• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Persoalan yang tampaknya selalu terjadi dalam kelompok atau persekutuan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Persoalan yang tampaknya selalu terjadi dalam kelompok atau persekutuan"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

I. Latar Belakang Permasalahan

Persoalan yang tampaknya selalu terjadi dalam kelompok atau persekutuan adalah ketegangan antara pihak yang menginginkan kesatuan dengan pihak yang menginginkan kemandirian atau otonomi.1 Ketegangan yang dimaksud sering berujung pada perpecahan dalam tubuh kelompok atau persekutuan. Bagi pihak yang menginginkan otonomi, ketegangan itu diakibatkan oleh hal-hal, seperti wilayah kekuasaan yang terlalu luas sehingga ada bagian-bagian tertentu yang merasa kurang diperhatikan; terjadinya pergeseran pemaknaan nilai-nilai sejarah yang melatar-belakangi terbentuknya persekutuan; ketidak-puasan terhadap pemimpin / kepemimpinan; keinginan untuk bebas atau mandiri dari peraturan-peraturan yang terlalu birokratis dan mengikat; adanya pihak-pihak yang ingin hak-haknya lebih dihormati dan dihargai; dan karena hilangnya suasana akrab.2 Hal-hal tersebut menimbulkan ketegangan dalam persekutuan, yang pada akhirnya menyebabkan pihak-pihak tertentu memisahkan diri dari kesatuan persekutuan untuk mendirikan persekutuan baru atau bergabung dengan persekutuan lain yang dianggap mampu menjawab kebutuhan mereka.

1

Hadisumarta Ocarm, Gereja Sebagai Persekutuan, Seri Pastoral 162, Yogyakarta, 1989, hlm. 15.

2

(2)

Pada sisi yang lain, ada pihak yang lebih menekankan kesatuan. Penekanan itu diakibatkan antara lain karena mereka ingin tetap menghidupkan sejarah yang melatar-belakangi terbentuknya persekutuan itu; karena kesatuan dipandang bisa menjamin jumlah anggota tetap banyak sehingga dapat diorganisir untuk melakukan program-program yang lebih besar; dan karena sebagai seorang pemimpin, akan lebih senang dan bangga apabila memimpin kelompok yang jumlah anggotanya besar, sehingga dengan demikian akan mendapat keuntungan-keuntungan yang tidak diperoleh dalam kelompok yang jumlah anggotanya kecil, seperti misalnya fasilitas-fasilitas yang lebih baik, penghasilan yang lebih tinggi, keadaan ramai atau tidak sepi,3 dll.

Gereja sebagai persekutuan umat percaya juga tidak terlepas dari persoalan yang demikian. Nampak selalu terjadi ketegangan antara pihak yang menginginkan kesatuan dengan pihak yang menginginkan kemandirian atau otonomi. Penyebab dari persoalan yang dikemukakan, disamping seperti telah diuraikan secara umum di atas, Jan Hendriks dalam bukunya “Jemaat Vital & Menarik, Membangun Jemaat dengan Menggunakan Metode Lima Faktor” menguraikan lima faktor yang mempengaruhi “vitalisasi”4 jemaat, yaitu iklim, kepemimpinan, struktur, tujuan dan tugas, dan identitas.5 Pengertian Hendriks dari kelima faktor

3

Opcit., No.1, Gereja Sebagai..., hlm. 15.

4

Jan Hendriks, Jemaat Vital & Menarik, Membangun Jemaat dengan Menggunakan Metode Lima Faktor, Kanisius, Yogyakarta, 2002, hlm. 17. Jan Hendriks mengartikan Vitalisasi “sebagai proses menjadi jemaat berdaya, hidup, dan kreatif”

5

(3)

tersebut – tetapi juga akan diperkaya oleh pemikiran-pemikiran yang lain – akan diuraikan pada bagian Landasan Teori bab ini.

