• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

II.A. Jenis Kelamin

II.A.1. Pengertian Jenis Kelamin

Menurut Hungu (2007) jenis kelamin (seks) adalah perbedaan antara perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir. Seks berkaitan dengan tubuh laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki memproduksikan sperma, sementara perempuan menghasilkan sel telur dan secara biologis mampu untuk menstruasi, hamil dan menyusui. Perbedaan biologis dan fungsi biologis laki-laki dan perempuan tidak dapat dipertukarkan diantara keduanya, dan fungsinya tetap dengan laki-laki dan perempuan pada segala ras yang ada di muka bumi.

II.B. Pasangan Baru

II.B.1. Pengertian Pasangan Baru (New Couple)

Menurut Brehm (1992) menjadi pasangan baru (new couple) merupakan fase dari siklus kehidupan keluarga, dimana dua ndividu dari dua keluarga yang berbeda bersatu untuk memberntuk satu sistem keluarga yang baru. Fase ini tidak hanya melibatkan pembangaunan satu sistem pernikahan baru, tetapi juga penyusunan kembali hubungan dengan keluarga jauh dan teman-teman untuk melibatkan pasangan. Peran perempuan yang berubah, dan meningkatnya jumlah pernikahan pasangan dari latar belakang kebudayaan yang berbeda, serta meningkatnya jarak antara tempat tinggal anggota keluarga, menambah beban berat pada pasangan untuk mendefenisikan hubungan mereka bagi diri mereka sendiri dibandingkan dengan

(2)

yang terjadi di masa lampau.

Brehm (1992) menyatakan bahwa individu yang disebut sebagai pasangan baru merupakan pasangan menikah yang usia pernikahannya tidak lebih dari tiga tahun.

II.C. Pernikahan

II.C.1. Pengertian Pernikahan

Brehm (1992) mendefenisikan pernikahan sebagai ekspresi akhir seorang individu dari suatu hubungan yang mendalam : dimana dua individu bersumpah di depan umum didasarkan pada keinginan untuk menetapkan hubungan sepanjang hidupnya. Pernikahan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995) adalah suatu proses pembentukan keluarga dengan lawan jenis. Hurlock (1980) menyebutkan pernikahan adalah proses penyesuaian diri antara suami istri dalam kesamaan dan keintiman.

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pernikahan adalah ekspresi akhir seorang individu untuk menetapkan hubungan sepanjang hidupnya dan berkeluarga dengan lawan jenisnya serta menyesuaikan diri dalam kesamaan dan keintiman.

II.C.2. Jenis-jenis Pernikahan

II.C.2.a. Berdasarkan pengalaman menikah individu

Brehm (1992) membedakan pernikahan berdasarkan pengalaman menikah individu menjadi :

(3)

1. First Marriage

First Marriage adalah pernikahan pertama individu, dimana individu baru pertama kali mengikat hubungan dengan seseorang secara sah dalam suatu pernikahan.

2. Remarriage

Remarriage adalah pernikahan individu dimana individu pernah menikah tetapi kemudian menikah kembali dengan alas an karena individu telah bercerai ataupun karena pasangan hidup telah meninggal.

II.C.2.b. Berdasarkan usia pernikahan

Brehm (1992) menggolongkan pernikahan berdarakan usia pernikahan menjadi :

1. Newlywedding

Newlywedding adalah suatu hubungan pernikahan yang baru berusia kurang dari atau sama dengan tiga tahun.

2. Marriage

Marriage adalah suatu hubungan pernikahan yang telah berusia lebih dari tiga tahun.

II.C.3. Tahapan PErnikahan (Marital Stage)

Tahapan pernikahan analog dengan tahapan-tahapan perkembangan jiwa yang dialami setiap individu (Gould dalam Sadarjoen, 2005). Apabila dua orang menjalin pernikahan pada fase dewasa, maka hal ini akan mempengaruhi setiap pasangan sebanyak pengaruh kejadian eksternal di dalam kehidupan mereka. Roulins dan

(4)

Fieldman (dalam Sadarjoen, 2005) mengungkapkan terminology marital life cycle. Terminology tersebut dinyatakan tidak sama jalannya dengan perubahan siklus kehidupan manusia, namun lebih mempertimbangkan kejadian-kejadian sebagai pelajaran hidup. Marital life cycle mengungkapkan bahwa tahap-tahap perkawinan muncul karena adanya tiga area kehidupan pasangan yang terpisah, namun saling tumpang tindih. Ketiga area kehidupan yang dimaksud adalah :

a. Perubahan-perubahan dalam peran parental

Perubahan-perubahan dalam peran orang tua pada siklus kehidupan adalah sebagai berikut : kelahiran anak pertama, masa remaja anak-anak, dan keluarnya anak bungsu dari rumah karena sudah dewasa.

