleransi terhadap penghambat tyrosine kinase sebelumnya.45

Respons sitogenetik komplit dicapai sebesar 47% pada 12 bulan dengan efek samping yang sering dijumpai adalah trombositopenia, hepatotoksisitas, hiperbilirubinemia, dan hiperglikemia. Overall survival rate dan

progression free survival rate pada 12 bulan

adalah 96,1% dan 86,3%.44,45

Studi radotinib fase III pada pasien leukemia mieloid kronik fase kronik newly diagnosed menghasilkan respons sitogenetik komplit dan molekuler mayor yang lebih tinggi dan lebih cepat dibandingkan imatinib.46 Efek samping

adalah trombositopenia, neutropenia, ruam kulit, mual muntah, sakit kepala, dan pruritus.46

Penghentian Terapi

Uji klinik STIM (The Stop Imatinib) dilakukan untuk meneliti risiko kekambuhan pada pasien

Tabel 2. Terapi yang dikembangkan untuk leukemia mieloid kronik51

Therapeutic Target Drug Clinical Studies

DNA methylation Decitabine Phase II clinical study Janus kinase Ruxolitinib Preclinical studies

Hedgehog signaling LDE225 Preclinical studies combination with nilotinib

Alox5 pathway Zilruton Preclinical studies Heat-shock protein 90

IPI-504,17-allylamino-demethoxygeldamycin and 17-dimethylamino-geldanamycin

Preclinical studies Programmed cell death 1 None yet in development

ABL/Lyn kinase Bafetinib Phase 1 clinical trial Aurora kinase Tozasertib and danusertib Preclinical trials

(5)

yang menghentikan terapi imatinib setelah mencapai respons molekuler komplit lebih dari 2 tahun. Pada median follow up 50 bulan, secara keseluruhan dijumpai 61% pasien mengalami kekambuhan molekuler, 95% terjadi dalam 7 bulan setelah menghentikan

imatinib.4,8 Hampir semua pasien kembali

mencapai respons molekuler komplit setelah terapi imatinib dimulai kembali.4,8

Uji klinik TWISTER mengamati pasien yang menghentikan imatinib setelah minimal

residual disease tidak terdeteksi selama lebih

dari 2 tahun.8 Pada median follow up 43 bulan,

22 dari 40 pasien mengalami kekambuhan molekuler, hampir 70%-nya dalam 6 bulan pertama terapi dihentikan.8 Serupa dengan uji

klinik sebelumnya, pasien kembali mencapai respons molekuler setelah mendapat terapi penghambat tyrosine kinase.8

Walaupun penghentian terapi penghambat

tyrosine kinase tampak feasible, saat ini hanya

boleh dilakukan dalam konteks uji klinik.8

European LeukemiaNet merekomendasikan

bahwa pasien leukemia mieloid kronik yang berespons optimal tetap melanjutkan terapi dengan dosis standar yang direkomendasikan.16

PENGHAMBAT SINTESIS PROTEIN

Omacetaxine telah lama diteliti, berasal

dari ekstrak batang Chinese plum yew

Cephalotaxus, yang dibawa ke negara Barat

oleh Earl of Harrington.47 Omacetaxine

termasuk penghambat sintesis protein yang bekerja menurunkan kadar onkoprotein multipel termasuk BCR-ABL dan menginduksi apoptosis sel-sel leukemik.48 Studi pra-klinik

menunjukkan omacetaxine memiliki aktivitas terhadap sel-sel leukemik dengan mutasi T315I.47 Omacetaxine telah disetujui untuk

pasien leukemia mieloid kronik fase kronik atau akselerasi yang resisten atau intoleransi terhadap 2 atau lebih penghambat tyrosine

kinase.47

Studi omacetaxine pada pasien fase kronik atau akselerasi yang resisten atau intoleran terhadap ≥ 2 penghambat tyrosine kinase menghasilkan respons sitogenetik mayor sebesar 18% pada fase kronik dan respons hematologi mayor sebesar 14% pada fase akselerasi.49 Studi pada pasien mutasi T315I