Akibat perpecahan-perpecahan yang terjadi dalam tubuh gereja, maka bentuk gereja menjadi sangat beragam.6 Di antara bentuk-bentuk gereja yang dimaksudkan, pembicaraan dalam tulisan ini membatasi diri pada tiga bentuk konsep gereja, yaitu konsep Gereja Yang Esa, konsep Gereja Yang Otonom, dan konsep Gereja Rumah. Alasan memilih ketiga konsep gereja tersebut, adalah: 1) untuk konsep Gereja Yang Esa dan konsep Gereja Yang Otonom, dipilih untuk menyesuaikan persoalan yang dikemukakan di depan, bahwa tampaknya dalam sebuah kelompok atau persekutuan selalu terjadi ketegangan antara pihak yang menginginkan keesaan atau kesatuan dengan pihak yang menginginkan kemandirian atau otonomi. 2) Untuk konsep Gereja Rumah, didasarkan pada ketertarikan penulis pada persekutuan kecil. Ketertarikan itu didasarkan pada realitas kehidupan Gereja Rumah, yakni di antara warga jemaat ada keakraban, ada kepedulian satu dengan yang lain, dll.

Tokoh-tokoh yang pemikirannya akan diteliti didalam membahas ketiga konsep gereja yang dimaksudkan – tetapi di sana sini juga akan diperkaya dengan pemikiran tokoh-tokoh yang lain – adalah J.L. Ch. Abineno yang berbicara tentang konsep Gereja Yang Esa, H.L. Senduk berbicara tentang konsep Gereja Otonom, dan Robert Banks berbicara tentang konsep Gereja Rumah. Konsep Gereja Yang Esa dari Abineno berbicara tentang cara berjemaat gereja secara

6

(4)

global atau keseluruhan, khususnya gereja-gereja di Indonesia. Konsep Gereja Otonom dari Senduk berbicara tentang cara berjemaat gereja-gereja secara otonom. Tetapi karena bersifat otonom, maka pembicaraan lebih terarah kepada gereja lokal. Dan konsep Gereja Rumah dari Banks berbicara tentang cara berjemaat dalam persekutuan-persekutuan kelompok atau gereja yang jumlah warga jemaatnya kecil.

Alasan memilih Abineno, karena ia merupakan salah satu pemrakarsa berdirinya PGI (Persatuan Gereja-gereja di Indonesia). Ia juga mendorong gereja-gereja untuk menjadi anggota PGI, serta menjelaskan apa dan bagaimana seharusnya Gereja Yang Esa di Indonesia. Kekumudian ditinjau dari segi kepustakaan, buku-buku karangan Abineno sangat memadai untuk keperluan penulisan ini. Alasan memilih Senduk, karena ia merupakan tokoh intelektual dari gereja-gereja Pantekosta dan Karismatik. Ia menjelaskan cara-cara berjemaat secara otonomi bagi gereja lokal atau jemaat setempat. Ia juga merupakan pendiri Gereja Bethel Indonesia (GBI) yang menganut sistim Gereja Otonom. Berkaitan dengan GBI, tidak keliru Senduk menyebutnya Gereja Nasional karena memang GBI tersebar di seluruh wilayah Indonesia, mulai dari kota-kota besar sampai ke desa-desa. Disamping itu GBI mempunyai beberapa Sekolah Tinggi Teologi, yang materi pengajarannya kebanyakan menggunakan buku-buku karangan Senduk. Oleh sebab itu pula maka buku-buku karangan Senduk memadai untuk keperluan tulisan ini. Dan konsep Gereja Tumah dari Banks, karena ia adalah pemikir yang hidup di dunia Barat yang menekankan modernisasi. Banks prihatin akan

(5)

pengaruh negatif sekularisasi dan modernisasi, seperti banyak warga jemaat meninggalkan kehidupan gereja, kehidupan gereja semakin luntur dari nilai-nilai Kristen, dan kehidupan gereja sekarang semakin menjauh dari semangat kehidupan gereja abad pertama yang anggota sangat akrab dan saling berbagi hidup. Karena itu Banks mengatakan gereja perlu kembali kebasis kehidupan gereja abad pertama yang mengakar di rumah-rumah.

Keprihatinan Banks juga menjadi keprihatian gereja-gereja di Indonesia – sekalipun kadarnya tidak sebesar di dunia Barat – sehingga konsep pemikiran Banks menjadi relevan untuk dibahas. Dari segi kepustakaan buku-buku karangan Banks pun memadai.