Kelahiran anak pertama memberikan dampak yang paling besar karena anak memaksa pasangan untuk menambah peran sebagai ibu dan ayah, padahal sebelumnya mereka hanya beridentitas sebagai pasangan suami istri. Pasangan sering sekali merasa waktu yang diluangkan bersama pasangan sangat sedikit (Campbell dalam Sadarjoen, 2005).

Selama periode remaja, peran orang tua mungkin bergeser menjadi rasa ketidaknyamanan akan pola asuh yang telah mereka terapkan, dan sering kali merasa moral keluarga telah jatuh. Sementara itu, akan tiba waktunya kedua pasangan mengalami kejadian final, yaitu saat anak bungsu keluar dari rumah dan dirasakan sebagai sinyal “empty nest” yang merupakan pertanda akhir dari aktivitas parental (Menaghan, dalam Sadarjoen, 2005).

(5)

b. Perubahan-perubahan dalam status ekonomi

Perbahan-perubahan dalam status ekonomi sering terkait dengan pendidikan pasangan, pekerjaan pasangan dan jumlah serta jarak kelahiran anak-anaknya. Dua tahap dalam marital life cycle yang sangt rentan terhadap stress ekonomi terjadi pada awal pernikahan dan saat pension tiba. Perolehan penghasilan keluarga yang rendah pada setiap periode siklus pernikahan dapat memberikan efek kehancuran dalam kualitas kehidupan pasangan.

c. Perubahan dalam peran yang dimainkan diluar kehidupan keluarga

Perubahan-perubahan dalam peran yang dimainkan diluar kehidupan keluarga juga sangat bervariasi sama halnya dengan marital life cycle. Kembalinya istri dalam setting kerja setelah tinggal di rumah demi mengasuh anak-anak beberapa tahun sebelumnya akan memberikan berbagai macam perubahan permainan peran dalam rumah tangga yang dapat menjadi sumber stress bagi kelangsungan kehidupan pernikahan (Ryne, dalam Sadarjoen, 2005).

II.D. Coping Stress (Cara Menghadapi Stres)

Stres dapat dipersespsikan berbeda-beda oleh masing-masing orang. Secara garis besar, stress merupakan keadaan maupun kondisi yang muncul ketika seseorang dihadapkan pada suatu kejadian yang dirasa mengancam kondisi fisiologis maupun psikologis seseorang.

II.D.1. Pengertian Stres

Baron dan Byrne (1997) menyatakan bahwa stres merupakan respon terhadap persepsi kejadian fisik atau psikologis dari individu sebagai sesuatu yang potensial

(6)

menimbulkan bahaya atau tekanan emosional.

Selye (dalam Munandar, 2001) menyatakan bahwa stres adalah tanggapan menyeluruh dari tubuh terhadap setiap tuntutan yang dating atasnya. Jadi stres bersifat subyektif tergantung bagaimana orang tersebut memandang kondisi penyebab stress (stressor).

Dalam buku Stress and Health, Rice (1992) mendefenisikan stress dengan tiga pengertian yang berbeda, yaitu :

a. Stres mengarah pada tiap kejadian atau stimulus lingkungan yang menyebabkan seseorang merasa tertekan atau dibangkitkan. Dalam hal ini, stres berasal dari eksternal seorang individu. Kondisi yang dapat menimbulkan stres disebut stressor. Setiap situasi, peristiwa/kejadian atau objek yang memaksa tubuh dan menyebabkan timbulnya “physiological reaction” adalah stressor.

b. Stres mengarah pada respon subjektif. Dalam hal ini, stres merupakan bagian internal dari mental, termasuk didalamnya adalah emosi, pertahanan diri, interpretasi dan proses coping yang terdapat dalam diri seseorang.

c. Stres mengarah pada physical reaction dalam mengatasi ataupun menghilangkan gangguan.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa stres merupakan setiap tekanan atau ketegangan yang dirasakan membahayakan kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang.

