• Tidak ada hasil yang ditemukan

Anityo Laki-laki 39 Tahun dengan Gangguan Cemas Menyeluruh. Anityo Nugroho Faculty of Medicine, Lampung University

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Anityo Laki-laki 39 Tahun dengan Gangguan Cemas Menyeluruh. Anityo Nugroho Faculty of Medicine, Lampung University"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Laki-laki 39 Tahun dengan Gangguan Cemas Menyeluruh

Anityo Nugroho

Faculty of Medicine, Lampung University

Abstrak Serangan panik adalah suatu episode ansietas yang cepat, intens, dan meningkat, yang berlangsung 15 sampai 30 menit, ketika individu mengalami ketakutan emosional yang besar juga ketidaknyamanan fisiologis. Prevalensi gangguan panik pertahunnya adalah 1-2%. Gangguan panik sering ditemukan pada usia produktif antara 18-45 tahun dan lebih banyak ditemukan pada wanita. Tn. S, 39 tahun dengan keluhan merasa dadanya berdebar, keringat dingin dan sulit tidur. Perasaan cemas ini berlangsung beberapa saat dan biasanya hilang apabila pasien berkonsultasi ke dokter. Keluhan muncul sejak ± 3 tahun sebelum masuk rumah sakit, diawali oleh kematian ibu pasien yang menyebabkan pasien memeriksakan diri setiap 6 bulan sekali dan melakukan pemeriksaan gula darah setiap minggu sekali. Pasien didiagnosa mengalami gangguan panik. Pasien diterapi dengan psikofarmaka berupa golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRI) (fluxetin 1x50 mg) dan bendzodiazepin (aprazolam 1x0,5 mg) dan dilakukan intervensi psikososial kepada keluarga dan pasiennya. Kata kunci: serangan panik, SSRI, benzodiazepin

A 39 OLD MAN WITH PANIC DISORDER

Abstract Panic disorder is an anxiety episode of rapid, intense and rising, which lasts 15 to 30 minutes, when individuals experience fear huge emotional discomfort also physiological. The prevalence of panic disorder is 1-2% per-year. Panic disorder is often found in the productive age between 18-45 years and more common in women. Mr.S, 39 years complaints feel chest palpitations, cold sweat and sleeplessness. This anxious feeling lasts a while and usually disappear when patients consult to a doctor. Complaints emerged since ± 3 years ago, beginning with death of patient’s mother that causes the patient check-up every six months and blood sugar checks every other week. Patients diagnosed with panic dissorder. Patients treated with SSRI group psikofarmaka form (fluxetin 1x50mg) and bendzodiazepin (aprazolam 1x0,5mg) and conducted psychosocial interventions to family and patients. Keyword : Panic Disorder, SSRI, Benzodiazepin Korespondensi : Anityo Nugroho, S.Ked., alamat Jl. Abdul Muis 8 No. 9A Gedong Meneng Bandar Lampung, HP 087899288880, e-mail anityo.nugroho.15@gmail.com

Pendahuluan

Serangan panik adalah suatu episode ansietas yang cepat, intens, dan meningkat, yang berlangsung 15 sampai 30 menit, individu mengalami ketakutan emosional yang besar juga ketidaknyamanan fisiologis. Selama serangan panik individu tersebut sangat cemas dan memperlihatkan empat atau lebih gejala berikut: palpitasi, berkeringat, tremor, sesak napas, rasa asfiksi, nyeri dada, mual, distress abdomen, pusing, parastesia, meggigil, atau hot flash.1,2

Pasien gangguan panik sering ditemukan pada mereka yang berada pada usia produktif yakni antara 18-45 tahun. Selain itu penderita gangguan panik lebih umum ditemukan pada wanita, terutama mereka yang belum menikah serta wanita

post-partum.3

Gangguan panik dapat diwariskan secara genetik. Pada kembar monozigot, terdapat 31% kemungkinan bahwa salah satu

kembar tersebut akan mengalami gangguan panik jika kembar yang lain mengalaminya. Angka kejadian pada kerabat tingkat pertama ialah 15%.1,3

Prevalensi gangguan panik pertahunnya adalah 1-2%, dengan prevalensi seumur hidup 1,5-3,5%. Onset tersering adalah pada usia remaja atau pada orang yang berusia pada pertengahan 30 tahun, sedangkan onset setelah usia 45 tahun jarang. Terdapat bukti mengenai transmisi genetik, orang kekerabatan tingkat pertama dengan pasien beresiko empat hingga tujuh kali lebih besar daripada populasi umum.1,4

Angka prevalensi gangguan panik pada tahun tertentu ialah 1-2%. Angka kejadian gangguan yang berlangsung seumur hidup adalah 1,5-3,5%. Setengah dari mereka yang mengalami gangguan panik juga mengalami

agoraphobia. Gangguan panik lebih umum

(2)

dan individu yang tidak menikah. Resiko tersebut meningkat 18% pada individu yang depresi.1,2 Studi ini merupakan studi kualitatif

dengan pendekatan case report.

Kasus

Kasus ini diambil pada tanggal 13 maret 2015 pukul 16.05 WIB di Unit Gawat Darurat (UGD) Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung. Tn. S, Laki-laki, 39 tahun, SMA, Islam, Jawa, Pekerjaan wiraswasta, tinggal di Banding Rejo , pasien datang ke UGD Rumah Sakit Jiwa karena merasa dadanya berdebar dan keringat dingin. Keluhan ini dimulai sejak 1 minggu yang lalu. Sebelumnya terdapat tetangga pasien yang meninggal karena serangan jantung yang membuat pasien takut meninggal seperti tetangganya. Hal ini menyebabkan pasien melakukan check up pada 3 hari yang lalu dan dari hasil pemeriksaan tidak ditemukan kelainan pada tubuh pasien. Namun, pasien tetap merasa ada kelainan pada tubuhnya sehingga membawanya berobat ke UGD. Perasaan cemas ini berlangsung sebentar dan biasanya hilang atau berkurang apabila pasien berkonsultasi ke dokter ataupun bercerita tentang keluhannya kepada temannya. Pasien mengatakan serangan cemas ini berlangsung hilang timbul dan hampir setiap minggu. Keluhan seperti ini terjadi sejak ±3 tahun yang lalu, diawali oleh kematian ibu pasien yang meninggal karena diabetes melitus. Hal ini menyebabkan pasien melakukan check up setiap 6 bulan sekali dan melakukan pemeriksaan gula darah setiap seminggu sekali. Pasien juga telah mendaftarkan dirinya pada beberapa asuransi kesehatan. Hal ini dikarenakan ketakutan pasien akan kondisi tubuhnya.

Perasaan cemas terjadi pada saat apapun, tidak terbatas pada kecemasan pada saat di tempat terbuka ataupun diluar lingkungan keluarga. Pasien tidak pernah merasa tidak berdaya, kehilangan minat, merasa lemas ataupun terpkirkan putus asa dan melakukan bunuh diri. Tidak ada riwayat trauma, mengkonsumsi alkohol maupun obat-obatan terlarang. Selama keluhannya berlangsung, pasien masih dalam keadaan sadar penuh. Tidak pernah mengamuk, berbicara sendiri, mendengar atau melihat sesuatu. Pasien mengatakan tidak memiliki masalah dengan keluarganya, orang sekitar

ataupun masalah dalam ekonomi. Riwayat prenatal dan perinatal dan riwayat masa kanak awal baik pendidikan pasien hingga ke jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA).

Dari status mental, kesadaran pasien

composmentis, sikap pasien selama wawancara kooperatif. Selama wawancara pasien merasa gelisah. Kontak mata dengan pemeriksa baik. Pasien berbicara spontan, lancar, intonasi sedang, volume cukup, kualitas cukup, artikulasi jelas, kuantitas cukup. Mood pasien cemas dengan afek terbatas dan serasi. Tidak ditemukan gangguan persepsi. Bentuk pikiran rasional dan realistik, arus pikir koheren, produktivitas baik, dengan kontinuitas baik, dan tidak didapatkan hendaya berbahasa. Pada isi pikir terdapat cemas dan takut. Pada penilaian fungsi luhur baik. Pasien lebih cenderung menyampaikan apa yang dirasakan dan kurang memperhatikan apa yang disampaikan pemeriksa. Daya nilai pasien tidak terganggu. Pasien menyadari bahwa dirinya sakit tetapi tidak mengetahui penyebabnya. Dari pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya kelainan. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan yang telah dilakukan, diagnosa yang didapat pada pasien adalah Gangguan Panik. Pasien diberikan terapi Golongan SSRI

Fluoxetine 1x10 mg dan Golongan

Benzodiazepin Aprazolam 1x0,5 mg. Pasien dianjurkan untuk kontrol ke poliklinik Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung seminggu kemudian.

Pembahasan

Pada pasien ini ditemukan adanya gangguan perasaan cemas yang bermakna serta menimbulkan suatu distress

(penderitaan) dan disability (hendaya) dalam pekerjaan dan kehidupan sosial pasien, sehingga dapat disimpulkan bahwa pasien ini mengalami gangguan jiwa. Hal ini sesuai dengan definisi gangguan jiwa menurut World

Health Organization (WHO) dimana didapatkan suatu kelompok gejala atau perilaku yang secara klinis ditemukan bermakna dan disertai dengan distress dan yang berkaitan dengan disfungsi/hendaya.3,5

Berdasarkan data-data yang didapat melalui anamnesis psikiatri dan pemeriksaan fisik, tidak ditemukan riwayat demam tinggi, trauma, sakit berat, penurunan kesadaran dan kejang. Hal ini dapat menjadi dasar untuk

(3)

menyingkirkan diagnosis gangguan mental organik (F.0). Selain itu, pasien juga tidak pernah meminum alkohol ataupun obat-obatan terlarang lainnya sehingga dapat menyingkirkan diagnosis gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif (F.1). 3,5-7

Berdasarkan anamnesis juga tidapatkan gangguan dalam kemampuan menilai realitas yang bermanifestasi sebagai terganggunya kesadaran diri (awarness), daya nilai norma sosial (judgement) dan terganggunya daya tilikan diri (insight). Selain itu tidak dapatkan isi pikiran pasien yang bergema dalam dirinya, isi pikirannya dimasukin atau diambil dari luar dan isi pikirannya tersiar. Selain itu juga tidak didapatkan adanya waham baik waham dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu, dipengaruhi, waham dirinya tidak berdaya dan pasrah dan pengalaman menerima mukjizat. Selain itu juga pasien tidak didapatkan adanya halusinasi baik itu auditorik maupun visual. Hal ini dapat menjadi dasar untuk menyingkirkan diagnosis skizofrenia, skizotipal dan gangguan waham (F.2).6,7

Pada pasien juga tidak didapatkan gangguan suasana perasaan baik berupa afek yang meningkat, disertai peningkatan dalam jumlah dan kecepatan aktivitas fisik dan mental. Selain itu pasien tidak didapatkan gejala depresi baik gejala utama maupun gejala tambahan. Hal ini dapat menjadi dasar untuk menyingkirkan diagnosis gangguan suasana perasaan (F.3). 6-8

Pada pasien didapatkan perasaan dadanya berdebar, keringat dingin, nyeri atau tidak nyaman di dada dan rasa takut meninggal. Dimana perasaan kecemasan ini timbul secara episodik dan pada keadaan yang secara objektif tidak ada bahaya. Pada pasien

ini sudah memeneuhi kriteria diagnosis panik menurut DSM V merupakan suatu periode diskret rasa takut atau ketidaknyamanan yang intens dengan tiba-tiba muncul 4 gejala dari 13 gejala berikut dan mencapai puncaknya dalam 10 menit 9,10 :

• Merasa pusing, tidak stabil berdiri, hingga pingsan

• Palpitasi, berdebar-debar, denyut jantung bertambah cepat • Nyeri dada, rasa tidak nyaman di dada • Merasa sesak, bernapas pendek • Mual atau distress abdominal • Gemetaran • Berkeringat • Rasa panas di kulit, menggigil • Mati rasa, kesemutan

• Merasa kehilangan kontrol, seperti mau gila

• Takut mati

• Leher serasa dicekik

• Derealisasi, depersonalisasi (merasa seperti terlepas dari diri sendiri)

Sehingga pada pasien telah memenuhi kriteria panik menurut DSM V karena telah memenuhi 4 kriteria. 7,10

PPDGJ-III gangguan panik baru ditegakkan sebagai diagnosis utama bila tidak ditemukan adanya gangguan anxietas fobik. Pada pasien ini tidak ditemukan gejala agorafobia, fobia sosial maupun fobia khas.

Karena menurut pasien episode

kecemasannya ini dapat terjadi pada saat apapun, tidak terbatas pada kecemasan pada saat di tempat terbuka ataupun di luar lingkungan keluarga. Sehingga dapat disingkirkan gangguan ansietas fobik.11

Pembagian gangguan anxietas dapat dilihat pada Gambar 1.

(4)

Gambar 1. Pembagian Gangguan Anxietas. 6

Menurut PPDGJ-III kriteria diagnosis gangguan panik, harus ditemukan adanya beberapa kali serangan ansietas berat dalam masa kira-kira satu bulan 6,7 :

1. Pada keadaan dimana sebenarnya secara objektif tidak ada bahaya.

2. Tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau yang dapat diduga sebelumnya (unpredictable situation). 3. Dengan keadaan yang relatif dari

gejala-gejala anxietas pada periode diantara serangan-serangan panik (meskipun demikian umumnya dapat terjadi juga “anxietas antipsikotik” yaitu anxietas yang terjadi setelah membayangkan sesuatu yang mengkhawatirkan akan terjadi.

Pada pasien juga didapatkan ansietas antisipatorik yaitu ansietas yang terjadi setelah membayangkan sesuatu yang mengkhawatirkan akan terjadi. Hal ini dilihat dari pasien yang melekukan check up berkala, test gula darah hingga mendaftarkan diri pada beberapa asuransi kesehatan. Dari anamnesis gejala tidak didapatkan selama 1 minggu ini namun dimulai sekitar ± 3 tahun yang lalu. Pada status mental didapatkan selama wawancara pasien merasa gelisah. Mood pasien cemas dengan afek terbatas dan serasi. Tidak ada gangguan persepsi. Pada isi pikir

terdapat cemas dan takut sehingga diagnosis untuk aksis I adalah Gangguan panik (Ansietas Paroksismal Episodik) [F.41.0]. 6,10,12

Diferensial diagnosis pada kasus ini juga dapat disingkirkan yaitu diagnosis gangguan cemas menyeluruh (F41.1). Hal ini dikarenakan tidak ditemukan ansietas yang berlangsung setiap hari untuk beberapa bulan yang tidak terbatas atau hanya menonjol pada keadaan tertentu saja. Karena pada pasien ini keluhan dirasakan hampir setiap minggu yang hilang timbul. Dignosis gangguan somatoform (F45) juga dapat disingkirkan karena pemeriksaan check up dan pemeriksaan gula darah dilakukan pasien sebagai ansietas antisipatorik dan disertai dengan mendaftarkan diri pada beberapa asuransi kesehatan. Selain itu serangan cemas juga bersifat hilang timbul bukan secara terus menerus.11

Axis II

Aksis II tidak ada diagnosis karena pada autoanamnesa tidak didapatkan gangguan tumbuh kembang pada usia kanak-kanak dan remaja. Pasien menyelesaikan pendidikan SD hingga SMA nya dengan baik. Hal ini menyingkirkan diagnosis retardasi mental (F.70). 11

Anxietas Episodik Gangguan Anxietas Kontinyu

Gangguan Anxietas Menyeluruh

Pola campuran

Agorafobia dengan panik Pada sembarang situasi Gangguan Panik Agorafobia Fobia Sosial Fobia Spesifik Pada situasi tertentu Gangguan Fobik Gangguan Anxietas

(5)

Axis III

Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak ditemukan riwayat penyakit fisik. Dari pemeriksaan didapatkan TD 130/90 mmHG.

Oleh karena itu dapat disimpulkan pada aksis III diagnosisnya prehipertensi sesuai dengan kriteria dari JNC VII tertera pada Tabel 1.6,9

Tabel 1. Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC VII 9

Axis IV

Pasien tidak memiliki masalah dalam keluarga, lingkungan tempat tinggalnya, lingkungan kerja dan sosial. Oleh karena itu dapat disimpulkan pada aksis IV tidak ada diagnosis. 11

Axis V

Penilaian terhadap kemampuan pasien untuk berfungsi dalam kehidupannya menggunakan skala Global Assessment of