Cara berjemaat dari ketiga tokoh sangat berbeda. Perbedaan yang dimaksud diperlihatkan lewat satu kategori pendukung Identitas yang baik bagi satu gereja, seperti yang ditetapkan Jan Hendriks. Kategori yang dimaksud, yaitu Pengertian Gereja dalam masyarakat yang berubah. Kategori-kategori lain dari Identitas, akan dibahas pada bagian Landasan Teori bab ini.

Pengertian gereja dari ketiga tokoh yang dimaksud, yaitu: 1. Abineno

Gereja eukumenis adalah persekutuan dari gereja secara keseluruhan, sebagai tibuh Kristus.7

7

Bdk. J.L.Ch. Abineno, Oikumene Dan Gerakan Oikumene 1, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1994, hlm. 7.

(6)

2. Senduk

Gereja Otonom adalah persekutuan gereja setempat atau lokal, yang mandiri secara organisatoris untuk mengatur dirinya sendiri sesuai dengan peraturan yang dibuat gereja tersebut.8

3. Banks

Gereja Rumah adalah persekutuan jemaat yang jumlah anggotanya kecil. Mereka

berkumpul bersama dalam semangat untuk saling memperdulikan, saling menghormti, saling mengerti, dan saling mencintai.9

Memperhatikan pengertian gereja dalam pandangan Abineno, Senduk, dan Banks dari fakktor identitas, maka didalamnya ditemukan ketegangan, karena tidak adanya kesepahaman antara satu dengan yang lain. Ketegangan terjadi karena Abineno mengatakan gereja adalah persatuan gereja secara keseluruhan, sedangkan Senduk hanya mengartikan gereja sebagai persekutuan gereja setempat. Sementara Banks mengartikan gereja hanya persekutuan dari anggota kelompok kecil yang saling mengasihi dan mempedulikan.

Berdasarkan ketegangan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa ketiga tokoh tidak akan pernah rukun karena ketiganya hanya hidup dalam konsepnya masing-masing. Abineno hidup dalam pengertiannya terhadap gereja sebagai persatuan dari gereja secara keseluruhan, Senduk hidup dalam pengertianya terhadap gereja

8

Ibid., Sejarah GBI...., hlm. 58.

9

(7)

sebagai kesatuan dari warga jemaat lokal, dan Banks hidup dalam pergertiannya tentang gereja sebagai persekutuan dari sekelompok kecil orang percaya yang saling memperdulikan, dan memelihara kehidupan yang saleh, sehingga dapat menjadi saksi yang hidup bagi tetangganya.

II. Rumusan Permasalahan

Berangkat dari latar belakang persoalan tersebut di atas, maka rumusan permasalahan yang akan dijawab dalam tulisan ini, adalah sebagai berikut:

1. Apa kekuatan dan kelemahan konsep pemikiran dari ketiga tokoh tersebut? 2. Sekalipun konsep berjemaat ketiga tokoh sangat berbeda, adakah sinergi

pemikiran mereka, dalam kaitan pengembangan gereja yang damai dan rukun di Indonesia?

III. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan yang dimaksudkan, adalah sebagai berikut:

1. Mendalami kekuatan pemikiran Abineno tentang Gereja Yang Esa, kekuatan pemikiran Senduk tentang Gereja Otonom, dan kekuatan pemikiran Banks tentang Gereja Rumah dalam menunjang perkembangan gereja.

2. Membangun sinergi konsep pemikiran di antara konsep Gereja Yang Esa dari Abineno, dengan konsep Gereja Yang Otonomi dari Senduk, dan dengan konsep Gereja Rumah dari Banks sebagai partisipasi kecil dalam menciptakan gereja yang damai dan rukun di Indonesia.

(8)

IV. Hipotesis

Jawaban sementara atas pertanyaan-pertanyaan dalam problematis tersebut di atas, adalah sebagai berikut:

1. Kekuatan pemikiran Abineno tentang Gereja Yang Esa, adalah ia mengakar di dalam dunia; kekuatan pemikiran Senduk tentang gereja otonom, adalah pembinaan dan pertumbuhan gereja lokal atau setempat tetap menjadi prioritas; dan kekuatan pemikiran Banks tentang Gereja Rumah, adalah menyediakan wadah, yaitu keluarga sebagai tempat pertumbuhan religius bagi orang percaya di jaman modern, di mana banyak orang tidak lagi mempedulikan agama.

