Vol 01, Ed 3, Maret 2021
MENINJAU KINERJA LPEI SEBAGAI
PENERIMA PMN 2021 DALAM MENDUKUNG
PEMBIAYAAN EKSPOR
Hal. 1
ANCAMAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN
Penanggung Jawab
Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E., M.Si. Pemimpin Redaksi
Dwi Resti Pratiwi, S.T., MPM Redaktur
Robby Alexander Sirait, S.E., M.E. Damia Liana, S.E.
Nadya Ahda, S.E Editor
Ervita Luluk Zahara S.E. Sekretariat Husnul Latifah, S.Sos.
Memed Sobari Musbiyatun Hilda Piska Randini, S.I.P.
Budget Issue Brief Ekonomi dan Keuangan ini diterbitkan oleh Pusat Kajian Anggaran,Badan Keahlian DPR RI. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan di terbitan ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Badan Keahlian DPR RI.
www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran @puskajianggaran
1
Ekonomi dan Keuangan Budget Issue Brief Vol 01, Ed 3, Maret 2021
Salah satu skema PEN dilakukan melalui Special Mission Vehicles (SMV), dengan cara menempatkan modal ke perusahaan BUMN hingga lembaga untuk melaksanakan tugas pembangunan. LPEI atau Indonesia Eximbank merupakan salah satu lembaga yang mendapatkan dukungan modal tersebut. Adapun tugas utama LPEI ialah memberi efek pengganda dalam membangkitkan kembali perekonomian dengan mendorong kinerja ekspor Indonesia melalui pembiayaan ekspor nasional, penjaminan, dan asuransi guna menurunkan tekanan pada defisit neraca perdagangan. Selama periode 2010-2020, alokasi PMN terhadap LPEI mencapai Rp18,7 triliun (NK APBN). Pada tahun 2021 ini, pemerintah kembali memberikan penyertaan modal negara (PMN) kepada LPEI sebesar Rp5 triliun, dimana 50 persennya atau Rp2,5 triliun digunakan untuk melaksanakan penugasan khusus pemerintah atas sektor yang memiliki potensi ekspor yaitu industri tertentu, UMKM berbasis ekspor, penerbangan, dan industri lainnya. Namun di sisi lain, LPEI tercatat sebagai lembaga pembiayaan yang memiliki kinerja kurang baik pada tahun-tahun sebelumnya. Hal ini terlihat dari beberapa rasio keuangan serta statistik kinerja ekspor yang belum meningkat signifikan, meskipun pemerintah terus memberikan dukungan penyertaan modal.
Meninjau Kinerja LPEI
Apabila dilihat lebih jauh, selama mendapat mandat untuk mendorong program ekspor nasional melalui penugasan umum dan penugasan khusus ekspor (PKE), alokasi PMN telah meningkatkan kemampuan pembiayaan LPEI dari Rp40,49 triliun pada 2013 menjadi Rp65,78 triliun pada 2020. Meskipun kegiatan pembiayaan jauh lebih besar porsinya dibandingkan penjaminan dan asuransi, ketiga aktivitas pembiayaan dari LPEI mengalami tren penurunan pertumbuhan (Gambar 1).
Gambar 1. Perkembangan Pembiayaan LPEI 2013-2020
Komisi XI
MENINJAU KINERJA LPEI SEBAGAI PENERIMA PMN 2021 DALAM
MENDUKUNG PEMBIAYAAN EKSPOR
• Tahun 2021 LPEI kembali mendapatkan alokasi PMN sebesar Rp5 triliun, di mana Rp2,5 triliun dialokasikan untuk melaksanakan penugasan khusus atas sektor yang memiliki potensi ekspor seperti UMKM.
• Berdasarkan data Laporan Keuangan LPEI 2013-2019, LPEI mencatatkan kinerja yang kurang baik terlihat dari beberapa rasio keuangan. Rasio kredit bermasalah terus meningkat di tiap tahunnya, NPL gross mencapai 23,4%. Manajemen juga dinilai kurang efisien dalam melaksanan kegiatan pengelolaan perusahaan, ditunjukkan oleh nilai BOPO mencapai 179,6% ditahun 2019.
