• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ulat Api Setothosea asigna

2.1.1 Biologi

Ulat api merupakan jenis ulat pemakan daun kelapa sawit yang paling sering menimbulkan kerugian di perkebunan kelapa sawit. Eksplosi hama ulat api telah dilaporkan pertama pada tahun 1976. Di Malaysia, antara tahun 1981 dan 1990, terdapat 49 kali eksplosi hama ulat api, sehingga rata-rata 5 kali setahun. Semua stadia tanaman rentan terhadap serangan ulat api. Jenis ulat api yang paling banyak ditemukan di lapangan adalah Setothosea asigna, Setora nitens, Darna trima, Darna diducta dan Darna bradleyi. Jenis yang jarang ditemukan adalah Thosea vestusa, Thosea bisura, Susica pallida dan Birthamula chara. Jenis ulat api yang paling merusak di Indonesia akhir-akhir ini adalah S. asigna, S. nitens dan D. trima (Satriawan, 2011).

Ulat ini disebut ulat api karena jika bulunya mengenai kulit akan menyebabkan rasa panas yang luar biasa. Ulat ini termasuk kedalam ulat yang rakus, karena memakan semua jenis tanaman seperti kelapa sawit, kelapa, jeruk, teh, kopi, dan tanaman lainnya. Di areal budidaya ulat ini ditemukan dengan berbagai macam warna antara lain hijau kekuningan, kuning orange, atau merah orange. Pada tubuhnya sering terdapat bercak-bercak warna seperti hitam, kuning, dan merah. Dengan warna yang sedemikian ulat ini terlihat cantik walaupun sebenarnya sedikit berbahaya (Sastrosayono, 2003).

(2)

Klasifikasi ulat api Setothosea asigna sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Arthropoda Class : Insekta Ordo : Lepidoptera Family : Limacodidae Genus : Setothosea

Species : Setothosea asigna van Eecke

Tabel 2.1. Siklus Hidup Hama Ulat Api (Setothosea asigna)

Stadia Lama (Hari) Keterangan

Telur 6 Jumlah telur 300 butir

Larva 50 Terdiri dari 9 instar, konsumsi daun 400 cm2

Pupa 40 Habitat di tanah

Imago - Jantan lebih kecil dari betina Total 96 Tergantung pada lokasi dan lingkungan Sumber: (Susanto, 2012)

Serangga dewasa (ngengat) jantan dan betina masing-masing lebar rentangan sayapnya 41mm dan 51mm. Sayap depan berwarna coklat tua dengan garis transparan dan bintik-bintik gelap, sedangkan sayap belakang berwarna coklat muda, telur berwarna kuning kehijuaan, berbentuk oval, sangat tipis dan transparan.

Telur diletakkan berderet 3-4 baris sejajar dengan permukaan daun sebelah bawah, biasanya pada pelepah daun ke 6-17. Satu tumpukan telur berisi sekitar 44 butir dan seekor ngengat betina mampu menghasilkan telur 300-400 butir. Telur menetas 4-8 hari setelah diletakkan. Ulat yang baru menetas hidup berkelompok, mengikis daging daun dari permukaan bawah dan meninggalkan epidermis bagian atas permukaan daun. Pada instar 2-3 ulat memakan daun dari ujung ke arah bagian pangkal daun (Sulistio, dkk, 2010).

(3)

Gambar 2.1 Telur ulat api

(Sumber foto: Prayuda, 2 Juni 2018, Kebun Gunung Pamela Afdelling III)

Setothosea asigna berwarna hijau kekuningan kemudian hijau dan biasanya berubah kemerahan menjelang masa pupa, panjangnya mencapai 35 mm. Kokonnya berbentuk oval berwarna hitam kecoklatan dengan diameter 15-20 mm. Siklus hidupnya sekitar 3 bulan yakni masa penetasan telur 6-8 hari, stadia ulat berlangsung 50 hari (8-9 instar) dan masa pupa 40 hari. Ulat hidup berkelompok disekitar tempat penetasan telur. Ulat dewasa menjatuhkan diri ketanah untuk memulai masa berkepompong. Ulat ini sangat rakus, mampu mengkonsumsi 300-500 cm daun kelapa sawit. Tingkat populasi 5-10 ulat perpelepah merupakan populasi kritis (Lubis, 2008).