Functioning (GAF). Pada saat dilakukan

wawancara, skor GAF 50-41 (gejala berat (serious) dan disabilitas berat). GAF tertinggi selama satu tahun terakhir adalah GAF 80-71 (gejala sementara dan dapat diatasi, disabilitas ringan dalam social, pekerjaan, sekolah, dll). Hal ini ditandai dengan pasien mampu melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri disertai gejala yang ringan.11

Pada pasien dipulangkan dan diberikan terapi Golongan SSRI Fluoxetine 1 x 10 mg dan Golongan Benzodiazepin Aprazolam 1 x 0,5 mg. Menurut guideline American

Psychiatric Assosiation 2010 tentang panic disorder, kriteria rawat inap untuk pasien

panik adalah terdapat kelainan yang disertai bunuh diri (melukai diri sendiri), pada kasus berat dimana terapi rawat jalan tidak efektif. sehingga pada pasien ini tidak memenuhi

kriteria rawat inap pada pasien gangguan panik.1,6,13,14

Untuk terapi inisial pada gangguan panik meliputi psikofarmaka dan terap psikososial. Tetapi belum terdapat data yang cukup yang mengatakan superioritas dari masing-masing terapi maupun perbandingan antara kombinasi psikofarmaka sebagai monoterapi dengan terapi psikosial yang dikombinasikan. 1,13,15,16

Psikofarmaka yang bermanfaat dalam gangguan panik meliputi SSRI,

Serotonin-Norepinephrine Reuptake Inhibitor (SNRI), Tricyclic Antidepressant (TCA), benzodiazepine. 1,13,15,16

Pada kasus digunakan fluksetin karena obat ini memiliki efek kardiologik yang minimal dibandingkan obat antidepresi golongan yang lain. Selain itu golongan SSRI juga memiliki efek samping lain yang minimal, spektrum antidepresi yang luas, dengan gejala putus obat sangat minimal, serta lethal dose yang tinggi (>6000mg) sehingga relatif aman untuk pasien ini yang berobat jalan. Seperti pada pasien ini, pemberian fluoksetin digunakan pada dosis kecil (10 mg) untuk melihat pengaruh dari dosis tersebut terhadap pengendalian kecemasan. Pada pasien ini pemberian SSRI ditambah dengan aprazolam

(6)

yang merupakan benzodiazepin potensi tinggi. Hal ini dikarenakan efek obat fluoxetin baru akan muncul setelah dua minggu.13,17,18

Pada pasien seharusnya selain terapi psikofarmaka terapi yang dapat diberikan adalah pskoterapi. Menurut panduan APA psikoterapi yang terpilih untuk gangguan panik adalah Cognitive Behavioral Therapy (CBT).13,17,19,20

Terdapat beberapa metode CBT, beberapa diantaranya yakni metode restrukturisasi, terapi relaksasi, terapi bernapas, dan terapi interocepative. Inti dari terapi CBT adalah membantu pasien dalam memahami cara kerja pemikiran otomatis dan keyakinan yang salah dapat menimbulkan respon emosional yang berlebihan, seperti pada gangguan panik.1,7,20,21

Terapi restrukturisasi, melalui terapi ini pasien dapat merestrukturisasi isi pikirannya dengan cara mengganti semua pikiran – pikiran negatif yang dapat mengakibatkan perasaan tidak menyenangkan yang dapat memicu serangan panik dengan pemikiran-pemikiran positif. Terapi relaksasi dan bernapas dapat digunakan untuk membantu pasien mengontrol kadar kecemasan dan mencegah hypocapnia ketika serangan panik terjadi. Semua jenis CBT seperti di atas dapat dilakukan pasien dengan atau tanpa melibatkan dokter. 1,7,22

Namun salah satu metode CBT seperti

interoceptive therapy, dalam terapi ini setiap

pasien mengalami serangan, serangan tersebut diinduksi dalam lingkungan yang terkontrol untuk memungkinkan pasien untuk menghadapi rasa takutnya dan belajar menguasainya. Latihan seperti ini berlangsung selama satu menit. 23

Interoceptive theraphy terbukti berhasil

pada 87% pasien harus dilakukan dengan bantuan dokter di suatu lingkungan yang terkontrol. Karena terapi ini dilakukan dengan memberikan paparan yang dapat menstimulus serangan panik pasien dengan cara meningkatkannya sedikit demi sedikit hingga pasien mengalami desensitasi terhadap stimulus tersebut. Adapun beberapa teknik yang dapat dilakukan untuk mendesensitasi gangguan panik antara lain22,23:

• Hiperventilasi disengaja – ini dapat mengakibatkan kepala pusing, derealisasi, dan pandangan menjadi kabur

• Melakukan putaran pada kursi ergonomis – ini dapat mengakibatkan rasa pusing dan disorientasi

• Bernapas melalui pipet – ini dapat mengakibatkan sesak napas dan konstriksi saluran napas

• Menahan napas - ini dapat menciptakan sensasi seperti pengalaman menjelang ajal • Menegangkan badan – untuk menciptakan

perasaan tegang dan waspada

Semua tindakan di atas dilakukan tidak boleh lebih dari 1 menit. Kuncinya dari teknik di atas adalah menciptakan sejumlah stimulus yang menyerupai serangan panik. Latihan-latihan tersebut diulangi 3-5 kali sehari hingga pasien tidak lagi merasakan kepanikan terhadap stimulus seperti itu. Biasanya butuh waktu hingga beberapa minggu untuk dapat mencapai hal itu. 1,19

Pemaparan terhadap stimulus tersebut dilakukan agar pasien dapat belajar melalui pengalaman bahwa semua sensasi internal yang dia rasakan seperti sesak napas, pusing dan pandangan yang kabur bukanlah hal yang harus ditakuti. Ketika pasien mulai menyadari hal tersebut maka secara otomatis,

hippocampus dan amygdala, yang merupakan

pusat emosi, akan ikut mempelajarinya sebagai hal yang tidak perlu ditakuti, sehingga respon sistem simpatik akan ikut berkurang.1,7,24

Ada beberapa pertimbangan yang memperngaruhi prognosis pasien25.

Faktor yang meringankan : • Dukungan keluarga

• Motivasi yang kuat (keinginan kuat yang ingin sembuh)

• Tidak ada riwayat keluarga (keluarga pasien tidak ada yang mengalami gangguan yang sama) Faktor yang memperberat: • Kambuh-kambuhan • Jarak rumah dengan RSJ relatif jauh Dari data tersebut dapat terlihat bahwa daftar yang memperingan lebih banyak dibanding yang memperberat sehingga di prognosis dubia ad bonam, selain itu kasus ini tidak terdapat gangguan psikosis yang dapat memperberat prognosis.25

Simpulan

Gangguan panik adalah ditandai dengan terjadinya serangan panik yang spontan dan

(7)

tidak diperkirakan. Kecemasan berupa ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan terus-menerus. Faktor psikologis, peristiwa kehidupan menegangkan, hidup transisi, lingkungan, dan berpikir dengan cara yang melebih-lebihkan reaksi tubuh relatif normal juga diyakini berperan dalam timbulnya gangguan panik diagnosis gangguan panik berdasarkan suatu periode tertentu adanya rasa takut atau rasa tidak nyaman. Tatalaksana untuk gangguan panik dibagi 2 yaitu pada saat serangan panik dan tidak pada saat serangan panik. Penderita dengan fungsi premorbid yang baik serta durasi serangan yang singkat bertendensi untuk prognosis yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. American Psychiatric Assosiation. Practice guideline for the treatment of patients with panic disorder second edition. New York: American Psychiatric Assosiation; 2010.

2. Barlow DH, Craske MG. Mastery of your anxiety and panic: patient workbook. USA: Oxford University Press; 2006. 3. McLean PD, Woody SR. Panic disorder

and agoraphobia. Dalam: Anxiety disorders in adults. Vancouver: Oxford University Press; 2001.

4. Davies, T. ABC Kesehatan Mental. Jakarta: EGC; 2009.

5. Atkinson RL, Atkinson Richard, Smith, Edward. Hilgard's introduction to psychology. New York: Harcourt College Publishers; 2002.

6. Elvira, S and Hadisukanto, G. Buku ajar psikiatri. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2013.

7. Sadock BJ, Kaplan. Kaplan & sadock's synopsis of psychiatry: behavioral sciences/clinical psychiatry. Philladelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2007. 8. Memon MA. Panic disorder. Medscape

[Internet]. 2011 March [diakses tanggal 20 April 2014]. Tersedia dari: http://emedicine.medscape.com/article/ 287913-overview.

9. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, Crushman WC. The seventh report of the joint national committee on prevention,

evaluation and treatment of high blood pressure: the JNC 7 report. JAMA. 2003; 2560-72.

10. Greist JH, Jefferson JW. Anxiety disorder. Review of general psychiatry. Baltimore: Vishal Cp 21; 2000.

11. Maslim, R. Buku saku diagnosis gangguan jiwa rujukan ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Atmajaya; 2003.

12. Neale JM, Davidson GC. Abnormal psychology. New York: John Wiley & Sons Inc; 2001.

13. Cloos JM. Treatment of panic disorder. Medscape [Internet]. 2005 [diakses tanggal 20 April 2014]. Tersedia dari: http://www.medscape.com/viewarticle/4 97207_1.

14. Swinson RP, Anthony MM, Bleau P. Clinical practice guidelines : management of anxiety disorder. Can J Psychiatry. 2006;51(2):1-10

15. American Psychiatric Association. Practice guideline for treatment of patients with panic disorder. USA: American Psychiatric Association; 2010.

16. Zadeh FJ. A comparative study of the efficacy of group versus individual cognitive behaviour therapy in the treatment of panic disorder. Wuppertal: Bergische University Press; 2014.

17. Maslim R. Penggunaan klinis obat psikotropika. Jakarta: PT Nuh Jaya; 2010. 18. Meca JS, Ana RA, Fulgencio MM.

Psycological treatment of panic disorder with or without agoraphobia: Clinical Psychology Review. 2010;30(4):37-50. 19. American Psyciatric Association.

Diagnostic and statistical manual of mental disorder V. USA: American Psychiatric Publishing; 2014.

20. Yoshinaga N, Hayashi Y, Yamazaki Y, Moriuchi K, Doi M. Development of nursing guidelines for inpatients with obsessive-compulsive disorder in line with the progress of cognitive behavioral therapy: a practice report. J Depress Anxiety. 2014;3(2):1-10.

21. Ham P, Waters DB. Treatment of panic disorder. American Family Physician. 2005;71(4):1-18.

(8)

22. Spett, M. Cognitive-behaviour therapy for panic attacks. The Journal of Psychiatry and Law. 2008;34(2):12-18.

23. The Royal Australan and New Zealand College of Psychiatrists. Panic disorder and agoraphobia. Australia: The Royal

Australan and New Zealand College of Psychiatrists; 2009.

24. Videbeck, S L. Buku ajar keperawatan jiwa. Jakarta: EGC; 2008.

25. Amir, Nurmiati. Luaran terapi pada gangguan depresi major. Cermin Dunia Kedokteran. 2012; 39(2):32-40.

Gambar

Tabel	1.	Klasifikasi	Hipertensi	Menurut	JNC	VII 	 9

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, titik tekan undang-undang desa adalah yang menyangkut tentang bagaimana nantinya kebijakan ini diharapkan memiliki kemampuan untuk menciptakan sebuah

minggu, mulai dari bulan Januari sampai Februari 2017.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian tepung daun pepaya (Carica papaya L) dalam

Pemakaian/ dosis obat untuk pasien harus tepat atau sesuai dengan Dosis Lazim supaya efek terapi tercapai, jika pada perhitungan dosis ternyata pemakaian obatnya kurang

Sikap masyarakat yang kontra terhadap keunggulan lokal di daerah Jepara Perbatasan diantaranya adalah untuk pembuatan lawang gebyok ukir membutuhkan modal yang lumayan

24/12/2010 BY KOMARUDIN AL‐FIKRI UNCATEGORIZED 24 KOMENTAR

1) Mengkonkretkan konsep-konsep yang abstrak, maksudnya konsep- konsep yang sekiranya masih sulit dijelaskan secara langsung kepada anak, dapat disederhanakan melalui

Cancel Anytime... Ada dua ara3an. Kemampuan dan !eterampilan ini merupa!an dua !n'ep an# )er)eda. Kemampuan Kemampuan dan !eterampilan ini merupa!an dua !n'ep an#

Gejala-gejala skizofrenia pada umumnya dibagi dalam tiga kategori yaitu gejala positif termasuk halusinasi, delusi, gangguan pemikiran (kognitif); gejala negatif ini