• Jumlah usaha kecil menengah berbasis ekspor (UKME) yang mendapat pembiayaan juga masih tergolong rendah, baru mencapai 638 debitur hingga tahun 2019
• Pemerintah harus terus melakukan pemantauan terhadap kegiatan dan pembiayan pemodalan oleh LPEI. Selain itu, LPEI harus terus melaksanakan analisis risiko yang komprehensif dan giat menciptakan eksportir baru, khususnya UMKM
HIGHLIGHT
PUSAT KAJIAN ANGGARAN
Badan Keahlian DPR RI
Penanggung Jawab : Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E Redaktur: Robby Alexander Sirait · Dwi Resti Pratiwi· Nadya Ahda· Damia Liana · Ervita Luluk Zahara
Penulis: Dwi Resti Pratiwi & Hikmatul Fitri
EKONOMI DAN KEUANGAN
ekspor nasional bagi UKME nyatanya belum menunjukkan peningkatan yang maksimal. Meskipun alokasi PMN diberikan hampir setiap tahun, hingga tahun 2019 jumlah pembiayaan UKME baru mencapai 638 debitur. Padahal bila dilihat dari jumlahnya, UMKM di Indonesia bisa mencapai 64 juta. Sektor usaha pembiayaan masih terkonsentrasi pada sektor industri. Tahun 2020 pembiayaan usaha industri mencapai 2.473 kontrak, namun di sektor lainnya, seperti pertanian, hanya berjumlah 439 kontrak (Statistik LKKI OJK, 2020).
Apabila ditinjau dari kinerja
keuangan LPEI, beberapa rasio keuangan menunjukkan kinerja yang kurang baik. Pembiayaan yang merupakan tugas utama LPEI ternyata mengalami kinerja yang buruk, terlihat pada nilai NPL-nya meningkat. Pada tahun 2019
NPL gross LPEI mencapai 23,39%. Hal
tersebut menunjukkan bahwa dari total pembiayaan LPEI pada tahun 2019, 23,39% termasuk kredit macet atau tidak dapat ditagih sama sekali.
Selanjutnya, kemampuan LPEI menghasilkan bunga bersih atas aset produktif juga menurun, terlihat dari nilai NIM dari 3,41% tahun 2013 menjadi 1,18% pada tahun 2019.
Dalam menjalankan kegiatan
pengelolaan, manajemen LPEI dinilai tidak efisien, hal ini terlihat dari nilai BOPO yang terus meningkat, bahkan mencapai 179,63% di tahun 2019.
terhadap perolehan laba, terlihat pada nilai ROE yang terus menurun bahkan mencapai -21,63% pada tahun 2019.
Rekomendasi
LPEI belum menunjukkan kinerja keuangan yang baik pada tahun-tahun sebelumnya. Namun, dengan perannya yang diemban cukup strategis dalam mendukung peningkatan ekspor, maka LPEI masih perlu memperoleh dukungan PMN. Meskipun demikian, LPEI maupun pemerintah perlu mempertimbangkan
beberapa hal diantaranya: (1)
Pemerintah harus melakukan
pemantauan terhadap kegiatan serta perkembangan posisi permodalan dari lembaga keuangan tersebut agar tidak menimbulkan potensi risiko fiskal; (2) LPEI harus terus melaksanakan analisis
risiko berupa penilaian yang
komprehensif sesuai ketentuan prinsip kehati-hatian, yang mencakup analisis
terhadap kemampuan membayar
debitur, dan analisis terhadap
makroekonomi; (3) LPEI harus lebih giat menciptakan eksportir baru khususnya bagi UMKM, mengingat jumlah UMKM berkontribusi sebesar 99 persen dari total usaha, namun hanya mencatat kontribusi ekspor sebesar 15,3 persen di tahun 2018. Dengan demikian di tahun 2021 ini, LPEI harus memastikan penyaluran pembiayaan kepada UMKM sehingga kontribusi UKME pada ekspor nantinya juga akan meningkat.
Gambar 2. Rasio Keuangan LPEI Tahun 2013-2020 (Persen)
Sumber: Laporan Keuangan LPEI 2013-2020* (Statitik LKKI OJK 2020, *unaudited)
Rasio Keuangan LPEI 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 *2020
NPL Gross 3,26 2,26 3,55 3,99 3,26 13,73 23,39 22,72
NPL Neto 1,09 0,78 1,95 2,65 1,09 10,31 13,96 20,58
Tingkat Pengembalian Aset (ROA) 2,49 2,76 2,40 1,96 2,49 0,10 4,84 0,31
Tingkat Pengembalian Ekuitas (ROE) 10,61 13,60 12,89 10,81 10,62 0,81 -21,63 1,15
Net Interest Margin 3,41 3,63 3,28 2,58 3,41 1,83 1,18 0,38
www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran @puskajianggaran
3
Ekonomi dan Keuangan Budget Issue Brief Vol 01, Ed 3, Maret 2021
Telah dituangkan pada RPJMN 2020-2024 dan RKP 2021, saat ini pemerintah tengah berupaya mewujudkan sasaran peningkatan ketersediaan, akses, dan kualitas konsumsi pangan yang diukur dengan berbagai indikator ketahanan pangan, seperti ketersediaan pangan dan luas lahan pertanian. Namun di sisi lain,
pemberlakuan PP Nomor 26 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Bidang Pertanian, sebagai turunan dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker), justru menyiratkan adanya kemudahan untuk alih fungsi lahan budidaya pertanian demi kepentingan umum dan/untuk Proyek Strategis Nasional (PSN). Isu ini kemudian menimbulkan polemik mengenai ancaman konversi lahan pertanian yang semakin masif terhadap ketahanan pangan yang juga tengah diupayakan oleh pemerintah.
Sebelum adanya UU Ciptaker, ketentuan alih fungsi lahan pertanian telah diatur di dalam UU Nomor 41 Tahun 2019 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan UU Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan. Disebutkan dalam kedua UU tersebut, bahwa alih fungsi lahan pertanian hanya dapat dilakukan untuk kepentingan umum dengan syarat: 1) dilakukan kajian kelayakan strategis; 2) disusun rencana alih fungsi lahan; 3) dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik; dan 4) disediakan lahan pengganti terhadap lahan budidaya pertanian. Kemudian, di dalam UU Ciptaker dan PP Nomor 26 Tahun 2021, disebutkan bahwa alih fungsi lahan dapat dilakukan untuk kepentingan umum dan/atau PSN, dengan sedikit perubahan: 3) dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik; dan/atau 4) disediakan lahan pengganti terhadap lahan budi daya pertanian. Dengan adanya perubahan konjungsi “dan” menjadi
“dan/atau”, hal ini berimplikasi pada perubahan kewajiban
pemenuhan seluruh ketentuan secara kumulatif menjadi pemenuhan salah satu, lebih, atau keseluruhan dari keempat ketentuan di atas (ketentuan menjadi alternatif). Selain itu, pada UU Nomor 22 Tahun 2019, alih fungsi lahan pertanian untuk kepentingan umum dikecualikan pada lahan pertanian dengan jaringan pengairan lengkap. Sementara pada UU Ciptaker dan PP turunannya, alih fungsi lahan pertanian yang dilakukan di lahan pertanian dengan jaringan pengairan lengkap, wajib menjaga fungsi jaringan pengairan lengkapnya (pengecualian dicabut).
Badan Anggaran
ANCAMAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN OLEH PP TURUNAN
UU CIPTA KERJA
• Pemerintah tengah berupaya mewujudkan peningkatan ketahanan pangan yang dituangkan di dalam RPJMN 2020-2024 dan RKP 2021.
• Namun di sisi lain, pemberlakuan PP Nomor 26 Tahun 2021 sebagai turunan dari UU Ciptaker justru menyiratkan adanya kemudahan untuk alih fungsi lahan budidaya pertanian demi kepentingan umum dan/atau PSN.
• Implikasinya, kemudahan alih fungsi lahan pertanian tersebut dapat meningkatkan konversi lahan pertanian dan menurunkan luas lahan pertanian, sehingga berdampak terhadap tingkat produksi, pemenuhan kebutuhan dalam negeri, dan neraca dagang pangan secara umum.
• Pemerintah harus memperkuat penegakan seluruh ketentuan alih fungsi lahan, termasuk penyediaan lahan pengganti, membangun PSN berbasis tata ruang, melindungi lahan yang produktif, serta berkomitmen terhadap teknologi pertanian untuk jangka panjang.