Gambar 2.2 Ulat api Setothosea asigna

(4)

Pada larva instar terakhir ulat api menjatuhkan diri ketanah untuk berkepompong. Kepompong ulat api terbungkus oleh pupa. Pupa terbuat dari air liur ulat dan sisa bahan organik. Pupa ulat api dapat ditemukan pada sekitar piringan kelapa sawit tepatnya dibawah daun yang terserang hebat. Proses pencarian dapat dilakukan dengan mengorek-orek sedikit permukaan tanah di sekitar piringan kelapa sawit (Susanto, 2010).

Gambar 2.3 Pupa Setothosea asigna

(Sumber foto: Prayuda, 2 Juni 2018, Kebun Gunung Pamela Afdelling III) 2.2 Gejala Serangan Ulat Api

Ulat yang baru menetas hidup berkelompok, mengikis daging daun dari permukaan bawah dan meninggalkan epidermis bagian atas permukaan daun. Pada instar 2-3 ulat memakan daun mulai dari ujung ke arah bagian pangkal daun. Untuk S. asigna, selama perkembangannya, ulat berganti kulit 7-8 kali dan mampu menghabiskan helaian daun seluas 400 cm². Perilaku S. nitens

sama dengan S. asigna. Untuk D. trima, ulat mengikis daging daun dari permukaan bawah dan menyisakan epidermis daun bagian atas, sehingga akhirnya daun yang terserang berat akan mati kering seperti bekas terbakar. Ulat menyukai daun kelapa sawit tua, tetapi apabila daun-daun tua sudah habis ulat juga memakan daun-daun muda (Satriawan, 2011).

(5)

Ulat pemakan daun kelapa sawit merupakan hama paling penting dalam perkebunan kelapa sawit karena ulat ini memakan anak-anak daun dari tanaman muda dan tanaman yang sudah menghasilkan yang berumur antara 2-8 tahun. Hama ini kadang-kadang memakan daun kelapa sawit hingga ke lidinya. Tingkat popolasi kritis terjadi bila terdapat 5 ekor ulat per pelepeh daun ke-17 pada tanaman muda, atau 8-10 ekor per pelepah pada tanaman dewasa (Setyamidjaja, 2006).

Dalam kondisi yang parah tanaman akan kehilangan daun sekitar 90%. Pada tahun pertama serangan dapat menurunkan produksi sekitar 69% dan sekitar 27% pada tahun kedua. Hal ini menunjukan betapa seriusnya dampak serangan ulat api yang tidak terkendali (Fauzi, dkk, 2014).

Gambar 2.4 Gejala serangan ulat api

(Sumber foto: Prayuda, 2 Juni 2018, Kebun Gunung Pamela Afdelling III) 2.3 Pengandalian Hama Ulat Api

2.3.1 Dengan Cara Mengutip

Pengendalian ulat dengan cara mengutip dapat dilakukan pada tanaman muda umur 1 sampai dengan 3 tahun, apabila luas areal yang mengalami serangan mencapai 25 Ha, Pengutipan ulat dapat di mulai apabila pada pemeriksaan global banyak ulat yang di temukan 3-5 ekor/pelepah.

(6)

2.3.2 Pengendalian Dengan Cara Hayati

Beberapa agens antagonis telah banyak digunakan untuk mengendalikan ulat api. Agens antagonis tersebut adalah Bacillus thuringiensis, Cordyceps militaris dan virus Multi-Nucleo Polyhydro Virus (MNPV). Wood et al. (1977) dalam Satriawan (2011) menemukan bahwa B. thuringiensis efektif melawan S. nitens, D. trima dan S. asigna dengan tingkat kematian 90% dalam 7 hari. Cordyceps militaris telah ditemukan efektif memarasit pupa ulat api jenis S. asigna dan S. nitens. Virus MNPV digunakan untuk mengendalikan larva ulat api.