2. Sekalipun pemikiran ketiga tokoh ini sangat berbeda, baik cakupannya maupun pengertiannya, tetapi dalam beberapa hal ketiganya dapat disinergikan.

V. Landasan Teoritis

Pada bagian Latar Belakang Permasalahan, telah disebutkan secara sepintas bahwa konsep berjemaat dari Abineno, Senduk, dan Banks sangat berbeda. Tentang hal ini, kategori-kategori faktor identitas yang belum dibahas akan memperlihatkannya. Pembahasan ini membatasi diri pada kategori-kategori faktor identitas jemaat yang dapat meningkatkan partisipasi warga jemaat dalam kehidupan gereja, seperti dikemukakan Jan Hendriks. Menurut Hendriks, Identitas gereja dikatakan baik apabila anggota tetap menghayati jati diri atau pengertian mereka sebagai gereja, menghayati apa ciri khas mereka, dan

(9)

mengerti apa misi mereka dalam masyarakat yang berubah. Kategori jati diri atau pengertian sebagai gereja, tidak dibahas di sini karena telah disinggung sebelumnya. Pemahaman tentang identitas, memungkinkan gereja atau orang Kristen tidak mudah larut dalam perubahan-perubahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat.10

Belanda adalah konteks Hendriks, di mana warga jemaat telah tidak mengerti tentang diri mereka sebagai gereja, tidak mengerti apa ciri khas mereka, dan dan tidak tahu apa misi mereka di dalam dunia. Kekaburan-kekaburan tersebut berdampak pada banyak warga jemaat meninggalkan kehidupan.

Konsep Abineno, Senduk, dan Banks tentang Identitas gereja yang dapat menunjang partisipasi baik dari warga jemaat di dalam kehidupan gereja, berdasarkan kategori-kategori tersebut di atas, adalah sebagai berikut:

1. Abineno

Indonesia adalah konteks Abineno, di mana gereja sudah terpecah-pecah, sangat majemuk, dan tidak rukun sehingga pelayanan gereja di dalam dunia menjadi kabur, gereja-gereja melayani berdasarkan kebutuhan masing-masing.11

a. Ciri Khas

Ciri khas konsep Gereja Yang Esa adalah memperjuangkan terbangunnya relasi yang harmonis antar denominasi gereja-gereja, guna menampakkan

10

Opcit., No. 18, Jemaat Vital..., hlm. 173-174.

11

Bdk. J.L.Ch. Abineno, Oikumene Dan Gerakan Oikumene 1, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1994, hlm. 7.

(10)

kesatuan gereja Tuhan.12 b. Misi

Misi Gereja Yang Esa adalah menampakkan kesatuan hidup dan kesatuan pelayanan gereja dalam dunia.13 Kesatuan atau keesaan gereja yang dimaksudkan adalah gereja secara bersama-sama mengarahkan perhatian untuk memberitakan Injil ke dunia. Injil adalah berita kesukaan mengenai pertobatan, kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan. Gereja bersama-sama terpanggil secara bertanggung jawab untuk membebaskan manusia dari penderitaan, kemiskinan, penyakit, ketakutan dan ketidak-pastian hukum. Gereja bersama-sama terpanggil mengusahakan keadilan dalam segala bentuk kehidupan, seperti keadilan di bidang ekonomi, politik, keadilan antar manusia dan golongan, dan keadilan dalam susunan masyarakat. Dan gereja bersama-sama terpanggil untuk berjuang melenyapkan kepalsuan, kemunafikan, korupsi, dan ketidak-jujuran.14 Konsep gereja yang hanya berfungsi sebagai tempat menampung dan memelihara orang-orang percaya harus ditinggalkan. Demikian halnya konsep golongan Evangelikal dan fundamental yang memandang dunia sebagai kuasa kotor yang membahayakan kesucian gereja dan hanya mementingkan keselamatan jiwa dalam surga, perlu ditinggalkan.15

12

Opcit., No. 22, Oikumene Dan..., hlm. 10.

13

Ibid., Oikumene Dan..., hlm. 10.

