• Tidak ada hasil yang ditemukan

TANAMAN ALFALFA (Medicago sativa L.) ADAPTIF DATARAN TINGGI IKLIM BASAH SEBAGAI SUMBER PAKAN: MORFOLOGI, PRODUKSI DAN PALATABILITAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TANAMAN ALFALFA (Medicago sativa L.) ADAPTIF DATARAN TINGGI IKLIM BASAH SEBAGAI SUMBER PAKAN: MORFOLOGI, PRODUKSI DAN PALATABILITAS"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

TANAMAN ALFALFA (Medicago sativa L.) ADAPTIF

DATARAN TINGGI IKLIM BASAH SEBAGAI SUMBER

PAKAN: MORFOLOGI, PRODUKSI DAN PALATABILITAS

(Alfalfa (Medicago sativa L.) Adapted to Highland-Wet Climate Feed

Resource: Morphology, Production and Palatability)

JUNIAR SIRAIT,M.SYAWAL danK.SIMANIHURUK

Loka Penelitian Kambing Potong, Sungai Putih, PO Box 1, Galang 2085, Sumatera Utara

ABSTRACT

The study was aimed to characterizae and study the usage of alfalfa (Medicago sativa L.) as feed resources. Alfalfa had planted on 0.2 ha at highland-wet climate Tongkoh, Karo District, North Sumatra. The experiment was run in completely randomized design with three phosfor fertilizer treatments (P0, P1, and P2). Each treatment consists of five replications. Collecting data includes morphology aspect, production, nutritive value (dry matter, nitrogen, NDF, ADF, organic matter and energy) and nutritional inhibitor. The result showed that alfalfa had a good growth, high production and nutritive value. Alfalfa that received 120 kg P/ha fertilizer showed the best performances (growth, production, and nutritive value) among treatments. The highest average fresh production and leaf proportion were found on P2 treatment. Sapponin content of alfalfa on P0, P1, and P2 treatments were 0.18, 0.41, and 0.42%, respectively. Alfalfa palatability was better than Arachis glabrata where dry matter intake were 229.3 ± 3.2 and 178.2 ± 7.2 g/head/day, respectively. It was concluded that alfalfa was a-high production and nutritive value; potential for goat feed

Key Words: Alfalfa, Feed, Morphology, Production, Palatability

ABSTRAK

Kegiatan penelitian bertujuan melakukan karakterisasi dan mempelajari pemanfaatan alfalfa (Medicago

sativa L.) sebagai sumber pakan ternak Tanaman alfalfa ditanam di dataran tinggi beriklim basah Tongkoh,

Kabupaten Karo pada lahan seluas 0,2 ha. Rancangan penelitian adalah rancangan acak lengkap dengan tiga perlakuan pemupukan fosfor (P0, P1 dan P2) dan masing-masing 5 ulangan. Parameter yang diamati antara lain mencakup aspek morfologi (bentuk daun dan batang, warna daun dan batang, tinggi tanaman, jumlah cabang), aspek produksi (produksi segar, rasio daun/batang) dan nilai nutrisi (bahan kering, nitrogen, NDF, ADF, bahan organik dan energi) serta anti nutrisi. Diperoleh hasil bahwa tanaman leguminosa alfalfa menunjukkan pertumbuhan yang baik dengan produksi dan nilai nutrisi yang cukup tinggi, dan yang terbaik pada perlakuan pemupukan 120 kg P/ha, baik dari aspek morfologi maupun nilai nutrisi. Rataan produksi segar maupun proporsi daun tertinggi diperoleh pada perlakuan pemupukan 120 kg P/ha. Kandungan saponin 0,18; 0,41 dan 0,42%bahan kering untuk masing-masing perlakuan pemupukan 0, 60 dan 120 kg P/ha. Palatabilitas alfalfa relatif lebih baik dibandingkan dengan Arachis glabrata dengan konsumsi bahan kering 229,3 ± 3,2 dan 178,2 ± 7,2 g/ekor/hari. Berdasarkan hasil tersebut disimpulkan bahwa leguminosa alfalfa potensial untuk digunakan sebagai bahan pakan kambing.

Kata Kunci: Alfalfa, Pakan, Morfologi, Produksi, Palatabilitas

PENDAHULUAN

Penyediaan hijauan pakan ternak yang berkualitas baik dalam jumlah cukup secara berkesinambungan merupakan faktor yang sangat menentukan keberhasilan pemeliharaan dan pengembangan ternak ruminansia,

termasuk ternak kambing. Medicago merupakan salah satu genus diantara 15 genus tanaman pakan ternak dari kelompok leguminosa yang masuk dalam Traktat Internasional Sumberdaya Genetik Tanaman Pangan dan Pertanian dimana alfalfa

(2)

(Medicago sativa L.) adalah salah satu spesies diantaranya (IT-PGR/FA, 2004).

