KAJIAN PAPARAN BISPHENOL-A DARI BOTOL SUSU POLIKARBONAT
DALAM ASI DAN AIR PADA BAYI
SKRIPSI
I.K. MARLA LUSDA
F34080035
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
EXPOSURE STUDY ON BISPHENOL-A FROM POLYCARBONATE MILK
BOTTLE IN BREAST MILK AND WATER FOR BABY
Endang Warsiki 1)*, Hari Wijayanto 2), dan I.K. Marla Lusda 1)
1)
Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Dramaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia 2)
Department of Statistics, Faculty of mathematics and natural sciences, Bogor Agricultural University, IPB Dramaga Campus,
e-mail:
Box 220, Bogor, West Java, Indonesia
ABSTRACT
Polycarbonate bottles milk is one of the packaging used to store breast milk. Polycarbonate is the result of polymerization of phosgene and bisphenol A (BPA) that can make plastic to be more transparent, stronger and moreimpact resistant. BPA is carcinogenic and then it can give bad damage for human health even if it is used in very small doses. The study was conducted to determine distribution of respondents who use polycarbonate bottles in Indonesia. It is also to find the effect of bottles pre-treatment before use, including method of sterilization, time and temperature to store the milk and method of milk preparing. Data of the average of baby food intake and baby drinking frequency was recorded and the value of the existing BPA exposure was estimated. From the calculated, it is known that the value of BPA exposure is about 0,00005 mg/kg body weight / day and 0,000002 mg/kg body weight / day for into breast milk water respectively. This value is still below standard tolerances established by the International European Food Safety Authority (EFSA) in 2006 amounted to 0,05 mg / kg body weight / day as Tolerable Daily Intake.
Keywords:Bisphenol-A, Polycarbonate, Breast Milk Dairy, Milk Bottles
ABSTRAK
Botol susu polikarbonat adalah salah satu kemasan yang digunakan untuk menyimpan ASI dan air. Polikarbonat merupakan hasil polimerisasi fosgen dan bisphenol A (BPA) yang dapat membuat plastik menjadi transparan, lebih kuat dan tahan terhadap benturan. BPA adalah zat karsinogenik dan menimbulkan dampak buruk terhadap kesehatan manusia meskipun digunakan dalam dosis yang sangat kecil. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sebaran responden yang menggunakan botol susu polikarbonat di Indonesia. Dalam penelitian ini juga dikaji pengaruh perlakuan botol sebelum digunakan terhadap paparan BPA dari PC. Pra perlakuan tersebut meliputi cara sterilisasi, kondisi tempat penyimpanan dan lamanya penyimpanan botol, serta cara penyiapan. Rata-rata jumlah konsumsi pangan dan frekuensi minum bayi dicatat kemudian nilai paparan BPA diestimasi. Dari hasil perhitungan, diketahui bahwa nilai paparan BPA dari botol susu PC adalah sebesar 0.00005 mg/kg berat badan/hari dan pada air sebesar 0,000002 mg/kg berat badan/hari. Nilai tersebut masih di bawah standar toleransi BPA yang dibuat oleh Badan Internasional European Food Safety Authority
(EFSA) pada tahun 2006 sebesar 0,05 mg/kg berat badan/hari. Kata kunci: Bispenol-A, Polikarbonat, ASI, Botol Susu
I.K. Marla Lusda. F34080035. Kajian Paparan Bisphenol-A dari Botol Susu Polikarbonat dalam ASI dan Air pada Bayi. Di bawah bimbingan Endang Warsiki dan Hari Wijayanto. 2012.
RINGKASAN
Salah satu kemasan yang digunakan untuk menyimpan ASI adalah botol polikarbonat (PC) yang merupakan hasil polimerisasi fosgen dan bisphenol A (BPA). BPA yang terkandung dalam PC dapat membuat plastik menjadi lebih transparan, lebih kuat dan tahan terhadap benturan sehingga digunakan dalam pembuatan botol susu. Kandungan BPA dalam dosis yang sangat kecil dapat menimbulkan dampak buruk terhadap kesehatan manusia. Hal ini perlu dipertimbangkan karena pengguna utama botol susu polikarbonat adalah bayi yang rentan terhadap residu. Hal inilah yang membuat beberapa negara mengambil kebijakan dengan melarang penggunaan produk yang mengandung BPA seperti eropa, amerika dan beberapa negara lain. Di Indonesia sendiri belum ada lembaga berwenang yang melakukan uji toksisitas terhadap BPA sehingga peredaran produk yang mengandung BPA tersebut belum dilarang. Untuk mengatasi masalah ini, pada tahun 2012 ini BPOM RI melakukan kajian paparan bisphenol A untuk mengetahui nilai dan jumlah migrasi BPA dari polikarbonat khususnya dalam asi dan air.
Tujuan penelitian ini untuk mengkaji besarnya paparan BPA pada air dan ASI dari botol susu polikarbonat dan mengkaji hubungan perilaku pengguna botol dan perlakuan yang diterima botol terhadap kadar migrasi BPA dalam ASI dan air. Pengumpulan data dilakukan dengan cara survei langsung terhadap pengguna botol. Kemudian dari data yang ada dilakukan perhitungan nilai estimasi paparan BPA.
Dari hasil survei diketahui gambaran sebaran responden. Responden yang paling banyak menyimpan air dan ASI dalam botol dilihat dari tingkat pendidikannya adalah S1. Jika dilihat dari pekerjaannya adalah ibu rumah tangga dan karyawan swasta. Botol susu yang paling banyak digunakan adalah brand A. Sebagian besar responden mensterilisasi botol dengan cara direbus selama 5 sampai 10 menit setelah air mendidih dan menyimpan botol di tempat tertutup. Berdasarkan cara penyiapan ASI, hampir seluruh responden menyiapkan ASI dengan cara merendamnya di air panas. Dilihat dari jenis kelamin, sebaran anak yang menggunakan botol susu polikarbonat adalah anak perempuan. Berdasarkan usianya, anak yang minum air menggunakan botol adalah anak usia 7 sampai 12 bulan, dan anak yang minum ASI berusia dibawah 6 bulan. Berdasarkan berat badan, anak yang minum air menggunakan botol adalah anak dengan berat 10 sampai 12 kg, dan anak yang minum ASI memiliki berat 7 sampai 9 kg. Berdasarkan frekuensi minumnya, anak minum menggunakan botol sebanyak 5 kali dalam sehari dengan menggunakan volume botol 60 ml untuk ASI dan 120 ml untuk air. Berdasarkan lama minum, anak menghabiskan ASI selama 5 menit dan air selama 6 sampai 15 menit. Perilaku anak terhadap penggunaan botol seperti jumlah porsi konsumsi, frekuensi, dan lama waktu minum anak mempengaruhi nilai kadar migrasi BPA dalam ASI dan air. Semakin besar porsi konsumsi dan semakin sering frekuensi anak minum akan mengakibatkan nilai paparan BPA yang semakin tinggi pula. Semakin lama waktu minum anak, juga menyebabkan semakin lama kontak terjadi sehingga semakin banyak BPA yang terpapar ke dalam pangan. Perlakuan pada botol seperti cara sterilisasi, kondisi tempat penyimpanan dan lamanya penyimpanan botol, serta cara penyiapan pangan mempengaruhi kadar migrasi BPA dalam ASI dan air. Cara sterilisasi yang lama dan dalam suhu yang tinggi akan menyebabkan lepasnya monomer BPA dari botol. Kondisi tempat penyimpanan yang terbuka dan mudah terpapar matahari juga memberi kemungkinan monomer BPA akan terlepas. Perlakuan penyiapan ASI setelah disimpan di kulkas dengan cara merendam botol di air panas juga dapat menyebabkan terlepasnya paparan BPA dari botol susu.
KAJIAN PAPARAN
BISPHENOL-A
DARI BOTOL SUSU POLIKARBONAT
DALAM ASI DAN AIR PADA BAYI
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
Oleh
I.K. MARLA LUSDA
F34080035
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi : Kajian Paparan
Bisphenol-A
dari Botol Susu Polikarbonat dalam ASI
dan Air pada Bayi
Nama
: I.K. Marla Lusda
NRP
: F34080035
Menyetujui,
Pembimbing I,
Pembimbing II,
(Dr. Endang Warsiki, S.TP, M.Si)
(Dr. Ir. Hari Wijayanto, M.Si)
NIP 19710305 199702 2 001
NIP 19650421 199002 1 001
Mengetahui :
Ketua Departemen,
(Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti)
NIP 19621009 198903 2 001
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul
Kajian
Paparan
Bisphenol-A
dari Botol Susu Polikarbonat dalam ASI dan Air pada
Bayi
adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik
dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, 5 Desember 2012
Yang membuat pernyataan
I.K. Marla lusda
F34080035
BIODATA PENULIS
I.K. Marla Lusda. Lahir di Lahat, Palembang, Sumatera
Selatan, dari ayah I.K. Chandra dan ibu Sofia, sebagai putri
ketiga dari empat bersaudara. Penulis menamatkan SMA
pada tahun 2008 dari SMA Negeri 5 Palembang dan pada
tahun yang sama diterima di Institut Pertanian Bogor melalui
Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Program
Studi Teknologi Industri Pertanian, Departemen Teknologi
Pertanian. Selama menjalani pendidikan perguruan tinggi,
penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan, diantaranya
menjadi anggota Himalogin pada tahun 2008-2012. Pada tahun 2009-2010 penulis
menjadi sekretaris Organisasi Mahasiswa Daerah “Ikatan Mahasiswa Bumi Sriwijaya
(IKAMUSI)’. Penulis melaksanakan Praktik Lapang di PT PG Rajawali II Unit
Tersana Baru, Cirebon, Jawa Barat dengan judul “Mempelajari Teknik Penyimpanan
dan Penggudangan Komoditi Gula di PT PG Rajawali II Unit Tersana Baru, Cirebon,
Jawa Barat”.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat dan
karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul
Kajian Paparan
Bisphenol-A
dari Botol Susu Polikarbonat dalam ASI dan Air
pada Bayi
ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana
Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan dan sekaligus penyusunan skripsi ini.