14

J.L. Ch. Abineno, Oikumene Dan Keesaan1, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1994, hlm. 8

15

(11)

2. Senduk

Indonesia adalah konteks Senduk. Ia melihat bahwa pertumbuhan kerohanian gereja merosot karena penggembalaan tidak sepenuhnya di tangan pendeta. Pendeta justru sibuk mengurus persoalan-persoalan di luar gereja, sementara pembinaan terhadap warga jemaat, terabaikan. Karena itu Senduk menyebutkan, gereja-gereja sekarang sudah jauh dari karakter gereja mula-mula. Pada hal, dalam Kitab Wahyu pasal 2 dan 3 Tuhan Yesus sebagai Kepada Gereja tidak mengirimkan surat-Nya kepada pengurus bersama gereja-gereja tetapi kepada masing-masing pendeta di Efesus, Smirna, Pergamus, Tiatira, Sardis, Filadelfia, dan Laodikea. Oleh karena itu gereja-gereja sekarang harus bersifat otonom.16

a. Ciri Khas

Ciri khas dari Gereja Yang Otonom, yaitu menekankan pekerjaan Roh Kudus seperti baptisan Roh dan bahasa lidah,17 menekankan penginjilan untuk membawa orang menjadi anggota gereja, dan menekankan pelayanan ke dalam gereja setempat. 18

b. Misi

Misi Gereja Yang Otonom – dalam hal ini adalah Gereja Bethel Indonesia karena gereja itulah yang didirikan Senduk – adalah bertumbuh dan

16

H.L. Senduk, Sejarah GBI: Suatu Gereja Nasional Yang Termuda, Yayasan Bethel, Jakarta, tth., hlm. 58.

17

Bdk. H.L. Senduk, Kuasa Roh Kudus, Seksi Penerbitan Yayasan Bethel, Jakarta, tth., hlm. 29-121.

18

H.L. Senduk, Firman Yang Hidup, Kumpulan Khotbah, , Yayasan Bethel, Jakarta, tth. Hlm. 182. Bdk. juga dengan Opcit., No. 28, Sejarah GBI...., hlm. 72.

(12)

berkembang dengan mendirikan gereja sebanyak-banyaknya, lewat pelayanan kepada masyarakat, serta mengajar dan menggembalakan jemaat dengan baik supaya warga jemaat dapat menjadi saksi-saksi yang hidup dalam dunia.19

3. Robert Banks

Konteks Banks adalah Australia dan Barat. Kehidupan gereja telah meninggalkan Rumah Tangga. Kehidupan gereja telah berpindah ke gedung-gedung gereja yang mewah. Hal ini bertentangan dengan Firman Tuhan. Sebagaimana Rasul Paulus dalam surat-suratnya menekankan pentingnya rumah sebagai pusat kehidupan gereja,20 demikian gereja-gereja sekarang perlu kembali ke rumah, agar pengaruh buruk sekulerisasi dan modernisasi dapat diminimalisir.21

a. Ciri Khas

Ciri khas Gereja Rumah adalah jumlah anggotanya kecil (maksimal 30 orang),22 tidak harus memiliki gedung gereja, bisa bersifat otonom dari gereja lain, tidak harus mempunyai pendeta,23 dan gereja kembali

19

Opcit., No. 29, Firman Yang Hidup 2, Hlm. 182.

20

Robert Banks, Paul’s Idea of Community: The Early House Churches in Their Cultural Setting, Hendrikckson Publiskers, USA, 1994, hlm. 30.

21

Robert & Julia Banks, The Church Comes Home, A New Base For Community And Mission, An Albatross Book, USA, 1986, hlm. 213-214.

22

Ibid., The Church..., hlm. 87.

23

(13)

menekankan pentingnya gereja-gereja sekarang kembali kepola kehidupan gereja mula-mula.24

b. Misi

Misi Gereja Rumah adalah pewartaan kegembiraan dan kemuliaan Tuhan lewat realitas kehidupan kepada orang yang berada di sekitar gereja dan terlibat aksi sosial dalam lingkup masyarakat.25