Alfalfa dapat beradaptasi dengan baik pada berbagai macam iklim dan kondisi tanah. Alfalfa beradaptasi sangat baik pada tanah lempung yang dalam dengan bagian tanah yang berpori. Alfalfa juga membutuhkan banyak kapur dan tidak bagus tumbuh pada tanah yang masam (HANSON dan BARNES, 1973). Umumnya alfalfa dapat tumbuh dengan baik pada pH 6,2 (ROWELL, 1994). Alfalfa responsif terhadap aplikasi pemupukan, khususnya fosfor, sulfur dan potasium (WHITEMAN, 1980) dan menurut PEARSON dan ISON (1986) efisiensi penggunaan pupuk fosfor umumnya berkisar 0,7 – 1,0; namun bisa juga turun hingga nol bila diaplikasikan saat curah hujan tinggi pada tanah berpasir. Menurut HENNING dan NELSON (1993), di Missouri, alfalfa diperhadapkan dengan beberapa penyakit: busuk akar (phytophtora root rot), penyakit layu (bacterial wilt), anthracnose, sclerotinia dan busuk batang. Belum ditemukan cara mengatasinya secara kimia, kontrol terbaik adalah dengan pencegahan melalui pemilihan varietas yang resisten terhadap phytophtora root rot, bacterial wilt dan anthracnose. Belum ada varietas yang resisten terhadap sclerotinia.

Alfalfa di benua Eropa dikenal dengan nama lucerne (berasal dari nama Lake Lucerne di Switzerland). Kultivasi awal dan popularitas alfalfa berkembang dimulai di Lake Lucerne hingga akhirnya masuk ke Eropa (ALLEN dan ALLEN, 1981). Alfalfa merupakan tanaman tahunan yang dapat tumbuh kembali setelah pemotongan (defoliasi). Alfalfa digunakan sebagai salah satu komponen hijauan pastura yang memiliki nilai ekonomi, dimanfaatkan sebagai sumber hijauan bagi ternak kuda, sapi penggemukan dan sapi perah serta domba (EARTHNOTE, 2004).

Menurut ILDIS (2005), klassifikasi alfalfa adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae Division : Magnoliophyta Class : Magnoliopsida Order : Fabales Family : Fabaceae Subfamily : Faboideae Tribe : Trifolieae Genus : Medicago Spesies : M. sativa

Alfalfa tergolong sumber hijauan pakan yang potensial dimanfaatkan untuk ternak ruminansia karena produksinya tinggi serta didukung nilai nutrisi yang baik dengan kandungan protein kasar berkisar 17,7 – 24,1% seperti dilaporkan TEUBER dan PHILLIPS (1998) bahkan mencapai 25% (EARTHNOTE, 2004). Sementara itu HORNER et al. (1985) melaporkan kandungan nutrisi alfalfa pada pemanenan pertama (tahap pertumbuhan 10% berbunga) adalah sebagai berikut: protein kasar 21,4%; ADF 35,3%, NDF 35,6% dan lignin 11,7% berdasarkan bahan kering. Sementara itu menurut PEARSON dan ISON (1987), alfalfa (lucerne) memiliki kandungan anti nutrisi berupa saponins.

GELAYE et al. (1987) telah melakukan penelitian menggunakan Arachis glabrata dan alfalfa dalam bentuk hay sebagai pakan kambing. Hasil penelitiannya menunjukkan kambing yang diberi pakan A.glabrata menghasilkan pertambahan bobot hidup yang lebih tinggi dibanding alfalfa, namun absorbi dan retensi nitrogen pada kedua perlakuan relatif sama. Selanjutnya dilaporkan bahwa kambing yang diberi pakan A. glabrata dan alfalfa dalam jumlah yang sama pada kandang yang sama cenderung mengkonsumsi lebih banyak A. glabrata dibanding alfalfa (495,3 vs 469,5 g/ekor/hari). Pada penelitian BURNS et al. (2005) yang memanfaatkan alfalfa (dalam bentuk hay) sebagai pakan ternak kambing diperoleh hasil yang cukup baik, yakni: konsumsi bahan kering 207 – 370 g/10 kg BB; kecernaan BK sebesar 68,4 – 73% dan kecernaan protein kasar sebesar 80,4 – 81,7%.

Penelitian bertujuan melakukan karakterisasi dan eksplorasi TPT alfalfa sebagai sumber pakan serta mempelajari palatabilitas alfalfa (Medicago sativa L.) pada kambing dan luaran yang diharapkan adalah tersedianya bibit alfalfa seluas 0,2 ha sebagai sumber hijauan, data morfologi, produksi, nilai nutrisi dan anti nutrisi alfalfa serta palatabilitasnya pada ternak kambing.