HIGHLIGHT
PUSAT KAJIAN ANGGARAN Badan Keahlian DPR RI
Penanggung Jawab : Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E., M.Si
Redaktur: Robby Alexander Sirait · Dwi Resti Pratiwi· Nadya Ahda· Damia Liana · Ervita Luluk Zahara
Penulis: Nadya Ahda & Andriani Elizabeth Sinaga
pertanian yang diimplikasikan oleh PP Nomor 26 Tahun 2021 harus diwaspadai sebagai ancaman bagi ketahanan pangan
nasional. Kemudahan ini dapat
berimplikasi pada semakin masifnya
konversi lahan pertanian ke
nonpertanian dan penurunan luas lahan pertanian secara umum. Menurut
Kementerian ATR/BPN, rata-rata
konversi lahan pertanian di Indonesia mencapai 100-150 ribu hektar per tahun. Sementara itu, kemampuan untuk mencetak sawah baru hanya bisa sekitar 60 ribu per tahun, artinya, setiap tahunnya, Indonesia masih harus menanggung hilangnya sejumlah lahan pertanian. Implikasinya, selama tahun 2014-2019 luas lahan sawah sudah mengalami penurunan hingga 8 persen (Kementerian Pertanian, 2019). Hal ini juga menjadi salah satu faktor penyebab penurunan produksi padi selama 2014-2020 hingga hampir 23 persen (BPS, 2020). Pada akhirnya, tren penurunan
produksi ini berdampak pada
pemenuhan kebutuhan dalam negeri
yang tidak optimal, sehingga
mengharuskan Indonesia untuk
mengimpor dan semakin memperparah
defisit neraca dagang komoditas
tanaman pangan, termasuk di dalamnya adalah beras, yang masih terus berlangsung selama 1 dekade terakhir.
Tren penurunan kinerja sektor pertanian yang telah lama terjadi, bahkan sebelum ada UU Ciptaker dan
turunannya, juga setidaknya
mengimplikasikan lemahnya penegakan peraturan perundang-undangan yang ada sebelumnya, misalnya penegakan UU Nomor 41 Tahun 2009. Apabila
seandainya penegakan peraturan
tersebut telah dilaksanakan dengan kuat selama ini, maka idealnya tingginya laju konversi lahan, penurunan luas lahan
Oleh karena itu, ada beberapa catatan penting yang harus diperhatikan
oleh pemerintah. Pertama, memperkuat
penegakan ketentuan adanya kajian strategis dan perencanaan alih fungsi lahan, sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 26 Tahun 2021 Pasal 106-107 yang memuat potensi kerugian dan dampak yang ditimbulkan. Ketentuan ini harus dilaksanakan dengan berdasar pada kajian ilmiah yang bebas konflik
kepentingan dan bukan sebatas
dokumen formalitas saja. Kedua,
ketentuan penyediaan lahan pengganti harus diupayakan untuk diprioritaskan, dengan juga mempertimbangkan tingkat kualitas lahan yang minimal setara dari lahan sebelumnya. Hal ini harus didukung oleh penguatan pelaksanaan PP Nomor 26 Tahun 2021 Pasal 108-109. Apabila digantikan dengan lahan dengan kualitas lebih rendah, maka pemerintah maupun swasta yang melakukan
pembangunan harus memberikan
bantuan peningkatan produktivitas lahan. Senada dengan rekomendasi
tersebut, pemerintah juga harus
mendorong pembangunan PSN yang
berbasis tata ruang, misalnya
membangun di lahan yang sudah tidak produktif. Ketiga, pemerintah harus memprioritaskan perlindungan pada lahan produktif, terutama lahan dengan dukungan sarana-prasarana pertanian yang sudah baik, misalnya melalui penguatan pelaksanaan Perpres Nomor 59 Tahun 2019 tentang Pengendalian
Alih Fungsi Lahan Sawah. Keempat,
untuk jangka panjang, pemerintah dan swasta harus berkomitmen pada pengembangan teknologi pertanian yang mampu meningkatkan produktivitas lahan pertanian, sebagai solusi dari terus berkurangnya lahan pertanian yang tidak dapat terbendung lagi.