Penjelasan Identitas di atas, semakin meperlihatkan adanya perbedaan tajam antara konsep berjemaat Abineno, Senduk, dan Banks. Tentang hal ini Alo Liliweri memperlihatkan penyebab terjadinya perbedaan tajam itu. Dikatakan bahwa hal itu disebabkan karena terjadinya perbedaan persepsi terhadap norma-norma budaya, pola pikir, struktur budaya, dan sistem budaya.26 Tetapi perbedaan seperti itu tidak perlu terlalu dirisaukan, karena tetap terbuka jalan untuk bekerja sama, selama ada kemauan. Dikatakan Liliweri bahwa untuk membuka kerja sama di antara orang yang konsepnya sangat berbeda, dibutuhkan sikap untuk mengakui dan menerima perbedaan-perbedaan sebagaimana adanya dan bukan sebagaimana yang kita kehendaki.27 Dan menurut V.C. Pfitzner dalam kaitan pelayanan gereja, sekalipun pelayan-pelayan Tuhan berbeda, mereka adalah kawan sekerja dalam pelayanan bersama. Dan lebih dari itu mereka adalah kawan

24

Ibid., The Church..., hlm. 64.

25

Ibid., The Church..., hlm. 213.

26

Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hlm. 16.

27

(14)

sekerja Allah.28 Jadi tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa orang yang konsepnya berbeda tidak bisa bekerja sama dalam sebuah program atau pekerjaan. Lebih jauh Liliweri mengatakan, bahwa untuk membuka komunikasi terhadap orang atau kelompok yang konsepnya berbeda, dibutuhkan alat / sarana yang dapat menghubungan orang atau kelompok yang berbeda tersebut.29 Alat / sarana yang dipergunakan untuk menghubungkan konsep berjemaat menurut Abineno, Senduk, dan Banks adalah metode Lima Faktor dari Jan Hendriks. Metode Lima Faktor dari Jan Hendriks digunakan untuk mempelajari dan melihat kekuatan konsep berjemaat Abineno, Senduk, dan Banks. Kekuatan-kekuatan tersebut dibutuhkan guna penyusunan sinergi untuk ditawarkan sebagai konsep berjemaat yang rukun dengan sesama gereja dan rukun lingkungan di Indonesia.

Karena hanya sebagai alat, kriteria faktor-faktor dari Jan Hendriks tidak mengikat dalam membicarakan isi konsep masing-masing tokoh. Kecuali pada Bab III, ketika pembicaraan mengenai kekuatan dan kelemahan dari konsep masing-masing tokoh, kriteria faktor-faktor tersebut digunakan sebagai pembatas, supaya pembahasan tidak melebar ke mana-mana. Mengenai pengertian dari masing-masing faktor, akan digunakan karena Abineno, Senduk, dan Banks tidak membicarakannya.

28

V.C. Pfitzner, Kesatuan dalam Kepelbagaian, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2004, hlm. 53.

29

(15)

Oleh karena itu, dianggap perlu memaparkan pengertian dan isi metode Lima Faktor. Pengertian dan isi atau kriteria-kriteria metode Lima Faktor yang dimaksudkan, adalah sebagai berikut:

1. Iklim

Iklim adalah keseluruhan prosedur dan tata cara pergaulan yang khas bagi organisasi.30 Iklim yang baik di dalam organisasi dapat terjadi apabila ada keakraban antara anggota, orang biasa mendapat perlakuan baik dari organisasi,31 dan ada peraturan jelas yang mengatur pergaulan antara anggota kelompok satu dengan anggota yang lain. Berkaitan dengan perlakuan baik organisasi kepada anggota biasa, Harold S. Bender – dalam membicarakan perlakuan organisasi gereja kepada warga jemaat – mengatakan, sikap yang demikian merupakan tanggapan nyata terhadap Injil Kristus.32 Sedangkan Rob van Kessel mengatakan, perlakuan yang demikian merupakan keharusan karena semua warga jemaat mempunyai derajat dan martabat sama, yang perlu dijunjung tinggi.33

2. Struktur

Struktur adalah keseluruhan relasi antara orang yang memegang posisi-posisi organisatoris, baik yang formal maupun informal, institusional

30

Ibid., Jemaat Vital & Menarik..., hlm. 49.

31

Ibid., Jemaat Vital & Menarik..., hlm. 52

32

Harold S. Bender, These My People, Herald Press Scottdale, Pennsylvania, USA, 1962, hlm. 67.

