• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Saat ini pembangunan bukan hanya ditujukan dalam wujud pembangunan fisik berupa sarana dan prasarana infrastruktur, tetapi dalam cakupan yang lebih luas seperti yang pertama kali dikemukakan oleh Cicero yaitu mewujudkan masyarakat madani (civil society). Karakteristik masyarakat madani adalah masyarakat yang sehat, demokratis, toleran, menjunjung tinggi supremasi hukum dan mempunyai wawasan serta pengetahuan yang luas.

Paradigma pembangunan telah mengalami perubahan karena tidak lagi menempatkan manusia sebagai objek atau sasaran pembangunan, tetapi dilibatkan dalam proses pembangunan sebagai subjek yang ikut mengambil keputusan yang dalam terminologi pembangunan hal tersebut dikenal sebagai people centered development. Perubahan ini sangat penting untuk meningkatkan manusia secara kualitas, sehingga menjadi modal yang sangat berharga untuk pembangunan secara keseluruhan. Peningkatan kualitas manusia telah ditunjukkan dengan corak pembangunan saat ini, yaitu tidak hanya mementingkan pertumbuhan ekonomi melainkan juga mengarah pada peningkatan kualitas. Komitmen pemerintah untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia telah diwujudkan sebagai salah satu kebijaksanaan strategis. Berbagai program dan kegiatan untuk mengakselerasi pembangunan kualitas manusia menjadi prioritas dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) maupun Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD).

Pembangunan manusia adalah upaya yang dilakukan untuk memperluas peluang penduduk mencapai hidup layak, yang secara umum dapat dilakukan melalui peningkatan kapasitas dasar dan daya beli. Peningkatan kapasitas dasar pada dasarnya merupakan upaya meningkatkan produktivitas penduduk melalui peningkatan pengetahuan dan derajat kesehatan. Sedangkan peningkatan daya beli ditempuh melaui pertumbuhan ekonomi, sehingga tercipta perluasan lapangan kerja. Dalam RKP, hal tersebut diwujudkan dalam triple track strategy yaitu progrowth, propoor and projob.

Dalam kajian pembangunan manusia diperlukan suatu alat ukur yang mempunyai perbandingan antarwilayah dan antarwaktu. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sampai sejauh ini adalah metode yang paling memadai untuk mengukur pencapaian pembangunan manusia di suatu daerah dengan memperhatikan pada tiga faktor yang paling essensial dalam kehidupan manusia yaitu kelangsungan hidup, pengetahuan, dan daya beli.

(2)

1.2. Tujuan

Secara garis besar, penyusunan publikasi ini memiliki tujuan untuk menggambarkan kualitas penduduk Kabupaten Majalengka dengan cara :

a. Menjelaskan pengertian serta makna IPM dan prosedur penghitungannya.

b. Menampilkan angka IPM pada tahun 2009 serta perbandingannya dengan beberapa wilayah sekitar.

1.3. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Majalengka dari tahun 2008 dan tahun 2009. Dalam beberapa hal yang menyangkut data pembanding, digunakan pula data dari hasil survei yang lain seperti Survei Sosial Ekonomi Daerah Jawa Barat (Suseda Jawa Barat), Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) dan Sensus Penduduk.

(3)

BAB II

METODOLOGI PENGHITUNGAN IPM

2.1. Pendahuluan

Setelah terjadinya reformasi dalam sejarah bangsa Indonesia tahun 1998, terjadi pula perubahan-perubahan mendasar dalam sistem politik, ekonomi maupun pemerintahan. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah membuka paradigma baru dalam sistem pemerintahan daerah. Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan yang lebih luas dalam menyusun strategi dan kebijakan pembangunan, sehingga dapat lebih terarah dan fokus sesuai dengan fenomena yang terjadi di wilayahnya.

Pembangunan manusia Indonesia menempatkan manusia sebagai titik sentral, sehingga mempunyai ciri dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam kerangka ini, maka pembangunan nasional ditujukan untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam semua proses dan kegiatan pembangunan. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah melakukan upaya meningkatkan kualitas penduduk sebagai sumber daya, baik dari segi aspek fisik (kesehatan), aspek intelektualitas (pendidikan), aspek kesejahteraan ekonomi (berdaya beli), maupun aspek moralitas (iman dan taqwa), sehingga partisipasi rakyat dalam pembangunan akan meningkat. Hal ini selain sesuai dengan tujuan pembangunan nasional yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa secara implicit, juga mengandung makna pemberdayaan penduduk.

Untuk meningkatkan efektivitas pembangunan manusia, penggunaan data statistik dalam perencanaan, pemantauan, dan evaluasi, tidak dapat dihindari. Perencanaan pembangunan tanpa didukung oleh data statistik yang baik, mustahil akan berjalan dengan baik dan mampu mencapai sasaran yang tepat. Untuk mengukur kemajuan pencapaian pembangunan manusia melalui kapasitas dasar dan daya beli dilakukan melalui kajian (analisis) Indeks pembangunan Manusia (IPM). Indeks ini merupakan indikator yang telah digunakan secara internasional untuk melihat perbandingan antarwilayah dan antarwaktu. IPM sebenarnya berfungsi sebagai alat untuk advokasi, yaitu memberikan petunjuk dan gambaran secara umum tentang status dan pencapaian pembangunan selama suatu periode. Oleh karena itu IPM merupakan indeks komposit, untuk dapat digunakan dalam identifikasi permasalahan yang dihadapai suatu daerah dan kemungkinan intervensi program yang feasible, harus disajikan dalam indikator tunggal.

(4)

2.2. Indikator

Indikator merupakan petunjuk yang memberikan indikasi tentang sesuatu keadaan dan merupakan refleksi dari keadaan tersebut. Dalam definisi lain, indikator dapat didefinisikan sebagai variabel penolong dalam mengukur perubahan. Variabel-variabel ini terutama digunakan apabila perubahan yang akan dinilai tidak dapat diukur secara langsung. Indikator yang baik harus memenuhi berbagai persyaratan, antara lain :

Sahih (valid), indikator harus dapat mengukur sesuatu yang sebenarnya akan diukur oleh indikator tersebut;

Obyektif, untuk hal yang sama, indikator harus memberikan hasil yang sama pula, walaupun dipakai oleh orang yang berbeda dan pada waktu yang berbeda;

Sensitif, perubahan yang kecil mampu dideteksi oleh indikator;

Spesifik, indikator hanya mengukur perubahan situasi yang dimaksud. Namun demikian perlu disadari bahwa tidak ada ukuran baku yang benar-benar dapat mengukur tingkat kesejahteraan seseorang atau masyarakat.

Indikator bisa bersifat tunggal (indikator tunggal) yang isinya terdiri atas satu indikator, seperti Angka Kematian Bayi (AKB) dan bersifat jamak (indikator komposit) yang merupakan gabungan dari beberapa indikator, seperti Indeks Mutu Hidup (IMH) yang merupakan gabungan dari 3 indikator yaitu Angka Melek Huruf (AMH), Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Harapan Hidup (AHH) dari anak usia 1 tahun.

Menurut jenisnya, indikator dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu : a. Indikator Input, yang berkaitan dengan penunjang pelaksanaan program dan turut

menentukan keberhasilan program, seperti : rasio murid-guru, rasio murid-kelas, rasio dokter, rasio Puskesmas.

b. Indikator Proses, yang menggambarkan bagaimana proses pembangunan berjalan, seperti : Angka Partisipasi Kasar (APK), Angka Partisipasi Murni (APM), rata-rata jumlah jam kerja, rata-rata jumlah kunjungan ke Puskesmas, persentase anak Balita yang ditolong dukun.

c. Indikator Output dan Outcome, yang menggambarkan bagaimana hasil (output) dari suatu program/kegiatan telah berjalan, seperti : persentase penduduk dengan pendidikan SMTA ke atas, AKB, Angka Harapan Hidup, TPAK, dan lain-lain.

