Focal and Generalized Slowing,
Coma, and Brain Death
Dari buku The Clinical Neurophysiology Primer 2007/ [edited by] Andrew S. Blum, Seward B. Rutkove
TOPIK
• FOCAL SLOWING • GENERALIZED SLOWING • KOMA • BRAIN DEATH 2PENDAHULUAN
•
Kelainan EEG ditemukan dalam berbagai kondisi klinis
dengan derajat keparahan penyakit yg bervariasi
•
Focal
dan
generalized slowing
,
keduanya sering
dijumpai dan mrp temuan yang
tingkat spesifitas nya
rendah
pada EEG
•
Meskipun kurang spesifik punya implikasi penting:
– Lokasi kelainan SSP
FOCAL SLOWING
• Focal slowing pada EEG mengesankan adanya kelainan
yang mendasari namun tidak spesifik.
• Dapat mencerminkan kelainan struktural (spt. Infark atau tumor) atau fungsional (spt. Migren atau post-iktal)
• Terdapat 2 spektrum derajat keparahan :
– berkaitan dengan frekuensi ritme lebih lambat merepresentasikan lesi yang lebih parah
– berkaitan dengan persistensi continuous slowing
menunjukkan kelainan yg lebih signifikan dibanding intermiten
• Perbedaan frekuensi interhemisfer < 1 Hz tidak signifikan
• Pola-pola slowing memiliki arti yang berbeda-beda.
• Continuous focal arrhythmic polymorphic slowing (Fig. 1)
– biasanya mengarah pada lesi struktural pd subkortek subs alba – Abses, stroke iskemik, tumor, kontusio, dsb, semuanya dapat
memunculkan pola tsb
Fig. 1. Continuous focal arrhythmic polymorphic slowing. This EEG is from a 36-yr-old man with a right frontal brain tumor. 6
• Sebaliknya continuous focal rhythmic monomorphic slowing
– Lebih dihubungkan dengan lesi pada subs gricea.
• Focal rhythmic monomorphic slow activity bisa berupa
intermittent (lebih jarang)
• Recurrent bursts of paroxysmal focal slowing
– me↑ dugaan, adanya fokus epileptogenik
• Sebuah fokus kejang juga dicurigai saat tdp perubahan frekuensi pada focal slowing, baik meningkat atau menurun.
• Penting lokasi dari focal intermittent rhythmic slowing.
GENERALIZED SLOWING
• Apakah slowing itu intermittent atau continuous?
• Apakah rhythmic–monomorphic atau arrhythmic–
polymorphic?
• Pada keadaan apa slowing itu muncul?
– Cont: generalized slowing selama hiperventilasi adalah normal pada anak2, remaja, dan dewasa muda.
• Intermittent rhythmic delta activity (IRDA)
• IRDA berupa monomorphic dan umumnya mrp abnormalitas EEG (Fig. 2).
– Biasanya difus, bisynchronous, monomorfik, dan reaktif dgn membuka mata
– Hiperventilasi meng-aktivasi pola tsb
– Tidur melemahkan.
• IRDA diduga menggambarkan disfungsi subs grisea yg difus, baik kortikal ataupun subkortikal.
– Sering pada gangguan akut atau subakut, dibanding pada ensefalopati kronik.
• FIRDA diduga menunjukkan ada perubahan atau
perkembangan dari gangguan yang mendasari (ensefalopati) – Ensefalopati metabolik-toksik atau ggn elektrolit adalah etiologi
yang sering.
– Artefak kedipan mata atau glossokinetic harus dieksklusikan, sebab mrp FIRDA imitators paling sering.
Fig. 2. Frontal intermittent rhythmic delta activity.
This tracing is from an 83-yr-old woman with dementia, normal pressure hydrocephalus, and syncope 12
• Continuous generalized slowing (Fig. 3) pola yang sangat umum
• Continuous slow patterns bisa hanya ditunjukkan pada
posterior background
– Biasanya menyiratkan adanya ensefalopati difus
• Derajat slowing pada posterior background
– dianggap berkorelasi dengan derajat gangguan klinis otak
• Tidak ada spesifitas pada continuous slowing.
• Continuous diffuse slowing dapat muncul pada keadaan
gangguan SSP difus,
– termasuk trauma kepala, hypoxic–ischemic injury, gangguan toksik atau metabolik, infeksi SSP difus atau proses
neoplasma, dementia, dan bahkan pada kondisi lesi yang multifokal
Fig. 3. Continuous generalized slowing. This is from a 73-yr-old man with a several year history of memory loss and recently increased confusion. 16
• Gelombang trifasik (Fig. 4) menggambarkan tipe khusus dari generalized continuous slowing.
