• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pasal 1 butir a dan b serta pasal 137 dan setrusnya KUHAP. Dalam. Alasan penulis mengutip kata diatas dikarenakan dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Pasal 1 butir a dan b serta pasal 137 dan setrusnya KUHAP. Dalam. Alasan penulis mengutip kata diatas dikarenakan dalam"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

17 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA II.1 Asas Opportunitas Dalam Hukum Acara Pidana

A. Pengertian Asas Opportunitas

Pengertian hukum acara pidana dikenal suatu badan yang secara khusus diberi wewenang untuk melakukan suatu penuntutan pidana kepada pengadilan yang disebut penuntut umum. Di Indonesia penuntut umum disebut juga sebagai jaksa berdasarkan Pasal 1 butir a dan b serta pasal 137 dan setrusnya KUHAP. Dalam hal penuntutan memiliki hubungan antara asas legalitas dan asas legalitas, namun pengertian asas oportunitas penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan delik jika menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum. Jadi demi kepentingan umum, seseorang yang melakukan delik tidak dituntut. 1 Menurut A.Z Abidin farid:

“Asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan hukum”2

Alasan penulis mengutip kata diatas dikarenakan dalam melakukan suatu penuntutan harus diperhatikan aspek-aspek yang menunjang keadilan hukum itu sendiri terlabih lagi mengenai hal yang menyangkut kepentingan umum. Berdasarkan undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang kejaksaan juga memberikan

1 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permsalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Pununtutan, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta

2 A.Z. Abidin. Sejarah dan perkembangan asas opportunitas di Indonesia,hlm.12.

(2)

18 kewenangan terhadap jaksa agung untuk dapat menyampingkan perkara demi kepentiongan umum dalam pasal 35 butir C. Sebelum aturan itu, dalam hal praktinya telah diatur asas itu, yang juga dikemukakan oleh lamaeire bahwa pada kondisi ini asas oportunitas lazim dianggap sebagai suatu bagian asas yang berlaku di negeri ini, sekalipun sebagai hukum tidak tertulis yang berlaku, itu berpengaruh kepada penerapan asas oportunitas dilekatkan oleh syarat-syarat. Di negeri Belanda sendiri juga menganut asas portunitas menurut pasasl 167 ayat 2Ned.Sv, tidak diatur dengan tegas kemungkinan dilekatkannya syarat-syarat pada penerapannya itu. Namun praktiknya sering sejali diterapkan oleh penuntut umum sebagai hukum tidak tertulis.

Dan hal yang penting untuk dijelaskan dengan apa yang dimaksud “demi kepentingan umum” dalam kaitan perkara itu.

Pedoman pelaksaan KUHAP memberi penjelasan bahwasanya kriteria demi kepentingan umum dalam penerapan asas oportunitas di Indonesia adalah didasari oleh untuk kepentingan Negara dan masyarakat dan bukan untuk kepentingan masyarakat. Hal tersebut sama dengan apa yang dikemukakan supomo: “Baik dinegeri belanda maupun Hindia Belanda berlaku yang disebut asas oportunitas dalam pidana itu artinyabadan penuntut umum wewenang tidak melakukan suatu penuntutan jikalau adanya dianggap tidak oportun atau tidak guna kepentingan masyarakat”.3

B. Asas Opportunitas dalam Kewenangan Jaksa Penuntut Umum Kewenangan jaksa dalam memberikan surat ketetapan penghentian perkara atau yang disebut juga SKPP, diatur dalam pasal 140 ayat (2) yang berisi sebagai berikut:

3 Supomo. Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia Ke II. Jakarta: Pradnya Pramita. 1981.hlm 137

(3)

19 a. Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan peristiwa tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, penuntut umum menuangkan tersebut dalam surat ketetapan.

b. Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditaha wajib dibebaskan.

c. Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan hakim.

d. Apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka.

Berkaitan dengan hal ini tentunya juga pemberian kewenangan jaksa dalam membuat SP3 yaitu surat penghentian penyidikan perkara yanhg diataur dalm KUHAP dalam pasal 109 ayat (2) yang berbunyi:

“ Jika ternyata dari hasil penyidikan, penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka, maka penyidik dapat melakukan penghentian penyidikan”.

Maka dari itu penyidik wajib memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarga. Oleh karena itu terkait pula dengan keterangan pasal 1 butir (10) huruf b KUHAP,

(4)

20 juncto pasal 77 huruf a KUHAP , substansi antara SKPP dan SP3 itu tidak berbeda yaitu tindakan penghentian penuntutan oleh penuntut umum dan penghentian penyidikan oleh penyidik.