dan gagal dengan penghambat tyrosine

kinase sebelumnya menghasilkan respons

hematologi mayor 77% dan respons sitogenetik mayor 23%.50 Efek samping antara

lain mielosupresi, infeksi, diare, mual.50

TERAPI LAIN

Pengembangan penghambat tyrosine kinase menghasilkan perbaikan survival pasien leukemia mieloid kronik, namun tetap

masih ada yang belum mencapai respons memuaskan dan dijumpai resistensi terhadap penghambat tyrosine kinase generasi pertama dan kedua.51 Mutasi T315I pada domain kinase

BCR-ABL dijumpai pada sampai dengan 40% pasien resisten penghambat tyrosine kinase.51

Selain itu, terdapat concern mengenai minimal

residual disease.51

Beberapa alternatif target terapi leukemia mieloid kronik tampak pada tabel 2.51

SIMPULAN

Leukemia mieloid kronik merupakan keganasan hematologi yang ditandai dengan kromosom Philadelphia hasil translokasi kromosom 9 dan 22 yang mengakibatkan fusi gen BCR-ABL dan dihasilkannya protein fusi BCR-ABL. BCR-ABL memiliki aktivitas

tyrosine kinase yang memicu pertumbuhan

dan replikasi sel leukemik. Penyakit ini lebih sering dijumpai pada dewasa, asimptomatik, sering ditemukan secara tidak sengaja saat pemeriksaan kesehatan. Terapi antara lain transplantasi sel punca alogeneik, penghambat tyrosine kinase, penghambat sintesis protein, dan beberapa terapi lain yang sedang diteliti. Terapi penghambat

tyrosine kinase telah memperbaiki harapan

hidup. Pemilihan penghambat tyrosine kinase tergantung fase penyakit, profil toksisitas, dan kondisi pasien.

DAFTAR PUSTAKA:

1. American Cancer Society. Leukemia-chronic myeloid (myelogenous): What is chronic myeloid leukemia? [Internet]. 2016 Feb 22 [cited 2016 Aug 29]. Available from: http://www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/003112-pdf.pdf

2. Davis AS, Viera AJ, Mead MD. Leukemia: An overview for primary care. Am Fam Phys. 2014;89(9):731-8.

3. National Cancer Institute. What you need to know about leukemia [Internet]. 2013 [cited 2016 Aug 29]. Available from: http://www.cancer.gov/publications/ patient-education/leukemia.pdf

4. Apperley JF. Chronic myeloid leukemia. Lancet 2014. doi: 10.1016/S0140-6736(13)62120-0.

5. Kantarjian HM, Deisseroth A, Kurzrock R, Estrov Z, Talpaz M. Chronic myelogenous leukemia: A concise update. Blood 1993;82(3):691-703. 6. Koretzky GA. The legacy of the Philadelphia chromosome. J Clin Invest. 2007;117:2030-2.

7. Druker BJ. Translation of the Philadelphia chromosome into therapy for CML. Blood 2008;112:4808-17.

8. Jabbour E, Kantarjian H. Chronic myeloid leukemia: 2014 update on diagnosis, monitoring, and management. Am J Hematol. 2014;89:548-56.

9. Garcia-Manero G, Faderl S, O’Brien S, Cortes J, Talpaz M, Kantarjian HM. Chronic myelogenous leukemia: A review and update of therapeutic strategies. Cancer 2003;98(3):437-57.

10. Sawyers CL. Chronic myeloid leukemia. N Engl J Med. 1999;340(17):1330-40.

11. Reksodiputro AH, Tadjoedin H, Supandiman I, Acang N, Kar AS, Bakta IM, et al. Epidemiology study and mutation profile of patients with chronic myeloid leukemia (CML) in Indonesia. J Blood Disord Transfus. 2015;6:3.

12. Thompson PA, Kantarjian HM, Cortes JE. Diagnosis and treatment of chronic myeloid leukemia in 2015. Mayo Clin Proc. 2015;90(10):1440-54.