33

(16)

maupun yang tidak institusional.34 Struktur menjadi baik apabila memperhatikan keseimbangan antara kepentingan individu, tujuan bersama, dan relasi paguyuban. Relasi paguyuban, dibedakan dalam tiga bentuk, yaitu relasi antara individu dengan individu dalam organisasi, relasi antara individu dengan organisasi atau dengan kelompok-kelompok dalam organisasi, dan relasi antara kelompok-kelompok dalam organisasi. Dengan demikian struktur dapat dikatakan baik, apabila jelas dan sederhana, desentralisasi, komunikatif, serta sejajar atau mudah dilakukan oleh semua anggota.

3. Kepemimpinan

Kepemimpinan adalah suatu fungsi yang dilakukan tidak hanya oleh satu orang atau kelompok pemimpin yang telah diangkat untuk bekerja sendiri, tetapi bekerja bersama-bersama dengan anggota organisasi. Dengan demikian kepemimpinan dapat diartikan sebagai bentuk perilaku tertentu yang membantu organisasi untuk sampai pada hasil yang diinginkan.35 Kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang melayani.36 Kempemimpinan yang melayani mempunyai beberapa sifat, yaitu mudah didekati oleh anggota, mendengarkan dengan baik, mengurangi jarak dengan anggota, terbuka terhadap kritikan, dapat menyesuaikan diri dengan kondisi

34

Opcit No. 7, Jemaat Vital & Menarik..., hlm. 92.

35

Ibid, Jemaat Vital & Menarik..., hlm. 67.

36

(17)

organisasi, dan adanya realsi baik antara pemimpin dengan anggota organisasi.

Berkaitan dengan kepemimpinan yang melayani, Marlin E. Miller menyebutnya sebagai kepemimpinan yang memberi diri, bukan mendominasi atau menguasai.37 Sedangkan Donald B. Kraybill mengibaratkan kepemimpinan yang melayani dengan sebuah tangga yang berdiri tegak. Pada setiap anak tangga terdapat sebuah jabatan. Bagi organisasi secara keseluruhan, pejabat yang berada pada anak tangga yang paling di atas adalah orang yang paling besar kekuasaannya dalam menguasai dan mendominasi orang yang berada di bawahnya. Tetapi menurut Kraybill, dalam kepemimpinan jemaat yang bersifat melayani, orang yang menduduki anak tangga paling di atas, harus turun ke bawah lebih rendah dari semua orang yang berada di bawah, memberikan hidupnya untuk melayani orang-orang tersebut.38

4. Tujuan dan Tugas

Tujuan adalah kondisi atau sesuatu yang hendak dicapai oleh organisasi, sedangkan tugas adalah pekerjaan yang dibebankan dan disanggupi oleh seseorang atau kelompok dalam mengupayakan tercapainya tujuan yang ditetapkan organisasi39 Sifat-sifat dari tujuan, adalah jelas, konkret, dan

37

Marlin E. Miller, Theology for the churh, Institute of Mennonite Studies Elkhart, Indiana,USA, 1999, hlm. 112.

38

Donald B. Kraybill, Kerajaan Yang Sungsang, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1993, hlm. 3, 333.

39

(18)

relevan sehingga pihak yang bertugas tertarik dan tidak bingung mengerjakan tugas-tugas tersebut.

5. Identitas

Identitas sering juga dihayati sebagai jatidiri, atau kekhasan organisasi yang mencirikan dan membedakannya dari oerganisasi yang lain.40 Identitas dikatakan baik apabila anggota tetap menghayati identitas diri organisasi tentang apa latar belakang mereka, siapa mereka, apa ciri khas, dan apa misi mereka dalam masyarakat yang berubah.41

Kelima faktor tersebut di atas juga mempengaruhi “partisipasi”42 anggota dalam kehidupan jemaat. Apabila tidak mendapat perhatian yang serius maka jemaat akan selalu berada dalam ketegangan antara pihak yang menginginkan kesatuan dengan pihak yang menginginkan otonomi, yang akhirnya sampai pada perpecahan.

VI. Judul Tesis

Judul tesis yang diusulkan adalah:

BEKERJA SAMA SEKALIPUN BERBEDA

SINERGI ANTARA KONSEP BERJEMAAT MENURUT ABINENO, SENDUK, DAN BANKS

40

Ibid., Jemaat Vital & Menarik..., hlm. 161

41

Ibid., Jemaat Vital & Menarik..., hlm. 174.