Ucapan terima kasih disampaikan antara lain kepada:
1.
Dr. Endang Warsiki, S.TP, M.Si dan Dr. Ir. Hari Wijayanto, M.Si sebagai
dosen pembimbing akademik atas arahan dan bimbingannya.
2.
Ir. Ade Iskandar, M.Si selaku dosen penguji atas kritikan dan masukannya.
3.
Dra. Ani Rohmaniyati, M.Si dari BPOM atas saran dan bantuan moril yang
diberikan.
4.
Seluruh karyawan BPOM deputi 3 atas bantuan yang diberikan kepada
penulis.
5.
Ayah, ibu, dan keluarga besar penulis atas dukungan dan semangatnya baik
berupa doa, moril, dan material.
6.
Serta teman-teman TIN 45 dan IKAMUSI atas dukungan dan semangat
selama menjalani penelitian sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik.
Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan
kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang
agroindustri.
Bogor, 5 Desember 2012
I.K. Marla Lusda
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2013
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik
cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR TABEL ... v
DAFTAR GAMBAR ... vi
DAFTAR LAMPIRAN ... vii
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Tujuan... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3
2.1. Polikarbonat, BPA dan Migrasi BPA ... 3
2.2. ASI (Air Susu Ibu) ... 7
2.3. Purposive Sampling ... 8
III. METODOLOGI PENELITIAN ... 10
3.1. Waktu dan Tempat ... 10
3.2. Metode Penelitian ... 10
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 12
4.1. Survei Konsumsi Pangan ... 12
4.2. Estimasi Nilai Paparan ... 38
V. KESIMPULAN ... 41
5.1. Kesimpulan ... 41
5.2. Saran ... 42
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.1. Tingkat pendidikan responden ... 12
Tabel 4.2. Jenis pekerjaan responden ... 14
Tabel 4.3. Merk botol susu polikarbonat ... 15
Tabel 4.4. Tingkat pendidikan dan pekerjaan responden yang menyimpan air dan ASI dalam botol terhadap pemilihan brand botol susu polikarbonat ... 17
Tabel 4.5. Cara sterilisasi botol susu polikarbonat ... 18
Tabel 4.6. Sterilisasi botol secara spesifik... 19
Tabel 4.7. Tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan responden yang menyimpan air dan ASI terhadap pemilihan cara sterilisasi botol susu polikarbonat ... 21
Tabel 4.8. Tempat penyimpanan ASI perah ... 22
Tabel 4.9. Cara penyiapan ASI yang dilakukan responden ... 23
Tabel 4.10. Tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan responden terhadap pemilihan cara penyiapan ASI perah ... 25
Tabel 4.11. Usia anak yang menggunakan botol susu polikarbonat ... 27
Tabel 4.12. Berat badan anak yang menggunaka botol susu polikarbonat ... 29
Tabel 4.13. Frekuensi konsumsi air dan ASI anak dalam satu hari ... 30
Tabel 4.14. Nilai P hasil pengujian hubungan antara usia dan berat badan anak terhadap frekuensi anak minum air ... 32
Tabel 4.15. Nilai P hasil pengujian hubungan antara usia dan berat badan anak terhadap frekuensi anak minum ASI ... 32
Tabel 4.16. Volume botol susu polikarbonat yang digunakan ... 33
Tabel 4.17. Nilai P hasil pengujian hubungan antara usia dan berat badan anak terhadap volume botol susu yang digunakan untuk minum air ... 34
Tabel 4.18. Nilai P hasil pengujian hubungan antara usiadan berat badan anak terhadap volume botol susu yang digunakan anak untuk minum air dan ASI ... 34
Tabel 4.19. Lama minum anak ... 35
Tabel 4.20. Lama penyiapan ASI dalam botol susu polikarbonat ... 36
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1. Struktur polimer polikarbonat ... 3
Gambar 2.2. Proses pembentukan polikarbonat ... 4
Gambar 4.1. Sebaran tingkat pendidikan responden yang menyimpan air dan ASI dalam botol susu polikarbonat ... 13
Gambar 4.2. Sebaran jenis pekerjaan responden yang menyimpan air dan ASI dalam botol susu polikarbonat ... 14
Gambar 4.3. Sebaran merk botol susu polikarbonat yang digunakan untuk menyimpan air dan ASI ... 16
Gambar 4.4. Sebaran cara sterilisasi botol susu polikarbonat yang digunakan untuk menyimpan air dan ASI ... 19
Gambar 4.5. Sebaran sterilisasi botol dengan perebusan ... 20
Gambar 4.6. Sebaran sterilisasi botol dengan perendaman dalam air panas ... 21
Gambar 4.7. Sebaran cara penyiapan ASI dalam botol susu polikarbonat ... 24
Gambar 4.8. Sebaran jenis kelamin anak yang mengkonsumsi air dan ASI dalam botol susu polikarbonat ... 26
Gambar 4.9. Sebaran rentang usia konsumsi air dan ASI dari botol susu polikarbonat ... 27
Gambar 4.10. Sebaran berat badan konsumsi air dan ASI dari botol susu polikarbonat ... 29
Gambar 4.11. Frekuensi anak minum dengan menggunakan botol polikarbonat ... 31
Gambar 4.12. Sebaran lama waktu minum anak ... 35
Gambar 4.13. Sebaran lama waktu penyiapan ASI ... 36
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Kuisioner survei konsumsi pangan ... 46 Lampiran 2. Rekapan hasil survei konsumsi ASI ... 49 Lampiran 3. Rekapan hasil survei konsumsi air ... 60
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam UU Tenaga Kerja Nomor 13 tahun 2003, pemerintah menetapkan cuti melahirkan selama tiga bulan. Sedangkan cuti menyusui hanya dilakukan oleh sedikit instansi dan kebijakan mengenai dispensasi menyusui selama bekerja belum mendapatkan perhatian yang serius. Padahal agar bisa memberikan ASI secara eksklusif, sebaiknya perempuan pekerja diberikan cuti melahirkan selama 6 bulan (Bararah, 2012). Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan pemberian ASI eksklusif sangat penting dan mendasar bagi kelangsungan hidup, pertumbuhan, perkembangan, kesehatan dan kebutuhan gizi bayi. Hal ini dilanjutkan dengan pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) dan tetap dilanjutkan dengan ASI. Pemberian ASI eksklusif dengan cara menyusui tidak hanya memberikan berbagai nutrisi yang diperlukan oleh bayi, tapi juga dapat mempererat hubungan emosional (bonding) antara ibu dan bayi (Bararah, 2012). Sempitnya masa cuti menyebabkan kesempatan memberikan ASI eksklusif sangat terbatas. Untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan bayinya, perempuan pekerja memilih alternatif menyimpan ASI di dalam kemasan botol.
Salah satu kemasan yang digunakan untuk menyimpan ASI adalah botol polikarbonat (PC). Plastik polikarbonat adalah hasil polimerisasi fosgen dan bisphenol A (BPA) atau hasil pertukaran ester antara BPA dan difenil karbonat. BPA ini merupakan bahan tambahan yang berfungsi sebagai pengikat dari monomer-monomer karbonat. Plastik polikarbonat yang menggunakan BPA merupakan polimer yang sangat transparan dan memiliki beberapa keunggulan seperti lebih kuat dan tahan terhadap benturan, memiliki tingkat kecerahan plastik yang lebih baik, serta lebih mudah dibentuk pada suhu ruang. Keunggulan tersebut membuat plastik polikarbonat ini lebih disukai untuk digunakan pada kemasan makanan, botol susu, botol air, bahkan pipa-pipa saluran air. Penggunaan BPA sudah cukup luas, tidak hanya digunakan untuk kemasan pangan tetapi juga dapat digunakan sebagai bahan penambal gigi, pembuatan kepingan CD atau DVD, dan kacamata (Aschberger, 2010; Bailey dan Hoekstra, 2010). Karena keunggulan tersebut, BPA sangat diminati sebagai bahan tambahan dalam pembuatan kemasan polikarbonat.
Penggunaan BPA sebagai bahan kemasan ternyata menimbulkan dampak buruk terhadap kesehatan manusia meskipun digunakan dalam dosis yang sangat kecil. Hal ini dikarenakan ikatan kimia yang terjadi diantara monomer BPA pada polimer plastik tidak stabil sehingga dapat menyebabkan migrasi apabila kemasan kontak dengan produk. Migrasi BPA dari kemasan polikarbonat tergantung dari waktu kontak, suhu, dan jenis makanan. Dari beberapa kutipan diketahui bahwa BPA dapat menyebabkan kanker prostat, kanker payudara, pubertas lebih awal, obesitas, diabetes, perubahan sistem imun, mengganggu hormon tiroid, dan lain sebagainya. Hal ini perlu dipertimbangkan karena pengguna utama botol susu polikarbonat adalah bayi yang tubuhnya baru berkembang dan sistem detoksifikasi pada hati belum sempurna. Berdasarkan European Food Safety Authority (EFSA) pada 2006, menetapkan bahwa asupan harian BPA yang dapat ditoleransi oleh tubuh manusia (Tolerable Daily Intake) sebesar 0,05 mg/kg berat badan/hari.