II.D.2. Faktor-faktor Penyebab Stres

(7)

menyebabkan timbulnya ”physiological reaction” disebut dengan stressor.Stressor dapat berupa stimulus yang berasal dari lingkungan fisik dan situasi social. Rice (1992) dalam bukunya yang berjudul Stress and Health, mengemukakan tentang hal-hal yang dapat menjasi sumber stres pada setiap orang.

Secara umum stressor dibedakan menjadi dua bagian, yaitu: a. Internal

Yaitu, stressor yang berasal dari dalam diri individu sendiri. Ada beberapa hal yang merupakan stressor internal, antara lain:

i. Kepribadian

Seseorang dengan Tipe A memiliki cirri-ciri sebagai berikut : agresif, ambisius, senang bersaing, senang menyelesaikan pekerjaan dan kebiasaan berlomba dengan waktu. Pada waktu-waktu tertentu, mereka mampu menunjukkan kemampuan dan keefisienan mereka. Namun, bila dihadapkan dalam kondisi stressful, mereka tidak mampu lagi untuk mengendalikan diri dan kebingungan. Seseorang dengan Tipe B memiliki cirri-ciri yang berlawanan dengan Tipe A, yaitu : easygoing, tidak suka berkompetisi dan tenang.

ii. Kognitif

Kognitif juga dapat menjelaskan bagaimana jalannya seseorang dapat mengalami stres. Stres secara khusus dapat mempengaruhi individu secara pribadi dalam menerima dan menginterpretasikan suatu masalah.

(8)

b. Eksternal

Yaitu, stressor yang berasal dari luar diri individu. Beberapa stressor eksternal, antara lain:

i. Faktor rumah tangga (stress in the family)

Stres dalam keluarga didefenisikan sebagai tekanan yang dapat merusak atau mengubah sistem dalam keluarga. Pengaruh stres ini terhadap keluarga yaitu mengurangi keharmonisan dan merupakan sumber dari berbagai masalah. ii. Faktor lingkungan (environmental stress)

Lingkungan adalah tempat yang mengarah pada hal di sekeliling kita, ruang fisik yang dapat dirasakan dan tempat kita berperilaku. Byrne dan Clare (dalam Rice, 1992) mengemukakan pengertian stres lingkungan sebagai suatu kondisi sikap seseorang terhadap aspek-aspek tertentu dari lingkungan.

iii. Faktor sosial (social source of stress)

Perubahan sosial dapat dilihat dari perubahan gaya hidup (life-style changes), nilai-nilai dan tradisi-tradisi lama yang telah bergeser. Perubahan-perubahan yang terjadi meliputi aborsi, kebebasan homoseksual, pernikahan yang kemudian membuat keluarga, masyarakat dan pemerintahan terpengaruh untuk mengikuti perubahan-perubahan tersebut.

II.D.3. Jenis-Jenis Stres

Selye (dalam Munandar, 2001) membedakan stres menjadi 2 (dua), yaitu: a. Distress

(9)

Sebagai contoh: pertengkaran, kematian pasangan hidup, dan lain-lain. b. Eustress

Merupakan jenis stres yang diakibatkan oleh hal-hal yang menyenangkan. Sebagai contoh: perubahan peran setelah menikah, kelahiran anak pertama, dan lain-lain. II.D.4. Pengertian Coping Stress

Taylor (dalam Smet, 1994) mengemukakan bahwa coping stress adalah suatu proses dimana individu mencoba untuk mengelola jarak yang ada antara tuntutan-tuntutan (baik itu tuntutan-tuntutan yang berasal dari individu maupun tuntutan-tuntutan yang berasal dari lingkungan) dengan sumber-sumber daya yang mereka gunakan dalam menghadapi situasi stressful.

Menurut Lazarus (1996) coping stress adalah upaya kognitif dan tingkah laku untuk mengelola tuntutan internal dan eksternal yang khusus dan konflik diantaranya yang dinilai individu sebagai beban dan melampaui batas kemampuan individu tersebut.

Individu akan memberikan reaksi yang berbeda untuk mengatasi stres. Dewasa ini proses terhadap stres menjadi pedoman untuk membangun coping stress. Secara umum stres dapat diatasi dengan melakukan transaksi dengan lingkungan dimana hubungan transaksi ini merupakan suatu proses dimana individu berusaha untuk menangani dan menguasai situasi stres yang menekan dengan melakukan perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam dirinya.

Coping adalah transaksi berseri antara individu yang memiliki satuan sumber daya, nilai, komitmen, dan lingkungan tempat tinggal dengan sumber dayanya

(10)

sendiri, tuntutan. Coping bukan merupakan suatu tindakan yang dilakukan individu tetapi merupakan kumpulan respon yang terjadi setiap waktu, yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan individu tersebut (Yanny, dkk, 2004). Reaksi emosional, termasuk kemarahan dan depresi, dapat dianggap sebagai bagian dari proses coping untuk menghadapi suatu tuntutan.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa coping stress merupakan suatu upaya kognitif untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi atau meminimalisasikan suatu siatuasi atau kejadian yang penuh ancaman.

II.D.5. Fungsi Coping Stress

Secara umum menurut Folkman, dkk (dalam Smet, 1994) coping stress mempunyai 2 (dua) macam fungsi, yaitu:

a. Emotion-focused coping

Digunakan untuk mengatur respon emosional terhadap stres. Pengaturan ini melalui perilaku individu, seperti pengguna alkohol, bagaimana mengabaikan fakta-fakta yang tidak menyenangkan dengan strategi kognitif. Bila individu tidak mampu mengubah kondisi yang stressful, individu akan cenderung mengatur emosinya. Salah satu strategi ini disebutkan Freud (dalam Smet, 1994) yaitu mekanisme pertahanan diri (self defense mechanism). Strategi ini tidak mengubah situasi stressful, namun hanya mengubah cara orang memikirkan situasi dan melibatkan elemen penipuan diri (denial).

b. Problem-focused coping

(11)

dalam menghadapi masalahnya dan berusaha untuk menyelesaikannya. Untuk mengurangi stressor, individu akan mengatasinya dengan cara mempelajari cara atau ketrampilan baru. Individu akan cenderung menggunakan strategi ini, bila dirinya yakin akan dapat mengubah situasi. Metode ini digunakan oleh orang dewasa.

II.D.6. Strategi-Strategi Coping Stress

Menurut Arthur Stone dan Jhon Neale (dalam Benjamin, dkk, 1987) terdapat 8 (delapan) kategori strategi coping stress, yaitu :

a. Direct action (tindakan langsung)

Individu memikirkan dan mencari pemecahan permasalahannya dan kemudian melakukan sesuatu atau bertindak untuk menyelesaikan masalah tersebut. b. Acceptance (penerimaan)

Individu mampu menerima kenyataan bahwa keadaan stres tersebut telah terjadi dan tidak ada yang dapat dilakukan untuk menghindari masalah tersebut.

c. Destruction (pengacauan masalah)

Individu melibatkan diri pada aktivitas lain dan memaksakan diri untuk memecahkan masalah lain.

d. Situation redefenition (mendefenisikan ulang situasi)

Mendefenisikan situasi dengan memikirkan masalah dengan cara yang berbeda agar situasi stres tersebut menjadi dapat diterima.

(12)

e. Catharsis (katarsis)

Mencari pelepasan emosi sebagai alat untuk mengurangi ketegangan dari stres.

f. Relaxation techniques (teknik relaksasi)

Merupakan cara untuk mengurangi tekanan yang dialami individu. g. Social support (dukungan sosial)

Mencari dukungan sosial, misalnya dari teman, orang yang dicintai, psikolog atau dari lingkungan masyarakat sekitar untuk mengurangi stres.

h. Religious strategy (strategi keagamaan)

Mencari ketenangan spiritual yang diperoleh dari teman, orang tua atau pemuka agama. Strategi ini dapat ditempuh dengan perilaku seperti berdoa. Berdoa diyakini dapat membuat individu mampu menghadapi berbagai situasi yang penuh tekanan.

Menurut Taylor (dalam Smet, 1994) ada 8 (delapan) jenis strategi coping stress, yaitu:

a. Konfrontasi, yaitu sikap agresif untuk mengubah situasi

b. Mencari dukungan sosial, yaitu suatu sikap untuk mendapatkan kenyamanan emosional dan informasi dari orang lain.

c. Merencanakan pemecahan masalah

d. Kontrol diri, adalah sikap untuk mengatur perasaan

(13)

f. Penilaian kembali secara positif (possitive appraisal), yaitu suatu upaya untuk menemukan arti yang positif dari permasalahan yang dihadapi.

g. Menerima tanggung jawab dalam masalah peran

h. Melarikan diri/ menghindar (escape/avoidance), yaitu dengan cara makan, minum, merokok, dan memakai obat-obatan.

Strategi penanganan stres juga dapat digolongkan menjadi mendekat (approach) atau menjauh (avoidance). Strategi mendekat (approach strategies) meliputi usaha kognitif untuk memahami penyebab stres dan usaha untuk menghadapi penyebab stres tersebut dengan cara menghadapinya secara langsung. Strategi menghindar (avoidance strategies) meliputi usaha kognitif untuk menyangkal atau meminimalisasikan penyebab stres dan usaha yang muncul dalam tingkah laku untuk menarik diri atau menghindar dari penyebab stres (Santrock, 1998)

Perlu diketahui bahwa tidak ada satu pun metode coping stress yang dapat digunakan untuk semua situasi stres. Tidak ada strategi coping stress yang paling berhasil. Strategi coping stress yang paling efektif adalah strategi yang sesuai dengan jenis stres dan situasi (Smet, 1994). Keberhasilan coping stress lebih bergantung pada penggabungan strategi coping stress yang sesuai dengan ciri-ciri masing-masing kejadian yang mengancam, daripada mereka mencoba menemukan satu strategi coping stress yang paling berhasil.

(14)

II.D.7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Coping Stress

Reaksi terhadap stres bervariasi antara individu yang satu dengan individu yang lainnya, dan dari waktu ke waktu pada orang yang sama. Perbedaan ini

disebabkan oleh faktor psikologis dan sosial yang tampaknya dapat merubah dampak stressor bagi individu.

Menurut Smet (1994) faktor-faktor yang mempengaruhi coping stress adalah : a. Variabel dalam kondisi individu; mencakup umur, tahap kehidupan, jenis

kelamin, temperamen, faktor genetik, intelegensi, pendidikan, suku, kebudayaan, status ekonomi dan kondisi fisik.

b. Karakteristik kepribadian, mencakup introvert-extrovert, stabilitas emosi secara umum, kepribadian “ketabahan” (hardiness), locus of control, kekebalan, dan ketahanan.

c. Variabel sosial-kognitif, mencakup dukungan sosial yang disrasakan, jaringan sosial, serta kontrol pribadi yang dirasakan.

d. Hubungan dengan lingkungan sosial, dukungan sosial yang diterima, integrasi dalam jaringan sosial.

e. Strategi coping stress; merupakan cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah dan menyesuaikan diri dengan perubahan dalam situasi stres.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi coping stress adalah : kesehatan fisik, karakteristik kepribadian,

(15)

variabel sosial-kognitif, hubungan dengan lingkungan sosial dan strategi coping stress.

II.D.8.Aspek-Aspek Coping Stress

Coping dapat diidentifikasi melalui respon, manifestasi (tanda dan gejala) dan pernyataan klien dalam wawancara. Menurut Jerabek (1998) ada 7 (tujuh) aspek coping stress, yaitu :

1. Reactivity to stress (reaksi terhadap stres)

Bagaimana individu bereaksi terhadap stres, atau dapat dikatakan sebagai kemampuan seseorang untuk menghadapi stres. Jerabek (1998) mengatakan bahwa semakin rendah kemampuan seseorang menghadapi stres, maka reaksinya terhadap stres tergolong maladaptif. Sebaliknya, semakin tinggi kemampuan seseorang menghadapi stres, maka reaksinya terhadap stres semakin adaptif.

2. Ability to assess situation (kemampuan untuk menilai situasi)

Kemampuan untuk menilai situasi yang dimaksud yaitu bagaimana cara individu menanggapi situasi/masalah yang mengancam dirinya. Dimana situasi tersebut dapat terkendali jika individu memiliki kemampuan yang tinggi untuk menilai situasi, dan situasi yang menimpanya akan menimbulkan stres jika individu memiliki kemampuan yang rendah untuk menilai situasi (Jerabek, 1998).

3. Self-reliance (kepercayaan terhadap diri sendiri)

Self-reliance merupakan kepercayaan individu terhadap dirinya untuk dapat menghadapi/menyelesaikan situasi atau masalah yang datang kepadanya. Jerabek (1998) menyatakan bahwa, semakin tinggi kepercayaan diri individu dalam

(16)

menghadapi situasi yang mengancam dirinya, maka ia akan terhindar dari stres. Sebaliknya, semakin rendah kepercayaan diri individu dalam menghadapi situasi yang mengancam, maka ia akan mengalami stres.

4. Resourcefulness (banyaknya akal daya)

Menurut Jerabek (1998) resourcefulness merupakan daya/ kemampuan individu untuk memikirkan jalan keluar dalam menghadapi situasi/ masalah yang mengancamnya. Semakin tinggi kemampuan individu untuk mencari jalan keluar bagi masalahnya, ia akan terlepas dari stres, namun semakin rendah kemampuan individu untuk mencari jalan keluar bagi masalahnya, ia akan mengalami stres. Salah satu contoh dari aspek ini yaitu : berbagi masalah dengan teman atau orang yang disayangi, mengikuti group therapy.

5. Adaptability and flexibility (adaptasi dan penyesuaian)

Adaptasi dan penyesuaian individu dalam menghadapi situasi/masalah yang mengancam dirinya juga mempengaruhi tingkat stres seseorang. Jerabek (1998) mengatakan bahwa, semakin tinggi adaptasi dan penyesuaian diri individu terhadap situasi/ masalah yang mengancam, ia akan terhindar dari stres. Sebaliknya, semakin rendah adaptasi dan penyesuaian diri individu terhadap situasi/ masalah yang mengancam, ia akan mengalami stres.

6. Proactive attitude (sikap proaktif)

Jerabek (1998) menyatakan bahwa individu juga harus berperan aktif dalam menghadapi situasi/ masalah yang mengancam dirinya. jika individu tidak aktif dalam menyeleseaikan masalahnya atau terlalu bergantung kepada orang lain, ia

(17)

akan mengalami stres. Namun sebaliknya, jika seseorang aktif menghadapi situasi/ masalah yang menancam dirinya, ia akan terlepas dari stres.

7. Ability to relax (kemampuan untuk relaks)

Jerabek (1998) menyatakan bahwa bersikap santai/ relaks dalam menghadapi masalah, dapat mengurangi tingkat stres seseorang. Semakin tinggi kemampuan individu untuk relaks dalam menghadapi maslaahnya, semakin rendah tingkat stres nya. Namun semakin tegang seseorang menghadapi stres nya, maka tingkat stres nya akan semakin tinggi.

II.E. Dinamika Coping Stress dalam Pernikahan

Kita dapat melihat dinamika coping stress dalam pernikahan melalui teori yang dikemukakan oleh Reuben Hill (dalam Rice, 1987). Hill meneliti bahwa dinamika coping stress dan menamakan teori tersebut sebagai the ABCX Model. David Klein (dalam Rice, 1987) juga melakukan penelitian yang sama dan menamakan teorinya sebagai stress-crisis-coping theory (SSC theory).

Dalam teori ABCX, Hill (dalam Rice, 1987) menyatakan bahwa suatu kejadian (A) berinteraksi dengan anggota-anggota keluarga dan menciptakan krisis (B), dan interpretasi keluarga tentang kejadian tersebut (C), dapat menciptakan krisis (X). Dalam sebuah keluarga, sebuah stressor muncul hanya jika keluarga menginterpretasikan kejadian yang menimpa mereka sebagai suatu ancaman (family appraisal), dan sumber keluarga (family resources) tersebut tidak dapat menghadapi ancaman tersebut (secondary appraisal).

(18)

Ada 2 (dua) konsep mendasar pada ABCX Model yang dikemukakan oleh Hill (dalam Rice, 1987). Pertama, besarnya perubahan yang disebabkan oleh kejadian yang menimbulkan stres. Kedua, kerentanan keluarga terhadap stres. Secara umum, dinamika coping stress dapat kita lihat pada bagan sebagai berikut :

Gambar 1

Dinamika Coping Stress dalam Keluarga

Amount of change (besar perubahan-perubahan yang terjadi pada keluarga) merupakan tingkat dari penyesuaian diri keluarga terhadap kejadian yang menimpa mereka (Hill, dalam Rice, 1987). Contohnya : kematian pasangan hidup, perceraian,

Amount of Change (Besarnya perubahan)

Stressor Event (Kejadian yang menyebabkan

stress)

Family Vulnerability to Stress (Kerentanan keluarga terkena stres)

Amount of Family Stress (Besarnya stres yang

dihadapi keluarga) Family Defenition of Seriousness of Change (Family appraisals) Family Integration Family Adaptability

(19)

kelahiran anak pertama, perilaku anak saat remaja, ataupun perginya anak paling bungsu dari rumah (emptyness).

Stressor events dijelaskan oleh McCubbin dan Patterson (dalam Rice, 1987) sebagai kejadian hidup atau transisi yang dapat mempengaruhi sistem sosial keluarga. Sebagai contoh : kematian orang tua, pendapatan yang kecil, dipenjaranya salah satu anggota keluarga, dan lain-lain.

Family vulnerability of stress. Dalam teori Hill (dalam Rice, 1987), family vulnerability merupakan faktor yang paling kompleks dan paling penting dalam menghasilkan stres pada keluarga. Pada dasarnya, stressor events berinteraksi dengan family vulnerability untuk menghasilkan krisis. Semakin tinggi ancaman dari kejadian yang menimpa keluarga, semakin tinggi pula family vulnerability terhadap stres, dan juga krisis menimpa keluarga tersebut. Sebaliknya, semakin rendah ancaman dari kejadian yang menimpa keluarga, maka family vulnerability juga rendah dan keluarga tersebut tidak mengalami stres.

Family appraisal. Dari bagan di atas dapat kita lihat bahwa family vulnerability berkaitan dengan pengrtian (defenition) keluarga (atau yang disebut juga appraisal) terhadap seriusnya perubahan yang terjadi dalam keluarga dan keseluruhan dari integrasi dan kemampuan adaptasi keluarga.

Family resources. Sumber-sumber keluarga merupakan kombinasi dari sumber personal yang dimiliki salah satu anggota keluarga secara pribadi, dan sumber pribadi tersebut merupakan bagian dari sistem keluarga. Telah diteliti oleh Hill (dalam Rice, 1987) bahwa stres yang terjadi dalam keluarga terfokus pada 4 (empat)

(20)

sumber, yaitu : status keuangan atau keadaan perekonomian keluarga, status kesehatan atau keadaan fisik keluarga, sumber psikologis yang biasanya diukur dari variabel kepribadian, dan tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan ditampilkan secara tidak langsung sebagai sumber kognitif, yang memperkirakan appraisal nyata dan menghasilkan kemampuan untuk memecahkan masalah (problem solving).

Secara singkat hubungan family vulnerability dengan besar stres yang terjadi dalam keluarga dapat kita lihat dalam bagan berikut :

Gambar 2

Hubungan Family Vulnerability dengan Besar Stres Kelurga

High

Low

Low

High

McCubbin dan Patterson (dalam Rice, 1987) mengidentifikasikan 4 (empat) hipotesis umum terhadap bagaimana coping keluarga dalam menghadapi stres. Pertama, coping stress dapat mengurangi family vulnerability terhadap stres. Kedua,

(21)

keluarga dan organisasi keluarga. Ketiga, coping stress dapat mengurangi bahkan menghilangkan stressor events. Dan keempat, coping stress secara aktif mengendalikan lingkungan keluarga dan mengubah organisasi keluarga ke arah yang lebih baik.

II.F. Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah ada perbedaan coping stress (upaya mengatasi stres) antara pria dan wanita dalam pernikahan. Artinya, coping stress pada pria lebih efektif daripada coping stress wanita.

Referensi

Dokumen terkait

Pada saat Peraturan Badan ini mulai berlaku, Peraturan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pelaporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara di

Bab II merupakan landasan teori berupa pasukan pelindung shōgun yang berisi : Keshōgunan setelah masa isolasi yang membahas Jepang menyerah pada tuntutan Amerika Serikat untuk

Maka coping merupakan proses yang dilakukan individu untuk mengelola perasaan ketidakcocokan akan tuntutan-tuntutan yang berasal dari individu sendiri maupun

Pada percobaan kali ini untuk menentukan diagram terner, sistem zat cair tiga komponen. Metode yang digunakan adalah metode

Tinjauan yuridis atas Surat Edaran Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan sepanjang

Sebaliknya, penggunaan yang tidak benar adalah yang paling sering jenis ketidakpatuhan pada pasien yang lebih tua dari 65 tahun dengan polifarmasi (menggunakan 2 obat atau lebih)