13. Tohami T, Nagler A, Amariglio N. Laboratory tools for diagnosis and monitoring respons in patients with chronic myeloid leukemia. IMAJ. 2012;14:501-7.

14. Harrison C. Life expectancy of patients with CML greatly improved, but at what cost? Cancer Therapy Advisor [Internet]. 2016 July 22 [cited 2016 Sept 1]. Available from: http://www.cancertherapyadvisor.com/hematologic-cancers/chronic-leukemia-cml-life-expectancy-greatly-improved-what-cost/article/511376/

15. Hamad A, Sahli Z, El Sabban M, Mouteirik M, Nasr R. Emerging therapeutic strategies for targeting chronic myeloid leukemia stem cells. Stem Cells International 2013. doi: 10.1155/2013/724360.

16. Baccarani M, Deininger MW, Rosti G, Hochhaus A, Soverini S, Apperley JF, et al. European LeukemiaNet recommendations for the management of chronic myeloid leukemia: 2013. Blood 2013;122(6):872-84.

(6)

Pilih Benar atau Salah

Benar

Salah

PERTANYAAN CME (Continuing Medical Education)

Tatalaksana Leukemia Mieloid Kronik

Keterangan :

Mulai CDK-183/ volume 38 no. 2, th. 2011, setiap edisi CDK disertai dengan satu/dua artikel

CME yang telah diakreditasi oleh PB IDI.

Tandai jawaban yang dipilih.

Dokter akan mendapatkan

Sertifikat dengan bobot SKP jika

jawaban benar ≥ 60%.

Sertifikat akan dicetak segera setelah dokter mengerjakan kuis CME di setiap edisi,

CME CDK dapat juga dikerjakan secara online di www.kalbemed.com/CME/CMEOnline.aspx

SKP

dengan syarat dan ketentuan berlaku

Artikel CME-1: CDK Edisi Suplemen/vol. 44 th. 2017

01.

Leukemia mieloid kronik (LMK) dijumpai terutama pada anak-anak.

02.

Sebagian besar pasien LMK berada pada fase kronik.

03.

Diagnosis pasti LMK adalah ditemukannya kromosom Philadelphia.

04.

Pemeriksaan untuk memantau hasil terapi adalah PCR kualitatif.

05.

Pemeriksaan untuk mencari gen BCR-ABL yang spesifik adalah

pemeriksaan sitogenetik.

06.

Transplantasi sel punca alogenik paling efektif jika dilakukan pada

fase akut.

07.

Respons hematologik komplit adalah jika hitung darah normal dan

tidak terdapat splenomegali.

08.

Generasi pertama penghambat tyrosine kinase adalah imatinib.

09. Penghambat

tyrosine kinase

generasi ketiga yang sangat poten

ialah radotinib.

10.

Omacetaxine

disintesis dari tanaman obat.

17. Waclaw J, Sacha T, Stoklosa T. Imatinib in the treatment of chronic myeloid leukemia: Current perspectives on optimal dose. Blood and Lymphatic Cancer: Targets and Therapy 2015;5:101-8.

18. Imatinib. Drugs.com [Internet]. 2016 [cited 2016 Sept 1]. Available from: https://www.drugs.com/pro/imatinib.html

19. Iqbal N, Iqbal N. Imatinib: A breakthrough of targeted therapy in cancer. Chemotherapy Research and Practice 2014. doi: 10.1155/2014/357072.

20. Druker BJ, Guilhot F, O’Brien SG, Gathmann I, Kantarjian H, Gattermann N, et al. Five-year follow-up of patients receiving imatinib for chronic myeloid leukemia. N Engl J Med. 2006;355:2408-17.

21. Deininger MWN, Druker BJ. Specific targeted therapy of chronic myelogenous leukemia with imatinib. Pharmacol Rev. 2003;55:401-23. 22. Breccia M, Binotto G. Bosutinib chronic myeloid leukemia. Rare Cancers Ther. 2015;3:35-46.