MATERI DAN METODE

Penelitian ini terdiri atas 2 aspek kegiatan, yakni aspek budidaya alfalfa dilakukan di agroekosistem dataran tinggi beriklim basah Tongkoh, Kabupaten Karo pada bulan Januari

(3)

hingga Desember 2009 dan aspek pemanfaatannya untuk ternak kambing melalui uji palatabilitas dilaksanakan di dataran rendah beriklim kering Sei Putih, Sumatera Utara pada bulan Oktober 2009.

Tanaman pakan ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah alfalfa (Medicago sativa L.) yang merupakan salah satu spesies dari kelompok leguminosa. Alfalfa ditanam menggunakan biji pada larikan sedalam ± 5 cm dengan jarak antar barisan 40 cm pada lahan total seluas 0,2 ha di Kabupaten Karo dan produksinya digunakan untuk ternak kambing pada uji palatabilitas di Sei Putih. Pupuk dasar menggunakan pupuk kandang sebanyak 5 t/ha; pupuk tambahan berupa nitrogen (80 kg/ha), kalium (100 kg/ha) dan fosfor (sesuai perlakuan). Untuk meningkatkan pH tanah dilakukan pengapuran sebanyak 5 t/ha menggunakan kapur kerang.

Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), terdiri atas tiga perlakuan pemupukan dan masing-masing lima ulangan. Total petak percobaan adalah 15 petak, dimana satu petak percobaan berukuran 8 m × 15 m. Adapun perlakuan pemupukan fosfor adalah: P0 (0 kg/ha), P1 (60 kg/ha) dan P2 (120 kg/ha).

Parameter yang diamati antara lain karakteristik morfologi mencakup karakteristik daun (warna, bentuk, lebar, jumlah helai), karakteristik batang (warna, bentuk, panjang ruas), jumlah anakan. Karakteristik produksi antara lain produksi segar dan produksi BK (batang, daun, rasio batang/daun). Pengamatan terhadap karakter morfologi dilakukan sebelum panen (pemotongan). Pemotongan pertama dilakukan pada umur tanaman 100 hari (HERNOWO, 2009). Data produksi diperoleh dari pemanenan yang dilakukan pada interval 2 bulan. Diambil sampel sebanyak 300 gram untuk dianalisis. Analisis kimia mencakup bahan kering, bahan organik, NDF, ADF, energi dan kandungan nitrogen serta anti nutrisi.

Uji palatabilitas alfalfa (Medicago sativa L.) pada ternak kambing dilakukan dengan sistem kompetisi atau free choice menggunakan leguminosa Arachis glabrata sebagai pembandingnya. Kedua spesies hijauan tersebut diberikan secara ad libitum dalam waktu bersamaan selama 2 minggu; terdiri atas masa adaptasi 1 minggu dan koleksi data 1

minggu. Jumlah ternak kambing yang digunakan sebanyak 10 ekor sebagai ulangan dengan rataan bobot hidup 11,8 ± 1,1 kg. Ternak ditempatkan dalam kandang individu. Setiap hari dicatat jumlah pemberian dan sisa masing-masing leguminosa untuk mengetahui jumlah konsumsi harian per individu ternak.

Analisis yang digunakan adalah analisis keragaman (ANOVA) menggunakan program SAS (SAS, 1987), dan bila ditemukan perbedaan perlakuan terhadap peubah yang diamati pada analisis keragaman, dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (DMRT = Duncan Multiple Range Test) menurut STEEL dan TORRIE (1993).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian agronomi tanaman alfalfa (Medicago sativa L.) adaptif lahan kering sebagai sumber pakan telah dilaksanakan meliputi aspek budidaya. Budidaya tanaman pakan ternak (TPT) alfalfa relatif sama dengan tanaman pertanian lainnya yang membutuhkan cahaya, unsur hara dan air untuk dapat tumbuh. Tahapan yang dilakukan dalam penanaman alfalfa mencakup: pengolahan tanah, persiapan bahan tanaman, penanaman, penyiraman, pemupukan serta penyiangan.

Karakter morfologi alfalfa (Medicago sativa L.)

Pengamatan terhadap karakter morfologi alfalfa yang ditanam di dataran tinggi beriklim basah Kabupaten Karo mencakup tinggi tanaman, jumlah cabang, jumlah daun, lebar daun, lingkar batang dan panjang ruas batang dilaksanakan sebelum pemanenan TPT (Gambar 1). Secara acak diambil sampel sebanyak 10 tanaman untuk setiap perlakuan pemupukan guna dilakukan pengamatan.