(5)

2.3. IPM dan Beberapa Indikator Komposit Pembangunan Manusia

 Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

 Indeks Pembangunan Jender (IPJ)

 Indeks Pemberdayaan Jender (IDJ)

 Indeks Kemiskinan Manusia (IKM)

 Indeks Mutu Hidup (IMH/PQLI)

Menurut Morris, syarat indikator komposit yang baik adalah : 1. Harus sahih untuk berbagai cara (pada pembangunan)

2. Tidak merupakan ukuran-ukuran dari nilai khusus masyarakat 3. Dapat mengukur “hasil”, bukan masukan.

4. Harus mampu menggambarkan distribusi dari hasil-hasil pembangunan 5. Harus sederhana dalam perhitungannya dan mudah dimengerti,

6. Harus bisa dipakai untuk perbandingan internasional.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Pembangunan Jender (IPJ), Indeks Pemberdayaan Jender (IDJ), dan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) merupakan indeks-indeks komposit yang dikembangkan UNDP untuk mengukur tingkat pencapaian upaya pembangunan manusia dari berbagai perspektif. IPM mengukur tingkat pencapaian upaya pembangunan manusia secara keseluruhan, sedangkan IPJ mengukur hal yang sama tetapi dengan memperhatikan disparitas jender. IDJ, di lain pihak, mengukur tingkat partisipasi dan daya pengambilan keputusan (decision making power) di bidang ekonomi, politik, dan kekuasaan terhadap sumber daya ekonomi. Jika IPM mengukur tingkat pencapaian pembangunan manusia dari perspektif agregatif, maka IKM mengukur hal yang sama tetapi dari sisi keterbatasan mendapat akses terhadap sumber daya ekonomi dan pelayanan umum. Seperti halnya IPM, IKM melihat isu pembangunan manusia dengan pendekatan manusia (human approach) yang berbeda, misalnya, persentase penduduk miskin (poverty incidence) yang menggunakan pendekatan pendapatan (income approach). Bagian selanjutnya dari bab ini menjelaskan tentang metodologi, sumber data, cara penghitungan dan ilustrasi penghitungan IPM secara singkat.

2.4. Catatan Teknis Penghitungan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

Indeks Pembangunan Manusia merupakan indeks komposit yang dihitung sebagai rata-rata sederhana dari indeks harapan hidup (e0), indeks pendidikan (melek huruf dan rata-rata lama sekolah), dan indeks standar hidup layak.

(6)

2.4.1. Komponen dan Indikator IPM

Komponen IPM adalah usia hidup (longevity), pengetahuan (knowledge), dan standar hidup layak (decent living). Usia hidup diukur dengan angka harapan hidup atau e0 yang dihitung menggunakan metode tidak langsung (metode Brass, varian Trussel) berdasarkan variabel rata-rata anak lahir hidup dan rata-rata anak yang masih hidup. Tahun rujukan e0 yang digunakan dalam laporan ini adalah 1990, 1995 (khusus untuk IKM), dan 1996, yang diperoleh berdasarkan suatu model proyeksi. Rujukan tahun ini berbeda dengan rujukan tahun yang digunakan dalam penghitungan IPM yang dipublikasikan BPS sebelumnya (1996) yang berjudul “Indeks Pembangunan Manusia: Perbandingan Antar Provinsi 1990-1993”. Model proyeksi menggunakan data historis sejak dekade 1960-an dan mengasumsikan, antara lain, bahwa Angka Kematian Bayi akan mencapai 20 per 1.000 kelahiran pada tahun 2018. Penjelasan lebih rinci mengenai model proyeksi tersebut dapat diperiksa dalam publikasi BPS yang akan datang. Komponen pengetahuan diukur dengan angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah yang dihitung berdasarkan data Susenas Kor. Sebagai catatan, UNDP dalam publikasi tahunan HDR sejak 1995 menggunakan indikator partisipasi sekolah dasar, menengah, dan tinggi sebagai pengganti rata-rata lama sekolah karena sulitnya memperoleh data rata-rata lama sekolah secara global. Indikator angka melek huruf diperoleh dari variabel kemampuan membaca dan menulis, sedangkan indikator rata-rata lama sekolah dihitung dengan menggunakan dua variabel secara simultan; yaitu, tingkat (kelas) yang sedang atau pernah dijalani dan jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan.

Komponen standar hidup layak diukur dengan indikator rata-rata konsumsi riil yang telah disesuaikan. Sebagai catatan, UNDP menggunakan indikator PDB per kapita riil yang telah disesuaikan (adjusted real GDP per capita) sebagai ukuran komponen tersebut karena tidak tersedia indikator lain yang lebih baik untuk keperluan perbandingan antar negara.

Penghitungan indikator konsumsi riil per kapita yang telah disesuaikan dilakukan melalui tahapan pekerjaan sebagai berikut :

 Menghitung pengeluaran konsumsi per kapita dari Susenas Modul (=A).

 Mendeflasikan nilai A dengan IHK ibuKota Provinsi yang sesuai (=B).

 Menghitung daya beli per unit (=PPP/unit). Metode penghitungan sama seperti metode

yang digunakan International Comparison Project (ICP) dalam menstandarkan nilai PDB suatu negara.

Data dasar yang digunakan adalah data harga dan kuantum dari suatu basket komoditi yang terdiri atas nilai 27 komoditi yang diperoleh dari Susenas Modul (Tabel 1).

(7)

 Menyesuaikan nilai C dengan formula Atkinson sebagai upaya untuk memperkirakan nilai marginal utility dari C.

Penghitungan PPP/unit dilakukan dengan rumus :

Keterangan :

E(i,j) : pengeluaran untuk komoditi j di Provinsi ke-i P(9,j) : harga komoditi j di DKI Jakarta

q(i,j) : jumlah komoditi j (unit) yang dikonsumsi di Provinsi ke-i

Unit kuantitas rumah dihitung berdasarkan indeks kualitas rumah yang dibentuk dari tujuh komponen kualitas tempat tinggal yang diperolah dari Susenas Kor. Ketujuh komponen kualitas yang digunakan dalam penghitungan indek kualitas rumah diberi skor sebagai berikut :

 Lantai : keramik, marmer, atau granit = 1, lainnya = 0

 Luas lantai per kapita :  10 m2 = 1, lainnya = 0

 Dinding : tembok = 1, lainnya = 0

 Atap : kayu (sirap), beton = 1, lainnya = 0

 Fasilitas penerangan : listrik = 1, lainnya = 0

 Fasilitas air minum : leding =1, lainnya = 0

 Jamban : milik sendiri = 1, lainnya = 0

 Skor awal untuk setiap rumah = 1

Indeks kualitas rumah merupakan penjumlahan dari skor yang dimiliki oleh suatu rumah tinggal dan bernilai antara 1 sampai dengan 8. Kuantitas dari rumah yang dikonsumsi oleh suatu rumah tangga adalah Indeks Kualitas Rumah dibagi 8. Sebagai contoh, jika suatu rumah tangga menempati suatu rumah tinggal yang mempunyai Indeks Kualitas Rumah = 6, maka kuantitas rumah yang dikonsumsi oleh rumah tangga tersebut adalah 6/8 atau 0,75 unit.

Perlu dicatat bahwa sewa rumah, bensin dan air minum merupakan komoditi baru dalam penghitungan PPP/unit. Ketiga komoditi tersebut tidak diperhitungkan dalam publikasi BPS sebelumnya (1996). Oleh karena perbedaan tadi, maka IPM dalam publikasi tersebut tidak dapat dibandingkan dengan IPM dalam publikasi ini.

   j j ) q . (p E PPP/unit j) (i, j) (9, j) (i,

(8)

TABEL 1

Daftar Komoditas Terpilih Untuk Menghitung Paritas Daya Beli (PPP)

Komoditi Satuan Total konsumsi (%) Sumbangan thd

(1) (2) (3)

1. Beras lokal 2. Tepung terigu 3. Ketela pohon

4. Ikan tongkol (tuna) cakalang 5. Ikan teri

6. Daging sapi

7. Daging ayam kampung 8. Telur ayam

9. Susu kental manis 10. Bayam 11. Kacang panjang 12. Kacang tanah 13. Tempe 14. Jeruk 15. Pepaya 16. Kelapa 17. Gula pasir 18. Kopi bubuk 19. Garam 20. Merica/lada 21. Mie instant 22. Rokok kretek filter 23. Listrik 24. Air minum 25. Bensin 26. Minyak tanah 27. Sewa rumah Kg Kg Kg Kg Ons Kg Kg Butir 397 gram Kg Kg Kg Kg Kg Kg Butir Ons Ons Ons Ons 80 gram 10 batang Kwh M3 Liter Liter Unit 7.25 0.10 0.22 0.50 0.32 0.78 0.65 1.48 0.48 0.30 0.32 0.22 0.79 0.39 0.18 0.56 1.61 0.60 0.15 0.13 0.79 2.86 2.06 0.46 1.02 1.74 11.56 Total 37.52

Rumus Atkinson yang digunakan untuk penyesuaian rata-rata konsumsi riil secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

C (i)* = C (i) jika C (i)  Z

= Z + 2(C(i) – Z) (1/2) jika Z < C(i) 2Z

= Z + 2(Z)(1/2) + 3(C(i)-2Z)(1/`3) jika 2Z < C(i) 3Z

= Z + 2(Z)(1/2) + 3(Z)(1/3) + 4(C(i)-3Z)(1/4) Jika 3Z < C(i) 4Z Keterangan :

C(i) = konsumsi per kapita riil yang telah disesuaikan dengan PPP/unit

(9)

Z = threshold atau tingkat pendapatan tertentu yang digunakan sebagai batas kecukupan yang dalam laporan ini nilai Z ditetapkan secara arbiter sebesar Rp 547.500,- per kapita setahun, atau Rp 1.500,- per kapita per hari.