23. Henkes M, van der Kuip H, Aulitzky WE. Therapeutic options for chronic myeloid leukemia: Focus on imatinib (Glivec®, GleevecTM). Therapeutics and Clinical Risk Management 2008;4(1):163-87.

24. Quintas-Cardama A, Kantarjian H, Cortes J. Homoharringtonine, omacetaxine mepesuccinate, and chronic myeloid leukemia circa 2009. Cancer 2009;115:5382-93. 25. Jabbour E, Cortes J, Kantarjian H. Nilotinib for the treatment of chronic myeloid leukemia: An evidence-based review. Core Evidence 2009;4:207-13.

26. Nilotinib. Drugs.com [Internet]. 2016 [cited 2016 Sept 1]. Available from: https://www.drugs.com/pro/nilotinib.html

27. Harnicar S, Mathew S. Spotlight on nilotinib in the treatment of chronic myelogenous leukemia. Blood and Lymphatic Cancer: Targets and Therapy 2014;4:61-7. 28. Hochhaus A, Saglio G, Hughes TP, Larson RA, Kim DW, Issaragrisil S, et al. Long-term benefits and risks of frontline nilotinib vs imatinib for chronic myeloid leukemia

in chronic phase: 5-year update of the randomized ENESTnd trial. Leukemia 2016. doi: 10.1038/leu.2016.5.

29. Aguilera DG, Tsimberidou AM. Dasatinib in chronic myeloid leukemia: A review. Therapeutics and Clinical Risk Management 2009;5:281-9. 30. Chen R, Chen B. The role of dasatinib in the management of chronic myeloid leukemia. Drug, Design, Development and Therapy 2015;9:773-9. 31. Dasatinib. Product Information FDA.

32. Cortes JE, Saglio G, Kantarjian HM, Baccarani M, Mayer J, Boque C, et al. Final 5-year study results of DASISION: The dasatinib versus imatinib study in treatment naive chronic myeloid leukemia patients trial. J Clin Oncol. 2016. doi: 10.1200/JCO.2015.64.8899.

33. Wei GQ, Rafiyath S, Liu DL. First-line treatment for chronic myeloid leukemia: Dasatinib, nilotinib, or imatinib. Journal of Hematology & Oncology 2010;3:47. 34. Takahashi K, Kantarjian HM, Yang Y, Sasaki K, Jain P, DellaSala S, et al. A propensity score matching analysis of dasatinib and nilotinib as a frontline therapy for patients

with chronic myeloid leukemia in chronic phase. Cancer 2016. doi: 10.1002/cncr.30197.

35. Doan V, Wang A, Prescott H. Bosutinib for the treatment of chronic myeloid leukemia. Am J Health-Syst Pharm. 2015;72:439-47.

36. Shen AQ, Wilson NM, Gleason SL, Khoury HJ. Bosutinib in the treatment of patients with Philadelphia chromosome-positive (Ph+) chronic myelogenous leukemia: An overview. Ther Adv Hematol. 2014;5(1):13-7.

37. Bosutinib. Product Information FDA.

38. Cortes JE, Kim DW, Kantarjian HW, Brummendorf TH, Dyagil I, Griskevicius L, et al. Bosutinib versus imatinib in newly diagnosed chronic-phase chronic myeloid leukemia: Results from the BELA trial. J Clin Oncol. 2012;30:3486-92.

39. Sanford D, Kantarjian H, Skinner J, Jabbour E, Cortes J. Phase II trial of ponatinib in patients with chronic myeloid leukemia resistant to one previous tyrosine kinase inhibitor. Haematologica 2015;100:494.

40. Pal A, Panja B, Dutta T, Bhowmick S, Nath S, Bhattacharjee S. Ponatinib: A miracle or a disaster in chronic myeloid leukemia. Int J Basic Clin Pharmacol. 2014;3(6):933-6. 41. Ponatinib. Product Information FDA.

42. Lipton JH, Chuah C, Guerci-Bresler A, Rosti G, Simpson D, Assouline S, et al. Ponatinib versus imatinib for newly diagnosed chronic myeloid leukaemia: An international, randomised, open-label, phase 3 trial. Lancet Oncol. 2016;17(5):612-21.