42

Ibid., Jemaat Vital & Menarik..., hlm. 29. Hendriks mengartikan partisipasi dalam tiga hal, yaitu: 1) hadir, 2) ikut dalam proses-proses komunikasi dan interaksi, 3) ikut memvitalkan jemaat secara keseluruhan.

(19)

Ada dua hal yang perlu ditegaskan dari judul di atas, yaitu: 1. Bekerja Sama Sekalipun Berbeda

Kalimat ini menjelaskan bahwa seseorang / sebuah kelompok, sekalipun sangat berbeda konsepnya terhadap sesuatu, orang-orang atau kelompok-kelompok tersebut dapat bekerja sama dalam menyelesaikan pekerjaan. Demikian halnya dengan konsep-konsep tentang cara berjemaat dari beberapa tokoh, sekalipun sangat berbeda, tetapi memiliki kesamaan / kesinambungan pada sisi-sisi tertentu, yang dapat dijadikan acuan, pelajaran, dan pengetahuan guna membangun cara berjemaat yang lebih baik.

2. Sinergi

Kata sinergi dapat dimaknai sebagai upaya untuk mencari kesamaan, titik temu, kesinambungan, dll. dari sebuah konsep pemikiran yang sangat berbeda dan bertentangan guna menciptakan perdamaian dan pembangunan kehidupan bersama yang lebih baik.

VII. Metode Penelitian

Motode yang digunakan adalah penelitian pustaka. Kekuatan dan kelemahan konsep pemikiran Abineno tentang Gereja Yang Esa, konsep pemikiran Senduk tentang Gereja Yang Otonom, dan konsep pemikiran Banks tentang Gereja Rumah akan diteliti dengan menggunakan kaca mata metode Lima Faktor dari Jan Hendriks. Setelah kekuatan dan kelemahan masing-masing konsep pemikiran itu dirumuskan, selanjutnya kekuatan-kekeuatan tersebut disinergikan.

(20)

VIII. Sistematika Penulisan A. Bab I Pendahuluan

B. Bab II Kekuatan dan Kelemahan konsep pemikiran Abineno tentang Gereja Yang Esa, konsep pemikiran Senduk tentang Gereja Yang Otonom, dan konsep pemikiran Banks tentang Gereja Rumah akan diteliti dengan menggunakan teori Metode Lima Faktor dari Jan Hendriks.

C. Bab III Sinergi antara kekuatan konsep pemikiran Abineno tentang Gereja Yang Esa, konsep pemikiran Senduk tentang Gereja Yang Otonom, dan konsep pemikiran Banks tentang Gereja Rumah.

Referensi

Dokumen terkait

Lihat juga Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi , ( Jakarta: Rajawali Pers, 2007), hlm, 23.. anak yang berjumlah

Berbagai korban yang diakibatkan oleh kehadiran LRA, tetap membuat Dewan Keamanan cermat dalam pengambilan keputusan yang tepat dalam menindak kelompok LRA, yaitu

Melalui pendampingan dan konseling pastoral, gereja tetap dapat relevan kepada segala situasi di tengah krisis yang dihadapi manusia, baik yang bersifat sosial,

Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan“Konseling Pastoral Lintas Budaya Bagi Warga Dewasa di Gereja Kristen Sumba (GKS) Jemaat Waingapu” adalah proses

Karakteristik CBT yang tidak hanya menekankan pada perubahan pemahaman konseli dari sisi kognitif namun memberikan konseling pada perilaku ke arah yang lebih baik dianggap

Munculnya permasalahan sosial ini, membuat Yayasan Pondok Hayat sebagai salah satu bentuk gereja organisme dalam mewujudkan pelayanan pastoral khususnya dalam kasus aborsi. Hal itu

Banyak masalah jemaat yang sudah ditangani oleh gereja namun satu masalah yang belum mendapat perhatian khusus dari gereja adalah pendampingan pastoral terhadap anak-anak

Definisi Erb’s palsy merupakan lesi pleksus brakialis bagian atas karena cidera yang diakibatkan perpindahan kepala yang berlebihan dan depresi bahu pada sisi yang sama saat