– simetris bilateral, dan bisynchronous – Amplitudo sedang-tinggi
– Frek: 1,5 – 2,5 Hz
– Walaupun dapat wax dan wane pada amplitudo dan
frekuensinya selama perekaman, gelombang tsb biasanya mpy gambaran yg monoton.
– ensefalopati toksik-metabolik, kebanyakan adl ensefalopati hepatik.
• Gelombang trifasik bisa sangat sulit dibedakan dengan
gambaran triphasic-appearing epileptiform, blunted sharp dan
slow wave complexes.
– Bahkan keduanya dapat muncul pada kondisi klinis yang serupa, misal pada ensefalopati uremikum
Koma
• Kedalaman koma jg berkorelasi dengan temuan EEG
– Semakin dalam koma, EEG menjadi unreaktif terhadap stimulasi pasien.
• EEG koma dapat menunjukkan pola2 khusus,
– beberapa diantaranya dapat membantu identifikasi etiologi dan
tentukan prognosis
• Ketika koma disebabkan oleh nonconvulsive status
epilepticus (Fig. 5) EEG sangat membantu untuk
diagnosis, dan menentukan untuk penggunaan terapi antikonvulsan
• Namun, walaupun EEG dapat identifikasi penyebab koma pada epileptic encephalopathy ada kemungkinan tdp
gangguan yang belum terdeteksi yang bertindak sbg
presipitan, seperti: ensefalopati hipoksik-iskemik, uremia, stroke, dsb
Fig. 5. Nonconvulsive status epilepticus. This tracing is from a 13-yr-old boy with absence epilepsy and a new prolonged confusional state. 24
• Perlambatan fokal pd EEG pasien koma mengesankan ada penyebab struktural di supratentorial
• Generalized burst suppression (Fig. 6) pola EEG umum yg
lain pada pasien koma.
– terjadi pada quasi-periodic fashion dan dapat dijumpai
campuran gelombang sharp/spike dan gelombang slow. – Asynchronous bursting mencerminkan gangguan pada
interhemispheric cortical connectivity
– semakin dalam koma the bursts menjadi lebih pendek dan
Fig. 6. Burst suppression. This 49-yr-old woman was recorded while undergoing induction with general
• Persiten, difus, frekuensi 8 -12 Hz pd pasien koma alpha
coma (Fig. 7).
– Difus, tidak hanya di regio posterior
– Pd lesi batang otak dan mekanisme injuri hipoksik-iskemik – Alpha coma very poor prognosis, khususnya pd keadaan
anoksia.
• Pasien koma dapat menghasilkan EEG yg terlihat seperti gambaran tidur normal
Fig. 7. Alpha coma. This recording is of a 59-yr-old man on a respirator in the medical intensive care unit, partly sedated, in coma. He was unreactive to noxious
BRAIN DEATH
• Brain death diagnosis klinis yang dibuat saat tidak ada bukti adanya fungsi batang otak pada pemeriksaan
neurologis yg berturutan
• EEG adalah satu dari beberapa pemeriksaan yang dapat membantu konfirmasi diagnosis.
– Tidak adanya brain-derived rhythms yg komplit
Electrocerebral inactivity / ECI (Fig. 8)
• Artefak EKG dan respirator sering terlihat pad ECI
EEG Criteria for Electrocerebral Inactivity
(ECI)
(The American Electroencephalographic Society)1. Menggunakan minimal eight scalp electrodes
2. Interelectrode impedances harus kurang dari 10,000 Ω tapi lebih dari 100 Ω
3. The integrity of the entire recording system must be verified
4. Jarak antarelektrode harus setidaknya 10 cm
5. Sensitivitas harus stidaknya 2 μV/mm selama setidaknya 30 menit perekaman
6. Appropriate filter settings should be used
7. Teknik monitoring tambahan sebaiknya digunakan jika dibutuhkan 8. Harus tidak ada reaktivitas EEG pada afferent stimulation
Fig. 8. Electrocerebral inactivity. This record is from a 66-yr-old man after a cardiopulmonary arrest. Note that the sensitivity is at 2 μV/mm and “double distance”
• Teknik khusus yg disebutkan adalah diagnosis brain death pada bayi dan anak-anak.
• Persistensi pola EEG ECI berbeda masing2 grup usia.
– Untuk bayi lebih muda dari 2 bulan 2 EEG ECI harus diperoleh dalam selang waktu 48jam.
– Untuk bayi 2 - 12 bulan 2 EEG ECI harus diperoleh dalam
selang waktu 24 jam.
• Pemberian sedasi, barbiturat dan benzodiazepin,