Apabila BPA masuk dan terakumulasi dalam tubuh akan membahayakan kesehatan. Hal inilah yang membuat beberapa negara mengambil kebijakan dengan melarang penggunaan atau peredaran produk-produk yang mengandung BPA. Komisi Eksekutif Uni Eropa telah melarang pembuatan botol susu polikarbonat yang mengandung senyawa BPA sejak Maret 2011. Pelarangan juga dilakukan di negara-negara seperti Denmark, Perancis dan Kanada. Sementara di Amerika dan Jepang hanya menghimbau agar industri secara sukarela menghentikan produksi botol susu yang menggunakan BPA
2
dan mengembangkan alternatif penggantinya. Di Indonesia sendiri belum ada lembaga berwenang yang melakukan uji toksisitas terhadap BPA sehingga peredaran produk yang mengandung BPA tersebut belum dilarang. Untuk mengatasi masalah tersebut, pada tahun 2012 ini Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia melalui Direktorat Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya melakukan kajian paparan bisphenol A untuk mengetahui nilai dan jumlah migrasi bisphenol A dari polikarbonat.
I.2. Tujuan
Tujuan umum penelitian ini adalah mengkaji besarnya paparan bisphenol-A pada air dan ASI yang dikemas dengan botol susu polikarbonat. Sedangkan secara khusus, bertujuan untuk:
(i) Mengetahui sebaran responden botol susu polikarbonat dengan melakukan pengelompokan
responden dari hasil survei tingkat pendidikan responden, pekerjaan responden, cara sterilisasi botol, brand botol, tempat penyimpanan botol, cara penyiapan ASI, jenis kelamin anak, usia anak, berat badan anak, frekuensi dan lama minum anak, serta volume botol yang digunakan.
(ii) Mengestimasi paparan bisphenol-A dari botol susu polikarbonat ke dalam ASI dan air
berdasarkan porsi konsumsi dan frekuensi minum anak.
(iii) Mengetahui hubungan antara perlakuan pada botol polikarbonat terhadap paparan bisphenol-A
dalam ASI dan air.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Polikarbonat, BPA dan Migrasi BPA
Polikarbonat (PC) adalah suatu kelompo
menggunakaeasily thermoformed). PC digunakan secara luas dalam
memiliki ketahanan termal dibandingkan dengan plastik jenis lain. Keunggulan lain dari PC adalah sangat bening dan tahan terhadap benturan. Meski memiliki ketahanan yang tinggi terhadap benturan, namun PC cukup mudah tergores. PC terdiri dari dalam dengan menggunaka2). Dalam struktur molekul PC, terdapat dua gugus fenil dan dua gugus metil. Kehadiran gugus fenil dalam rantai molekul dan dua gugus metil ini berkontribusi terhadap kekekaran PC. Ketertarikan antar gugus fenil antara molekul yang satu dengan yang lain akan membuat kebebasan molekul individual berkurang, akibatnya PC memiliki ketahanan termal yang baik. Kebebasan molekul individual yang sedikit tersebut juga membuat PC menjadi tidak fleksibel serta mencegah PC menjadi struktur crystalline yang menjadikan PC bersifat transparan (Callister, 2007).
Gambar 2.1.Struktur polimer polikarbonat (Sun CL, 2003).
Plastik yang terbuat dari PC sangat ringan dan memiliki keseimbangan yang baik antara kekekaran, stabilitas dimensi, dan transparansi secara optikal. Plastik yang terbuat dari PC juga memiliki ketahanan terhadap panas sehingga banyak digunakan dalam berbagai macam produk seperti peralatan elektronik, bahan konstruksi, perlengkapan keselamatan olah raga, serta berbagai peralatan rumah dan dapur yang melibatkan kontak langsung dengan makanan dan minuman, contohnya wadah-wadah penampung makanan dan minuman seperti botol susu bayi, gelas anak balita, botol minuman, dan kaleng susu formula (Hadinata, 2010). Hadinata (2010) juga menjelaskan bahwa ikatan kimia antar BPA pada polimer plastik tidak stabil seiring dengan lamanya waktu penggunaan plastik. Penggunaan dan perawatan botol plastik PC yang kurang tepat dapat menyebabkan pelepasan ikatan BPA yang cukup signifikan. Misalnya dalam proses sterilisasi botol plastik PC dengan cara mendidihkan air selama 10 menit, kemudian dituang ke dalam botol plastik PC. Proses sterilisasi semacam ini akan melepaskan 6 mg/L BPA.
Dalam proses produksinya, plastik polikarbonat dihasilkan melalui proses kondensasi antara BPA dengan karbonil klorida (Gambar 2.2.) (Sun CL, 2003). BPA ini merupakan bahan tambahan yang berfungsi sebagai pengikat dari monomer-monomer karbonat. Aplikasi BPA dalam pembuatan resin epoksi banyak digunakan dalam bahan pelapis logam seperti kaleng makanan, botol air minum, kertas thermal, pelapis pelindung, alat kesehatan, laminasi listrik dan elektronik, dan saluran air (Aschberger, 2010; Bailey dan Hoekstra, 2010). Penggunaan BPA dalam pembuatan plastik polikarbonat cukup digemari oleh industri karena menjadikan botol tahan lama dan tampil lebih mengkilat. Bisphenol A (2,2-bis(4-hydroxyphenyl)propane) atau BPA merupakan bagian terpenting
4
dalam pembuatan plastik terutama dalam pembuatan plastik polikarbonat dan beberapa untuk pembuatan resin epoksi. Perbandingan produksi BPA untuk pembuatan resin epoksi dan polikarbonat masing-masing 21% dan 72% (Chapin et al, 2007). Selain digunakan untuk polikarbonat dan resin epoksi, BPA juga digunakan untuk flame retardants, resin poliester tak jenuh, resin polisulfon (PS) dan polyetherimides (PEI) (CEH, 2010). Lebih dari 95% konsumsi BPA dunia pada tahun 2009 digunakan untuk resin PC dan epoksi resin. Dengan demikian, penggunaan BPA memang lebih banyak diaplikasikan untuk resin PC dan epoksi resin daripada yang lain (Bailey dan Hoekstra, 2010).
Gambar 2.2. Proses pembentukan polikarbonat (Sun CL, 2003).
BPA memiliki persamaan dengan senyawa kimia diethyl sylbestrat (DES) dan hormon
estrogen. DES ini ternyata merupakan senyawa yang kurang baik karena dapat menyebabkan kanker dan masalah yang berhubungan dengan reproduksi. Karena senyawa kimianya yang memiliki persamaan dengan hormon estrogen, BPA dapat digunakan sebagai hormon buatan yang bekerja seperti hormon estrogen untuk mengatai masalah kehamilan. Apabila digunakan dalam jumlah yang tidak teratur dapat menimbulkan resiko terhadap kesehatan. Sehingga beberapa tahun terakhir ini mulai berkembang isu bahaya penggunaan BPA pada berbagai kemasan.
Beberapa penelitian telah berhasil mengetahui bahaya BPA bagi kesehatan. Saat ini banyak badan-badan kesehatan negara yang melihat potensi resiko kesehatan yang disebabkan oleh BPA. Oleh karena itu, negara-negara yang telah membuktikan bahaya BPA mulai melarang penggunaan bahan tersebut pada berbagai bentuk kemasan. Pusat Riset Toksikologi Nasional FDA bekerja sama
dengan National Toxicology Program (NTP) saat ini melakukan kajian yang mendalam untuk
mengklarifikasi dugaan tersebut. Sementara itu, US-FDA mengambil langkah-langkah pencegahan untuk mengurangi paparan BPA pada makanan, seperti mendorong industri untuk berhenti memproduksi botol bayi yang mengandung BPA dan peralatan makan bayi untuk pasar AS, memfasilitasi pengembangan alternatif untuk BPA, dan mendukung upaya untuk mengganti atau meminimalkan tingkat BPA dalam pelapis kaleng makanan (Lailya, 2010). Di lain sisi, Badan Kesehatan Kanada (The Health Canada) memilih kebijakan untuk mengambil tindakan pencegahan dan menyimpulkan bahwa BPA harus dianggap sebagai zat atau bahan yang dapat menimbulkan bahaya pada kehidupan atau kesehatan manusia. Sebagai langkah awal pemerintah Kanada berencana untuk membuat peraturan untuk melarang import, iklan, dan penjualan botol bayi berbahan polikarbonat. (Joaquim Maia et al, 2010; Joaquim Maia et al, 2009).
Selanjutnya, WHO melalui forum panel yang beranggotakan 30 pakar dari Kanada, Eropa, dan Amerika Serikat pada 10 November 2010 di Ottawa, Kanada, menyampaikan bahwa kadar BPA yang terkandung dalam urin seseorang ternyata relatif sama dengan kadar BPA yang masuk ke dalam tubuh orang tersebut. Hal ini berarti sebagian besar atau bahkan mungkin semua BPA dapat diekskresikan secara alamiah dari dalam tubuh. Selain itu, WHO juga menyatakan bahwa berbagai penelitian yang telah dilakukan membuktikan meskipun dalam kadar yang rendah, BPA tetap dapat memberikan efek buruk bagi kesehatan (Anonim, 2010). Menurut Sun CL (2003), terdapat korelasi antara BPA dengan
Bisphenol A Carbonyl Chloride
5
masalah biologis pada laki-laki dan perempuan. Pada laki-laki, dapat terjadi penurunan produksi sperma, penambahan berat prostat, dan kanker testis. Sementara pada perempuan dapat menyebabkan perkembangan endometrium yang tidak normal sehingga dapat menimbulkan infertilitas dan meningkatkan risiko terkena kanker payudara. Sun juga memaparkan bahwa bayi dan anak-anak juga akan terkena dampak negatif dari BPA ini. Pada anak-anak, terutama pada bayi yang masih dalam kandungan maupun bayi yang baru lahir, dapat menyebabkan ketidakseimbangan hormon yang dapat berdampak selama periode emas pertumbuhan anak, meskipun akibatnya tidak langsung tampak.