2.4.2. Rumus dan Ilustrasi Penghitungan IPM

Rumus penghitungan IPM dapat disajikan sebagai berikut : IPM = 1/3 (X(1) + X(2) + X(3)) ………..(1) Keterangan :

X(1) : Indeks harapan hidup

X(2) : Indeks pendidikan = 2/3 (indeks melek huruf) + 1/3 (indeks

rata-rata lama sekolah)

X(3) : Indeks standar hidup layak

Masing-masing indeks komponen IPM tersebut merupakan perbandingan antara selisih nilai suatu indikator dan nilai minimumnya dengan selisih nilai maksimum dan nilai minimum indikator yang bersangkutan. Rumusnya dapat disajikan sebagai berikut :

Indeks X(i) = (X(i) - X(i)min) / (X(i)maks – X(i)min) ………(2)

Keterangan :

X(i) : Indikator Ke-i (i = 1,2,3) X(i)maks : Nilai maksimum X(i) X(i)min : Nilai minimum X(i)

Nilai maksimum dan nilai minimum indikator X(i) disajikan pada Tabel 2 TABEL 2

Nilai Maksimum Dan Minimum Komponen IPM

Indikator Komponen IPM (X=(i)) Nilai Maksimum Nilai Minimum Catatan (1) (2) (3) (4)

Angka Harapan Hidup 85 25 Sesuai standar global

(UNDP)

Angka Melek Huruf 100 0 Sesuai standar global

(UNDP)

Rata-rata lama sekolah 15 0 Sesuai standar global

(UNDP) Konsumsi per kapita yang

disesuaikan Tahun 1996 732.720,- a) 300.000,- b)

UNDP menggunakan PDB

per kapita riil yang

(10)

Sebagai ilustrasi penghitungan dapat diambil kasus Kabupaten A tahun 2006 yang memiliki data sebagai berikut :

 Angka harapan hidup : 65,24 tahun

 Angka melek huruf : 95,5 %

 Rata-rata lama sekolah : 6,5 tahun

 Konsumsi per kapita riil yang disesuaikan : Rp 579.580,-

Berdasarkan data tersebut, maka dapat dihitung indeks masing-masing komponen menggunakan persamaan (2) :

 Indeks angka harapan hidup : (65,24 – 25) / (85 – 25) = 0,671

 Indeks angka melek huruf : (95,5 – 0) / (100 – 0) = 0,955

 Indeks rata-rata lama sekolah : (6,5 – 0) / (15 – 0) = 0,433

 Indeks pendidikan : 2/3 (0,955) + 1/3 (0,433) = 0,781

 Indeks konsumsi per kapita riil yang disesuaikan

: (579,58–300)/(732,7–300)= 0,646 Akhirnya angka IPM dapat dihitung menggunakan persamaan (1) :

IPM = 1/3 (0,671 + 0,781 + 0,646) = 0,6993

Catatan : a) Proyeksi pengeluaran riil/unit/tahun untuk Provinsi yang memiliki angka tertinggi (Jakarta) pada tahun 2018 setelah disesuaikan dengan formula Atkinson. Proyeksi mengasumsikan kenaikan 6,5 persen per tahun selama kurun 1993-2018.

b) Setara dengan dua kali garis kemiskinan untuk Provinsi yang memiliki angka terendah tahun 1990 di daerah perdesaan (Sulawesi Selatan).

Sebagai catatan, dalam laporan ini IPM disajikan dalam ratusan (dikalikan 100) sekedar untuk memudahkan membaca, sehingga IPM Kabupaten A tahun 2006, misalnya, dinyatakan sebagai 69,93.

2.4.3. Ukuran Perkembangan IPM

Untuk mengukur kecepatan perkembangan IPM dalam suatu kurun waktu digunakan reduksi Shortfall per tahun (annual reduction in shortfall). Ukuran ini secara sederhana menunjukkan perbandingan antara capaian yang telah ditempuh dengan capaian yang masih harus ditempuh untuk mencapai titik ideal (IPM = 100). Prosedur penghitungan reduksi shortfall IPM (=r) dapat dirumuskan sebagai berikut :

(11)

Keterangan :

IPMt : IPM pada tahun t

IPMt+n : IPM pada tahun t + n

IPMideal : 100

Sebagai catatan, rumus tersebut menghasilkan angka dalam persentase. Selain itu, rumus tersebut dapat pula digunakan untuk mengukur kecepatan perubahan komponen IPM. Sebagai ilustrasi, IPM Aceh pada tahun 1990 dan 1996 masing-masing 61.9 dan 70.1. Reduksi shortfall selama kurun 1990-1996 untuk Provinsi itu adalah :

....(3)

...

)

IPM

-(IPM

100

x

)

IPM

-(IPM

t idea t n t n / 1

l

r

 1,67 61,9 -100 100 x 61,9) -(70,1 1/6       

(12)

BAB III

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN MAJALENGKA

3.1. Paradigma Pembangunan Manusia

Dalam empat dekade terakhir telah terjadi pergeseran paradigma tentang pembangunan. Pada dekade 60-an, pembangunan berorientasi pada produksi, pada dekade 70-an bergeser ke paradigma pembangunan yang lebih menekankan kepada distribusi hasil-hasil pembangunan. Selanjutnya pada dekade 80-an, muncul paradigma yang berorientasi pada kebutuhan dasar manusia (basic need approach), menuju paradigma pembangunan yang terpusat pada manusia pada dekade 90-an

Pembangunan manusia menurut definisi UNDP, adalah proses memperluas pilihan-pilihan penduduk (“a process of enlarging people’s choice”). Dari sekian banyak pilihan-pilihan ada tiga pilihan yang dianggap paling penting yaitu sehat dan berumur panjang, bependidikan serta akses ke sumber daya yang dapat memenuhi standar hidup layak. Pilihan lain yang mungkin dianggap mendukung tiga pilihan di atas adalah kebebasan politik, hak asasi manusia dan penghormatan hak pribadi (personal self respect). Atas dasar pengertian di atas menjadi jelas bahwa pembangunan manusia lebih dari sekedar pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan dan akumulasi modal. Peningkatan pendapatan mungkin hanya satu dari sekian banyak pilihan, di samping itu pendapatan juga bukan merupakan satu-satunya pilihan manusia agar dapat hidup sejahtera

Untuk mengukur ketiga pilihan utama tersebut, digunakan indeks komposit berdasarkan tiga parameter. Ketiga parameter tersebut adalah, Pertama, derajat kesehatan dan berumur panjang yang diukur dengan angka harapan hidup, mengukur keadaan sehat dan berumur panjang. Kedua, pendidikan yang diukur dengan angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah, mengukur manusia yang cerdas, terampil, terdidik dan bertaqwa. Ketiga, pendapatan yang diukur dengan daya beli masyarakat (purchasing power parity); mengukur manusia yang mandiri dan memiliki akses untuk hidup layak.

Dalam rangka mendukung pencapaian sasaran nasional perlu diberikan warna tersendiri dalam penyusunan strategi pembangunan daerah dengan menempatkan fokus pada pembangunan manusia. Strategi pembangunan nasional sebenarnya telah mengisyaratkan dan mengarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi seiring dengan peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Kebijakan ini mengandung nilai strategis dan anitisipatif menuju pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas. Investasi ke arah

(13)

pembangunan manusia harus disadari tidak semudah menghitung investasi pembangunan sarana fisik, karena perlu waktu 15-20 tahun untuk melihat hasilnya.

Pada publikasi Indeks Pembangunan Manusia ini, akan dibahas IPM Kabupaten Majalengka tahun 2009. Di samping itu juga melihat disparitas pembangunan manusia antarjender dan antarkelompok sosial ekonomi dengan menggunakan indikator yang diolah dari series data Susenas dan survei-survei lain yang mendukung.

3.2. IPM Kabupaten Majalengka dan Komponennya

Kabupaten Majalengka terletak di kawasan Timur Jawa Barat yang berbatasan dengan Kabupaten Cirebon dan Kuningan di sebelah timur, Kabupaten Indramayu di sebelah Utara, Kabupaten Ciamis dan Tasikmalaya di sebelah Selatan, serta Kabupaten Sumedang di sebelah Barat. Menurut hasil sensus Penduduk Tahun 1961 jumlah Penduduk Kabupaten Majalengka sekitar 0,65 juta, meningkat menjadi 0,71 juta pada tahun 1971, dan 897.722 jiwa pada tahun 1980, sementara tahun 1990 telah mencapai di atas satu juta (1,03 juta jiwa). Hasil Sensus Penduduk Tahun 2000 sebesar 1.121.641 jiwa dan data terakhir dari Susenas 2009 jumlah penduduk telah mencapai 1.206.702 jiwa dengan Laju Pertumbuhan Penduduk

0,81 persen, rasio jenis kelamin 99,03 dan kepadatan penduduk 1.002 jiwa/km2.

Dari deskripsi data kependudukan tersebut menunjukkan penduduk Kabupaten Majalengka terus bertambah walaupun dengan LPP yang relatif rendah. Pertambahan tersebut tentu harus diimbangi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai modal dasar pembangunan.

Kondisi pembangunan manusia di Kabupaten Majalengka dapat dilihat dari tabel 4 yang memuat IPM beserta komponen-komponennya pada tahun 2008 dan tahun 2009. Pada tahun 2009, Kabupaten Majalengka telah mencapai IPM sebesar 69,94 poin dengan klasifikasi sedang.

Jika dibandingkan dengan IPM tahun sebelumnya ternyata IPM Kabupaten Majalengka tahun 2009 mengalami kenaikan sebesar 0,54 poin (kecepatan perubahan 1,75). Dilihat dari indeks masing-masing komponennya, ternyata semua komponen IPM mengalami kenaikan yaitu Angka Harapan Hidup (AHH), Angka Melek Huruf (AMH), Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) dan paritas daya beli masyarakat (PPP), Angka Harapan Hidup naik dari 65,82 menjadi 66,09 (atau indeksnya dari 68,03 menjadi 68,48). Indeks Angka Melek Huruf naik dari 94,81 menjadi 95,03, Indeks rata-rata lama sekolah naik dari 44,67 menjadi 45,53 sedangkan Indeks PPP naik 0,73 poin dari 62,08 menjadi 62,81.

(14)

TABEL 3

IPM Kabupaten Majalengka Dan Komponennya Tahun 2008-2009

Komponen 2008 2009 Reduksi Shortfall

Nilai Indeks Nilai Indeks

(1) (2) (3) (4) (5) (6) AHH 65.82 68.03 66.09 68.48 1,41 AMH 94.81 94.81 95.03 95.03 4,24 RLS 6.70 44.67 6.83 45.53 1,55 PPP 568.61 62.08 571.79 62.81 3,06 IPM 69.40 69.94 1,75 Sumber: Susenas 2008-2009 BPS RI

Mencermati trend angka IPM Kabupaten Majalengka selama periode 2008-2009 menunjukkan adanya kenaikkan secara bertahap. Indeks Pendidikan, khususnya angka melek huruf, mempunyai kenaikan yang cukup berarti terlihat dari angka reduksi shortfall yang mencapai 4,24. Sementara Angka Harapan Hidup mempunyai angka yang paling rendah, sehingga harus didukung dengan langkah kebijakan-kebijakan yang akan meningkatkan nilai komponen tersebut khususnya untuk menekan angka kematian bayi.

Kondisi IPM pada tahun 2008-2009 memberi gambaran kepada kita akan perlunya penekanan-penekanan kebijakan Pemerintah Kabupaten Majalengka untuk lebih fokus kepada tiga sasaran bidang pendidikan, kesehatan dan daya beli sebagai upaya peningkatan komponen-komponen IPM secara keseluruhan. AMH sebesar 95,03 persen menunjukkan bahwa sekitar 4, 97 persen penduduk Kabupaten Majalengka masih tergolong buta huruf. Selain itu, rata-rata lama sekolah juga perlu ditingkatkan ke jenjang yang lebih tinggi. Secara umum rata-rata pendidikan penduduk Majalengka masih di bawah Provinsi Jawa Barat, yakni rata-rata lama sekolahnya mencapai 6,83 tahun (setara dengan kelas 1 SLTP). Perlu disusun intervensi yang lebih strategis dalam upaya menaikkan kualitas SDM tersebut. Perluasan kesempatan bersekolah kepada lulusan SLTP harus dengan kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Jargon Pendidikan dasar 9 tahun harus ditingkatkan menjadi 12 tahun, sehingga sarana dan prasarana pendidikan tingkat SLTA harus ditingkatkan bahkan kalau dimungkinkan harus ada kebijakan pembebasan biaya pendidikan tingkat SLTA seperti halnya di SLTP, sehingga diharapkan pada akhirnya akan memacu peningkatan rata-rata lama sekolah secara signifikan.

Sementara itu dari gambaran paritas daya beli penduduk yang masih rendah menunjukkan masih perlunya dilakukan intervensi-intervensi, baik secara langsung maupun

(15)

tidak langsung untuk menjaga kestabilan harga-harga, sehingga daya beli masyarakat dapat kembali meningkat. Dari segi investasi perlu adanya terobosan kebijakan untuk menggairahkan investasi sektor swasta, sehingga akan meningkatkan kesempatan kerja yang pada akhirnya akan memacu pertumbuhan ekonomi dan penguatan daya beli. Faktor daya beli ini memang tidak terlepas dari kebijakan ataupun situasi perekonomian secara nasional, bahkan internasional. Gejolak ekonomi yang tidak stabil karena krisis global ataupun kenaikkan harga minyak dunia akan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap kemampuan daya beli masyarakat.

Melalui upaya yang lebih sinergis antara Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di Kabupaten Majalengka, upaya peningkatan IPM untuk mencapai kualitas manusia yang lebih baik diharapkan dapat segera terwujud, hal tersebut selaras pula dengan Visi Provinsi Jawa Barat untuk akselerasi peningkatan IPM pada tahun 2010.

3.3. IPM Kabupaten Majalengka serta Perbandingannya dalam Wilayah Ciayumajakuning

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif tentang perkembangan IPM Kabupaten Majalengka, maka berikut ini akan dibandingkan IPM Kabupaten Majalengka dengan angka Provinsi Jawa Barat serta beberapa kabupaten/kota di sekitarnya yaitu Kabupaten Cirebon, Kota Cirebon, Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Indramayu. Posisi geografis Kabupaten/Kota tersebut terletak di kawasan Timur Provinsi Jawa Barat, sehingga pada sistem administrasi pemerintahan kabupaten/kota tersebut disatukan dalam satu cakupan koordinasi/pembinaan yaitu Kersidenan/Wilayah III Cirebon yang pada saat ini dikenal dengan istilah Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) Cirebon.

Secara karakteristik wilayah-wilayah tersebut mempunyai kemiripan dalam hal karakteristik sosial, ekonomi dan budaya. Secara umum masyarakat di wilayah tersebut merupakan daerah pertanian padi, palawija maupun hortikultura kecuali Kabupaten/Kota Cirebon dan Indramayu yang berbatasan dengan laut sehingga masyarakatnya juga sebagian ada yang berprofesi nelayan.

(16)

Tabel 4

Jumlah Penduduk di Kabupaten/Kota Wilayah Ciayumajakuning Tahun 2009 No Kabupaten/Kota Laki-Laki (Jiwa) Perempuan (Jiwa) Jumlah (Jiwa) Persen dari Jawa Barat (1) (2) (3) (4) (5) (6) 1 Kota Cirebon 148,392 155,760 304.152 0,71 2 Kab. Kuningan 588,564 584,964 1.173.528 2,75 3 Kab. Majalengka 600.306 606.396 1.206.702 2,86 4 Kab Indramayu 934,763 893,115 1.836.878 4,28 5 Kab. Cirebon 1,102,099 1,109,087 2.211.186 5,18

Prov. Jawa Barat 21.512.996 21.180.955 42.693.951

Sumber : Suseda Jawa Barat

Dari tabel tersebut, bahwa Kabupaten Cirebon merupakan kabupaten yang mempunyai jumlah penduduk paling banyak di wilayah Ciayumajakuning yaitu mencapai di atas 2 juta jiwa (5,18 persen). Disusul oleh adalah Kabupaten Indramayu, Majalengka, Kuningan dan Kota Cirebon.

Potensi Sumber daya manusia yang demikian besar tersebut tentu harus dimanfaatkan untuk pembangunan wilayah tersebut. Penduduk jangan hanya menjadi beban bagi pemerintahan dan masyarakat yang lain, tetapi harus merupakan aset yang potensial untuk memacu pembangunan di segala bidang.

Dalam konteks IPM yaitu peningkatan pembangunan manusia, maka jumlah penduduk yang besar, akan semakin berat beban dan tantangannya bagi pemerintah dalam rangka peningkatan IPM.

3.3.1. Perbandingan Angka Indeks

Indeks Pembangunan Manusia dihitung dengan menggunakan nilai masing-masing komponen yang selanjutnya dikonversikan menjadi nilai indeks untuk masing-masing bidang yaitu kesehatan (AHH), pendidikan (AMH dan RLS) dan bidang ekonomi (daya beli/PPP). Indeks tersebut akan membandingkan semua komponen dengan nilai yang sama yaitu 100.

(17)

Tabel 5

Indeks Komponen IPM Kabupaten Majalengka dan Kabupaten/Kota di Wilayah Ciayumajakuning Tahun 2009

No Kabupaten/Kota Indeks Kesehatan Indeks Pendidikan Indeks Daya Beli IPM (1) (2) (3) (4) (5) (6) 1 Kota Cirebon 72.45 85.70 65.9 74,68 2 Kab. Kuningan 70.58 78.12 62.54 70,42 3 Kab. Majalengka 68.48 78.53 62.81 69,94 4 Kab. Cirebon 66.95 75.86 62.32 68,37 5 Kab Indramayu 69.02 69.6 63.56 67,39

Prov. Jawa Barat 71.67 81.14 62.10 71,64

Sumber : Susenas 2009 BPS RI

Tabel di atas memperlihatkan perbandingan angka IPM dari kabupaten/kota di wilayah Cirebon. Kabupaten Majalengka dengan dengan IPM 69,94 berada pada posisi ke 3 dari 5 kabupaten/kota tersebut. Posisi tertinggi di wilayah tersebut adalah Kota Cirebon disusul Kabupaten Kuningan. Sementara Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Indramayu berada pada posisi dua terakhir.

Membandingkan dengan angka IPM Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Majalengka masih berada di bawah rata rata IPM Jawa Barat dengan selisih 1,7 poin, dengan Kabupaten Kuningan terdapat selisih 0,48 poin, sementara dengan Kota Cirebon selisih 4,72 poin. Posisi Kota Cirebon tersebut sudah cukup jauh berada di atas kabupaten lain, bahkan di atas rata-rata IPM Jawa Barat.

Posisi tertinggi Kota Cirebon, didukung oleh ketiga komponennya yaitu Indeks Harapan Hidup, Indeks Pendidikan dan Indeks Daya Beli yang jauh meninggalkan Kabupaten lain. Karakteristik wilayah perkotaan Kota Cirebon memungkinkan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi sehingga daya beli juga meningkat. Kemampuan ekonomi yang tinggi, berpengaruh terhadap tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat juga relatif semakin tinggi.

Seperti diketahui bahwa Kota Cirebon merupakan salah satu pusat pertumbuhan ekonomi di wilayah Timur Jawa Barat. Didukung oleh adanya pelabuhan Cirebon serta tumbuhnya sektor Industri, Perdagangan dan Jasa. Banyak pusat perbelanjaan, hotel dan rumah makan dibangun para investor melihat posisi Kota Cirebon sebagai daerah yang strategis di daerah Pantura.

Di bidang pendidikan sarana-sarana pendidikan di Kota Cirebon dibangun bukan hanya pada level pendidikan dasar, tetapi pendidikan menengah dan tinggi. Tercatat

(18)

beberapa perguruan tinggi semakin banyak didirikan untuk memfasilitasi peningkatan sumber daya manusia di Kota Cirebon.

Mencermati gambaran Indeks Pembangunan Manusia di atas menjadi tantangan bagi pemerintah Kabupaten Majalengka untuk dapat meningkatkan IPM secara signifikan hingga dapat mengikuti langkah Kota Cirebon atau setidaknya dapat melewati angka IPM Provinsi Jawa Barat pada tahun-tahun mendatang.

3.3.2. Reduksi Shortfall

Reduksi shortfall menunjukkan ukuran kecepatan perkembangan IPM yang telah distandarisasi dengan formula seperti yang disebutkan dalam metodologi pada Bab II. Ukuran tersebut dapat dibandingkan untuk IPM total maupun masing-masing komponen.

Membandingkan kecepatan perkembangan IPM antardaerah seperti pada gambar di bawah tersebut memperlihatkan bahwa Kabupaten Cirebon mempunyai reduksi shortfall yang paling tinggi dibandingkan daerah lainnya diikuti oleh Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Majalengka. Sementara yang paling rendah adalah Kabupaten Kuningan yang hanya mempunyai nilai 1. Reduksi Shortfall untuk Kabupaten Majalengka masih di bawah angka rata-rata Provinsi Jawa Barat yang mencapai 1,8 poin.

Melihat angka tersebut, maka akselerasi IPM rata-rata untuk Kabupaten Majalengka masih tertinggal dibandingkan Kabupaten Cirebon dan Indramayu juga Provinsi Jawa Barat.

Gambar 1

Reduksi Shortfall IPM Kabupaten/Kota Di Ciayumajakuning dan Provinsi Jawa Barat Tahun 2008-2009

(19)

3.3.3. Perbandingan Angka Harapan Hidup

Salah satu komponen IPM yang sangat penting dalam pencapaian pembangunan manusia adalah derajat kesehatan. Derajat kesehatan tersebut diukur dengan Indeks Angka Harapan Hidup melalui determinan angka kematian bayi. Tentu saja Angka Kematian Bayi bukan satu-satunya variabel yang berperan dalam peningkatan AHH. Berbagai indikator tunggal yang berkaitan dengan penurunan AKB penting untuk dikaji dan mendapat prioritas dalam mendukung peningkatan AHH. Variabel tersebut seperti penolong dalam kelahiran, usia perkawinan pertama, pemberian ASI ekslusif. Jumlah tenaga medis (Bidan/dokter) termasuk pembangunan infrastruktrur kesehatan sampai ke wilayah desa/kelurahan terpencil.

Tabel 6

Nilai dan Indeks AHH Kabupaten Majalengka dan Kabupaten/Kota di wilayah Ciayumajakuning Tahun 2008 - 2009

No Kabupaten/Kota Nilai AHH (Tahun) Indeks AHH (Tahun) Reduksi Shortfall 2008 2009 2008 2009 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 1 Kota Cirebon 68,45 68,47 72.42 72.45 0.11 2 Kab. Kuningan 67,23 67,35 70.38 70.58 0.68 3 Kab. Majalengka 65,82 66,09 68.03 68.48 1.41 4 Kab Indramayu 66,01 66,41 68.35 69.02 2.12 5 Kab. Cirebon 65,05 65,17 66.75 66.95 0.60

Prov. Jawa Barat 67,80 68,00 71.33 71.67 1,19

Sumber : Susenas 2009 BPS RI

Tabel di atas menggambarkan posisi AHH Kabupaten Majalengka dibandingkan dengan Provinsi Jawa Barat dan kabupaten/kota lain di wilayah Timur Jawa Barat.

Kabupaten Majalengka mempunyai angka harapan hidup 66,09 tahun yang berarti setiap bayi yang baru lahir (e0) mempunyai harapan hidup sampai berumur 66,09 tahun. Angka tersebut menunjukkan Kabupaten Majalengka berada pada posisi ke 4 dari 5 kabupaten/kota di sekitarnya. Tabel tersebut juga memperlihatkan bahwa AHH Kabupaten Majalengka berada di bawah rata-rata Provinsi Jawa Barat yang mencapai 71,67 pada tahun 2009. Mencermati kecepatan perubahan AHH dari tahun 2008 ke tahun 2009, Kabupaten Majalengka berada pada posisi ke dua (1,41) setelah Kabupaten Indramayu. Hal ini berarti bahwa akselerasi perubahan AHH Kabupaten Majalengka masih lebih baik dibandingkan Kabupaten/Kota Cirebon dan Kuningan yang jauh di bawah 1. Hal tersebut tentunya masih harus ditingkatkan agar dapat mencapai lebih baik lagi pada tahun-tahun selanjutnya.

(20)

3.3.4. Perbandingan Angka Melek Huruf

Angka Melek Huruf atau kemampuan membaca dan menulis pada umur di atas 15 tahun merupakan indikator yang menunjukkan kualitas sumber daya manusia. Kemampuan membaca dan menulis manusia diharapkan untuk terus belajar agar mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang luas. Ilmu manusia dapat meningkatkan kualitas individu yang pada akhirnya dapat meningkatkan taraf hidup untuk mencapai kesejahteraan hidupnya.

Sebaliknya manusia yang tidak mempunyai kemampuan untuk membaca, akses hidupnya terhadap ilmu pengetahuan akan lebih terbatas, kualitas individu yang sangat kurang sehingga rentan pada kemiskinan.

Saat ini perhatian pemerintah terhadap dunia pendidikan sangat dipriortiaskan. Terbukti dengan diamanatkannya anggaran pendidikan yang harus mencapai 20 persen dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Berbagai skema bantuan pendidikan seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Beasiswa, ataupun program Sertifikasi Guru dan Dosen menunjukkan bahwa pemerintah menganggap pendidikan merupakan hal yang penting dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia. Salah satu indikator yang mendukung hal tersebut adalah semakin rendahnya angka buta huruf di Indonesia. Angka Melek Huruf di Kabupaten Majalengka pada tahun 2009 sudah mencapai 95,03 persen yang berarti penduduk buta huruf hanya tinggal 4, 97 persen saja. Terdapat perubahan yang diukur dengan reduksi shortfall, maka Kabupaten Majalengka mempunyai kecepatan perubahan yang cukup baik yaitu 4,24 poin di bawah Kabupaten Cirebon dan Kuningan.

Tabel 7

Nilai dan Indeks AMH Kabupaten Majalengka dan Kabupaten/Kota di wilayah Ciayumajakuning Tahun 2008 - 2009

Sumber : Susenas 2009 BPS RI

No Kabupaten/Kota Nilai AMH (%) Indeks AMH (%) Reduksi Shortfall 2008 2009 2008 2009 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 1 Kota Cirebon 97.00 97.02 97.00 97.02 0.67 2 Kab. Kuningan 93.86 94.28 93.86 94.28 6.84 3 Kab. Majalengka 94.81 95.03 94.81 95.03 4.24 4 Kab Indramayu 85.58 85.6 85.58 85.60 0.14 5 Kab. Cirebon 90.66 91.55 90.66 91.55 9.53

(21)

Program Pengentasan Buta Huruf tidak mudah lagi ketika sudah mencapai titik jenuh. Sasaran pengentasan program melek huruf pada usia lanjut akan lebih sulit karena berbagai faktor seperti kurangnya motivasi untuk maju yang tentu saja tidak mudah untuk dirubah.

3.3.5. Perbandingan Angka Rata-Rata Lama Sekolah

Rata-rata lama sekolah menunjukkan jumlah tahun/waktu yang digunakan untuk bersekolah dibagi dengan penduduk usia 15 tahun ke atas. RLS bermakna bahwa semakin lama bersekolah akan semakin berkualitas individu tersebut.

Pada hakekatnya RLS mendorong agar setiap individu untuk terus meningkatkan kapasitas dirinya melalui belajar pada sekolah formal. Program wajar Dikdas 9 tahun seharusnya ditingkatkan menjadi 12 tahun dengan didukung oleh perluasan sarana dan prasarana sekolah lanjutan untuk memberikan kesempatan pada lulusan SLTP melanjutkan sekolahnya dengan biaya yang terjangkau bahkan gratis.

Tabel di bawah ini menunjukkan pencapaian RLS pada kabupaten/kota di wilayah Ciayumajakungi dan Provinsi Jawa Barat.

Tabel 8

Nilai dan Indeks RLS Kabupaten Majalengka dan Kabupaten/Kota di wilayah Ciayumajakuning Tahun 2008-2009

No Kabupaten/Kota Nilai RLS (Tahun) Indeks RLS (Tahun) Reduksi Shortfall 2008 2009 2008 2009 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 1 Kota Cirebon 9.20 9.46 61.33 63.07 4.5 2 Kab. Kuningan 6.80 6.87 45.33 45.8 0.86 3 Kab. Majalengka 6.70 6.83 44.67 45.53 1.55 4 Kab Indramayu 5.50 5.64 36.67 37.6 1.47 5 Kab. Cirebon 6.42 6.67 42.8 44.47 2.92

Prov. Jawa Barat 7.50 7.72 50.00 51.47 2,94

Sumber : Susenas 2009 BPS RI

Pencapaian RLS Kabupaten Majalengka pada tahun 2009 mencapai 6,83 tahun yang berarti rata-rata lama sekolah penduduk Kabupaten Majalengka usia 15 tahun ke atas hanya setara dengan SLTP kelas 1. Angka tersebut masih jauh dari angka ideal 15 tahun (D3).

Membandingkan dengan kabupaten/kota yang lain angka RLS Kabupaten Majalengka relatif berimbang kecuali dengan Kota Cirebon yang sudah cukup baik yaitu 9,46 tahun.

(22)

Dilihat dari reduksi shortfallnya, Kabupaten Majalengka berada pada posisi ke 3 setelah Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon dengan 1,55 poin.

3.3.6. Perbandingan Indeks Daya Beli

Indeks Daya Beli merupakan variabel ekonomi yang diukur dalam IPM untuk melengkapi variabel sosial yang terlebih dahulu diuraikan yaitu pendidikan dan kesehatan.

Peningkatan Indeks daya beli merupakan hal yang tidak mudah karena terkait dengan berbagai indikator makro ekonomi yang lain seperti laju inflasi. Peningkatan laju inflasi yang berarti kenaikan harga secara terus menerus yang tidak terkendali akan melemahkan daya beli masyarakat. Dalam hal ini pemerintah akan sulit melakukan intervensi pasar, pemerintah hanya dapat menjaga stabilisasi harga dengan menjaga pasokan barang agar supply and demand dapat terjadi keseimbangan yang wajar.

Tabel 9

Nilai dan Indeks Daya Beli (PPP) Kabupaten Majalengka dan Kabupaten/Kota di wilayah Ciayumajakuning Tahun 2008 - 2009

No Kabupaten/Kota Nilai PPP (Rp) Indeks PPP (Rp) Reduksi Shortfall 2008 2009 2008 2009 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 1 Kota Cirebon 582,340 585,130 65.25 65.90 3.09 2 Kab. Kuningan 569,460 570,620 62.27 62.54 1.12 3 Kab. Majalengka 568,610 571,790 62.08 62.81 3.06 4 Kab Indramayu 571,400 575,040 62.72 63.56 3.59 5 Kab. Cirebon 566,800 569,670 61.66 62.32 2.71

Prov. Jawa Barat 566,810 568,710 61.66 62.10 1,79

Sumber : Susenas 2009 BPS RI

Indeks Daya Beli Kabupaten Majalengka pada tahun 2009 menunjukkan angka 62,81 persen. Angka tersebut berada pada posisi ke 3 setelah Kota Cirebon dan Kabupaten Indramayu. Angka nominal Rp. 571.790 berarti rata-rata penduduk Kabupaten Majalengka mempunyai konsumsi riil perkapita sebesar Rp. 571.790 setiap tahun.

Dilihat dari ukuran perubahan tahun 2008 ke tahun 2009 Kabupaten Majalengka mempunyai reduksi shortfall 3,06 lebih baik dari Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Cirebon bahkan lebih baik dari rata-rata Provinsi Jawa Barat.

(23)

3.4. Disparitas Status Pembangunan Manusia Antar Jender

Secara kodrati sebenarnya wanita dapat dikatakan sangat memegang fungsi sentral dalam keluarga, yaitu sebagai ibu rumah tangga. Namun demikian, sumber daya ekonomi wanita tidak kalah dibanding pria. Keberadaan wanita dalam rumah tangga bukan hanya sekedar sebagai fungsi reproduksi saja, namun dapat berperan aktif dalam menopang ekonomi rumah tangga. Banyak penelitian menunjukkan bahwa wanita acapkali memberikan sumbangan yang besar bagi kelangsungan ekonomi, sehingga konsep pemberdayaan wanita di dalam pembangunan yang sedang gencar didengungkan akhir-akhir ini perlu benar-benar diimplementasikan dalam berbagai aspek kehidupan.

Dari berbagai indikator kesejahteraan rakyat terungkap bahwa kualitas dan partisipasi sosial ekonomi wanita pada umumnya lebih rendah dibanding pria. Kesenjangan yang lebih nyata terlihat pada status pendidikan dan partisipasi dalam bekerja secara ekonomis. Dalam konteks pembangunan manusia antarjender, tolok ukur yang digunakan dalam analisis ini dibatasi pada indikator pendidikan, partisipasi dalam kegiatan ekonomi dan sosial budaya.

Seperti diketahui bahwa berdasarkan hasil proyeksi penduduk jumlah penduduk wanita di Kabupaten Majalengka pada tahun 2009 mencapai 606.306 orang, sementara penduduk pria berjumlah 600.396 orang. Komposisi ini menghasilkan rasio jenis kelamin sebesar 99,03. Ini berarti bahwa dari setiap 100 orang penduduk wanita terdapat sekitar 99 orang penduduk laki-laki.

Dalam rangka menghadapi era globalisasi, setidaknya terdapat dua tuntutan yang perlu dimiliki. Pertama, kualitas sumber daya manusia (SDM) yang memadai sebagai asset pembangunan. Kedua, penguasaan teknologi dan ilmu pengetahuan. Untuk melihat kualitas SDM wanita, antara lain dapat dilihat dari angka melek huruf dan jenjang pendidikan yang ditamatkan. Pada dasarnya pendidikan sangat erat kaitannya dengan kemampuan seseorang dalam mengekspresikan kreativitas dan inovasi serta pengembangan pengetahuan serta wawasannya.

Dari hasil Susenas 2009 terungkap bahwa wanita usia 15 tahun ke atas yang telah mampu membaca dan menulis (angka melek huruf) di Kabupaten Majalengka masih lebih rendah dibanding pria. Angka melek huruf wanita sebesar 92,38 persen, sementara pria 97,88 persen. Ini berarti sekitar 7,62 persen penduduk wanita di Kabupaten Majalengka masih buta huruf.

(24)

TABEL 10

Kemampuan Baca Tulis Penduduk 15 Tahun Ke Atas Kabupaten Majalengka Menurut Jenis Kelamin Tahun 2009

Uraian Laki-laki (%) Perempuan (%) Total (%)

(1) (2) (3) (4)

Dapat Baca Tulis 97,88 92,38 95,03

Tidak Dapat 2,12 7,62 4,97

Jumlah 100,00 100,00 100,00

Sumber : Susenas 2009

Bila dilihat dari jenjang pendidikan yang ditamatkan, maka persentase yang mempunyai ijazah SD kaum wanita lebih tinggi daripada laki-laki yaitu 49,21 persen, sementara untuk tingkat pendidikan yang lebih tinggi persentase wanita seluruhnya lebih rendah kecuali yang diploma. Hal tersebut menunjukkan bahwa secara gender pendidikan kaum wanita di Kabupaten Majalengka relatif tertinggal dibandingkan kaum laki-laki walaupun selisihnya cukup tipis.

TABEL 11

Penduduk Kabupaten Majalengka Menurut Ijazah Tertinggi Yang Dimiliki Dan Jenis Kelamin Tahun 2009

Ijazah tertinggi Jenis Kelamin

Laki-Laki (%) Perempuan (%) Total (%)

(1) (2) (3) (4) Tidak Punya 20.11 21.72 20,91 Sekolah Dasar 46.42 49.21 47,81 SMTP 18.15 17.06 17,61 SMTA 10.80 8.07 9,44 Diploma/Akademi (D1-D3) 1.48 1.52 1,50 >= S1 3.04 2.42 2,73 J u m l a h 100,00 100,00 100,00 Sumber : Susenas 2009

Dari fakta di atas tentu diperlukan solusi untuk lebih memberdayakan kaum perempuan. Salah satunya adalah dengan memberikan kesempatan pendidikan yang lebih kepada wanita. Anggapan bahwa pendidikan bagi wanita tidak perlu tinggi-tinggi karena akhirnya pun akan ke dapur juga kiranya perlu dihapuskan. Banyak hasil penelitian yang mengungkapkan bahwa pendidikan ibu justru sangat penting peranannya dalam membangun pendidikan generasi berikutnya.

Dalam bidang ketenagakerjaan isu “ jender “ masih hangat dibicarakan. Beberapa pakar menyatakan bahwa adanya ketimpangan jender yang cukup besar tersebut harus

(25)

dibenahi dalam merealisasikan pemberdayaan wanita tersebut. Masih banyak nada minor yang ditujukan pada pekerja wanita, bahkan tidak jarang mereka menjadi sasaran pelecehan seksual (sexual harrasment) dari rekan pria di tempat mereka bekerja. Untuk mengangkat harkat dan martabat wanita sebagai asset pembangunan sekaligus mitra sejajar pria, hendaknya upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui peningkatan pendidikan wanita menjadi titik perhatian utama. Walaupun sejauh ini usaha dimaksud sudah banyak dilakukan, tetapi perlu terus ditingkatkan.

Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) Kabupaten Majalengka selama periode 1971-2009 cenderung terus menurun. Bahkan LPP Kabupaten Majalengka relatif lebih rendah dibanding beberapa kabupaten/kota lainnya di Provinsi Jawa Barat. Perlu diingat bahwa LPP yang tinggi akan berakibat pada tingginya pertumbuhan Penduduk Usia Kerja (PUK) yaitu penduduk yang berusia 15 tahun ke atas, yang biasa juga disebut tenaga kerja (manpower).

Dalam mengukur gambaran keadaan penduduk yang aktif secara ekonomi digunakan data angkatan kerja dari pada penduduk usia kerja. Angkatan kerja wanita di Jawa Barat dapat direfleksikan dengan melihat Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), yang merupakan perbandingan orang yang masuk ke dalam angkatan kerja terhadap total penduduk usia kerja. Sementara untuk mengukur kapasitas penyerapan tenaga kerja dengan ketersediaan lapangan kerja digunakan indikator tingkat pengangguran terbuka.

Sesuai dengan standar dari Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization) Tingkat Pengangguran Terbuka atau TPT adalah perbandingan antara penduduk yang sedang mencari pekerjaan, sudah diterima bekerja tetapi belum mulai bekerja, sedang mempersiapkan usaha dan orang yang tidak mencari pekerjaan karena putus asa mengingat sulitnya mendapat pekerjaan dengan angkatan kerja.

TPT total di Kabupaten Majalengka mencapai 6,47 persen sementara TPT wanita ternyata juga lebih tinggi dibanding laki-laki. TPT wanita 8,90 persen dan TPT laki-laki hanya 5,42 persen.

Tabel 12

TPAK dan TPT menurut Jenis kelamin Penduduk Kabupaten Majalengka Tahun 2009

Uraian Jenis Kelamin

Laki-Laki (%) Perempuan (%) Jumlah (%)

(1) (2) (3) (4)

TPAK 85,19 48,93 66,48

TPT 5,42 8,90 6,47

(26)

Angkatan kerja terdiri atas mereka yang bekerja dan pengangguran. Mencermati angka TPAK terlihat bahwa kaum perempuan mempunyai TPAK yang lebih rendah daripada laki-laki. Hal tersebut menunjukkan bahwa secara persentase dunia kerja masih didominasi oleh kaum laki-laki. Perlu penelitian yang lebih lanjut untuk menyimpulkan bahwa terdapat kesenjangan gender dalam dunia kerja di Kabupaten Majalengka.

Dilihat menurut status pekerjaan, terdapat fenomena yang cukup menarik. Banyaknya pekerja wanita di Kabupaten Majalengka yang masih berstatus pekerja keluarga mencapai 34,13 persen, sementara pekerja keluarga laki-laki hanya 5,37 persen. Pada daerah yang masih berorientasi pertanian sebagai sektor utama, masih banyaknya pekerja keluarga wanita memberikan indikasi tentang peran ekonomi wanita yang marginal dan belum dimanfaatkan secara optimal, karena pada umumnya pekerja keluarga tidak mendapatkan upah/gaji, atau sekalipun ada, balas jasa yang diterima sangat jauh dari memadai. Para pekerja keluarga wanita hanya membantu para kepala rumah tangga dan tidak mempunyai posisi tawar dalam pengambilan keputusan, posisi laki-laki sebagai kepala rumah tangga masih sangat kuat sehingga masih dominan dalam pengambilan keputusan dalam masalah usaha maupun masalah rumah tangga.

TABEL 13

Penduduk Kabupaten Majalengka

Menurut Jenis Kelamin Dan Status Pekerjaan Utama Tahun 2009

Status Pekerjaan Utama Laki-laki (%) Perempuan (%) Jumlah (%)

(1) (2) (3) (4)

Berusaha sendiri 25,35 15,41 21,66

Berusaha dengan dibantu buruh tidak tetap 27,97 22,19 25,83

Berusaha dengan dibantu buruh tetap 2,59 1,33 2,12

Buruh/karyawan 17,31 16,29 16,93

Pekerja Bebas 21,41 10,65 17,43

Pekerja tidak dibayar 5,37 34,13 16,03

J u m l a h 100,00 100,00 100,00

Sumber: Susenas 2009

Sementara persentase status pekerjaan wanita kedua terbesar di Kabupaten Majalengka adalah sebagai pengusaha yang dibantu dengan buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar (22,19 persen). Sektor yang dominan dalam karakteristik seperti ini adalah usaha rumah tangga perdagangan dan sebagian kecil pertanian. Dari satu sisi hal tersebut menujukkan tumbuhnya kemandirian kaum wanita untuk tampil sebagai “enterpreuner” dan tidak hanya bergantung kepada laki-laki.

(27)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Pengukuran pencapaian pembangunan manusia adalah sesuatu yang kompleks, karena sesungguhnya kualitas pembangunan manusia tidak bisa disederhanakan melalui penghitungan tiga indikator. Untuk itu kajian dan analisis mengenai IPM harus disikapi secara proporsional. IPM merupakan pendekatan yang dianggap paling relevan hingga saat ini.

Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari uraian mengenai IPM Kabupaten Majalengka adalah :

1) Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Majalengka mengalami kenaikan dari

tahun sebelumnya yaitu dari 69,40 pada tahun 2008 menjadi 69,94 pada tahun 2009. Kenaikkan sebesar 0,54 poin ini menunjukkan adanya upaya yang serius dari pemerintah untuk terus memperbaiki kualitas pembangunan manusia di Kabupaten Majalengka.

2) Dilihat dari masing-masing komponennya kenaikan IPM ini disebabkan oleh

pertumbuhan seluruh komponen IPM yaitu, Indeks Kesehatan sebesar 0,45 poin, indeks pendidikan (angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah) 0,44 poin serta indeks daya beli (PPP) sebesar 0,73 poin.

3) Dibandingkan dengan IPM di wilayah Ciayumajakuning, IPM Kabupaten Majalengka

berada pada posisi menengah tetapi masih berada di bawah rata-rata IPM Jawa Barat.

4.2. Saran-saran

Beberapa hal yang disarankan untuk peningkatan Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten Majalengka adalah :

1) Peningkatan Indeks Angka Harapan Hidup

Di bidang kesehatan, meskipun indikatornya yaitu AHH mengalami sedikit peningkatan, namun AHH Kabupaten Majalengka ini masih berada di bawah AHH Jawa Barat. Angka harapan hidup determinan utamanya adalah angka kematian bayi, tetapi secara luas AHH dipengaruhi oleh faktor pelayanan kesehatan, lingkungan, keturunan, dan perilaku. Intervensi pelayanan hendaknya diarahkan untuk memperbaiki faktor lingkungan dan memperbaiki perilaku masyarakat. Oleh karena itu fokus perhatian

(28)

pada peningkatan gizi dan kebersihan, proses persalinan pada tenaga medis dan kesadaran akan pentingnya lingkungan rumah yang bersih perlu terus ditingkatkan. 2) Peningkatan Indeks Pendidikan

Adanya kenaikkan indeks pendidikan, khususnya angka melek huruf yang cukup signifikan, diharapkan dapat memacu stakeholder bidang pendidikan untuk memberantas buta aksara secara lebih intensif. Selain itu, kebijakan Biaya Operasioanal Sekolah (BOS) harus diperluas untuk tingkat SLTA, sehingga dapat meningkatkan partisipasi sekolah lulusan SLTP. Pembangunan infrastruktur pendidikan agar lebih ditingkatkan selain infrastruktur perdesaan agar akses pendidikan, maupun kesehatan bisa lebih ditingkatkan. Program-program pendidikan luar sekolah (PLS) juga harus dikembangkan lebih memasyarakat, keberadaan SLTP terbuka, Kejar Paket A,B maupun C agar lebih diintensifkan.

3) Peningkatan Indeks Daya Beli

Indeks daya beli mempunyai kontribusi yang paling besar dibandingkan dengan dua indikator lain dalam peningkatan IPM di Kabupaten Majalengka tahun 2009.

Upaya-upaya pemberdayaan masyarakat untuk peningkatan daya beli melalui kebijakan-kebijakan yang prorakyat harus terus dipertahankan dan ditingkatkan. Indikator makro ekonomi harus distabilisasi agar tidak mengganggu pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat.

Pembukaan lapangan kerja baru dengan menciptakan iklim usaha yang kondusif juga akan mengundang investor untuk menanamkan modalnya di Kabupaten Majalengka sehingga akan memacu pertumbuhan ekonomi dan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.

(29)

DAFTAR PUSTAKA

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Jawa Barat, Bahan Desa Lokakarya Mini IPM, Bandung, 1997

Badan Pusat Statistik Kabupaten Majalengka, Indikator Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Majalengka Tahun 2006, Majalengka, 2007

Badan Pusat Statistik Kabupaten Majalengka, Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Majalengka Tahun 2006, Majalengka, 2007

Badan Pusat Statistik Kabupaten Majalengka, Kabupaten Majalengka Dalam Angka Tahun 2006, Majalengka, 2007

Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, Analisis Komponen Indeks Pembangunan Manusia Jawa Barat Tahun 1996-1999, Bandung,2000

Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, Data Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Provinsi Jawa Barat Tahun 2007, Bandung, 2007

Biro Pusat Statistik dan UNDP, Ringkasan Laporan Pembangunan Manusia Indonesia 1996, BPS, 1997

Biro Analisis dan Pengembangan Statistik BPS, Penghitungan Indeks Pembangunan Manusia, BPS, 1997

Dajan, Anto, Pengantar Metode Statistik, LP3ES, Jakarta, 1984

Direktorat Metodologi Statistik BPS, Indikator Statistik Bidang Sosial dan Penggunaannya, BPS, 2006

Junadi, Purnawan, Pengantar Analisis Data, Rineka Cipta, Jakarta, 1995 Santoso, Singgih, Pengantar SPSS, Elex Media Komputindo, Jakarta, 1999

Gambar

Tabel  di  atas  memperlihatkan  perbandingan  angka  IPM  dari  kabupaten/kota  di  wilayah Cirebon
Tabel  di  bawah  ini  menunjukkan  pencapaian  RLS  pada  kabupaten/kota  di  wilayah  Ciayumajakungi dan Provinsi Jawa Barat

Referensi

Dokumen terkait

Kepulauan Meranti tidak lepas oleh factor kemiskinan ekonomi, mentalitas, dan kultur yang meilihat politik sebagai sarana untuk hal-hal yang sifatnya

Hasil studi kasus yang telah peneliti lakukan di sekolah SMAN 1 Unggul Darul Imarah diperoleh informasi bahwa kegiatan pembelajaran yang dilakukan di dalam kelas

Dapat dijelaskan, hasil analisis kedisiplinan kerja terhadap kinerja karyawan secara statistik membuktikan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan secara parsial antara

Insiden keselamatan pasien adalah Setiap kejadian atau situasi yang dapat mengakibatkan/ berpotensi mengakibatkan harm (penyakit, cedera, cacat, kematian, dll) pada pasien

independen yang terdiri dari current ratio, return on assets dan total assets turnover dalam penelitian ini mampu menjelaskan variabel dependen yaitu investasi aktiva tetap

Memberikan informasi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku merokok di dalam rumah dan gambaran perilaku merokok di dalam rumah kepada masyarakat

Permasalahan adalah kontribusi akar bambu pada bawah lereng, apakah dapat meningkatkan parameter kekuatan geser tanah terhadap stabilitas lereng tersebut.. Penelitian

Menurut Hamalik (2001), “Praktik kerja pada hakekatnya adalah suatu program latihan yang diselenggarakan di lapangan atau di luar kelas, dalam rangka kegiatan pembelajaran, sebagai