43. Zabriskie MS, Vellore NA, Gatnz KC, Deininger MW, O’Hare T. Radotinib is an effective inhibitor of native and kinase domain-mutant BCR-ABL1. Leukemia 2015. doi: 10.1038/leu.2015.42.

44. Kim SH, Menon H, Jootar S, Saikia T, Kwak JY, Sohn SK, et al. Efficacy and safety of radotinib in chronic phase chronic myeloid leukemia patients with resistance or intolerance to BCR-ABL1 tyrosine kinase inhibitors. Haematologica 2014;99(7):1191-6.

45. Eskazan AE, Soysal T. Radotinib in the treatment of chronic phase chronic myeloid leukemia patients. Haematologica 2015;100:39.

46. Radotinib yields higher and faster rates of major molecular and complete cytological response than imatinib in newly diagnosed chronic myeloid leukemia. Practice Update [Internet]. 2015 Dec 8 [cited 2016 Aug 29]. Available from: https://www.practiceupdate.com/content/radotinib-yields-higher-and-faster-rates-of-major-molecular-and-complete-cytological-response-than-imatinib-in-newly-diagnosed-chronic-myeloid-leukemia/32785/62

47. Gandhi V, Plunkett W, Cortes JE. Omacetaxine: A protein translation inhibitor for treatment of chronic myelogenous leukemia. Clin Cancer Res. 2014;20(7):1735-40. 48. Nicolini FE, Khoury HJ, Akard L, Rea D, Kantarjian H, Baccarani M, et al. Omacetaxine mepesuccinate for patients with accelerated phase chronic myeloid leukemia

with resistance or intolerance to two or more tyrosine kinase inhibitors. Haematologica 2013;98:78-9.

49. Cortes JE, Kantarjian HM, Rea D, Wetzier M, Lipton JH, Akard L, et al. Final analysis of the efficacy and safety of omacetaxine mepesuccinate in patients with chronic- or accelerated-phase chronic myeloid leukemia: Results with 24 months of follow-up. Cancer 2015;121:1637-44.

50. Cortes JE, Lipton H, Rea D, Digumarti R, Chuah C, Nanda N, et al. Phase 2 study of subcutaneous omacetaxine mepesuccinate after TKI failure in patients with chronic-phase CML with T315I mutation. Blood 2012;120(13):2573-80.

Gambar

Tabel 1. Pemantauan respons terapi penghambat tyrosine kinase 16
Tabel 2. Terapi yang dikembangkan untuk leukemia mieloid kronik 51

Referensi

Dokumen terkait

Karena itu model komputasi paralel yang diusulkan adalah single population dengan partisi data baik di awal populasi maupun di akhir komunikasi, dengan pengaturan

Berbagai analisa dari kebutuhan yang telah dukumpulkan tersebut, haruslah ditentukan skala prioritas nya. Skala Prioritas merupakan tingkatan-tingkatan yang memiliki

Pada hasil overlay citra RADARSAT-2 dan Landsat ETM+7 dicirikan dengan warna coklat gelap yang menandakan bahwa lokasi tersebut merupakan puncak gunung. Memiliki

kebangsaan dalam diri siswa melalui materi pembelajaran sejarah yang berkaitan dengan keteladanan pahlawan nasional, guru sejarah yang mengajar di MAN 1 Sijunjung

Pertemuan internal dilakukan setiap sebulan sekali dengan dokter umum,koordinator tiap ruang, dan para anggota untuk membahas segala kebutuhan dan masalah yang

11.1 Hitunglah susut Brier dari setiap umur benda uji pengering udara dengan mengurangkan terhadap pembacaan angka pembanding awal yang diambil dari tempat penyimpanan

Pandangan yang sama turut dinyatakan oleh Abdul Basit (2014) yang menjelaskan bahawa kesenian boleh digarap sebagai media dakwah yang menepati uslub-uslub dakwah