• Tidak ada hasil yang ditemukan

JEJAK KOLONIALISME DALAM PRAKTEK KORUPSI DITUBUH BIROKRASI (PENGALAMAN INDONESIA)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JEJAK KOLONIALISME DALAM PRAKTEK KORUPSI DITUBUH BIROKRASI (PENGALAMAN INDONESIA)"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

JEJAK KOLONIALISME DALAM PRAKTEK KORUPSI DITUBUH BIROKRASI (PENGALAMAN INDONESIA)

Arizka Warganegara

Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung e-mail: arizka@unila.ac.id

ABSTRACT

This article tries to explain the impact of colonialism upon the red tape of bureucracy. The study about colonialism is part of occidentalism studies, in this article I try to make some analysis the correlation between colonialism and the post colonial countries especially for case of Indonesian bureaucrat. One of the important issue is about how the impact of colonialism through the bureaucrat performance. There are three bad behavior in which part of ”legacy” from the colonial, first is corruption, second is nepotism and third is collusion. The analysis shown that the three ”bad” behavior corruption, nepotism-patronage and collusion more occurs in developing countries especially in the post colonial countries.

Keywords: colonial, bureucracy, corruption

PENDAHULUAN

Berakhirnya era kolonialisme memberikan harapan bagi negara-negara baru, atau yang kemudian lazim dikenal sebagai negara-negara sedang membangun (developing countries), untuk mewujudkan tatanan sosial politik pasca kolonial melalui pembangunan. Keinginan tersebut berangkat dari kesadaran untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara bekas penjajah yang telah lebih dahulu berhasil mencapai kemajuan. Namun keinginan negara-negara sedang membangun seringkali terhambat oleh parahnya praktek korupsi yang telah sedemikian menggurita di tubuh birokrasi pemerintah. Implikasinya, parahnya korupsi berbanding lurus dengan kemiskinan di negara-negara sedang membangun. Kajian berikut ini berargumen bahwa parahnya praktek korupsi yang mewarnai kehidupan birokrasi pemerintah di negara-negara sedang membangun tak lepas

dari warisan era kolonialisme yang telah begitu dalam mengakar dalam struktur dan kultur birokrasi.

TERMINOLOGI KOLONIALISME

Jika kekuatan tentara mampu untuk menguasai secara fisik lain halnya dengan ilmu kolonial. Ilmu kolonial difungsikan sebagai alat untuk menguasai ruang epistemology, yaitu ruang pemikiran masyarakat pribumi yang terjajah. Artinya dalam usaha untuk menguasai daerah jajahannya, para penjajah tidak hanya berusaha menguasai secara fisik saja tetapi juga dengan menggunakan berbagai upaya bagi mempengaruhi ruang pemikiran kaum pribumi yang terjajah tersebut.

Kata kolonialisme menurut Oxford English Dictionary berasal dari peristilahan Romawi, Colonia yang berarti tanah pertanian atau pemukiman dan mengacu kepada orang romawi yang bermukim di

(2)

negeri-negeri lain akan tetapi masih mempertahankan status kewarganegaraannya. Menurut Lomba (2003) kolonialisme tidaklah selalu berarti adanya suatu pertentangan antara rakyat ataupun adanya penaklukan atau dominasi. Data yang dirangkum dari berbagai pihak menunjukkan sejak tahun 1930-an, kolonialisme telah menguasai lebih dari 84,6 % permukaan bumi.

Hal lain yang paling penting adalah bagaimana kita memahami makna serta bentuk kolonialisme itu sendiri, untuk itu kita harus memahami metodelogi ilmu kolonial yang menghimpun fakta dan informasi. Dengan menggunakan motodelogi tersebut para penjajah berhasil untuk melakukan kolonialisasi. Menurut Shamsul A.B (1992) ilmu kolonial melibatkan metodelogi yang rumit dan terperinci yang bersifat positivistik. Metode yang digunakan untuk menjalankan kolonialisme di berbagai negara adalah sebagai berikut: Pertama, menguasai bahasa pribumi, dengan menguasai bahasa lokal menjadikan penjajah mampu berkomunikasi dengan masyarakat pribumi setempat. Kedua, menjalankan survei untuk mengumpulkan informasi terperinci bukan saja mengenai kehidupan sosial masyarakat pribumi bahkan juga informasi mengenai alam sekitar fisik masyarakat berkenaan. Berbagai bentuk peta, daftar serta laporan resmi merupakan hasil dari survei ini. Hal ini yang menjadikan pemerintah kolonial mendapat gambaran terperinci tentang alam sosial dan fisik masyarakat pribumi setempat.