Selain mikrobia antagonis tersebut di atas, populasi ulat api dapat stabil secara alami di lapangan oleh adanya musuh alami predator dan parasitoid. Predator ulat api yang sering ditemukan adalah Eochantecona furcellata dan Sycanus leucomesus. Sedangkan parasitoid ulat api adalah

Trichogrammatoidea thoseae, Brachimeria lasus, Spinaria spinator, Apanteles aluella, Chlorocryptus purpuratus, Fornicia ceylonica, Systropus roepkei, Dolichogenidae metesae, dan Chaetexorista javana. Parasitoid dapat diperbanyak dan dikonservasi di perkebunan kelapa sawit dengan menyediakan makanan bagi imago parasitoid tersebut seperti Turnera subulata, Turnera ulmifolia, Euphorbia heterophylla, Cassia tora, Boreria lata dan Elephantopus tomentosus (Satriawan, 2011).

Gambar 2.5 Turnera sp

(7)

2.3.3 Pengendalian Dengan Cara Kimiawi

Pengendalian secara kimia dilakukan dengan menyemprot tanaman yang terserang dengan insektisida diantaranya Decis 2,5 EC, Agrothion 50 EC, dan lain-lain. Bila terjadi serangan yang luas pada tanaman yang sudah menghasilkan, penyemprotan dapat dilakukan dengan menggunakan alat semprot mesin (power sprayer) bahkan bila tanaman telah tumbuh tinggi dapat juga digunakan pesawat udara atau dengan cara foging (Setyamidjaja, 2006).

2.3.4 Penerapan Sistem Pengendalian Hama Terpadu

Pengendalian hama secara terpadu (PHT). Merupakan salah satu alternatif yang tepat untuk mencapai produksi tinggi dan mantap serta lingkungan yang lestari. Konsep ini dimulai di indonesia sepuluh tahun yang lalu. Tujuannya antara lain untuk (1) mempertahankan dan memanfaatkan taraf produksi tinggi (2) meminimalkan kerusakan dan pencemaran lingkungan dan (3) secara ekonomi menguntungkan dan sekaligus melindungi produsen dan konsumen dari pencemaran (Sudarmo, 1989).

Dalam sistem ini, pengenalan terhadap biologi hama sasaran diperlukan sebagai penyusunan taktik pengendalian. Tindakan pengendalian hama dilaksanakan sesuai dengan hasil monitoring populasi, dan hanya dilakukan apabila populasi kritis yang ditentukan serta mengutamakan pelestarian dan pemanfaatan musuh alami yang ada dalam ekosistem di perkebunan kelapa sawit.

Monitoring populasi ulat dapat dilakukan dalam jangka waktu satu bulan sekali, namun apabila dilakukan pengendalian maka monitoring populasi dilakukan sebelum dan seminggu setelah pengendalian (Prawirosukarto, 2002).

Pengendalian hama terpadu (PHT) yang apabila penggunaan pestisida disarankan seminimal mungkin dan menjadi pilhan terakhir. Meskipun

(8)

demikian sampai saat ini dalam prakteknya penggunaan pestisida sangat dominan. Oleh sebab itu pengetahuan mengenai pestisida sangat penting bagi perkebunan kelapa sawit di Indonesia untuk menjaga kelestarian agroekosistem pada perkebunan kelapa sawit (Susanto, 2008).

Berikut mekanisme pengendalian hama terpadu disajikan dalam gambar.

Gambar 2.6 Mekanisme pengendalian hama terpadu (Sumber Susanto, 2012)

Faktor Lingkungan  Penghambat (musuh alami, dll)  Pendorong

Hama

Monitoring Populasi

Padat Populasi Kritis

Ya Pengedalian Ulang

Evaluasi

Tindakan Pengendalian Tidak

Tidak k

(9)