Rataan tinggi tanaman TPT alfalfa untuk ketiga perlakuan pemupukan pada dua kali pemanenan disajikan dalam Tabel 1. Hasil analisis keragaman menunjukkan adanya perbedaan nyata tinggi tanaman pada pemupukan yang berbeda. Tinggi tanaman tertinggi diperoleh pada dosis pemupukan posfor tertinggi (120 kg/ha). Pada pemanenan pertama rataan tinggi tanaman alfalfa untuk

(4)

Tabel 1. Rataan tinggi tanaman TPT alfalfa (Medicago sativa L.) pada perlakuan pemupukan yang berbeda (panen I dan II)

Rataan tinggi tanaman (cm) Perlakuan pemupukan

Panen I Panen II

Rataan (cm)

P0 (Pupuk P 0 kg/ha) 34,6B 43,0b 38,80

P1 (Pupuk P 60 kg/ha) 55,5A 41,9ab 48,70

P2 (Pupuk P 120 kg/ha) 62,2A 51,7a 56,95

Huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata

perlakuan P1 dan P2 nyata lebih tinggi (P <

0,05)dibanding perlakuan P0. Pada pemanenan kedua, perbedaan nyata tinggi tanaman hanya antara perlakuan P0 dengan P2; sedang antara

perlakuan P1 dengan P0 tidak terdapat

perbedaan nyata (P > 0,05) tinggi tanaman. Hal ini diduga terjadi dengan cukupnya curah hujan pertumbuhan tanaman pada perlakuan P0 yang

tidak memperoleh perlakuan pemupukan dapat mengimbangi pertumbuhan tanaman pada perlakuan P1.

Rataan jumlah cabang TPT alfalfa (Medicago sativa L.) pada perlakuan pemupukan yang berbeda dipaparkan dalam Tabel 2. Terdapat kecenderungan peningkatan jumlah cabang seiring dengan bertambahnya dosis pupuk, namun hasil sidik ragam menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata (P > 0,05) rataan jumlah cabang pada ketiga perlakuan pemupukan, baik pada panen pertama maupun kedua.

Daun alfalfa berupa daun trifoli dengan bentuk agak memanjang dan warna pada umumnya hijau, sebagian kecil berwarna kekuningan dan kemerahan (Gambar 1). Rataan jumlah daun per cabang tanaman pakan alfalfa (Medicago sativa L.) pada perlakuan pemupukan yang berbeda disajikan dalam Tabel 3. Hasil analisis keragaman menunjukkan adanya perbedaan nyata (P <

0,05) antar perlakuan pemupukan. Semakin tinggi dosis pemupukan semakin banyak pula jumlah daun per cabang. Pada pemanenan pertama, rataan jumlah daun per cabang pada perlakuan P2 (40,5 helai) nyata lebih tinggi

dibanding P1 (18,3 helai) maupun P0 (15,3

helai). Kondisi yang sama juga diperoleh pada pemanenan kedua hanya saja dengan jumlah yang relatif lebih sedikit dibanding panen pertama.

Rataan lebar daun tanaman pakan alfalfa (Medicago sativa L.) pada perlakuan pemupukan yang berbeda disajikan dalam Tabel 4. Hasil analisis keragaman menunjukkan adanya perbedaan nyata (P < 0,05) antar perlakuan pemupukan. Lebar daun tanaman pakan alfalfa meningkat seiring dengan pertambahan dosis pemupukan. Pada panen pertama lebar daun terkecil diperoleh pada perlakuan P0 (12,1 mm) berbeda nyata

dengan lebar daun pada perlakuan P2 (14,4

mm), namun relatif sama dengan lebar daun pada perlakuan P1 (13,0 mm). Sementara itu

lebar daun pada perlakuan P1 dan P2 juga tidak

terdapat perbedaan nyata. Pada pemanenan kedua perbedaan nyata lebar daun ditemukan pada ketiga perlakuan pemupukan. Lebar daun pada perlakuan P0 (8,7 mm) nyata lebih rendah

dari P1 (11,7 mm) dan P2 (15,3 mm).

Tabel 2. Rataan jumlah cabang TPT alfalfa (Medicago sativa L.) pada perlakuan pemupukan yang berbeda (panen I dan II)

Rataan jumlah cabang Perlakuan pemupukan

Panen I Panen II Rataan

P0 (Pupuk P 0 kg/ha) 5,5A 7,1a 6,30

P1 (Pupuk P 60 kg/ha) 5,9A 7,8a 6,85

P2 (Pupuk P 120 kg/ha) 6,2 A

8,8a 7,50

(5)

Tabel 3. Rataan jumlah daun per cabang TPT alfalfa (Medicago sativa L.) pada perlakuan pemupukan yang berbeda (panen I dan II)

Perlakuan pemupukan Rataan jumlah daun/cabang (helai) Rataan

Panen I Panen II (helai)

P0 (Pupuk P 0 kg/ha) 15,3C 7,2c 11,25

P1 (Pupuk P 60 kg/ha) 18,3B 10,8b 14,55

P2 (Pupuk P 120 kg/ha) 40,5A 14,4a 27,45

Huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata (P < 0,05)

Tabel 4. Rataan lebar daun TPT alfalfa (Medicago sativa L.) pada perlakuan pemupukan yang berbeda (panen I dan II)