Ketiga, mengumpulkan informasi statistik mengenai tanah jajahan melalui kegiatan sensus. Untuk itu berbagai kategori sosial

diperkenalkan bagi

mengklasifikasikan manusia kepada kelompok-kelompok yang mudah dikenal. Keempat, menyimpan

berbagai bahan dan artefak yang di ambil dari survei dan sensus tersebut untuk dipamerkan dan dipertontonkan di museum, kebun binatang, taman bunga, dan koleksi pribadi. Hal ini berguna untuk membuktikan kepada masyarakat yang dijajah tentang sejarah serta kedudukan peradaban pribumi dalam konteks evolusi dan hirarki peradaban dunia.

Kelima, untuk membuat suatu sistem identifikasi dan intelejen atau surveillance dan intelligence yang dianggap perlu bagi menjamin kestabilan politik pemerintahan colonial tersebut, sekaligus pihak mayoritas masyarakat jajahan, oleh karena dianggapkan dalam masyarakat pribumi yang terjajah itu hadir berbagai anasir jahat dan subversif biarpun bersifat minoritas yang membahayakan. Sistem mengidentifikasi identitas resmi seseorang dengan menggunakan cap jari, kartu pengenalan dan sebagainya adalah memenuhi tuntutan keselamatan ini. Keenam, membentuk suatu kepustakaan historiografi yang dicap sebagai hak milik pribumi yang kemudian dijadikan sebagai bahan pelajaran untuk dipertontonkan secara mass consumption melalui sistem pendidikan kolonial guna dihayati oleh masyarakat pribumi sebagai sejarahnya.

BEBERAPA JEJAK KOLONIALISME Kurun waktu Indonesia terjajah setidaknya terdapat beberapa pengaruh kolonialisme terhadap kondisi struktur dan kultur birokrasi di negara ini. Secara Struktur, pengaruh kolonialisme terhadap istilah-istilah Gubernur, Bupati, Kepala Desa/Bekel/Lurah yang sampai ini masih dipakai dalam konteks tata pemerintahan di Indonesia. Secara kultur dan hal ini

(3)

yang pada akhirnya menjadi masalah-masalah serius dalam tubuh birokrasi Indonesia. Menurut penulis setidaknya terdapat tiga hal buruk yang menonjol sebagai pengaruh kolonialisme terhadap birokrasi Indonesia.

Pertama, Pola karier “Patronage” lebih pada pengertian relasi “Penguasa-Dikuasai”. Sebagai contoh karier atau kenaikan pangkat seseorang, sangat tergantung kepada satu sosok individu yang kebetulan memegang kekuasaaan. Dalam konteks inilah kemudian berkembang peristilahan “upeti” atau “uang pelicin” bagi kenaikan pangkat atau karier. Pada masa kolonial memberikan upeti merupakan hal yang lumrah dilakukan oleh para pembesar pribumi yang menjadi antek-antek penjajah untuk mendapatkan pelayanan sebagai bagian dari warga kelas pertama. Tradisi memberikan “upeti” kepada penjajah kolonial sehingga kini menjadi semacam budaya dalam konteks birokrasi di Indonesia. Namun saja dalam konteks sekarang bentuknya telah berubah tidak lagi kaum terjajah terhadap penjajah akan tetapi anak buah terhadap “Boss”-nya. Hal inilah yang kemudian menjadikan pola-pola seperti ini menjadi fenomena yang mengakar rumput dalam tradisi birokrasi pemerintah kita.

Kedua, Prilaku kolusi dengan mempergunakan cara-cara atau metode yang melanggar hukum untuk mencapai tujuan pribadi atau kelompoknya. Hal ini juga sangat lazim dilakukan penjajah terhadap masyarakat terjajah sebagai contoh misalnya ilustrasi film Pitung (Cerita Rakyat Betawi) yang begitu gagah beraninya melawan penjajah Belanda adalah akibat dari kolusi yang berlebihan antara bangsa kolonial dengan masyarakat yang menjadi antek-antek penjajah. Misalnya juga para penjajah menyogok penguasa pribumi untuk melancarkan usaha VOC.