Menurut Balai Besar Kimia dan Kemasan (2011), migrasi terbagi menjadi dua jenis, yaitu migrasi global dan migrasi spesifik. Migrasi global atau migrasi total merupakan hasil perpindahan komponen dari kemasan, dimana komponen tersebut tidak dibedakan antara yang berbahaya (toksik) dengan yang tidak berbahaya (non-toksik) pada kesehatan. Migrasi global ini dinyatakan dalam satuan mg bahan yang berpindah per satuan luas (mg/dm2
Nasiri et al (2009) menyatakan bahwa jumlah migrasi akan meningkat seiring dengan
peningkatan suhu kontak, peningkatan waktu kontak, peningkatan kandungan bahan kimia dalam kemasan, peningkatan luas permukaan kontak, dan peningkatan agresifitas pangan yang dikemas. Suhu dan waktu kontak yang semakin meningkat akan mempercepat proses migrasi bahan kimia ke bahan makanan sehingga nilai migrasi yang dihasilkan akan lebih tinggi. Mudahnya terjadi migrasi BPA kepada makanan atau minuman dikarenakan ikatan kimia antar monomer BPA dalam polimer plastik sangat lemah dan tidak stabil. Ikatan yang tidak stabil ini dapat menyebabkan sejumlah kecil BPA terlepas ke dalam pangan yang menjadi isi suatu kemasan yang mengandung BPA. Dan pada akhirnya lepasan BPA ini kemudian dapat tertelan oleh manusia. Pelepasan BPA akan terjadi semakin banyak saat botol bayi atau botol air terkena panas seperti saat direbus atau disterilisasi (Barnes et al. 2007 dalam Retno, 2010). BPA ini dapat bekerja dalam konsentrasi yang sangat kecil baik dalam ppb (parts per billion) atau ppt (parts per trillion) sekalipun sehingga sangat berbahaya bagi kesehatan. Umumnya paparan BPA pada tingkat yang rendah terjadi karena memakan makanan atau meminum air yang disimpan dalam wadah yang mengandung BPA. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (The Centers for Disease Control and Prevention) menyatakan bahwa anak kecil mungkin terpapar secara manual yaitu melalui tangan ke mulut atau dapat pula oral langsung (mulut) saat kontak dengan bahan yang mengandung BPA (CDC, 2010).
) atau mg/kg bahan kemasan. Sementara migrasi spesifik merupakan proses perpindahan komponen-komponen dalam kemasan yang telah diketahui dapat membahayakan kesehatan manusia.
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengamati potensi migrasi BPA dari produk-produk PC ke dalam makanan dan minuman. Studi-studi ini telah secara konsisten menunjukkan bahwa potensi migrasi BPA ke dalam makanan dan minuman sangat kecil, rata-rata lebih rendah dari 5 ppb dalam kondisi ruang. Penelitian The Japanese National Institute of Health Sciences (Kawamura et al, 1998) melakukan studi sensitif terhadap botol-botol bayi. Karena senyawa yang digunakan dalam prosedur analitik adalah campuran 20%-etanol, 4%-asam asetat dan heptan, limit pendeteksian BPA ditetapkan 0,5 ppb. Uji dilakukan selama 30 menit pada temperatur 95o
Penelitian yang sama dilakukan oleh United Kingdom’s Department of Trade and Industry
(DTI) (Earls et al, 2000). Studi tersebut mengamati 21 botol bayi baru yang dibeli dari berbagai macam merk. Botol-botol tersebut dicuci dan disterilisasi, diisi dengan air mendidih atau 3% larutan asam asetat, kemudian dimasukkan ke dalam kulkas selama 24 jam pada temperatur 15
C dan dilanjutkan dengan 24 jam pada temperatur kamar. Hasil menunjukkan migrasi BPA lebih kecil dari 1 ppb dan tidak ada BPA yang terdeteksi pada limit deteksi 0,5 ppb. Pengecualian hanya terjadi pada botol baru yang belum dicuci. Jumlah BPA yang termigrasi 3,9 ppb. Setelah pencucian, migrasi BPA turun hingga limit deteksi.
o
6
botol-botol dihangatkan dan dianalisis menggunakan metode dengan limit deteksi 10 ppb dan tidak ada BPA yang terdeteksi pada 21 isi botol-botol tersebut. Dalam studi US FDA, air dari beberapa botol PC dianalisis dengan limit deteksi 0,05 ppb. Air tersebut disimpan selama 39 minggu. BPA hanya terdeteksi pada level yang sangat rendah, yaitu berkisar antara 0,1 sampai 4,7 ppb. Botol-botol tersebut dinyatakan aman karena migrasi BPA yang kecil. Jumlah BPA yang termigrasi mencapai 4,7 ppb dikarenakan waktu penyimpanan air-air tersebut sangat lama, yaitu 39 minggu. Dengan demikian, penggunaan botol plastik PC dalam jangka waktu yang tidak lama tidak berbahaya. NIHS Jepang juga telah melakukan studi evaluasi untuk beberapa mug dan mangkok. Sama seperti penelitian terhadap botol bayi, senyawa yang digunakan untuk menganalisis adalah air dan 20%-etanol dengan limit deteksi 0,5 ppb. Hasilnya adalah tidak ada BPA yang terdeteksi setelah 3 dari 5 produk dikontakkan dengan air selama 30 menit pada temperatur 95oC dan dengan 20%-etanol selama 30 menit pada temperatur 60o
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui migrasi senyawa kimia yang berasal dari plastik polikarbonat, yaitu senyawa Bisphenol A (BPA). Biedermann-Brem dan Grob (2009) mempelajari pengaruh suhu terhadap migrasi BPA dalam air ledeng, hasil penelitian menunjukan bahwa konsentrasi BPA dalam air ledeng pada suhu 50°C sebesar <0.0001 mg/l meningkat menjadi 0.0006 mg/l ketika air mendidih. Kemudian konsentrasi BPA dalam air pada pH 9.5 (50
C. Migrasi BPA terdeteksi pada dua produk lainnya, tapi tetap pada jumlah di bawah 5 ppb (Earls et al, 2000).
o
Penelitian lain dilakukan oleh Sung-Hyun Nam et al. (2010) yang menghitung kadar migrasi BPA dari botol bayi baru berbahan PC. Pada penelitiannya botol akan diisi dengan air bersuhu 40
C) sebesar <0.002 mg/l meningkat menjadi 0.033 mg/l ketika air mendidih. Menurut Biles et al. (1997), konsentrasi terbesar migrasi BPA dari kemasan polikarbonat dalam air deionisasi dan air ledeng adalah sebesar 1 mg/l pada suhu 65°C selama 10 hari. BPA akan sangat mudah bermigrasi apabila suhunya dinaikkan atau dipanaskan. Sementara botol susu dalam penggunaannya selalu bersentuhan panas baik untuk sterilisasi dengan cara direbus, dipanaskan dengan microwave, hingga dituangi air mendidih atau air panas. Pemanasan botol, kondisi makanan yang panas dalam botol, atau keberadaan makanan/minuman asam, serta pencucian yang berulang pada botol PC dapat meningkatkan lepasnya monomer BPA dari botol.
o C hingga 100oC dimana penggunaannya diulang hingga 100 kali penggunaan. Konsentrasi BPA diukur dengan menggunakan alat GC-MS yang dipadukan dengan Modus Pemantauan Ion. Konsentrasi migrasi BPA yang terukur pada air suhu 40°C dan 95°C masing-masing adalah 0,03 ppb dan 0,13 ppb. Kemudian masih menggunakan botol yang sama namun setelah digunakan selama 6 bulan menunjukan konsentrasi migrasi yang terukur pada suhu 40°C dan 95°C masing-masing adalah 0,18 ppb dan 18,47 ppb. Tingkat migrasi akan semakin meningkat ketika suhu air lebih dari 80o
Sun C.L juga melakukan penelitian mengenai migrasi BPA dalam botol susu bayi. Dalam penelitiannya digunakan simulan pangan berupa minyak dan etanol 10%. Inkubasi dilakukan pada suhu tinggi selama 8 jam, 72 jam, dan 240 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah migrasi BPA dalam minyak berkisar antara ND (not detected) hingga 0.37 mg/inch
C.
2
Penelitian Calafat (2008) menunjukan tingkatan BPA yang berbeda pada beberapa generasi, yaitu level rendah pada orang dewasa, level menengah pada remaja, dan level tinggi pada anak-anak. Jumlah paparan pada manusia sangat berbeda-beda tergantung kandungannya pada makanan yang dikonsumsinya. Dugaan terbesar terkait paparan BPA pada suatu populasi dicerminkan dalam berat , sedangkan jumlah migrasi BPA dalam etanol 10 % berkisar ND hingga 1.92 mg/inch2 (Sun CL, 2003). Kemudian, mendukung hasil penelitian Sun C.L, peneliti dari University of Cincinnati juga menemukan bahwa air mendidih menyebabkan pelepasan BPA lebih tinggi 55 kali daripada air dingin atau air temperatur normal.