Rataan lebar daun (mm) Rataan Perlakuan pemupukan Panen I Panen II (mm) P0 (Pupuk P 0 kg/ha) 12,1B 8,7c 10,40 P1 (Pupuk P 60 kg/ha) 13,0 AB 11,7b 12,35 P2 (Pupuk P 120 kg/ha) 14,4A 15,3a 14,85

Huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata (P < 0,05)

Gambar 1. Daun alfalfa serta pengamatan tinggi tanaman

Tabel 5. Rataan lingkar batang TPT alfalfa (Medicago sativa L.) pada perlakuan pemupukan yang berbeda Rataan lingkar batang (mm)

Perlakuan pemupukan

Bawah Tengah Atas

P0 (Pupuk P 0 kg/ha) 11,3 B 10,8b 9,6b P1 (Pupuk P 60 kg/ha) 12,4A 11,4ab 10,5ab P2 (Pupuk P 120 kg/ha) 12,7 A 12,2a 11,4a

(6)

Rataan lingkar batang tanaman pakan ternak alfalfa (Medicago sativa L.) pada perlakuan pemupukan yang berbeda disajikan dalam Tabel 5. Hasil analisis keragaman menunjukkan adanya perbedaan nyata (P < 0,05) antar perlakuan pemupukan. Rataan lingkar batang bawah pada perlakuan P0 (11,3

mm) nyata lebih rendah dibanding P1 (12,4

mm) maupun P2 (12,7 mm), sedang antara P1

dengan P2 tidak berbeda. Rataan lingkar batang

tengah dan atas terkecil ditemukan pada perlakuan P0, berbeda nyata dengan perlakuan

P2 namun relatif sama dengan perlakuan P1.

Rataan panjang ruas batang tanaman pakan ternak alfalfa (Medicago sativa L.) pada perlakuan pemupukan yang berbeda disajikan dalam Tabel 6. Hasil analisis keragaman menunjukkan adanya perbedaan nyata (P < 0,05) antar perlakuan pemupukan. Untuk pemanenan pertama rataan panjang ruas batang bawah, tengah dan atas pada perlakuan pemupukan P0 nyata lebih rendah dibanding

perlakuan pemupukan P1 dan P2; sedang antara

P1 dengan P2 tidak terdapat perbedaan nyata.

Pada pemanenan kedua rataan panjang ruas batang bawah, tengah dan atas untuk perlakuan pemupukan P2 (berturut-turut 8,93; 8,15 dan

6,5 cm) nyata lebih tinggi dibanding perlakuan pemupukan P1 (berturut-turut 6,80; 6,40 dan

5,10 cm) maupun P0 (berturut-turut 6,35; 5,70

dan 4,70 cm); sedang antara perlakuan pemupukan P1 dan P0 tidak ditemukan

perbedaan nyata.

Produksi TPT alfalfa (Medicago sativa L.)

Pemanenan pertama dilaksanakan pada minggu kedua bulan Oktober tahun 2009 saat tanaman berumur 100 hari (saat sekitar 10% tanaman berbunga). Keterlambatan pelaksanaan panen terkait dengan sulitnya mendapatkan biji alfalfa yang digunakan sebagai materi tanam pada penelitian ini. Penanaman dilaksanakan pada akhir bulan Juni tahun 2009 meskipun pengolahan lahan sudah dilakukan pada bulan Maret. Pemanenan dilakukan dengan memotong batang tanaman pada ketinggian 10 cm di atas permukaan tanah. Panen kedua dilakukan dengan interval panen dua bulan, yakni pada minggu kedua bulan Desember tahun 2009. Panen dilakukan dengan menggunakan meter-square sebanyak 10 plot setiap perlakuan pemupukan. Hasil panen dari setiap petak bujursangkar ditimbang dalam keadaan segar untuk mengetahui produksi segar tanaman pakan alfalfa (Gambar 2). Selanjutnya diambil sampel 300 g dari setiap petak untuk keperluan separasi. Kegiatan separasi dilakukan untuk mengetahui proporsi daun dan batang dari hasil pemanenan.

Tabel 6. Rataan panjang ruas batang TPT alfalfa (Medicago sativa L.) pada perlakuan pemupukan yang berbeda (panen I dan II)

Rataan panjang ruas batang (cm) Rataan Peubah yang diamati/perlakuan

pemupukan

Panen I Panen II (cm)

Ruas batang bawah:

P0 (Pupuk P 0 kg/ha) 4,20B 6,35b 5,28

P1 (Pupuk P 60 kg/ha) 6,17A 6,80b 6,49

P2 (Pupuk P 120 kg/ha) 6,55A 8,93a 7,74

Ruas batang tengah:

P0 (Pupuk P 0 kg/ha) 4,30B 5,70b 5,00

P1 (Pupuk P 60 kg/ha) 6,55A 6,40b 6,48

P2 (Pupuk P 120 kg/ha) 6,80A 8,15a 7,48

Ruas batang atas:

P0 (Pupuk P 0 kg/ha) 4,30B 4,70b 4,50

P1 (Pupuk P 60 kg/ha) 6,20A 5,10b 5,65

P2 (Pupuk P 120 kg/ha) 6,45A 6,50a 6,48

(7)

Rataan produksi segar TPT alfalfa (Medicago sativa L.) pada perlakuan pemupukan yang berbeda dipaparkan dalam Tabel 7. Pada pemanenan pertama maupun kedua diperoleh perbedaan nyata (P < 0,05) rataan produksi segar antara ketiga perlakuan pemupukan. Produksi tertinggi diperoleh pada perlakuan pemupukan P2 (10,26 t/ha). Hasil ini

nyata lebih tinggi dibandingkan dengan P1 (6,72 t/ha) dan P0 (2,09 t/ha).

Proporsi daun

Pada saat pemanenan dilakukan separasi antara daun dan batang untuk mengetahui proporsi daun. Rataan proporsi daun pada pemanenan I tidak berbeda nyata (P > 0,05) pada ketiga perlakuan pemupukan, sementara pada pemanenan II diperoleh perbedaan nyata (P < 0,05) seperti disajikan dalam Tabel 8. Proporsi daun pada pemanenan II untuk perlakuan pemupukan 120 kg P/ha nyata lebih tinggi dibanding dua perlakuan pupuk lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan kembali (regrowth) TPT alfalfa perlakuan P2

utamanya pertumbuhan daun lebih cepat dibandingkan dengan P0 maupun P1. Proporsi

daun alfalfa pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan batang. Hal ini tidak terlalu berpengaruh terhadap jumlah yang bisa dikonsumsi ternak, sebab pada penelitian uji palatabilitas diperoleh bahwa ternak kambing mengkonsumsi keseluruhan bagian tanaman (batang dan daun).

Komposisi kimiawi alfalfa (Medicago sativa L.)

Berdasarkan analisis sampel Medicago sativa L. diperoleh komposisi kimiawi TPT alfalfa pada perlakuan pemupukan yang berbeda seperti disajikan dalam Tabel 9. Secara umum kandungan nilai nutrisi alfalfa tanpa perlakuan pemupukan lebih rendah dibanding perlakuan pemupukan kecuali bahan kering. Kandungan bahan kering terkecil ditemukan pada perlakuan P2 (21,61%) dan

yang tertinggi pada perlakuan tanpa pupuk (27,17%).

Tabel 7. Rataan produksi segar TPT alfalfa (Medicago sativa L.) pada perlakuan pemupukan yang berbeda (panen I dan II)

Rataan produksi segar (t/ha) Perlakuan pemupukan Panen I Panen II Rataan (t/ha) P0 (Pupuk P 0 kg/ha) 2,09C 1,93c 2,01 P1 (Pupuk P 60 kg/ha) 6,72B 10,24b 8,48 P2 (Pupuk P 120 kg/ha) 10,26A 16,27a 13,26

Huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata (P < 0,05)

(8)

Tabel 8. Rataan proporsi daun TPT alfalfa (Medicago sativa L.) pada perlakuan pemupukan yang berbeda (panen I dan II)

Rataan proporsi (%) Rataan Perlakuan pemupukan

Panen I Panen II (%)

P0 (Pupuk P 0 kg/ha) 46,98A 41,06c 44,02

P1 (Pupuk P 60 kg/ha) 45,72A 43,72b 44,72

P2 (Pupuk P 120 kg/ha) 46,90A 46,29a 46,60

Huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata (P < 0,05)

Kandungan protein kasar tertinggi (16,2%) diperoleh pada alfalfa yang diberi pupuk P pada dosis 120 kg/ha dan yang terendah (10,02%) pada perlakuan tanpa pupuk. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan yang dilaporkan TEUBER dan PHILLIPS (1998) sebesar 17,7 – 24,1%. Tinggi rendahnya kandungan protein kasar dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya spesies tanaman, umur panen, jenis tanah maupun kesuburan lahan. Sampel tanaman yang digunakan dalam analisis ini adalah hasil dari pemanenan pertama. Rendahnya kandungan protein kasar alfalfa pada penelitian ini dibanding penelitian TEUBER dan PHILLIPS (1998) diduga terkait dengan waktu panen yang bertepatan dengan musim kemarau. Meskipun umur tanaman hanya 100 hari dan baru sekitar 10% berbunga, jaringan tanaman lebih cepat mengalami proses penuaan. Semakin tua tanaman maka semakin

rendah juga kandungan protein kasar tanaman dimaksud.

Palatabilitas Medicago sativa L. pada ternak kambing

Uji palatabilitas Medicago sativa L. (alfalfa) dilakukan dengan sistem kompetisi atau free choice menggunakan leguminosa Arachis glabrata sebagai pembandingnya. Kedua spesies hijauan tersebut diberikan secara ad libitum dalam waktu bersamaan selama 2 minggu; terdiri atas masa adaptasi 1 minggu dan koleksi data 1 minggu. Jumlah ternak kambing yang digunakan sebanyak 10 ekor sebagai ulangan dengan rataan bobot hidup 11,8 ± 1,1 kg. Ternak ditempatkan dalam kandang individu.

Tabel 9. Komposisi kimiawi TPT Alfalfa (Medicago sativa L.) pada perlakuan pemupukan yang berbeda Perlakuan pemupukan Peubah P0 P1 P2 Bahan kering (BK) 27,17 22,46 21,61 Abu (% BK) 10,41 10,99 11,43 Nitrogen (% BK) 1,26 2,21 2,56 Posfor (% BK) 0,20 0,19 0,19 Protein kasar (% BK) 10,02 13,80 16,02 NDF (% BK) 39,66 39,54 40,45 ADF (% BK) 22,79 26,17 25,46

Energi kasar (K.Kal/kg BK) 4.347,5 4.469,3 4439,4

(9)

Tabel 10. Rataan konsumsi Medicago sativa L. (alfalfa) dan Arachis glabrata pada uji palatabilitas untuk ternak kambing di Sei Putih

Jenis leguminosa Jumlah konsumsi Alfalfa Arachis Total Konsumsi segar g/ekor/hari 965,40 891,20 1.856,60 % bobot hidup 8,18 7,55 15,73

Konsumsi bahan kering

g/ekor/hari 229,30 178,20 407,50

% bobot hidup 1,94 1,51 3,45

Rataan konsumsi segar Medicago sativa L. sebanyak 965,4±13,4 g/ekor/hari sedikit lebih tinggi dibanding Arachis glabrata sejumlah 891,2 ± 36,0 g/ekor/hari seperti disajikan dalam Tabel 10. Demikian juga halnya dengan konsumsi bahan kering untuk alfalfa dan arachis masing-masing sebesar 229,3 ± 3,2 dan 178,2 ± 7,2 g/ekor/hari. Angka ini menunjukkan palatabilitas alfalfa relatif lebih baik dibanding arachis meskipun tidak ditemukan perbedaan nyata (P > 0,05) di antara keduanya. Ternak kambing lebih menyukai alfalfa (meski baru pertama kali diberikan) dibanding arachis, dimana saat kedua hijauan pakan ini diberikan dalam waktu bersamaan, ternak kambing baru mengkonsumsi arachis setelah alfalfa habis. Hal ini berbeda dengan yang dilaporkan GELAYE et al. (1987) yang telah melakukan penelitian menggunakan A. glabrata dan alfalfa dalam bentuk hay sebagai pakan kambing, kambing yang diberi pakan A. glabrata dan alfalfa dalam jumlah yang sama pada kandang yang sama cenderung mengkonsumsi lebih banyak A. glabrata dibanding alfalfa; dengan kata lain A. glabrata lebih disukai ternak dibanding alfalfa. Berdasarkan kedua hasil penelitian ini diduga bahwa palatabilitas alfalfa dalam keadaan segar lebih tinggi dibanding dalam bentuk hay.

KESIMPULAN

Tanaman leguminosa alfalfa (Medicago sativa L.) menunjukkan pertumbuhan yang baik dengan produksi yang cukup tinggi dan nilai nutrisi yang moderat (lebih tinggi dari

rumput alam), dan yang terbaik pada perlakuan pemupukan 120 kg P/ha, baik dari aspek morfologi manupun nilai nutrisi. Rataan produksi segar maupun proporsi daun tertinggi diperoleh pada perlakuan pemupukan 120 kg P/ha. Kandungan saponin 0,18; 0,41 dan 0,42% bahan kering untuk masing-masing perlakuan pemupukan 0, 60 dan 120 kg P/ha. Alfalfa potensial dikembangkan di dataran tinggi beriklim basah. Leguminosa Medicago sativa L. (alfalfa) berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan pakan sumber protein untuk ternak kambing dengan palatabilitas yang cukup tinggi. Palatabilitas alfalfa relatif lebih baik dibanding A. glabrata dengan konsumsi bahan kering masing-masing sebanyak 229,3 dan 178,2 g/ekor/hari.

DAFTAR PUSTAKA

ALLEN, O.N. and E.K. ALLEN. 1981. The Leguminosae. The Univ. of Wisconsin Press, Wisconsin.

AOAC. 1990. Official Methods of Analysis. 15th Ed. K. HELRICH (Ed.). Association of Official Analytical Chemist, Inc. Arlington, Virginia, USA.

BURNS,C.J.,H.F.MAYLAND and D.S.FISHER. 2005. Dry matter intake and digestion of alfalfa harvested at sunset and sunrise. American Society of Animal Science. J. Anim. Sci. 83:262 – 270.