Ketiga, Prilaku korupsi digambarkan sebagai perbuatan dengan melakukan manipulasi, terutama terhadap penyelewengan terhadap uang. Menurut J.W Schoorl (1988) korupsi berarti korupsi sebagai penggunaan kekuasaan negara untuk memperoleh penghasilan, keuntungan dan prestise perorangan atau untuk memberi keuntungan bagi sekelompok orang atau suatu kelas sosial dengan dengan cara yang bertentangan kepada undang-undang atau juga dengan nilai-nilai etika. Praktek korupsi juga merupakan praktek dalam dunia birokrasi yang lazim dilakukan pada masa kolonisasi Belanda, sebagai contoh bagaimana para mandor antek-antek Belanda kala itu melakukan pemotongan upah terhadap para budak terjajah.

Tabel: Corruption Perceptions Index (CPI) 2009 By: Transparency International

Rank Country/Territory CPI 2009 Score Surveys Used Confidence Range

3 Singapore 9.2 9 9.0 – 9.4

12 Hong Kong 8.2 8 7.9 – 8.5

17 Japan 7.7 8 7.4 – 8.0

22 Qatar 7.0 6 5.8 – 8.1

30 United Arab Emirates 6.5 5 5.5 – 7.5

37 Taiwan 5.6 9 5.4 – 5.9

39 Brunei Darussalam 5.5 4 4.7 – 6.4

(4)

39 Korea (South) 5.5 9 5.3 – 5.7 43 Macau 5.3 3 3.3 – 6.9 46 Bahrain 5.1 5 4.2 – 5.8 49 Bhutan 5.0 4 4.3 – 5.6 49 Jordan 5.0 7 3.9 – 6.1 56 Malaysia 4.5 9 4.0 – 5.1 63 Saudi Arabia 4.3 5 3.1 – 5.3 65 Tunisia 4.2 6 3.0 – 5.5 66 Kuwait 4.1 5 3.2 – 5.1 79 China 3.6 9 3.0 – 4.2 84 India 3.4 10 3.2 – 3.6 84 Thailand 3.4 9 3.0 – 3.8 97 Sri Lanka 3.1 7 2.8 – 3.4 111 Indonesia 2.8 9 2.4 – 3.2 120 Kazakhstan 2.7 7 2.1 – 3.3 120 Mongolia 2.7 7 2.4 – 3.0 120 Vietnam 2.7 9 2.4 – 3.1 126 Syria 2.6 5 2.2 – 2.9 130 Lebanon 2.5 3 1.9 – 3.1 139 Bangladesh 2.4 7 2.0 – 2.8 139 Pakistan 2.4 7 2.1 – 2.7 139 Philippines 2.4 9 2.1 – 2.7 143 Nepal 2.3 6 2.0 – 2.6 154 Yemen 2.1 4 1.6 – 2.5 158 Cambodia 2.0 8 1.8 – 2.2 158 Laos 2.0 4 1.6 – 2.6 158 Tajikistan 2.0 8 1.6 – 2.5 168 Iran 1.8 3 1.7 – 1.9 168 Turkmenistan 1.8 4 1.7 – 1.9 174 Uzbekistan 1.7 6 1.5 – 1.8 176 Iraq 1.5 3 1.2 – 1.8 178 Myanmar 1.4 3 0.9 – 1.8 179 Afghanistan 1.3 4 1.0 – 1.5 Sumber: International Transparansi (diolah)

Jika merujuk pada tabel diatas secara internasional Indonesia berada pada peringkat 111 hal ini mengindikasikan bahwa masalah korupsi masih menjadi masalah serius di Indonesia. Terdapat tesis yang menyatakan bahwa prilaku birokrasi korup antara negara yang pernah terjajah oleh Belanda dengan negara yang pernah terjajah Inggris sangatlah timpang, secara indeks angka saja yang pernah diterbitkan oleh Transperancy International,

negara yang pernah dijajah oleh koloniasasi Belanda mempunyai reputasi yang buruk dibandingkan negara yang pernah diajajah oleh Inggris. Data pada tabel diatas juga menunjukkan bahwa dalam konteks Asia, Indonesia juga menepati posisi indeks persepsi korupsi yang relatif tinggi juga. Di kawasan Asia Tenggara misalkan, Indonesia menempati posisi berada pada peringkat 22 (dua puluh dua) dari 44 (empat puluh empat negara).