2.4 Tanaman Cabai Capsicum annuum

Perdu tegak, tinggi 1- 2,5 m, setahun atau menahun. Batang berkayu, berbuku-buku, percabangan lebar, penampang bersegi, batang muda berambut halus berwarna hijau. Daun tunggal, bertangkai (panjangnya 0,5-2,5 cm), letak tersebar. Helaian daun bentuknya bulat telur sampai elips, ujung runcing, pangkal meruncing, tepi rata, pertulangan menyirip, panjang 1,5-12 cm, lebar 1-5 cm, berwarna hijau. Bunga tunggal, berbentuk bintang, berwarna putih, keluar dari ketiak daun. Buahnya berbentuk kerucut memanjang, lurus atau bengkok, meruncing pada bagian ujungnya, menggantung, permukaan licin mengilap, diameter 1-2 cm, panjang 4-17 cm, bertangkai pendek, rasanya pedas. Buah muda berwarna hijau tua, setelah masak menjadi merah cerah. Biji yang masih muda berwarna kuning, setelah tua menjadi cokelat, berbentuk pipih, berdiameter sekitar 4 mm (Astuti, dkk, 2013).

Tanaman cabai banyak mengandung vitamin A dan vitamin C serta mengandung minyak atsiri capsaicin, yang menyebabkan rasa pedas dan memberikan kehangatan panas bila digunakan untuk rempah-rempah (bumbu dapur). Cabai dapat ditanam dengan mudah sehingga bisa dipakai untuk kebutuhan sehari-hari tanpa harus membelinya di pasar ( Harpenas, 2010). Menurut Hendayana (2014) dalam Nursam, dkk, (2016) hama yang terkena atau memakan tanaman yang terkena semprotan air cabai akan mengering dengan membran sel rusak kehabisan cairan. Karena itulah cabai menjadi pestisida nabati yang ampuh mengendalikan kutu, tungau, ulat, sampai cacing perusak akar.

Aplikasi ekstrak cabai dengan konsentrasi 100% berpengaruh terhadap tingkat mematikan larva Culex sp. sebesar 31,25% dari seluruh jumlah sampel dalam waktu 24 jam setelah aplikasi. Dengan demikian tingkat konsentrasi insektisida dianggap memiliki tingkat kematian yang baik dan tidak berbahaya bagi lingkungan hidup (Sujiprihati, 2007).

(10)

Menurut (Astuti, dkk, 2013) klasifikasi tanaman cabai Capsicum annuum

adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Sub kelas : Sympetalae Ordo : Tubiflorae Famili : Solanales Genus : Capsicum

Jenis : Capsicum annuum

Gambar 2.7 Tanaman Cabai

(Sumber foto: Prayuda, 2 Juni 2018, Kebun Gunung Pamela Afdelling III) 2.5 Tanaman Bawang Putih Allium sativum

Herba, semusim, tinggi 50-60 cm. Berakar serabut kecil berjumlah banyak. Batang semu, beralur, hijau. Daun tunggal, berupa reset akar bentuk lanset, tepi rata, ujung runcing, beralur, panjang 60 cm, lebar ± 1,5 cm, menebal dan berdaging serta mengandung persediaan makanan yang terdiri atas subang yang dilapisi daun sehingga menjadi umbi lapis, berwarna hijau. Bunga memiliki 3 daun kelopak, dan 3 daun mahkota serta 6 benang sari. Buah tidak berdaging. Biji berbentuk kecil dan berwarna hitam (Astuti, dkk, 2013).

(11)

Penggunaan alisin dari bawang putih sebagai salah satu sumber insektisida didasarkan atas pemikiran bahwa terdapat mekanisme pertahanan dari tumbuhan akibat interaksinya dengan serangga pemakan tumbuhan, alisin ini tidak akan menimbulkan resistensi karena baunya saja sudah membuat serangga tersebut untuk tidak mendekat. Salah satunya aroma tajam menyengat yang dikeluarkan alisin membuat hama takut untuk mendekat dengan adanya bau yang dimilikinya. dihasilkan senyawa metabolik sekunder oleh tumbuhan yang bersifat sebagai penolak, penghambat, penghambat perkembangan dan sebagai bahan kimia yang mematikan serangga dengan cepat (Jones, 2008).

Menurut (Astuti, dkk, 2013) Klasifikasi Tanaman bawang putih Allium sativum adalah sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Subkelas : Lillidae Ordo : Liliales Famili : Liliaceae Genus : Allium Spesies : Allium sativum

Gambar 2.8 Umbi Bawang Puutih

(12)

2.6 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan kedalam golongan minyak atsiri, alkaloid, falavonoid, dan lain-lain. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat.