7
badan bayi atau anak kecil melalui makanan yang kontak dengan botol bayi dari bahan PC. Berdasarkan pengkajian yang dilakukan Eropa terhadap kandungan BPA, sekitar 0,2 µg/kg berat badan ditemukan pada bayi yang masih disusui, 2,3 µg/kg berat badan pada bayi yang diberi susu formula dalam botol non-PC, sedangkan pada bayi yang diberi susu formula dalam botol PC ditemukan sebesar 11 µg/kg dan pada orang dewasa hanya 1,5 µg/kg berat badan. Pengujian terhadap paparan BPA dilakukan melalui populasi umum dengan mengukur kandungan BPA dalam urin.
2.2.
ASI (Air Susu Ibu)
ASI adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa, dan garam-garam anorganik yang disekresi oleh kelenjar mammae ibu, yang berguna bagi bayi. ASI merupakan cairan putih yang dihasilkan oleh kelenjar payudara ibu melalui proses menyusui. Menurut Yamina (2005), usia cukup bagi bayi manusia untuk mendapat makanan lain selain air susu ibu adalah setelah enam bulan karena usus bayi usia belum siap mencerna makanan selain air susu ibu. Pemberian ASI eksklusif adalah pemberian ASI murni tanpa tambahan lain seperti cairan air putih, teh, madu, buah-buahan, maupun makanan tambahan seperti bubur susu. Menurut hasil penelitian, pemberian ASI eksklusif sampai usia bayi enam bulan membuat bayi mendapat nutrisi terbaiknya sehingga dapat meningkatkan daya tahan tubuh dan kecerdasan bayi, serta dapat meningkatkan jalinan kasih (bonding) antara ibu dan bayi. ASI kaya akan sari makanan yang mempercepat proses pertumbuhan sel-sel otak dan perkembangan sistem syaraf. Penelitian menunjukkan bahwa bayi yang diberi ASI akan terhindar dari penyakit karena ASI mengandung zat-zat kekebalan tubuh. Meskipun kaya zat gizi, ASI sangat mudah dicerna oleh sistem pencernaan bayi yang masih rentan (Khamzah, 2012).
ASI merupakan makanan yang telah dirancang khusus untuk bayi. Bagaimanapun kondisi bayi ketika lahir, maka kandungan gizi ASI ibunya akan disesuaikan dengan kebutuhan bayi tersebut. Pada bayi yang lahir secara prematur, ASI ibunya akan mengandung lebih banyak lemak, protein, natrium, klorida, dan zat besi. Menurut hasil penelitian, bayi yang diberi ASI memiliki kemungkinan lebih kecil mengidap penyakit jantung karena ASI mengandung protein adinopectin yang tinggi. Kadar
adinopectin yang tinggi dalam darah dapat menurunkan resiko serangan jantung (Khamzah, 2012). ASI yang diproduksi ibu setelah persalinan, mengandung kolostrum. Kolostrum berbentuk cairan berwarna bening hingga jingga yang lengket dan kental. Kolostrum hanya keluar selama beberapa hari setelah persalinan. Hingga hari kelima setelah persalinan, kolostrum masih aman disimpan selama 12-24 jam setiap kali perah dalam suhu ruang kurang dari 25o
ASI perah adalah ASI yang diambil dengan cara diperas dari payudara untuk kemudian disimpan dan nantinya diberikan pada bayi. Menurut Roesli (2005), sampai waktu tertentu dan dengan penyimpanan yang benar, ASI tidak akan basi. ASI tahan disimpan dalam suhu ruang sampai enam jam. Jika disimpan di termos yang diberi es batu, bisa tahan hingga 24 jam. Bahkan, kalau disimpan di kulkas ketahanannya meningkat hingga dua minggu dengan suhu kulkas yang bervariasi. Jika disimpan di frezeer yang tidak terpisah dari kulkas, dan sering dibuka, ASI tahan 3-4 bulan. Sedangkan pada frezeer dengan pintu terpisah dari kulkas dan suhu bisa dijaga dengan konstan, maka ketahanan ASI dapat mencapai enam bulan.
C. Setelah lewat masa produksi kolostrum, ASI matang yang akan diproduksi. Kolostrum mengandung 15% protein yang terdiri dari laktalbumin, laktaglobulin, dan kasein yang semuanya bermanfaat untuk membantu percernaan bayi. Kolostrum juga mengandung berbagai zat antibodi yang memberikan kekebalan terhadap berbagai penyakit (Fazriyati, 2010).
Dalam menyimpan ASI perah, faktor perubahan suhu maupun tempat penyimpanan perlu diperhatikan. Hal ini menentukan batas waktu ASI yang masih layak dikonsumsi oleh bayi. Fazriyati
8
(2010) menjelaskan bahwa ASI beku yang sudah disimpan dalam jangka waktu tertentu di dalam
freezer sebaiknya dicairkan terlebih dahulu sebelum dikonsumsi. Batas maksimal penyimpanan ASI beku dalam suhu ruangan adalah empat jam. ASI beku yang sudah dicairkan sebaiknya langsung diminum. Jika terdapat sisa ASI yang tidak habis dikonsumsi selama empat jam, jangan masukan kembali ASI tersebut ke dalam tempat penyimpanan karena nutrisi yang terkandung didalamnya telah rusak. Semakin lama disimpan di dalam suhu dingin, zat antibodi di dalam ASI akan mengalami kerusakan. ASI juga tidak bersifat homogen, sehingga apabila disimpan, ASI akan mengalami proses pemisahan dimana lemak yang terkandung dalam ASI akan naik ke atas dan membentuk lapisan krim. Oleh karena itu, sebaiknya ASI dikonsumsi sesuai dengan hari dan tanggal yang paling lama disimpan terlebih dahulu.
2.3.
Purposive
Sampling
Sampel merupakan bagian dari pengamatan.
Terdapat dua cara pengambilan sampel, yaitu pengambilan sampel secarrandom) dan tidak
acak (non-random). Pengambilan sampel secara acak (random sampling) artinya setiap anggota dari populasi memiliki pengambilan sampel secara tidak acak merupakan cara pengambilan sampel dimana masing-masing anggota tidak memiliki peluang yang sama untuk terpilih sebagai anggota sampel akibat adanya kriteria tertentu yang harus disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan penelitian (Neuman, 2006).
Neuman (2006) menjelaskan bahwa pengambilan sampel secara tidak acak (non-random
sampling) terbagi menjadi empat, antara lain pengambilan sesaat (accidental/haphazard sampling), pengambilan menurut jumlah (quota sampling), pengambilan menurut tujuan (purposive sampling)
dan pengambilan beruntun (snow-ball sampling). Pengambilan sampel sesaat merupakan
pengambilan sampel yang dilakukan denga Kelebihan dari pengambilan sesaat ini adalah kepraktisan dalam pemillihan anggota sampel sedangkan kekurangannya adalah belum tentu responden memiliki karakteristik yang dicari oleh peneliti. Pengambilan sampel menurut jumlah (quota sampling) merupakan pengambilan anggota sampel berdasarka jumlah ini adalah praktis karena jumlah sudah ditentukan dari awal sedangkan, kekurangannya adalah
purposive
sampling) merupakan pemilihan anggota sampel yang didasarkan atas tujuan da tertentu dari peneliti. Kelebihan dari pengambilan menurut tujuan ini adalah tujuan dari peneliti dapat terpenuhi sedangkan kekurangannya adalah belum tentu mewakili keseluruhan variasi yang ada. Pengambilan sampel beruntun (snow-ball sampling) merupakan teknik pengambilan sampel yang dilakukan dengan sistem kemudian responden tersebut akan menunjukkan responden lain dan responden lain akan menunjukkan responden berikutnya. Hal ini dilakukan secara terus-menerus sampai dengan terpenuhinya jumlah anggota sampel yang diingini oleh peneliti. Kelebihan dari pengambilan sampel beruntun ini adalah bisa mendapatkan responden yang kekurangannya adalah memakan waktu yang cukup lama dan belum tentu mewakili keseluruhan variasi yang ada.
Purposive sampling merupakan pemilihan anggota sampel yang kriterianya didasarkan atas tujuan da memenuhi tujuan peneliti, dan keuntungan lain dari sisi ekonomi, yaitu tidak perlunya mengeluarkan
9
biaya yang besar untuk melakukan pengamatan terhadap seluruh populasi jika dengan mengamati sebagian kecil populasi saja telah diperoleh informasi yang mewakili. Gulo (2002) menyatakan bahwa
purposive sampling merupakan metode pengambilan sampel non probability dengan mempertimbangkan kriteria-kriteria tertentu sesuai dengan tujuan penelitian. Penarikan sampel dengan non probability pada umumnya dilakukan untuk suatu penelitian yang populasinya tidak diketahui. Menurut Sugiyono (2010), purposive sampling adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu dimana sampel dipilih dengan cermat hingga relevan dengan desain penelitian sehingga dianggap cukup representatif. Sampel yang dipilih adalah individu yang menurut pertimbangan peneliti dapat didekati dan memenuhi kriteria.
III.
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat
Kajian awal paparan Bisphenol A dari botol susu polikarbonatdalam ASI dan air untuk bayi ini dilakukan mulai dari bulan Maret 2012 sampai Oktober 2012 di RSIA/RSAB, Rumah Sakit, Klinik dan Puskesmas di wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, dan Bogor. Keenam wilayah ini dipilih karena termasuk kota-kota besar di Indonesia.