(5)

Ada tesis juga menunjukkan prilaku korupsi tergantung pada negara yang menjajajah, dari tabel juga bisa kita analisis negara-negara bekas jajahan Inggris relatif indeks korupsinya lebih baik dibandingkan dengan negara bekas jajahan Belanda. Sebagai contoh, dua tetangga jiran kita Singapura dan Malaysia yang pernah dijajah oleh koloni Inggris berada pada posisi jauh lebih baik dalam indeks peringkat korupsi. Singapura di peringkat 1 (satu) sementara itu Malaysia berada pada peringkat 14 (empat belas). Hal ini tidaklah mengherankan sebab secara administrasi orang-orang Inggris lebih teratur dan rapih berbading dengan orang-orang Belanda. Thus hal ini juga merupakan bagian dari fakta peninggalan kolonial. Dalam konteks lain yang juga merupakan penyebab berkembangnya korupsi paska kolonial adalah ketidakmampuan dalam bidang administrasi atau manajemen yang terlalu “kaku” dalam sebuah negara.

Dalam sisi pembangunan ada karakter yang menarik juga untuk dilihat, negara-negara bekas jajahan Inggris nampak memiliki semangat yang membangun yang lebih baik dibandingkan dengan negara yang pernah terjajah oleh Belanda misalkan. Tercatat pada tahun 2003 di kawasan asia tenggara Malaysia-lah satu-satunya negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi rata-rata lebih dari 4 % dibandingkan dengan negara tetangga-tetangganya seperti Singapura dan Indonesia. Sebuah prestasi yang luar biasa dicapai oleh pemerintahan Mahathir Muhammad kala itu dengan visinya Pencapaian Malaysia 2020.

Malaysia 2020 adalah sebuah visi yang dicanangkan oleh Mahathir dan ini banyak disebarluaskan oleh Mahathir lewat bukunya yang berjudul A new deal for Asia. Memandang ke timur itulah slogan

Mahathir dalam memimpin kabinetnya dan visi ini terus dilaksanakan dengan konsisten oleh para pembantunya, dimulai dengan:

Pertama, membangun sumber daya manusia membangun universitas-universitas yang berstandar Internasional, kemudahan-kemudahan bagi pelajar Bumiputera memperoleh pinjaman sangat lunak (tampa bunga) dari kerajaan untuk melanjutkan sekolah dan beasiswa bagi pelajar-pelajar berprestasi untuk dapat melanjutkan sekolah di luar negeri. Kedua, menggalakkan pembangunan di berbagai bidang dengan simbol-simbol kemajuan sebuah negara, seperti menara Petronas menara tertinggi di dunia, Bandara Internasional Kuala Lumpur International Airport salah satu bandara termegah di kawasan asia , Putra World Trade Center ( PWTC) sebagai salah satu pusat perdagangan dunia, pengembangan daerah yang terprogram dengan “cantiknya” seperti kawasan Kuala Lumpur City Center (KLCC).

Dalam beberapa kajian nampaknya Mahathir menggunakan konsep pertumbuhan ekonomi menjadi prioritas visi kepemimpinannya. Memandang ketimur adalah sebuah slogan betapa Mahathir sangat kagum dengan perkembangan Jepang yang sangat cepat sehingga dapat mensejajarkan diri dengan beberapa negara maju di kawasan Eropa dan Amerika Serikat. Momentum bangsa Jepang yang mampu mengalahkan bangsa eropa manakala perang dunia pertama menjadi inspirasi dasar Mahathir dalam slogannya tersebut. Akan tetapi yang terpenting dari idenya tentang memandang ketimur itu tersebut adalah memajukan orang-orang melayu dalam percaturan ekonomi dalam negeri yang faktanya di kuasai kaum bukan bumiputera.