Pembagian metode ekstraksi yaitu: a. Maserasi

Maserasi adalah peroses pengekstakan dengan cara mengektraksi bahan nabati yaitu direndam mengunakan pelarut bukan air (perarut non polar) atau setengah air misalnya etanol encer, selama periode waktu.

Prinsip maserasi adalah ekstraksi zat aktif yang dilakukan dengan cara merandam serbuk kedalam pelarut yang sesuai selama beberapa hari pada temperatur kamar terlindung dari cahaya, pelarut akan masuk kedalam sel dari tanaman melewati dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan kosenterasi antara larutan didalam sel dengan diluar sel.

b. Peroses Maserasi

1. Masing-masing 150 gram cabai (Capsicum annum) dan bawang putih (Allium sativum) yang telah di timbang, kemudian di giling menggunakan blender dan masukan ke dalam botol.

2. Setelah itu serbuk cabai (Capsicum annum) dan bawang putih (Allium sativum) direndam mengunakan etanol 96% sebanyak 300 ml.

3. Kemudian botol dibungkus mengunakan alumunium foil secara merata. Sekali maserasi mengunakan 3 botol. Kemudian di aduk dan dibiarkan selama 5 hari.

4. Maserasi tersebut disaring menggunakan kertas saring whatman untuk mendapat filtrat. Residu yang di peroleh dilakukan kembali sampai 3 kali maserasi.

(13)

5. Setelah mendapatkan hasil keseluruhan filtrat dari hasil maserasi dilakukan pemekatan dengan menggunakan Rotary Evaporator untuk memisahkan pelarut pada filtrat sehingga didapatkan crude ectract. 2.7 Rotary Evaporator

Tahapan proses rotary evaporator adalah sebagai berikut: 1. Sampel dimasukan ke dalam labu rotary

2. Di rangkai labu destilasi

3. Alat rotary evaporator di hidupkan dan pompa vakum

4. Dibiarkan hingga pelarut tidak menetes lagi pada labu destilasi

Gambar 2.9 Alat Rotary Evaporator

(14)

5. Diuapkan ekstrak (residu) hasil rotary untuk menghilangkan sisa pelarut dengan penangas air.

Gambar 2.10 Alat Rebusan

Gambar

Tabel 2.1. Siklus Hidup Hama Ulat Api (Setothosea asigna)
Gambar 2.1 Telur ulat api
Gambar 2.3 Pupa Setothosea asigna
Gambar 2.4 Gejala serangan ulat api
+7

Referensi

Dokumen terkait

PEMANFAATAN BUKU REFERENSI DI PERPUSTAKAAN SEKOLAH SEBAGAI SALAH SATU SUMBER BELAJAR UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV DALAM PEMBELAJARAN IPS PADA TOPIK

Maka mesin Hydraulic Press selama beroperasi 8 jam peluang rusaknya tergolong cukup besar , sehingga pemeliharaan mingguan yang di lakukan selama ini tidak dapat

yang telah dilakukan pada program BK , telah menunjukkan bahwa program BK yang saat ini telah dibuat oleh tim guru BK di SMP Jalan Jawa masih menunjukkan

Hama utama yang sering menyerang tanaman kelapa sawit menghasilkan (TM) adalah Ulat Pemakan Daun seperti ulat api, ulat kantung, dan ulat bulu yang secara signifikan akan

Pengendalian ulat pemakan daun kelapa sawit (UPDKS) dengan menggunakan insektisida kimia merupakan cara umum dilakukan di perkebunan kelapa sawit untuk mengatasi

Pengendalian ulat pemakan daun kelapa sawit dengan menggunakan insektisida kimia merupakan cara yang umum dilakukan di perkebunan kelapa sawit untuk mengatasi

Ulat pemakan daun kelapa sawit yang terdiri dari ulat api, ulat kantung, ulat bulu merupakan hama yang paling sering menyerang kelapa sawit.. Untuk beberapa daerah

Dalam budidaya kelapa sawit banyak faktor yang menjadi pembatas peningkatan produksi kelapa sawit, salah satunya adalah Ulat Pemakan Daun Kelapa Sawit menjadi salah