3.2. Metode Penelitian
Tahapan penelitian terdiri dari tiga tahapan. Kegiatan tersebut, antara lain pengumpulan data, pengolahan data dan estimasi nilai paparan. Masing-masing tahap dijelaskan sebagai berikut:
3.2.1. Pengumpulan Data
Data utama yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data konsumsi pangan yang diperoleh dengan melakukan survei berupa wawancara langsung terhadap responden. Metode wawancara yang dilakukan menggunakan kuisioner yang berfungsi sebagai pedoman dalam pengumpulan informasi dari responden. Kuisioner yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 1. Kuisioner digunakan untuk membantu mengarahkan responden agar informasi tidak melenceng dari yang diharapkan. Responden tidak diperkenankan mengisi kuisioner untuk menjaga keabsahan informasi yang diperoleh. Pencarian responden dilakukan dengan metode purposive sampling dimana karakterisasi responden telah ditetapkan sebelumnya denga dapat terpenuhi. Responden dalam kegiatan ini adalah ibu yang memiliki anak antara 0-3 tahun yang menggunakan botol susu polikarbonat sebagai wadah ASI dan air putih. Kegiatan survei ini dilakukan di wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, dan Bogor. Survei ini dilakukan di beberapa titik di setiap lokasi, antara lain RSIA/RSAB, Rumah Sakit, Puskesmas, dan klinik. Penentuan titik pengambilan sampel ini berdasarkan pendugaan bahwa pengguna botol polikarbonat lebih banyak berkumpul di titik-titik tersebut. Selain data konsumsi pangan, informasi terkait mengenai perlakuan pada botol polikarbonat juga dibutuhkan dalam perhitungan nilai paparan bisphenol-A.
3.2.2. Pengolahan Data
Informasi yang diperoleh dari hasil wawancara terhadap responden kemudian diolah menjadi data. Pengolahan data-data yang ada dalam kuisioner akan dilakukan dengan pengelompokan berdasarkan tingkat pendidikan responden, pekerjaan responden, cara sterilisasi botol, brand botol, tempat penyimpanan botol, cara penyiapan ASI, jenis kelamin anak, usia anak, berat badan anak, frekuensi dan lama minum anak, serta volume botol. Data-data ini kemudian digunakan untuk mengkaji besarnya paparan bisphenol-A pada air dan ASI yang dikemas dengan botol susu polikarbonat. Pengelompokan data bertujuan untuk memberi gambaran seberapa besar sebaran penggunaan botol susu polikarbonat dalam penyimpanan ASI dan air. Data ini digunakan sebagai dasar untuk mengestimasi paparan bisphenol-A dari polikarbonat terhadap ASI dan air. Pengolahan data dilakukan secara deskriptif dan dengan perhitungan statistika untuk mengetahui hubungan antara variabel yang ada.
11
3.2.3. Estimasi Nilai Paparan
Dalam pengolahan data juga dilakukan penghitungan konsumsi pangan harian yang digunakan sebagai dasar estimasi nilai paparan BPA. Estimasi nilai paparan BPA adalah perkiraan seberapa besar senyawa BPA yang masuk ke dalam tubuh akibat mengkonsumsi pangan dari botol susu polikarbonat yang mengandung BPA. Estimasi nilai paparan ini dihitung untuk memberikan informasi seberapa besar paparan bisphenol-A dari botol polikarbonat. Kajian paparan zat kimia toksik seperti bisphenol-A harus menggunakan asumsi-asumsi yang menghasilkan nilai estimasi paparan yang lebih tinggi dari sebenarnya atau merupakan kasus terburuk bagi kesehatan sehingga penghitungan estimasi nilai paparan ini menggunakan asumsi bahwa telah terjadi migrasi bisphenol-A 100%. Kadar zat yang digunakan dalam estimasi nilai paparan ini menggunakan literatur dari beberapa penelitian terdahulu. Nilai paparan bisphenol-A diperoleh dari hasil estimasi yaitu jumlah dari kadar residu bisphenol-A yang bermigrasi dikalikan konsumsi pangan per hari kemudian dibagi berat badan anak. Hasil estimasi nilai paparan dalam penelitian ini kemudian dievaluasi terhadap nilai TDI (Tolerable Daily Intake) sehingga diperoleh gambaran konsumsi bisphenol-A dalam pangan melebihi nilai batas yang ditoleransi atau tidak. Persamaan umum untuk kajian paparan dapat dilihat berikut ini:
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Survei Konsumsi Pangan
Hal yang diharapkan dari survei konsumsi pangan ini adalah data konsumsi pangan yang digunakan untuk menghitung estimasi besarnya paparan bisphenol-A (BPA) pada air dan ASI dalam botol susu polikarbonat yang menjadi tujuan utama dari penelitian ini. Survei konsumsi pangan ini juga memberi gambaran informasi sebaran responden yang menggunakan botol polikarbonat untuk menyimpan ASI dan air untuk bayi. Rekapan hasil survei untuk responden yang menyimpan ASI dan air dalam botol polikarbonat dapat dilihat pada Lampiran 2 dan 3. Informasi mengenai pengguna atau pengkonsumsi ASI dan air dalam botol susu polikarbonat dikelompokan berdasarkan tingkat pendidikan responden, pekerjaan responden, cara sterilisasi botol, brand botol, tempat penyimpanan botol, cara penyiapan ASI, jenis kelamin anak, usia anak, berat badan anak, frekuensi dan lama minum anak, serta volume botol yang digunakan. Pengelompokan ini dilakukan untuk mempermudah melihat sebaran pengguna botol susu polikarbonat. Informasi ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam upaya antisipasi terjadinya migrasi BPA yang melebihi batas konsumsi tubuh anak.
4.1.1. Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan
Hasil survei di wilayah Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan Bogor menunjukkan bahwa 91 responden menyimpan air di dalam botol susu polikarbonat. Dari 91 responden tersebut didapat beragam tingkat pendidikan, sehingga perlu dilakukan pengelompokan untuk memudahkan analisa tingkat pendidikan responden terhadap penggunaan botol susu polikarbonat. Dari hasil survei tersebut, didapat jumlah responden dengan tingkat pendidikan SD sebanyak satu orang, SMP sebanyak lima orang, SLTA sebanyak 28 orang, S0 (D1 dan D3) sebanyak 25 orang, S1 sebanyak 29 orang, dan S2 sebanyak tiga orang. Selanjutnya, di wilayah yang sama dilakukan juga survei terhadap responden yang menyimpan ASI di dalam botol susu polikarbonat. Survei tersebut menghasilkan 72 responden dengan tingkat pendidikan SLTA, S0, S1, dan S2. Responden yang menyimpan ASI dalam botol susu polikarbonat dengan tingkat pendidikan SLTA sebanyak 19 orang, S0 sebanyak 13 orang, S1 sebanyak 36 orang, dan S2 sebanyak empat orang. Data sebaran tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Tingkat pendidikan responden
Pendidikan Responden Pengguna botol PC untuk menyimpan air (orang) Persentase pengguna botol PC untuk menyimpan air (%) Pengguna botol PC untuk menyimpan ASI (orang) Persentase pengguna botol PC untuk menyimpan ASI (%) SD 1 1 0 0 SMP 5 6 0 0 SLTA 28 31 19 26 S0 25 27 13 18 S1 29 32 36 50 S2 3 3 4 6 Total 91 100 72 100
13
Dari data tersebut, dapat diketahui sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikannya. Persentase tingkat pendidikan responden yang menyimpan air antara lain, responden dengan tingkat pendidikan SD sebesar 1%, SMP sebesar 6% SLTA sebesar 31%, S0 sebesar 27%, S1 sebesar 32% dan S2 sebesar 3%. Persentase tersebut memberi gambaran bahwa responden yang paling banyak menyimpan air di dalam botol susu polikarbonat adalah responden dengan tingkat pendidikan S1. Pada survei terhadap responden yang menyimpan ASI dalam botol susu polikarbonat, didapat persentase tingkat pendidikan responden antara lain, responden dengan tingkat pendidikan SLTA sebesar 26%, S0 sebesar 18%, S1 sebesar 50% dan S2 sebesar 6%. Persentase tersebut memberi gambaran bahwa responden yang paling banyak menyimpan ASI di dalam botol susu polikarbonat adalah responden dengan tingkat pendidikan S1, selanjutnya adalah responden dengan tingkat pendidikan SLTA dan S0. Sebaran tingkat pendidikan responden yang menyimpan air dan ASI dalam botol susu polikarbonat dapat dilihat pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1. Sebaran tingkat pendidikan responden yang menyimpan air dan ASI dalam botol susu polikarbonat
Secara keseluruhan, dari responden yang disurvei di wilayah Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan Bogor menunjukkan bahwa yang paling banyak menggunakan botol susu polikarbonat untuk menyimpan air dan ASI adalah responden dengan tingkat pendidikan S1. Persentase sebesar 32% untuk responden S1 yang menyimpan air putih dalam botol susu polikarbonat dan sebesar 50% untuk responden yang menyimpan ASI dalam botol susu polikarbonat. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang tinggi tidak memberi jaminan untuk bebas dari resiko paparan zat berbahaya BPA yang terkandung dalam polikarbonat. Tingkat pendidikan yang tinggi seharusnya mempengaruhi pemahaman terkait penggunaan polikarbonat. Akan tetapi ketidakpedulian masyarakat terhadap isu BPA yang terkandung dalam botol dan juga terjangkaunya harga botol susu polikarbonat menyebabkan penggunaan botol susu polikarbonat masih sangat umum. Untuk itu diperlukan penyuluhan terhadap semua kalangan, baik kalangan berpendidikan maupun masyarakat luas mengenai bahaya paparan BPA yang terkandung dalam botol susu polikarbonat.
4.1.2. Sebaran responden berdasarkan pekerjaan
Berdasarkan hasil survei, terdapat beragam jenis pekerjaan pengguna botol PC, antara lain ibu rumah tangga, karyawan, guru, perawat, dosen, pegawai bank, dan pedagang sehingga perlu dilakukan pengelompokan untuk memudahkan analisa jenis pekerjaan responden terhadap penggunaan botol
14
susu polikarbonat. Jenis pekerjaan responden kemudian dikelompok menjadi empat kelompok, yaitu ibu rumah tangga, karyawan swasta, PNS dan wiraswasta. Dari hasil survei terhadap 91 responden yang menyimpan air dalam botol susu polikarbonat, didapat jumlah responden dengan jenis pekerjaan ibu rumah tangga sebanyak 49 orang, karyawan swasta sebanyak 18 orang, PNS sebanyak 16 orang dan wiraswasta sebanyak delapan orang. Survei juga dilakukan terhadap responden yang menyimpan ASI di dalam botol susu polikarbonat. 72 responden tersebut juga dikelompokkan menjadi empat kelompok pekerjaan, yaitu ibu rumah tangga, karyawan swasta, PNS dan wiraswasta. Dari hasil survei didapat jumlah responden ibu rumah tangga yang menyimpan ASI dalam botol susu polikarbonat sebanyak 20 orang, karyawan swasta sebanyak 25 orang, PNS sebanyak 16 orang, dan wiraswasta sebanyak 11 orang. Data sebaran jenis pekerjaan responden dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Jenis pekerjaan responden
Dari data tersebut, dapat diketahui persentase jenis pekerjaan responden yang menyimpan air dalam botol susu polikarbonat antara lain, responden ibu rumah tangga sebesar 54%, karyawan swasta sebesar 20%, PNS sebesar 17% dan wiraswasta sebesar 9%. Persentase tersebut memberi gambaran bahwa responden yang paling banyak menyimpan air putih di dalam botol susu polikarbonat adalah responden ibu rumah tangga, selanjutnya adalah responden yang bekerja sebagai karyawan swasta dan PNS. Pada survei terhadap responden pengguna ASI dalam botol susu polikarbonat, didapat persentase jenis pekerjaan responden antara lain, responden ibu rumah tangga sebesar 28%, karyawan swasta sebesar 35%, PNS sebesar 22% dan wiraswasta sebesar 15%. Persentase tersebut memberi gambaran bahwa responden yang paling banyak menyimpan ASI di dalam botol susu polikarbonat adalah karyawan swasta, selanjutnya ibu rumah tangga dan PNS. Sebaran jenis pekerjaan responden yang menyimpan air dan ASI dalam botol susu polikarbonat dapat dilihat pada Gambar 4.2.
Gambar 4.2. Sebaran jenis pekerjaan responden yang menyimpan air dan ASI dalam botol susu polikarbonat Pekerjaan Responden Pengguna botol PC untuk menyimpan air (orang) Persentase pengguna botol PC untuk menyimpan air (%) Pengguna botol PC untuk menyimpan ASI (orang) Persentase pengguna botol PC untuk menyimpan ASI (%) Ibu Rumah Tangga 49 54 20 28 Swasta 18 20 25 35 PNS 16 17 16 22 Wiraswasta 8 9 11 15 Total 91 100 72 100
15
Secara keseluruhan, dari responden yang disurvei di wilayah Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan Bogor menunjukkan bahwa yang paling banyak menggunakan botol susu polikarbonat untuk menyimpan air adalah ibu rumah tangga sebesar 54%, dan 46% sisanya adalah ibu pekerja yang 20%-nya merupakan karyawan swasta, sedangkan yang paling banyak menggunakan botol susu polikarbonat untuk menyimpan ASI adalah ibu pekerja sebesar 72% dimana 35 %-nya merupakan karyawan swasta, selanjutnya adalah ibu rumah tangga sebesar 28%. Hal ini menunjukkan bahwa responden yang bekerja di luar rumah maupun yang tidak bekerja di luar rumah memiliki kemungkinan yang sama untuk terkontaminasi paparan zat berbahaya BPA yang terkandung dalam polikarbonat. Kekurangtahuan masyarakat mengenai bahaya BPA dan penjualan botol susu polikarbonat yang menyebar di Indonesia menyebabkan penggunaan botol susu polikarbonat dianggap hal yang biasa. Dari sisi ekonomi, harga botol susu polikarbonat yang murah dan dapat dijangkau oleh semua kalangan masyarakat juga menyebabkan konsumsi terhadap botol susu jenis ini lebih diminati oleh masyarakat kecil sampai masyarakat dengan tingkat penghasilan menengah keatas. Untuk itu penyuluhan mengenai bahaya paparan BPA yang terkandung dalam botol susu polikarbonat perlu dilakukan secara menyeluruh, baik di kantor-kantor maupun di perumahan masyarakat untuk menghindarkan masyarakat dari penggunaan botol susu polikarbonat.
4.1.3. Sebaran branded botol susu polikarbonat
Brand atau merk dagang merupakan hal yang sangat penting dalam penjualan suatu produk. Merk dagang adalah suatu identitas perusahaan yang dibuat untuk membedakan produknya dengan produk pesaing. Pencitraan dari perusahaan pembuat produk akan mempengaruhi pamor produk tersebut. Semakin baik citra perusahaan atau semakin terkenal nama perusahaan, maka merk dagang yang digunakan oleh perusahaan tersebut juga akan lebih dipercaya oleh konsumen. Kepercayaan konsumen terhadap merk dagang suatu produk akan mempengaruhi keinginan konsumen dalam mengkonsumsi produk tersebut. Oleh karena itu, merk dagang sangat mempengaruhi tingkat penjualan produk. Pada penelitian ini akan dilihat sebaran merk dagang botol susu polikarbonat yang biasa dikonsumsi oleh responden. Untuk mempermudah analisa, merk dagang botol susu akan dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu botol susu dengan merk A, merk B dan merk C.
Berdasarkan hasil survei, dari 91 responden yang menggunakan botol untuk menyimpan air, didapat jumlah botol susu polikarbonat yang digunakan dengan merk dagang A sebanyak 70 botol, merk dagang B sebanyak 17 botol, dan merk dagang C sebanyak empat botol. Survei juga dilakukan terhadap 72 responden yang menyimpan ASI di dalam botol susu polikarbonat. Dari hasil survei didapat jumlah botol susu polikarbonat dengan merk dagang A yang digunakan untuk menyimpan ASI sebanyak 50 botol, merk dagang B sebanyak 20 botol, dan merk dagang C sebanyak dua botol. Data sebaran merk botol susu polikarbonat yang digunakan oleh responden dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3. Merk botol susu polikarbonat Merk
Botol
Jumlah botol PC yang digunakan untuk menyimpan air (buah)
Persentase botol PC yang digunakan untuk menyimpan air
(%) Jumlah botol PC yang digunakan untuk menyimpan ASI (buah) Persentase botol PC yang digunakan untuk menyimpan ASI (%) A 70 77 50 69 B 17 19 20 28 C 4 4 2 3 Total 91 100 72 100
16
Dari data tersebut, persentase botol susu polikarbonat yang banyak digunakan responden untuk menyimpan air adalah botol susu dengan merk dagang A sebesar 77%, merk dagang B sebesar 19%, dan merk dagang C sebesar 4%. Sedangkan persentase botol susu polikarbonat yang digunakan untuk menyimpan ASI antara lain, botol susu dengan merk dagang A sebesar 69%, merk dagang B sebesar 28% dan merk dagang C sebesar 3%. Persentase tersebut memberi gambaran bahwa botol susu polikarbonat yang paling banyak digunakan responden adalah botol susu dengan merk dagang A. Sebaran merk botol susu polikarbonat yang digunakan responden untuk menyimpan air dan ASI dapat dilihat pada Gambar 4.3.
Gambar 4.3. Sebaran merk botol susu polikarbonat yang digunakan untuk menyimpan air dan ASI Secara keseluruhan, dari responden yang disurvei di wilayah Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan Bogor menunjukkan bahwa botol susu polikarbonat yang paling banyak digunakan, baik untuk menyimpan air, maupun untuk menyimpan ASI adalah botol susu polikarbonat dengan merk dagang A sebesar 77% dan 69%. Hal ini menunjukkan bahwa merk dagang A merupakan botol susu polikarbonat dengan tingkat kepercayaan konsumen yang cukup baik. Selain tingkat kepercayaan masyarakat yang baik terhadap merk dagang ini, harga yang ditawarkan juga terjangkau, sehingga mayoritas masyarakat menggunakan botol susu polikarbonat dengan merk dagang A. Selanjutnya dilakukan perhitungan persentase sebaran tingkat pendidikan dan pekerjaan responden terhadap pemilihan brand botol. Persentase tingkat pendidikan dan pekerjaan
responden yang menyimpan air dan ASI dalam botol terhadap pemilihan brand botol susu
polikarbonat dapat dilihat pada Tabel 4.4.
Brand botol A paling banyak digunakan untuk menyimpan air. Responden yang memilih brand
A untuk menyimpan air memiliki beragam tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan. Mulai dari tingkat pendidikan SD sampai tingkat pendidikan S2. Namun mayoritas responden yang menggunakan brand
A, jika dilihat dari tingkat pendidikannya adalah tingkat pendidikan S1. Jika dilihat dari jenis pekerjaannya, mayoritas responden yang menggunakan brand A adalah responden dengan pekerjaan
sebagai ibu rumah tangga. Brand botol A paling banyak digunakan untuk menyimpan ASI.