Contoh kasus lain adalah Singapura yang berhasil menekan

(6)

tingkat korupsi, Ketika Singapura menjadi negara yang berdaulat penuh pada 1959 misalkan, negara tersebut masuk kategori negara dunia ketiga. Saat itu ekonomi negara ini sangat bergantung perdagangan hasil dari pajak pelabuhan transit (entreport) dan pendapatan per kapita hanya 443 dolar AS. Populasi masyarakat Singapura pada masa itu berjumlah 1,58 juta dan tingkat pertumbuhan penduduk mencapai 4% serta tingkat pengangguran mencapai rata-rata 5%. Empat dekade kemudian negara ini menjadi salah satu negara termakmur di dunia. Keberhasilan itu tidak terlepas dari program People's Action Party (PAP) memajukan negara tersebut.

Ada tiga program utama partai ini dalam menyelesaikan permasalah Singapura pada era 1960-an. Pertama, PAP melalui pemerintah yang berkuasa meningkatkan SDM Singapura melalui program pendidikan. Kedua, menyediakan perumahan publik untuk mengatasi 81% masyarakat Singapura yang tidak memiliki rumah. Ketiga, melaksanakan program yang efektif untuk memberantas korupsi dan hal yang sama juga dilakukan untuk menekan tingkat kriminalitas.

Merujuk pandangan Syed Husin Al Attas dengan uang semua permasalahan dapat diatasi, akan tetapi bagi masyarakat miskin korupsi menjadi penyebab yang menjadikan mereka terus hidup dalam kemiskinan. Secara politik kaum miskin tidaklah memiliki akses politik untuk melakukan gugatan terhadap elit yang melakukan korupsi. Pola-pola seperti ini yang pada masa kolonialisme dahulu digunakan oleh penjajah bagi terciptanya stabilitas sistem birokrasi dan elitisme mereka.

PENUTUP

Korupsi dan nepotisme lebih banyak dilakukan pada negara-negara sedang membangun yang wujudnya adalah negara-negara bekas kolonial dibandingkan dengan negara-negara yang telah maju. Pada bagian lain fenomena di Asia Selatan misalnya, korupsi merupakan sarana untuk mempercepat prosedur administrasi akibatnya kaum miskin yang paling menderita, apalagi mereka tidak mempunyai sarana untuk menuntut keadilan atau untuk melindungi diri dari penghisapan. Dan dalam konteks Indonesia prilaku korupsi dalam wajah birokrasi secara prinsip merupakan bagian dari “legacy” kolonisasi Belanda yang terjadi selama lebih dari tiga abad secara massif.

DAFTAR PUSTAKA

Shamsul AB. 1999. Ilmu Kolonial (Colonial Knowledge). Kerta Kerja Universiti Kebangsaan Malaysia.

Muhammad, Mahathir. 19xx. A New Deal For Asia. Handal Niaga Pustaka. Jakarta.

Lomba, Ania.2003. Colonialism and Post Colonialism. Routledge. London.

International Transparancy.2009. Corruption Perception Index.

Referensi

Dokumen terkait

FAKTOR RESIKO MELIPUTI : merokok, pola makan tidak sehat, kurang aktifitas fisik, kegemukan, stress, tekanan darah tingi, kadar gula darah tinggi, kadar kholesterol tingi,

Pada luka insisi operasi dilakukan infiltrasi anestesi local levobupivakain pada sekitar luka karena sekresi IL-10 akan tetap dipertahankan dibandingkan tanpa

Maka penambahan tepung cacing tanah dapat meningkatkan kadar lemak, hal tersebut sesuai dengan literatur (Palungkun, 1999:122-13) yang menjelaskan bahwa tepung cacing tanah

“Sekarang Sistem Manajemen Kinerja kita, beralih menjadi berdasarkan kinerja (hasil kerja) individu sesuai sasaran kerja individu yang selaras dengan sasaran kerja

Menurut pasal 2 ayat (1) Undang-undang Kepailitan dan PKPU di atas, supaya pasal 1131 dan 1132 KUHP berlaku sebagai jaminan pelunasan utang Kreditur, maka pernyataan pailit

Stability Pada William Flexion Dalam Meningkatkan Kekuatan Otot Dasar Panggul Pada Ibu Multipara yang ditujukan guna memenuhi persyaratan menyelesaikan program

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka untuk meningkatkan IPM di Provinsi Banten dirumuskan saran kebijakan sebagai berikut: (1) Pembangunan manusia di Kabupaten Lebak,

Tujuan dari penulisan ini adalah mengkaji tentang keterkaitan antara matematika dan budaya khususnya rumah adat Palembang yaitu rumah Limas dimana