EARTHNOTE. 2001. Alfalfa or Lucerne, [MU-SU], (Medicago sativa L.). http://earthnotes.tripod. com/alfalfa.htm. (6 Agustus 2007).

(10)

GELAYE, S., E.A. AMOAH and P. GUTHRIE. 1987. Performace of yearling goats fed alfalfa and florigraze rhizome peanut hay. Agricultural Research Station, Fort Valley state University, Fort Valley, GA 31030 – 3298.

GOERING, H.K. and P.J.VAN SOEST. 1970. Forage

Fiber Analyses (Apparatus, Reagents,

Procedures and Some Application). Agric. Handbook 379.: ARS. USDA, Washington, DC.

HANSON, C.H. and D.K. BARNES. 1973. Alfalfa.

Dalam: M.E.HEATH,D.S.METCALFE and R. F. BARNES (Eds). Forages The Science of Grassland Agriculture. 3rd Ed. The Iowa State Univ. Press, Iowa.

HENNING, J.C. and C.J. NELSON. 1993. Alfalfa. Department of Agronomy, University of Missouri. Columbia.

HERNOWO, E.R.P. 2009. Pengaruh Pemupukan Posfor dan Umur Potong Awal Terhadap Vigoritas dan Kualitas Alfalfa (Medicago

sativa L.). Skripsi. Fakultas Peternakan,

Institut Pertanian Bogor, Bogor.

HORNER, J.L.,L.J. BUSH. and G.D. ADAMS. 1985. Comparative nutritional value of Eastern Gamagrass and Alfalfa hay for dairy cows. J. Dairy Sci. 68(10): 2515 – 2620.

ILDIS, 2005. Alfalfa. http://en.wikipedia.org/wiki /Alfalfa. (6 April 2006).

IT-PGR/FA. 2004. International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture (IT-PGR/FA). Komisi Nasional Plasma Nutfah, Badan Litbang Pertanian, Jakarta. PEARSON, C.J. and R.L.ISON. 1987. Agronomy of

Grassland Systems. Cambridge Univ. Press. ROWELL, D.L. 1994. Soil Science Methods and

Applications. Longman Group UK Limited. England.

STATISTICS ANALYTICAL SYSTEM. 1987. SAS User’s Guide: Statistic. 6th Ed., SAS Institute Inc., Cary, NC, USA.

STEEL, R.G.D. and J.H. TORRIE. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik. Penerjemah: B. Sumantri.

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

TEUBER,L.R. and D.A.PHILLIPS. 1988. Influences of selection method and nitrogen environment on breeding alfalfa for increased forage yield and quality. California Crop Improvement Assoc. Crop Sci. 28:599 – 604.

WHITEMAN, P.C. 1980. Tropical Pasture Science. Oxford Univ. Press, Oxford.

Gambar

Tabel 2.  Rataan jumlah cabang TPT alfalfa (Medicago sativa L.) pada perlakuan pemupukan yang berbeda  (panen I dan II)
Tabel 3.  Rataan jumlah daun per cabang TPT alfalfa (Medicago sativa L.) pada perlakuan pemupukan yang  berbeda (panen I dan II)
Tabel 6.  Rataan panjang ruas batang TPT alfalfa (Medicago sativa L.) pada perlakuan pemupukan yang  berbeda (panen I dan II)
Tabel 7.  Rataan produksi segar TPT alfalfa (Medicago sativa L.) pada perlakuan pemupukan yang berbeda  (panen I dan II)
+3

Referensi

Dokumen terkait

surat dakwaan tidak memenuhi ketentuan syarat materiil tersebut maka surat dakwaan tersebut dapat dibatalkan. Mengingat pentingnya surat dakwaan untuk dapat

Korelasi empiris yang diperoleh sangat bermanfaat untuk meramalkan kondisi proses di dalam pembuatan microsphere berdiameter sesuai yang diinginkan, misalnya sebagai

Puji syukur kehadirat Allah SAW yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Efek

[6]’da dairesel pançla elastik yarım düzlemin sürtünmeli de ğ me problemi, [7]’de de ğ i ş ik profillerdeki rijit pançla fonksiyonel derecelendirilmi ş elastik

It has been determined that the bone plate with viscoelastic material offers less stress-shielding to the bone, providing higher compressive stress at the fractured interface

Jika Menurut Perspektif Hukum Islam terdapat pada surat Al baqarah ayat 232 yang menjelaskan bahwasannya seorang wali dilarang untuk menghalangi perkawinan seorang wanita

Mencari Buku Pelajaran menampilkan nilai-nilai moral melalui tokoh-tokoh yang disampaikan pengarang, sehingga pesan moral melalui novel Mencari Buku Pelajaran,

Didapatkan hasil penelitian adalah ekstrak buah belimbing manis (Averrhoa carambola) tidak memiliki daya antibakteri yang kuat sehingga tidak dapat menghambat