Meskipun Penyidik dan Jaksa merupakan dua institusi yang berbeda, namun dilihat dari fungsi dalam suatu perkara pidana adalah tidak terpisahkan karena terdapat fungsi koordinasi antar kedua institusi. Berkaitan dengan asas yang berlaku dalam hal pengesampingan perkara demi kepentingan umum dengan penghentian perkara pidana baik penyidikan maupun penuntutan, baik SP3 maupun SKPP hanyalah berkaitan dengan pembagian wewenang semata.

Ketentuan penghentian penyidikan (SP3) maupun penghentian penuntutan (SKPP) bisa dikatakan termasuk dalam demi kepentingan umum dengan ketentuan yang limitatif berdasarkan pada Pasal 109 (2) KUHAP maupun 140 (2) KUHAP.

Area pilihan untuk meneruskan atau mengesampingkan perkara pidana hanya dimiliki oleh Jaksa Agung yang tidak terbatas pada syarat yang diatur dalam ketentuan Pasal 140 (2) KUHAP, sedangkan untuk penghentian penyidikan maupun penuntutan tidak ada area pilihanya. Dan menurut Philipus M.Hadjon menjelaskan

(5)

21 keterangan bahwa karakter wewenang dapat dibedakan menjadi wewenang terikat dan wewenang ketetapannya.4

“Wewenang terikat adalah wewenang dari pejabat atau badan pemerintah yang wajib dilaksanakan atau tidak dapat berbuat lain selain dari apa yang tercantum dalam isi sebuah peraturan. Wewenang ini sudah ditentukan isinya secara rinci, kapan dan dalam keadaan yang bagaimana wewenang tersebut dapat digunakan. Sedangakan wewenang ketetapannya adalah wewenang yang diberikan beserta kebebasan dari pejabat untuk mengatur secara lebih konkrit dan rinci, sedangkan peraturan perundang-undangan hanya memberikan hal-hal yang pokok saja”.

Alasan Penulis mengambil kutipan diatas dikarenakan mengenai penjelasan karakter kewenangan tersebut SP3 maupun SKPP merupakan kewenangan yang terikat dikarenakan satu.

wewenang untuk mengeluarkan SP3 atau SKPP merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Penyidik atau Jaksa PU jika menemui kondisi yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 109 (2) KUHAP atau 140 (2) KUHAP, 2. Kondisi atau yang dimaksud sudah ditentukan secara rinci dalam hal penerbitan SP3 atau SKPP.

Berdasarkan hal yang lain terdapat kewenangan jaksa agung untuk melakukan deponering atau penyampingan perkara, maka harus diperjelas membedakan antara tindakan hukum penghentian penuntutann dengan penyampingan (deponering) perkara. Tentang masalah penyampingan (deponering) terdapat dalam uraian asas legalitas, namun dalam uraian tersebut lebih disoroti segi-segi yang

4 Philipus M.Hadjon, Pengertian-pengertian Dasar tentang Tindak Pemerintahan, Djumali Surabaya, 1985, h.12-13

(6)

22 mengangkut pertentangan antara asas legalitas dengan asas opportunitas. Sekalupun bahwa KUHAP menganut asas legalitas , namun KUHAP sendiri masih memberi kemungkinan mempergunakan prinsip opportunitas sebagaimana hal ini masih diakui oleh Penjelasan Pasal 77 KUHAP.

Berdasarkan kenyataan yang masiih ada bahwa didalam KUHAP masih memberi kemunkinan opportunitas dalam penegakan hukum nya, maka dari itu harus bisa membaca letak perbedaan antara penghentian penuntutn dengan penyampingan perkara, Pada penyampingan atau deponering perkara, perkara yang bersangkutan memang cukup alasan dan bukti untuk diajukan dan diperiksa di muka siding pengadilan.5 Dari fakta dan bukti yang ada, kemungkinan basar terdakwa dapat dijatuhi hukuman. Akan tetapi perkara yang cukup fakta dan bukti ini, sengaja dikesampingkan dan tidak dilimpahkan ke sidang pengadilan oleh pihak penuntut umum atas alasan demi untuk kepentingan umum yang dimana kepentingan bangsa dan Negara atau kepentingan masyarakat luats.

Mengenyampimgkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas opportunitas, hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunayai hubungan dengan adanya suatu masalah.

5 Ibid.

(7)

23 Dalam penyampingan perkara, hukum dan penegakan hukum korbankan demi kepentingan umum. Seorang yang cukup bukti melakukan tindak pidana perkaranya dideponir atau dikesampingkan dan tidak diteruskan ke sidang pengadilan dengan alasan demi kepentingan umum. Jadi apa yang dijelaskan diatas tampak perbedaan alasan antara penghentian penuntutan dengan penyampingan perkara. Penghentian penuntutan didasarkan pada alasan hukum dan demi tegaknya hukum, sedangkan pada penyampingan perkara , hukum dikorbankan dengan kepentingan umum.

Disamping perbedaan dasar alasan yang ditemukan di atas, terdapat lagi perbedaan yang mendasar antara penghentian penuntutan dengan penyampingan perkara:

a. Pada penghentian penuntutan, perkara yang bersangkutan umumnya masih dapat lagi kembali diajukan penuntutan, jika ternyata ditemukan alasan baru yang memungkinkan perkaranya dapat dilimpahkan ke sidang pengadilan. Umpamanya ditemukan bukti baru sehingga dengan bukti baru tersebut sudah dapat diharapkan untuk menghukum terdakwa.

b. Lain halnya pada penyampingan atau deponering perkara, dalam hal ini satu kali dilakukan penyampingan perkara, tidak ada lagi

(8)

24 alasan untuk mengajukan perkara itu kembali ke muka sidang pengadilan.6

Setelah Penuntut Umum menerima atau menerima kembali berkas perkara hasil penyidikan yang sudah lengkap atau sudah dilengkapi oleh penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan kepengadilan menurut pasal 39 KUHAP.

II.2 Jaksa sebagai JPU dalam Hukum Acara Pidana A. Pengertian Jaksa

Menurut KBBI pengertian Jaksa adalah adalah pejabat di bidang hukum yang bertugas menyampaikan dakwaan atau tuduhan didalam proses pengadilan terhadap orang yang diduga melanggar hukum.

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Pasal 1 ayat 1 Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang dimaksud dengan Jaksa adalah yang diberi wewenang oleh undang undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. 7

Jabatan fungsional jaksa adalah jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi kejaksaan yang karena fungsinya memungkinkan kelancaran pelaksanaan tugas ke-jaksaan. Jaksa diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung yang merupakan pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang dipimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan. Jaksa

6 Ibid.

7 Undang-Undang No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia

(9)

25 pada lembaga penuntutan/kejaksaan dalam menyelenggarakan sistem peradilan pidana sangat penting karena Jaksa adalah Pejabat peradilan yang menjembatani antara tahap penyidikan sampai ke tahap pemeriksaan pengadilan.

Jaksa adalah pejabat peradilan yang memonopoli keputusan untuk menuntut dan/atau tidak menuntut sehingga perlu memiliki kemandirian sesuai dengan salah satu karakteristik sistem penuntutan tunggal (singel prosecution system) dengan harapan penerapan dan penegakan hukum benar-benar tidak memihak. Jaksa sebagai penegak hukum, dalam menggunakan kewenangannya bertindak dalam hal bersentuhan dengan kepentingan publik, seperti pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penyitaan, penangkapan serta penahanan dengan cara-cara yang diatur oleh Undang-Undang tidak menutup kemungkinan dapat melanggar hak asasi manusia

B. Kewenangan Jaksa Di dalam Undang-Undang Kejaksaan

Pelaksanaan Tugas dan wewenang oleh kejaksaan yang diatur dalam Undang-Undang No 16 Tahun 2004 ini seperti yang tertulis Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-undang, Jaksa dan lembaga kejaksaan merupakan salah satu alat Negara dalam melakukan penegakan hukum di Indonesia. 8

8 Adami Chazawi, Hukum pidana materiil dan formil korupsi di Indonesia (Malang:Bayumedia Publishing, April 2005)

(10)

26 Dan menurut pasal 1 ayat 6 huruf a KUHAP, Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Ada 2 jenis tugas jaksa dalam kekuasaan kejaksaan,diantaranya:

- Penuntut umum

Tugasnya melakukan penuntutan dan melaksanakan ketetapan hakim di persidangan. Tentu saja tugas ini dilaksanakan atas dasar wewenang yang telah diberikan oleh Negara.

- Eksekutor

Jaksa melakukan putusan persidangan atas dasar kekuatan hukum tetap. Dalam hal ini, Jaksa juga berwenang melakukan penyidikan lanjutan pada perkara kejahatan dana pelanggaran- pelanggaran hukum. Keberadaan dan penugasannya dilindungi oleh undang-undang yang dtetapkan negara.

Apabila diartikan bahwa asas oportunitas itu pada dasarnya adalah asas kesederhanaan yang menyangkut perkara-perkara kecil yang ancaman hukumannya di bawah 6 (enam) tahun, dan apabila kerugiannya sudah diganti, harus diselesaikan sendiri oleh Jaksa dan tidak perlu dilanjutkan lagi ke Pengadilan, karena hak penuntutan berada di tangan Jaksa.

Ada yang mengatakan bahwa oportunitas itu harus dibedakan oportunitas sebagai asas dan oportunitas sebagai pengecualian.

Dalam praktek sering dilakukan pengecualian sebagai hukum tidak tertulis. Sedangkan asas oportunitas dalam tuntutan pidana itu artinya Badan Penuntut Umum wewenang tidak melakukan suatu penuntutan jika dianggap tidak oportunitas yakni guna kepentingan

(11)

27 umum.9 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 butir 6 huruf a dan b dan Pasal 137 tidak mengatur secara tegas tentang asas oportunitas.

Adapun bunyi ketentuan tersebut adalah sebagai berikut : Pasal 1 butir 6, menyatakan bahwa :

a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

b. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Pasal 14 huruf h, menyatakan bahwa : Penuntut umum mempunyai wewenang untuk menutup perkara demi kepentingan hukum. Apa yang dimaksud menutup perkara demi kepentingan hukum sama sekali tidak ada penjelasan, kemungkinan kurangnya alat bukti atau sudah diselesaikan melalui perdamaian/ganti kerugian.

Dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia ada beberapa pasal yang mengatur asas oportunitas, yaitu : Pasal 1 ayat (1), ayat (2); Pasal 30 ayat (1) huruf a dan huruf b; Pasal 35 huruf c. Pasal 30 ayat (1), menyatakan bahwa : Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penuntutan yaitu melaksanakan penetapan hakim dan

9 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia,, hal. 13.

(12)

28 putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 35, menyatakan bahwa Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.

Dalam hal ini, baik secara historis maupun yuridis di Indonesia menganut asas oportunitas. 10 Secara historis dengan diakuinya keberadaan hukum dasar tidak tertulis, sedangkan secara yuridis adanya undang-undang pelaksanaan asas oportunitas melalui Pasal 8 Undang-Undang No. 15 Tahun 1961, Pasal 32 huruf c Undang-Undang No. 5 Tahun 1991, dan Pasal 35 huruf c Undang- Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Namun dalam undang-undang tersebut mengartikan asas oportunitas masih terlalu sempit, hanya Jaksa Agung yang berwenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.

Kepentingan umum diartikan terlalu sempit pula yaitu kepentingan negara dan masyarakat. Hal inilah yang menjadi pertimbangan penentu boleh tidaknya perkara pidana dikesampingkan, sehingga dalam praktek jarang dilakukan.

Dalam hal ini ada pengawasan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung terhadap semua jaksa dengan adanya hirarki dalam instansi kejaksaan maka Jaksa Agung dapat memerintahkan kepada jaksa supaya suatu perkara pidana dituntut atau tidak dituntut di muka pengadilan.11

Melihat perkembangannya, penerapan asas oportunitas terdapat perbedaan antara penutupan perkara pidana demi kepentingan hukum dengan perkara pidana ditutup dengan kepentingan umum ex

10 Ibid

11 http://repository.usu.ac.id

(13)

29 asas oportunitas. Jika ternyata perkara pidana ditutup “demi hukum”

tidak diseponir secara definitif, tetapi masih dapat dituntut bilamana ada alasan baru, sedangkan perkara pidana yang ditutup secara definitive demi kepentingan umum tidak boleh dituntut kembali dan lagi pula perkara yang demikian cukup alat buktinya.

C. Jaksa Sebagai Jaksa Penuntut Umum

Menurut pasal 1 ayat(6) a dan b,jo pasal 13 KUHAP, jaksa adalah pejabat yang diberikan wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Jadi Jaksa sebagai penuntut umum berwewenang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Jaksa sebagai penuntut umum berwewenang untuk menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik pembantu; mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan, memberi perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau mengubah status tahanan.

Setelah perkara dilimpahkan oleh penyidik membuat surat dakwaan melimpahkan perkara ke pengadilan menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi untuk datang pada hari sidang yang telah ditentukan, menutup perkara,mengadakan tindakan lain, dan melaksanakan penetapan Hakim. Tindakan Jaksa sebagai penuntut

(14)

30 umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang Pengadilan disebut penuntutan (Pasal 1 ayat (7) KUHAP).

Untuk melaksanakan penuntutan maka Jaksa setelah menerima hasil penyidikan dari Polisi selaku penyidik segera mempelajari dan menelitinya serta dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan sudah lengkap atau belum.

Jika belum lengkap berkas perkaranya dikembalikan lagi kepada jaksa penuntut umum (Pasal 138 KUHAP). Berkas perkara yang telah memenuhi persyaratan dalam waktu secepatnya dibuatkan surat dakwaan untuk dilimpahkan ke pengadilan. Kekuasaan Penyidikan, terdapat beberapa lembaga yang dapat melakukan penyidikan, maka dalam menjalankan kekuasaan penuntutan hanya satu lembaga yang berwenang melaksanakan yaitu lembaga Kejaksaan Republik Indonesia.

Apabila dalam penyidikan, banyak lembaga lain yang mempunyai kewenangan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang, maka kewenangan untuk menjalankan penuntutan terhadap semua tindak pidana yang masuk dalam lingkup Peradilan Umum hanya dapat dilakukan oleh Kejaksaan.12

Hal tersebut merupakan salah satu konsekwensi dari Indonesia sebagai negara yang menganut sistem Eropa Kontinental karena dalam sistem penuntutan modern di berbagai negara yang menganut sistem Eropa Kontinental penuntutan pidana memang

12 Ibid.

(15)

31 dimonopoli oleh negara yang diwakili oleh Jaksa. Hal tersebut berbeda dengan sistem penuntutan di negara yang menganut sistem Anglosaxon seperti negara Inggris, Thailand dan Belgia yang masih memungkinkan adanya penuntutan pidana oleh perseorangan secara pribadi langsung ke pengadilan. Selain itu, sesuai dengan asas dominus litis, maka penetapan dan pengendalian kebijakan penuntutan hanya berada di satu tangan yaitu Kejaksaan.

Dalam hal inilah, Penuntut Umum menentukan suatu perkara hasil penyidikan yang tertuang dalam berkas perkara sudah lengkap ataukah masih kurang lengkap. Apabila berkas perkara telah lengkap, maka Penuntut Umum akan menerima penyerahan tersangka dan barang bukti, membuat Surat Dakwaan dan melimpahkannya ke Pengadilan. Apabila berkas perkara belum lengkap, maka Penuntut Umum akan memberikan petunjuk kepada Penyidik untuk segera melengkapi berkas perkara agar dapat dilimpahkan ke Pengadilan.

Dengan demikian, peranan Penuntut Umum dalam hal pembuktian sangatlah penting, karena pembuktian suatu perkara tindak pidana di depan persidangan merupakan tanggung jawab Jaksa selaku Penuntut Umum. Sistem pembuktian dalam hukum acara pidana di hampir semua negara di dunia memang meletakkan beban pembuktian di atas pundak Penuntut Umum. Adanya beban pembuktian pada Penuntut Umum tersebut menyebabkan Penuntut

(16)

32 Umum harus selalu berusaha menghadirkan minimum alat bukti di persidangan. Berdasarkan Pasal 183 KUHAP dinyatakan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Dengan demikian, untuk dapat menyatakan seseorang terbukti melakukan suatu tindak pidana, maka harus ada paling sedikit 2 (dua) alat bukti ditambah dengan keyakinan Hakim dan menjadi beban Penuntut Umum untuk dapat menghadirkan minumum dua alat bukti tersebut di persidangan untuk memperoleh keyakinan Hakim.

II.3 Asas Opportunitas dalam Aturan Hukum Acara Pidana

Hukum acara pidana memiliki ruang lingkup yang berupa melihat suatu peristiwa hukum untuk mencari kebenaran , penyelidikan, penyidikan, dan berakhir pada putusan pengadilan oleh jaksa. Dengan telah dibentuknya KUHAP , telah dilakukan kodifikasi dan unifikasi secara lengkap dalam arti meliouti seluru rangkaian proses tahap awal mencari kebenaran sampai pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung dan bisa menjangkau hingga tingkat peninjauan kembali. Selain itu juga terdapat hal-hal yang perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman yang ada ,misalnya dalam hal pembuktian. