• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III DASAR TEORI .. (3 1) OIP. dimana : OIP = Moveable Oil in Place, STB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB III DASAR TEORI .. (3 1) OIP. dimana : OIP = Moveable Oil in Place, STB"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

15

Fluida hidrokarbon pada reservoir yang baru ditemukan umumnya mampu didorong oleh tenaga pendorong alamiah tanpa bantuan tenaga dari luar melalui sumur-sumur produksi. Hal ini yang disebut dengan tahap primary recovery.

Akan tetapi, kemampuan reservoir mendorong fluida ke permukaan tidak dapat berlangsung terus-menerus karena tekanan reservoir yang sudah mulai turun.

Penurunan tekanan yang terlalu cepat mengakibatkan rendahnya faktor perolehan minyak yang dapat diproduksikan. Penurunan tekanan reservoir dapat diperlambat bila terjadi perembesan air ke dalam reservoir. Air ini berperan sebagai pengisi, pengganti minyak yang terproduksi, dan sebagai fluida pendesak. Prinsip ini adalah prinsip perolehan minyak tahap kedua (secondary recovery), dimana minyak diproduksikan dari reservoir melalui sumur produksi akibat pendesakan air yang diinjeksikan ke reservoir melalui sumur injeksi (waterflood). Dalam skripsi ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai injeksi air (waterflood).

3.1. Perkiraan Kandungan Minyak pada Saat Start Waterflood

Perkiraan kandungan minyak pada saat start waterflood yaitu Moveable Oil In Place (OIP) merupakan langkah pertama dalam menentukan tahap pengembangan yang akan dilakukan. Dengan mengetahui besarnya cadangan dan didukung dengan data produksi maka dapat ditentukan kondisi suatu lapangan, apakah lapangan tersebut mampu dan layak untuk dikembangkan atau tidak.

Metode volumetrik merupakan metode yang umum digunakan apabila data produksi belum tersedia. Besarnya moveable oil in place dengan metode volumetrik dapat dihitung dengan persamaan berikut :

 

oi

w b

B

S

OIP V

7758

1 ………..…………(3–1)

dimana :

OIP = Moveable Oil in Place, STB

(2)

S wi = Saturasi water pada saat start waterflood, fraksi

 = Porositas, fraksi Vb = Bulk volume, acre-ft

B = Faktor volume formasi minyak initial, BBL/STB. oi

3.2. Injeksi Air (Waterflood)

Injeksi air yang ditujukan untuk pressure maintenance dilakukan pada lapisan aquifer, sedangkan injeksi air yang bertujuan untuk mendesak minyak dilakukan pada formasi berisikan hidrokarbon dengan menggunakan pola sumur injeksi – produksi. Proses pendesakan ini dilakukan hingga WOR (water-oil ratio) tinggi dan melebihi dari batas ekonomis yang sudah ditentukan oleh perusahaan.

Pada umumnya sumur-sumur yang sudah ada sebelum injeksi dipergunakan secara maksimal pada waktu berlangsungnya injeksi. Dalam memilih dan menempatkan sumur baru menggunakan peta distribusi cadangan minyak sisa. Selain itu, peta isopermeabilitas juga diperlukan dalam menentukan arah aliran sehingga penembusan fluida injeksi (breakthrough) tidak terjadi terlalu dini.

Keuntungan dari pelaksanaan waterflood dibandingkan dengan metode perolehan tahap kedua yang lainnya, antara lain adalah air sangat mudah untuk didapat, relatif mudah diinjeksikan dan mampu menyebar dalam reservoir, lebih efisien dalam mendesak minyak, dan menguntungkan secara ekonomis.

Injeksi air (waterflood) merupakan metode perolehan minyak tahap kedua dengan menginjeksikan fluida ke dalam reservoir sebagai tambahan energi, untuk mendapatkan perolehan minyak yang akan bergerak dari reservoir menuju sumur produksi. Waterflood dilakukan karena reservoir tersebut telah mendekati batas ekonomis produktif melalui perolehan tahap pertama (primary recovery). Air merupakan fluida yang efektif dalam mendesak minyak karena air relatif baik untuk berbagai kondisi reservoir, jenis batuan, dan sifat-sifat fluidanya. Proses ini disebut displace oil with water (mengganti minyak dengan air).

(3)

3.3. Kriteria Karakteristik Reservoar untuk Injeksi Air

Walaupun banyak keunggulannya tetapi dalam penerapan injeksi air di lapangan mempunyai batasan-batasan, tidak semua reservoir baik untuk dilakukan waterflood. Oleh karena itu diperlukan studi untuk mengetahui karakteristik resevoar yang cocok berdasarkan screening criteria yang sesuai, atau dengan kata lain untuk pemilihan metode waterflood harus memenuhi data atau kondisi dari karakteristik reservoar yang bersangkutan. Kegagalan operasi akan dapat terjadi jika reservoir mempunyai kriteria :

- Minyak berat (sangat baik jika dilakukan injeksi uap),

- Adanya gas cap reservoar (sangat baik jika dilakukan injeksi gas dari atas), - Swc terlalu tinggi,

- Adanya channeling yang besar,

- Dari segi teknik seperti casing sumur bocor dan penyemenan yang jelek akan menyebabkan air hilang dan keluar dari reservoar.

Untuk menghindari kegagalan penerapan waterflood maka ada beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan untuk dilakukannya operasi waterflood pada suatu reservoar, yaitu:

- Recovery factor (RF) dari reservoar masih rendah, menandakan bahwa cadangan sisa dari initial oil in place masih tinggi,

- Gas oil ratio (GOR) masih rendah, menandakan fluida reservoar berada pada phase undersaturated,

- Batuan reservoar bersifat water wet, menandakan air mempunyai sifat menempel pada batuan sehingga minyak lebih mudah mengalir,

- Reservoar dengan Swc rendah, menandakan saturasi minyak besar,

- Viscositas minyak rendah, menandakan minyak mudah mengalir karena mudah didesak.

Batasan-batasan karakteristik reservoir untuk injeksi air dapat dilihat pada Tabel III-1.

(4)

Tabel III-1

Screening Criteria Waterflood

Parameter Reservoir Unit Harga

Oil Gravity Viscositas minyak

Saturasi gas Saturasi air Permeabilitas batuan

Tekanan reservoir Temperatur reservoir Kedalaman reservoir

Jenis batuan

oAPI Cp

%

% mD

Psi

oF Feet

> 20

< 30

> 5

< 60

> 10

< 1500 NC

> 1000

Batu pasir / Karbonat Keterangan:

NC = Not Critical (tidak dibatasi).

3.4. Karakteristik Reservoir yang Berpengaruh Pada Waterflood

Karakteristik batuan dan fluida yang berperan penting dalam waterflood antara lain: porositas, saturasi fluida, permeabilitas relatif, tekanan kapiler, wettabilitas, dan mobilitas fluida. Parameter-parameter tersebut merupakan konsep dasar dalam pendesakan tak tercampur dan perlu diperhatikan agar pendesakan maksimal.

3.4.1 Saturasi Fluida

Saturasi yaitu perbandingan antara volume pori-pori batuan yang ditempati oleh suatu fluida tertentu dengan volume pori-pori total pada suatu batuan berpori.

Pori-pori batuan yang berisi fluida baik 3 fasa maupun 2 fasa, jumlah saturasinya adalah satu.

Saturasi minyak, gas dan air yang terdapat sebelum injeksi dimulai disebut saturasi awal (initial saturation). Besarnya harga saturasi awal tergantung dari tahap produksinya. Reservoir yang telah dilakukan tahap produksi primer, maka saturasi minyak yang ditinggalkan merupakan saturasi minyak awal produksi tahap kedua (secondary recovery). Dalam perencanaan project waterflood saturasi air seharusnya masih rendah yang menandakan saturasi minyak yang masih besar.

(5)

3.4.2. Permeabilitas Relatif

Permeabilitas didefinisikan sebagai kemampuan dari suatu batuan untuk mengalirkan fluida. Permeabilitas batuan merupakan fungsi dari tingkat hubungan ruang antar pori-pori dalam batuan. Definisi kuantitatif permeabilitas pertama- tama dikembangkan oleh Henry Darcy (1856) dalam hubungan empiris dengan bentuk differensial sebagai berikut :

dx dP V  k

 . ………..……….……...(3–2) Keterangan :

V = kecepatan aliran, cm/sec

= viscositas fluida yang mengalir, cp

dP/dx = gradien tekanan dalam arah aliran, atm/cm k = permeabilitas media berpori, mD.

Tanda negatif dalam persamaan (3–2) menunjukkan bahwa bila tekanan bertambah dalam satu arah, maka arah alirannya berlawanan dengan arah pertambahan tekanan tersebut.

3.4.3. Tekanan Kapiler

Tekanan kapiler didefinisikan sebagai perbedaan tekanan yang terjadi antara permukaan dua fluida yang tidak saling bercampur (cairan-cairan atau cairan-gas) di dalam sistem kapiler. Perbedaan tekanan dua fluida ini adalah perbedaan tekanan antara fluida non-wetting (Pnw) dengan fluida wetting (Pw). Tekanan kapiler secara matematis dapat dituliskan :

Pc = Pnw – Pw...(3-3) Dalam waterflood, air pada umumnya merupakan fasa yang membasahi (fasa wetting) di dalam suatu reservoir, sedangkan minyak sebagai fasa tak membasahi (fasa non-wetting).

Tekanan kapiler umumnya dihubungkan dengan saturasi air (Gambar 3.1.)

(6)

Gambar 3.1.

Kurva Tekanan Kapiler

(Ahmed, Tarek. 2001. Reservoir Engineering Handbook 2nd Edition) 3.4.4. Wettabilitas

Wettabilitas yaitu kemampuan batuan untuk dibasahi oleh fluida.

Kecenderungan fluida untuk menyebar dan menempel dikarenakan adanya gaya adhesi. Dalam pelaksanaan waterflood, wettabilitas berperan dalam penentuan tekanan injeksi dimana apabila batuan bersifat water-wet maka air cenderung untuk melekat pada batuan sedangkan minyak berada diantara fasa air dan tidak mengalami gaya tarik menarik dengan batuan sehingga minyak dapat dengan mudah mengalir. Sedangkan batuan yang bersifat oil-wet maka minyak cenderung melekat pada batuan sehingga pada operasi waterflood diperlukan tekanan injeksi yang besar. Penentuan oil-wet dan water-wet ini dapat dilihat pada grafik permeabilitas relatif versus saturasi air.

Pada Gambar 3.2. dan Gambar 3.3., memperlihatkan skematis perubahan distribusi fluida selama proses drainage dan imbisisi di dalam pori-pori batuan yang besarnya dipengaruhi oleh derajat kebasahan. Pada oil-wet dimana batuan dibasahi oleh minyak terjadi proses drainage yaitu proses dimana fluida pembasah akan berkurang, sedangkan pada water-wet dimana batuan dibasahi oleh air akan terjadi proses imbibisi, yaitu proses dimana fluida pembasah akan bertambah. Dengan adanya sifat batuan oil-wet dan water-wet akan menimbulkan adanya tegangan antarmuka (interfacial tension). Akibat tegangan antarmuka maka akan terbentuk tekanan kapiler.

(7)

Gambar 3.2.

Skematis dari Proses Imbibition Perpindahan Minyak oleh Air, pada Batupasir Oil-Wet Sudut Kontak = 0

(Lee, John W. 1995. Waterflooding Industry School)

Gambar 3.3.

Skematis dari Proses Drainage Perpindahan Minyak oleh Air, pada Batupasir Oil-Wet Sudut Kontak = 0

(Lee, John W. 1995. Waterflooding Industry School) 3.5. Efisiensi Kinerja Waterflood

Kinerja waterflood dapat dianalisa dengan menghitung efficiency recovery (ER) dimana efficiency recovery (ER) dapat didefinisikan sebagai fraksi initial oil in place yang diperoleh dari reservoar.

ER = volume HC yang terambil

volume HC mula-mula saat dimulai project... (3–4) Efficiency recovery dapat dihitung dari efisiensi pendesakan, efisiensi penyapuan areal dan efisiensi penyapuan vertikal.

ER = ED EA EI... (3–5)

(8)

Jumlah minyak yang dapat diperoleh selama diproduksikan dengan waterflood dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

Np = N ED EA EI = N ER... (3–6) 3.5.1. Efisiensi Pendesakan

Efisiensi pendesakan (ED) adalah perbandingan jumlah minyak yang diperoleh dengan jumlah minyak mula-mula di dalam reservoar.

ED = (initial oil – remaining oil) / initial oil

= [(Soi/Boi) – (So/Bo)] / (Soi/Boi)

= 1 – (So Boi/ Soi Bo) ………..…………... (3–7) 3.5.2. Efisiensi Penyapuan Areal

Didefinisikan sebagai fraksi areal reservoir yang tersapu oleh air. Efisiensi penyapuan areal sangat dipengaruhi oleh mobility ratio dan hubungan antara sumur injeksi dengan produksi (pola sumur injeksi-produksi). Penyapuan secara areal dapat dilihat pada Gambar 3.4. Persamaan yang digunakan dalam menentukan penyapuan areal yaitu :

EA = area yang tersapu dalam pola

luas total pola ... (3–8)

Gambar 3.4.

Pola – Pola Penyapuan Areal

(Ahmed, Tarek. 2001. Reservoir Engineering Handbook 2nd Edition)

(9)

3.5.3. Efisiensi Penyapuan Vertikal

Efisiensi vertikal (invasi) didefinisikan sebagai luas bagian cross-section yang terinjeksi oleh air dibagi dengan cross-section area seluruh layer di belakang front air injeksi.

Efisiensi penyapuan vertikal dipengaruhi oleh mobilitas ratio dan variasi vertikal dari permeabilitas horizontal. Dalam persamaan sebagai berikut :

EI = area yang terinvasi oleh air injeksi

area terjauh dari invasi air ………..……….. (3–9)

3.5.4. Efisiensi Penyapuan Volumetrik

Efisiensi penyapuan volumetrik (EV) adalah hasil kali efisiensi penyapuan vertical dikali dengan efisiensi penyapuan areal, jika dalam persamaan dinyatakan sebagai berikut :

EV = EA x EI ………. (3–10) 3.6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Operasi Waterflood

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan operasi waterflood antara lain :

3.6.1. Perbandingan Mobilitas Fluida

Mobilitas fluida adalah suatu ukuran yang menunjukkan kemudahan suatu fluida untuk mengalir melalui media berpori dengan suatu gradien tekanan tertentu. Adapun mobilitas fluida disini didefinisikan sebagai perbandingan antara permeabilitas efektif fluida terhadap viskositas fluida tersebut pada kondisi reservoar, dimana sesuai dengan persamaan:

f f f

M k

  ..………..……….... (3–11)

Mobilitas Air,

w w w

M k

  ………...……….. (3–12)

Mobilitas Minyak,

o o o

M k

  ………...………... (3–13)

(10)

Pada waterflood perbandingan mobilitas didefinisikan sebagai perbandingan antara mobilitas fluida pendesak (air) dengan mobilitas fluida yang didesak (minyak). Sehingga memenuhi persamaan :



 



 

o o w w

d D

k k M

 ………..……… (3–14)

Perbandingan mobilitas yang tinggi mengindikasikan efisiensi penyapuan dan perolehan minyak rendah. Terdapat tiga kondisi yang menyatakan perbandingan mobilitas, yaitu:

a. Jika M = 1

Artinya besarnya mobilitas fluida pendesak dan fluida yang didesak besarnya sama.

b. Jika M > 1

Artinya besarnya mobilitas fluida pendesak lebih besar bila dibandingkan dengan mobilitas fluida yang didesak, sehingga air sebagai fluida pendesak akan menorobos minyak dan mengakibatkan terjadinya water fingering.

Kondisi ini memberikan efisiensi pendesakan air yang kurang baik dalam pelaksanaan project waterflood.

c. Jika M < 1

Artinya besarnya mobilitas fluida pendesak lebih kecil daripada mobilitas fluida yang didesak. Kondisi ini yang diharapkan karena efisiensi penyapuan fluida pendesak terhadap fluida yang didesak sangat baik. Fluida pendesak (air) dapat menyapu minyak (fluida yang didesak) dengan bersih karena pergerakan secara perlahan dapat menyapu minyak, hal ini akan meningkatkan saturasi minyak di depan front. Pola yang dianjurkan pada kondisi ini yaitu lebih banyak sumur injeksi daripada sumur produksi.

3.6.2. Laju Injeksi

Dalam operasi waterflood, laju injeksi dapat saja dilakukan pada rate yang tinggi sehingga akan segera didapat recovery yang besar, akan tetapi dalam realisasinya bila rate injeksi dibuat terlalu besar, maka akan terjadi penerobosan-

(11)

penerobosan (fingering, channeling) oleh air akan besar pula, yang mana nantinya akan mempengaruhi efisiensi pendesakannya, sebaliknya bila rate injeksi rendah maka dapat menimbulkan pengaruh gravitasi dan dapat mendesak minyak yang terperangkap dalam pori-pori batuan yang kecil tetapi recovery yang dihasilkan kecil.

Laju injeksi optimum perlu diketahui untuk menentukan ukuran dari peralatan pompa dan instalasi lain yang digunakan dan untuk mengetahui batasan injeksi agar tidak terjadi rekahan-rekahan yang dapat mempengaruhi keberhasilan dari suatu operasi waterflood dikarenakan laju injeksi yang terlalu besar dari kekuatan formasinya.

3.6.3. Sifat-sifat Air Injeksi

Keberhasilan dan kegagalan suatu operasi injeksi air sangat dipengaruhi oleh keadaan atau sifat-sifat air injeksi yang dipakai sebagai fluida injeksi, apakah cocok dengan air pada formasi yang bersangkutan atau malah menyebabkan kerusakan pada formasi reservoar, seperti terjadinya problem plugging dan scale serta problem korosi yang dapat menyebabkan kerusakan pada peralatan yang tersedia.

3.6.4. Konsep Pendesakan Minyak Oleh Air

Mekanisme pendesakan minyak oleh air pada prinsipnya adalah bahwa air bergerak dari daerah saturasi air yang tinggi ke daerah bersaturasi air yang rendah.

Oleh karena itu, air akan mendesak minyak dengan mengubah daerah yang telah didesaknya menjadi bersaturasi air lebih tinggi. Hal ini bertujuan agar pada titik injeksi, saturasi air di dalam reservoar bernilai tinggi dengan kata lain jika saturasi air tinggi berarti volume pori yang terisi oleh air juga tinggi karena saturasi air dengan dengan volume pori yang terisi air berbanding lurus. Pendesakan minyak oleh air dengan penginjeksian yang sifatnya kontinyu akan memperkecil saturasi minyak yang ada di belakang front, tepatnya pada titik injeksinya (Gambar 3.5).

Kondisi ini memang diharapkan karena mengupayakan minyak sisa yang berada di titik injeksi terus berkurang dan mengalir menuju sumur produksi.

(12)

Gambar 3.5.

Keadaan Proses Pendesakan

(Budiharjo, S. Harry. 1994. Diktat Kuliah Teknik Pengurasan Reservoir Lanjut)

Dalam konsep pendesakan minyak oleh air dalam pori-pori batuan, terdapat dua macam konsep pendesakan yaitu, pendesakan yang berprinsip desaturasi (leaky piston like displacement) dan pendesakan torak (piston like displacement).

Prinsip desaturasi (leaky piston like displacement) menganggap bahwa saturasi air di daerah zona minyak yang telah didesak bervariasi dari (1-Sor) hingga Swf. Harga saturasi air sebesar (1-Sor) merupakan saturasi air pada batas (front) air-minyak. Gambar 3.6 memperlihatkan profil ideal saturasi air berdasarkan konsep desaturasi. Saturasi minyak di belakang front berkisar dari saturasi minyak residu (Sor) pada titik injeksi (X = 0) hingga So = (1-Swf) pada front, ini berarti bahwa minyak masih mengalir bersama-sama air di belakang front. Sw = Swc yang merupakan saturasi equilibrium air, dimana hanya minyak yang mengalir di muka front.

Teori pergerakan front (frontal advance theory) didasarkan pada beberapa anggapan, yaitu:

 Aliran yang mantap (steady state),

 Sistem pendesakan immiscible (tidak bercampur),

 Fluida tidak dapat dimampatkan (incompressible),

 Aliran terjadi pada media berpori yang homogen.

(13)

Gambar 3.6.

Profil Saturasi Air Berdasarkan Konsep Desaturasi (Lee, John W. 1995. Waterflooding Industry School)

Gambar 3.7 memperlihatkan profil saturasi air berdasarkan konsep pendesakan torak.

Gambar 3.7.

Profil Saturasi Air Berdasarkan Konsep Pendesakan Torak (Lee, John W. 1995. Waterflooding Industry School) 3.7. Pola Sumur Injeksi Produksi

Susunan sumur injeksi-produksi dapat merupakan pola teratur dan tidak teratur. Keteraturan pola injeksi dan produksi dipengaruhi oleh keteraturan dalam kedudukan sumur yang dibor. Penempatan sumur injeksi terhadap sumur produksi dipengaruhi oleh arah permeabilitas utama. Pengaruh arah permeabilitas terhadap performance injeksi air terletak pada pengaturan letak sumur injeksi-produksi.

Letak sumur injeksi-produksi yang searah permeabilitas utama menyebabkan

WATER Sor

Swi

SATURATION

OIL

DISTANCE INJECTED

WATER BANK

INITIAL OIL SATURATION

CONNATE WATER

OIL WATER

(14)

breakthrough pada sumur produksi. Water breakthrough ini sangat dipengaruhi oleh penyebaran permeabilitas dalam arah vertikal.

Menurut M. Latil, pemilihan pola sumur injeksi-produksi sangat bergantung pada beberapa faktor, antara lain:

1. Mekanisme pendorong reservoir, 2. Volume hidrokarbon,

3. Kemiringan lapisan.

Dari pertimbangan-pertimbangan di atas maka tata letak sumur injeksi- produksi dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:

3.7.1. Central Edge dan Peripheral Flooding (Pola Tidak Teratur)

Sumur-sumur injeksi diletakkan berkelompok pada suatu posisi dari reservoar (pada bagian tepi ataupun puncak dari reservoar). Cara ini dapat diterapkan pada reservoar dengan struktur antiklin yang berasosiasi dengan lapisan aquifer, dimana sumur injeksi diletakkan berkelompok mengelilingi reservoar. Pola injeksi air tidak teratur ini umumnya dilakukan pada operasi pressure maintenance dan biasanya jumlah sumur injeksi yang digunakan tidak banyak. Hal ini disebabkan sistem pendesakannya adalah vertikal sehingga tidak dipengaruhi oleh distribusi saturasi reservoarnya. Apabila dilihat dari tempat dimana air diinjeksikan, maka dapat diklasifikasikan menjadi tiga tempat injeksi, antara lain (Gambar 3.8.):

 Crestal Water Injection,

 Edge Water Injection,

 Peripheral atau Bottom Water Injection.

(15)

Gambar 3.8.

Pola Sumur Injeksi – Produksi Tidak Teratur

(Craig F.F, Jr. 1971. The Reservoir Engineering Aspects of Waterflooding) 3.7.2. Pattern Flooding (Pola Teratur)

Pada operasi waterflood, sumur-sumur injeksi dan produksi umumnya dibentuk dalam suatu pola tertentu yang beraturan umtuk memperoleh hasil penyapuan yang optimal, misal five-spot, seven-spot, dan sebagainya (Gambar 3.9.). Pola sumur dimana sumur produksi dikelilingi oleh sumur-sumur injeksi disebut dengan pola normal. Sedangkan sebaliknya yaitu sumur-sumur produksi mengelilingi sumur injeksi disebut dengan pola inverted. Masing-masing pola mempunyai sistem jaringan tersendiri yang mana akan memberikan jalur arus berbeda-beda sehingga memberikan luas daerah penyapuan yang berbeda-beda.

Pola-pola yang paling umum digunakan :

 Direct line drive : sumur injeksi dan produksi membentuk garis dan saling berlawanan,

 Staggered line drive : sumur-sumur membentuk garis tertentu dimana sumur injeksi dan produksinya saling berlawanan dengan jarak yang sama panjang,

 Four spot : Terdiri dari tiga jenis sumur injeksi yang membentuk segitiga dan sumur produksi terletak di tengah – tengahnya,

 Five spot : Pola yang paling dikenal dalam waterflood dimana sumur injeksi membentuk segi empat dengan sumur produksi terletak di tengah,

(16)

 Seven spot : sumur-sumur injeksi ditempatkan pada sudut-sudut dari bentuk hexagonal dan sumur produksinya terletak di tengah-tengahnya.

Gambar 3.9.

Pola Sumur Injeksi – Produksi Pola Teratur

(Craig F.F, Jr. 1971. The Reservoir Engineering Aspects of Waterflooding) 3.8. Prediksi Kinerja Waterflood dengan Metode Dykstra-Parson

Dalam teknik perhitungan metode Dykstra-Parson (1950), sebuah reservoar minyak diasumsikan sebagai sebuah sistem yang berlapis-lapis (layered system), kemudian perhitungan recovery diambil dengan mempertimbangkan variasi permeabilitas dari sistem yang berlapis ini dan nilai dari mobilitas rationya.

Metode ini mampu untuk menghitung :

1. Derajat heterogenitas permeabilitas bersamaan dengan stratifikasi vertikal, yang dinamakan dengan koefisien variasi permeabilitas atau Coefficient Permeability Variation (CPV),

2. Efisiensi penyapuan vertikal (coverage) untuk sebuah lapisan reservoir,

(17)

3. Efisiensi penyapuan volumetrik, ketika dirangkai dengan penentuan independen dari efisiensi dari daerah penyapuan (seperti metode empiris Craig untuk menghitung efisiensi daerah penyapuan).

3.8.1. Asumsi Metode Dykstra - Parson

Asumsi dari metode Dysktra-Parson, antara lain:

1. Reservoar terdiri dari isolated layers pada ketebalan tertentu, dimana memiliki permeabilitas yang seragam (uniform) dengan tidak ada crossflow di antara layer-layer,

2. Terjadinya model pendesakan piston-like displacement, hanya ada aliran satu fasa pada unsur volume yang diberikan,

3. Aliran linier dan dalam keadaan steady-state,

4. Fluida incompressible; dimana tidak ada efek pressure transient, 5. Pressure drop yang melewati tiap layer adalah sama,

6. Fill-up terjadi pada semua layer sebelum adanya respon dari flood. Flood life harus ditingkatkan untuk memungkinkan adanya fill up periode,

7. Kecuali untuk permeabilitas absolut, rock and fluid properties adalah sama untuk semua layer.

3.8.2. Koefisien Variasi Permeabilitas (CPV)

Perhitungan koefisien variasi permeabilitas (CPV) dalam skripsi ini menggunakan metode Dykstra-Parson yang digunakan untuk mengukur banyaknya variasi permeabilitas horizontal pada arah vertikal (Gambar 3.10.). ki adalah permeabilitas horizontal (dalam arah aliran yang penting) antara sumur injeksi dengan sumur produksi. Sebagai catatan, bahwa lapisan diklasifikasikan menurut variasi vertikal dari ki, setiap lapisan memiliki permeabilitas horizontal yang sama. Dengan mengasumsikan kecepatan injeksi di front pada setiap lapisan sebanding dengan permeabilitas absolut pada lapisan (bersama-sama dengan nilai akhir dari mobilitas rasio), maka variasi permeabilitas vertikal menyebabkan satu lapisan sampai breakthrough pada saat yang berbeda, menghasilkan efisiensi penyapuan vertikal pada setiap lapisan.

(18)

.

Gambar 3.10.

Variasi Vertikal untuk Permeabilitas Horizontal (Lee, John W. 1995. Waterflooding Industry School)

Koefisien variasi permeabilitas adalah sebuah angka antara 0 hingga 1 (kadang ditulis dalam bentuk persen (0-100%), dimana merupakan karakteristik variasi vertikal dari permeabilitas horizontal. Jika CPV:

 Nol (0), maka reservoar adalah homogen (yaitu semua lapisan memiliki permeabilitas horizontal yang sama),

 Satu (1), maka reservoar sangat heterogen (yaitu reservoir bertingkat-tingkat dengan lapisan di sampingnya memiliki perbedaan yang besar di dalam permeabilitas horizontal).

3.8.3. Prosedur Perhitungan CPV

Prosedur perhitungan CPV adalah sebagai berikut:

1. Menyusun permeabilitas dari besar hingga kecil,

2. Menghitung prosentase dari contoh (nilai data permebilitas) yang mana mempunyai harga lebih besar dari harga tiap permeabilitas,

3. Memplot tingkat permeabilitas versus harga “% greater than” pada kertas probabilitas untuk distribusi logaritma normal. Data harus diplot sebagai garis lurus,

4. Dari plot di kertas probabilitas, membaca k50 dan k84,13 kemudian menghitung CPV dengan rumus sebagai berikut:

INJECTION WELL

PRODUCTION WELL

Layer 1 k1

Layer 2 k2

Layer n kn

Layer i ki

50 13 , 84 50

k k CPV k

 …..………(3-15)

(19)

3.8.4. Perhitungan Perkiraan Perilaku Injeksi Air dengan Metode Dykstra- Parson

Dalam teknik perhitungan metode Dykstra-Parson (1950), sebuah reservoar minyak diasumsikan sebagai sebuah sistem yang berlapis-lapis (layered system), kemudian perhitungan recovery diambil dengan mempertimbangkan variasi permeabilitas dari sistem yang berlapis ini dan nilai dari mobilitas rationya.

Asumsi metode Dykstra-Parson adalah bahwa semua lapisan memiliki ketebalan, porositas, dan gradient tekanan yang sama, kecepatan alsir pada setiap lapisan dapat dicari sebagai berikut (tekanan kapiler diabaikan):

dx k dP v

o o

o  …..……… (3-16a)

dx dP v k

w w

w  ………. (3-16b)

Gambar 3.11.

Sistem Pendesakan di Reservoir

(Lee, John W. 1995. Waterflooding Industry School)

Pada Gambar 3.11 di atas, xL adalah letak front pada layer, sedangkan L merupakan panjang dari sistem.

2

1 P

P P 

 ……….. (3-17)

1 1

x P v k

w w w

 

  ……….. (3-18)

Irreducible Water Saturation (Swirr)

Water Oil XL

Front

Residual Oil Saturation, Sor

L

∆P1 ∆P2

(20)

 

1

1

x L

P P v k

o o

o

 

  ………...…. (3-19)

untuk aliran incompressible,

w

o v

v ... (3-20) Menyusun kembali persamaan (3-18) dan (3-19) dan menambahkan keduanya,

 

k P x v L

k v x

o o o w w

w 

 

 



 

 11

... (3-21)

 





 

1

1 L x

x k k v P

o o w

w

o   ... (3-22)

rw

w k k

k ... (3-23)

ro

o k k

k ... (3-24) Mensusbtitusikan ke dalam persamaan (3-22) menghasilkan:

 





 

1 1

1

x k L

k x

P v k

ro o rw

w

o   ... (3-25)

Mengasumsikan krw dan kro sama untuk semua lapisan, ketika lapisan pertama (yaitu lapisan dengan permeabilitas tinggi, lapisan disusun berdasarkan penurutan permeabilitas) yang memiliki panjang invasi, XL (panjang invasi adalah jarak yang ditempuh oleh front).

Maka dapat ditulis:

 

 







i ro

o i rw

w

L ro

o L rw

w

L i L

i

oL oi

x k L

k x

x k L

k x k

k dt dx

dt dx v

v

... (3-26)

Nilai akhir dari mobilitas ratio didefinisikan sebagai:

(21)

nt DidepanFro k

Front Dibelakang k

M

o ro w rw



 



 

 ... (3-27)



 





 

w rw o

ro k

M k

 ... (3-28) Mensubstitusikan ke dalam persamaan (3-26) dan integralkan sepanjang dari panjang reservoar yaitu dari x = 0 dan x = L.

 

     

i

x

i i

i L L

L x M L x dx

k dx k x L M x

i

0 0

1

1 ... (3-29)

1

2

i2 2 i i2

i

L x MLx Mx

k L k

M   

 ... (3-30)

Menyusun kembali persamaan (3-30) untuk mendapatkan persamaan kuadrat,

1

2

1

0

2



 

 



 

  M

k k L M x L

M x

L i i

i ...(3-31) Pemecahan untuk (xi/L),

 

1

1

12 2 2



 

  



 

M k M M k M L

x L

i

i ... (3-32)

Ketika ki = kL, diperoleh xi = L, selanjutnya disubstitusikan ke persamaan (3-32),

1

1 1

  M

M ... (3-33)

Untuk membuat persamaan (3-33) benar, diperlukan tanda (-) pada pembilang dari persamaan (3-33) dan (3-32), sehingga dapat ditulis:

 

1`

1

12 2 2



 

  



 

M k M M k M L

x L

i

i ... (3-34) Untuk kasus M = 1, maka disubstitusikan harga M ke dalam persamaan (3-34) untuk mendapatkan:

(22)

L i i

k k L x 

 

  

 

 

L i

i k

L k

x ...(3-35) Catatan bahwa bentuk ini sama dengan persamaan Stiles.

Metode Dykstra-Parson lebih umum dibandingkan dengan metode Stiles, yang bekerja untuk mobility ratio tidak sama dengan 1. Ketika lapisan ke-n telah dilewati, xn = L, persamaan (3-35) dapat ditulis dalam besaran dari lapisan ke-n (yang telah dilewati) sebagai berikut:

 

1

1

12 2 2



 

  



 





 

M k M M k M x

x x

x L

i

L i n

i …………..………... (3-36)

Lapisan perlu disusun berdasarkan penurunan harga permeabilitas sehingga kn >

ki. dimana:

N = total jumlah lapisan,

n = indeks dari lapisan yang telah dilewati,

i = n+1, n+2, n+3,……, n (menandakan lapisan yang belum dilewati).

Coverage (efisiensi penyapuan vertikal), ketika lapisan ke-n sudah terlewati, maka:

N x n x

C Coverage

N

n

i n

i

n



 

 

1 ………..(3-37)

sehingga,

 

 

N M

k M M k M n

C

N

n i

L i

n











 

  

1

12 2 2

1 1

...(3-38) Persamaan (3-38) memberikan ekspresi untuk menghitung coverage (efisiensi penyapuan vertikal) untuk sistem lapisan yang bersangkutan.

Ekspresi untuk WOR dikembangkan dengan beberapa asumsi, antara lain:

(23)

 Setelah breakthrough, hanya air yang diproduksikan dari sebuah lapisan,

 Sebelum breakthrough, hanya minyak yang diproduksikan dari sebuah lapisan,

 Pada nilai akhir mobility ratio, M mungkin tidak sama dengan 1.

Kemudian “w” mewakili luasan dari reservoar (konstan selama melewati semua lapisan). Laju produksi minyak ketika lapisan ke-n yang telah ditembus, didefinisikan sebagai:

   

 

N

M k M M k M M

M M n n N

C

N

n i

L i

n























 

  

 

 

1

12 2 2

1 1 1

1 1

...(3-39) dengan menggunakan persamaan (3-39), persamaan laju produksi minyak dapat ditulis:

 









N

n i

i ro

o i rw

w

i i on

x k L

k x

P k w h

q

1

)

(   ...(3-40)

atau,









 

 



 

N

n

i i

ro o i rw

w

i i wn

L L x k L x k

P k w h

q

1

)

(   ...(3-41)

mensubstitusikan untuk (xi/L) dari persamaan (3-41) untuk mendapatkan:

 











 

  

 

N

n i

n i

w rw i i on

k M M k

L P k k

h w

q

1 12

2

2 1

)

( 

... (3-42)

dengan cara yang sama laju produksi air dapat ditentukan, yaitu:

   

 

N

i

i wi

wn v h w

q

1

...(3-43)

(24)

setelah breakthrough:

L k P v k

w rw i wi

 

  ...(3-44)

Mensubstitusikan persamaan (3-44) ke persamaan (3-43) untuk mendapatkan:

    

 



 

 

N

i w

rw i

wn L

k P h k

w q

1

1  ...(3-45) Sekarang persamaan untuk WORn yaitu dengan membagi persamaan (3-45) dengan persamaan (3-42):









N

n i

n i i N

i i

on wn n

k M M k

k k q

WOR q

1 2 2

1

) 1 (

...(3-46)

Selanjutnya dicari parameter perilaku injeksi air, yaitu WOR, qo, qw di permukaan sebagai fungsi dari waktu.

Produksi kumulatif di permukaan ketika lapisan ke-n ditembus, dicari dengan:

 

n

o

or oi Abt

n C

B S S E Ah

Np 



 7758 ( )

...(3-47) EAbt adalah efisiensi penyapuan daerah pada saat breakthrough (ditentukan dengan metode lain).

Selanjutnya plot WOR produksi di permukaan (dalam satuan STB/STB) sebagai fungsi dari produksi kumulatif minyak.

Daerah di bawah kurva ini menghasilkan produksi kumulatif air.

 

p j

N

j p s

pj WOR dN

W

0

...(3-48)

J

j

p j s

pj WOR dN

W

1

)

( ...(3-49) Pada persamaan (3-49), (WORs)j = WOR (Bo/Bw), dimana WOR dalam Bbl/Bbl (yaitu pada kondisi reservoar).

(25)

Pada persamaan (3-49), j = 1, 2, 3, …., j adalah sebagai indeks perhitungan di dalam membagi sumbu x dari WORs versus plot Np sampai j memiliki bagian yang sama (setiap panjang dNpj), (WORs)j adalah WOR di permukaan.

Selanjutnya, perhitungan kumulatif produksi air:

pj pj fillup

inj W N W

W    ………..……(3-50)

Menghitung waktu yang diperlukan, tj untuk menginjeksikan jumlah dari air sama dengan Winj.

w inj

j i

tW ...(3-51)

Pada persamaan (3-51), iw = laju injeksi air yang konstan. Langkah terakhir adalah menghitung laju produksi minyak dan air di permukaan dengan persamaan sebagai berikut:

t qoj Npj

  ...(3-52)

 

oj

s

j

wj q WOR

q ...…….(3-53)

Gambar

Tabel III-1
Gambar  3.7  memperlihatkan  profil  saturasi  air  berdasarkan  konsep  pendesakan torak

Referensi

Dokumen terkait

Dalam hukum adat pada dasarnya setiap perbuatan hukum yang mengakibatkan perubahan posisi hukum dari suatu hal, hanya akan mendapatkan perlindungan hukum, jika

Dalam Pembelajaran Seni Tari Tradisional Di SD Negeri Pekauman 1 Kota Tegal”. Tujuan dari penelitian Meliga untuk mengetahui presentase minat siswa terhadap seni tari

Kadar Air Metode Oven Biasa (Apriyantono et al., 1989) Cawan alumunium dikeringkan dalam oven pada suhu 105 o C selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator selama 10 menit..

Salah satu modul platform khusus yang dirancang untuk satu sistem tertentu adalah Wireless Open-Access Research Platform (WARP), yang disediakan untuk memungkinkan peneliti

Sedangkan menurut penulis, Desain Grafis dapat diartikan sebagai media penyampaian informasi kepada yang membutuhkan (masyarakat) yang disampaikan dalam bentuk

Objek penelitiannya adalah aspek kepribadian tokoh utama yang terdapat dalam Novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan dengan tinjauan psikologi sastra

Skripsi ini penulis susun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Malang,

Sudah semestinya setiap Pemrakarsa kegiatan bertanggung jawab terhadap dampak lingkungan dari kegiatannya, sehingga perlu melakukan tindakan perbaikan jika menjumpai pelaksanaan RKL