Responden yang memilih brand A untuk menyimpan ASI, memiliki tingkat pendidikan yang
beragam, mulai dari tingkat pendidikan SLTA sampai tingkat pendidikan S2. Namun mayoritas responden yang menggunakan brand A, jika dilihat dari tingkat pendidikannya adalah tingkat pendidikan S1. Jika dilihat dari jenis pekerjaannya, mayoritas responden yang menggunakan brand A adalah responden karyawan swasta. Dari Tabel dapat diketahui bahwa responden penyimpan air dalam botol susu polikarbonat yang memilih brand A adalah responden dengan tingkat pendidikan S1 sebesar 33% dan pekerjaan ibu rumah tangga sebesar 53%. Untuk responden penyimpan ASI dalam
17
botol susu polikarbonat yang memilih brand A adalah responden dengan tingkat pendidikan S1 sebesar 50% dan karyawan swasta sebesar 40%.
Tabel 4.4. Tingkat pendidikan dan pekerjaan responden yang menyimpan air dan ASI dalam botol terhadap pemilihan brand botol susu polikarbonat
Merk Botol PC untuk Air
Total
Merk Botol PC untuk ASI
Total A B C A B C (n) (%) (n) (%) (n) (%) (n) (%) (n) (%) (n) (%) Pendidikan S2 3 4 3 4 8 4 S1 23 33 5 29 1 25 29 25 50 10 50 1 50 36 S0 20 29 4 24 1 25 25 8 16 5 25 13 SLTA 20 29 6 35 2 50 28 13 26 5 25 1 50 19 SMP 3 4 2 12 5 SD 1 1 1 Total 70 100 17 100 4 100 91 50 100 20 100 2 100 72 Pekerjaan Ibu RT 37 53 10 58 2 50 49 14 28 5 25 1 50 20 Swasta 15 21 3 18 18 20 40 5 25 25 PNS 13 19 1 6 2 50 16 10 20 5 25 1 50 16 Wiraswasta 5 7 3 18 8 6 12 5 25 11 Total 70 100 17 100 4 100 91 50 100 20 100 2 100 72
4.1.4. Sebaran responden berdasarkan cara sterilisasi botol susu
Sterilisasi botol susu dilakukan untuk menghindari kontaminasi bakteri dari pangan yang tersisa didalam botol. Biasanya sterilisasi ini dilakukan dengan pemanasan pada suhu tertentu untuk mematikan bakteri yang ada. Ada banyak cara untuk mensterilisasi botol susu antara lain, dengan mencuci botol susu menggunakan sabun, merebus botol susu, merendam botol susu dalam air panas,
atau menggunakan uap panas dari mesin seperti steamer. Suhu dan lama waktu sterilisasi
mempengaruhi terjadinya pengikisan lapisan plastik polikarbonat pada botol susu. Hal ini harus diperhatikan mengingat kikisan tersebut dapat terlarut dalam air dan ASI. Biedermann-Brem dan Grob (2009) mempelajari pengaruh suhu terhadap migrasi BPA dalam air ledeng, hasil penelitian menunjukan bahwa konsentrasi BPA dalam air ledeng pada suhu 50°C sebesar <0.0001 mg/l meningkat menjadi 0.0006 mg/l ketika air mendidih. Kemudian konsentrasi BPA dalam air pada pH 9.5 (50o
Untuk mempermudah analisis, cara sterilisasi botol susu polikarbonat kemudian dikelompokkan menjadi tiga cara, yaitu dengan cara merebus botol dalam air dengan suhu 100 ºC, merendam botol ke dalam air panas dengan suhu sekitar 70ºC, dan sterilisasi dengan menggunakan
steamer. Dari hasil survei terhadap 91 responden yang menggunakan botol susu polikarbonat untuk C) sebesar <0.002 mg/l meningkat menjadi 0.033 mg/l ketika air mendidih. Menurut Biles et al. (1997), konsentrasi terbesar migrasi BPA dari kemasan polikarbonat dalam air deionisasi dan air ledeng adalah sebesar 1 mg/l pada suhu 65°C selama 10 hari. BPA akan sangat mudah bermigrasi apabila suhunya dinaikkan atau dipanaskan. Sementara botol susu dalam penggunaannya selalu bersentuhan panas baik untuk sterilisasi dengan cara direbus, dipanaskan dengan microwave, hingga dituangi air mendidih atau air panas. Pemanasan botol, kondisi makanan yang panas dalam botol, atau keberadaan makanan atau minuman asam, serta pencucian yang berulang pada botol polikarbonat dapat meningkatkan lepasnya monomer BPA dari botol.
18
menyimpan air, didapat sebanyak 75 orang responden yang mensterilisasi botol susu polikarbonat dengan cara direbus, sebanyak 12 orang dengan cara merendam botol dalam air panas dengan suhu sekitar 70ºC, dan empat orang sisanya menggunakan steamer. Selanjutnya, dari 75 responden yang menggunakan botol susu polikarbonat untuk menyimpan ASI, didapat sebanyak 52 orang responden yang mensterilisasi botol susu polikarbonat dengan cara direbus, sebanyak 14 orang dengan cara merendam botol dalam air panas dengan suhu sekitar 70ºC, dan enam orang menggunakan steamer. Data cara sterilisasi botol susu polikarbonat dapat dilihat pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5. Cara sterilisasi botol susu polikarbonat
Dari data tersebut didapat persentase sebaran responden berdasarkan cara sterilisasi botol susu polikarbonat. Botol susu polikarbonat yang digunakan untuk menyimpan air, sebesar 83% disterilisasi dengan cara direbus, sebesar 13% disterilisasi dengan cara direndam dalam air panas, dan sebesar 4% disterilisasi dengan menggunakan steamer. Botol susu polikarbonat yang digunakan untuk menyimpan ASI, sebesar 72% disterilisasi dengan cara direbus, sebesar 20% disterilisasi dengan cara direndam dalam air panas, dan sebesar 8% disterilisasi dengan menggunakan steamer. Dari sebaran tersebut dapat dilihat bahwa sebagian besar responden mensterilisasi botol susu polikarbonat dengan cara merebusnya. Secara keseluruhan, dari responden yang disurvei di wilayah Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan Bogor menunjukkan bahwa cara sterilisasi botol susu polikarbonat yang paling banyak dilakukan adalah direbus. Persentase sebesar 83% untuk botol yang digunakan untuk menyimpan air dan sebesar 72% untuk botol yang digunakan untuk menyimpan ASI. Cara sterilisasi botol dengan merebusnya merupakan cara yang umum dilakukan untuk menghilangkan bakteri dari pangan yang tersisa didalam botol. Perlakuan ini sebenarnya cara paling baik karena bakteri pembawa penyakit dapat mati jika dipanaskan pada suhu 100ºC. Akan tetapi, yang perlu dihindari bukan bakteri saja. Bahaya paparan BPA dalam botol susu polikarbonat juga harus dihindari. Cara sterilisasi dengan merebus botol pada suhu 100ºC dapat menyebabkan terlepasnya BPA dari botol.Sebaran cara sterilisasi botol susu polikarbonat yang digunakan untuk menyimpan air dan ASI dapat dilihat pada Gambar 4.4.
Berdasarkan perilaku responden secara spesifik, sterilisasi botol susu polikarbonat dengan cara direbus kemudian dibedakan lagi menjadi dua, yaitu botol direbus selama 5-10 menit setelah air mendidih dan botol dimasak bersama air sampai air mendidih. Sterilisasi botol dengan cara direndam air panas juga dispesifikasi lagi menjadi dua, yaitu perendaman botol dalam air panas dan pengocokan botol dengan air panas. Data sterilisasi botol susu polikarbonat berdasarkan perilaku responden dapat dilihat pada Tabel 4.6.
Cara Sterilisasi Botol Jumlah botol PC untuk menyimpan air (buah) Persentase botol PC untuk menyimpan air (%) Jumlah botol PC untuk menyimpan ASI (buah) Persentase botol PC untuk menyimpan air (%) Direbus 75 83 52 72
Direndam air panas 12 13 14 20
Steamer 4 4 6 8
19
Gambar 4.4. Sebaran cara sterilisasi botol susu polikarbonat yang digunakan untuk menyimpan air dan ASI
Tabel 4.6. Sterilisasi botol secara spesifik Cara
Sterilisasi Botol
Suhu Keterangan Cara
Botol PC untuk air (buah) Persentase botol PC untuk air (%) Botol PC untuk ASI (buah) Persentase botol PC untuk ASI (%) Direbus 100 Botol direbus selama 5 – 10 menit setelah air mendidih
42 56 29 56
Botol sekaligus dimasak hingga air mendidih 33 44 23 44 Total 75 100 52 100 Direndam air panas 70 Air mendidih, kompor dimatikan, lalu botol direndam
9 75 10 72
Botol dikocok
dengan air panas 3 25 4 28
Total 12 100 14 100
Steamer 100 Menggunakan
steamer 4 6
Total responden 91 72
Pada botol susu polikarbonat yang digunakan untuk menyimpan air, dari 75 responden yang melakukan sterilisasi botol dengan cara perebusan, 56% responden atau sebanyak 42 pengguna botol merebus botol selama 5-10 menit setelah air mendidih dan 44% responden atau sebanyak 33 pengguna botol merebus botol bersamaan dengan air sampai air mendidih. Pada botol susu polikarbonat yang digunakan untuk menyimpan ASI, dari 52 responden yang melakukan sterilisasi botol dengan cara perebusan, 56% responden atau sebanyak 29 pengguna botol merebus botol selama 5-10 menit setelah air mendidih dan 44% responden atau sebanyak 23 pengguna botol merebus botol bersamaan dengan air sampai air mendidih. Perilaku merebus air bersamaan dengan botol sampai air mendidih ini merupakan perilaku yang sangat ekstrim karena botol akan mengalami kontak dengan air panas lebih lama mulai dari air dimasak sampai air tersebut mendidih. Dibandingkan dengan perilaku merebus botol selama 5-10 menit setelah air mendidih, akumulasi panas yang diterima oleh botol yang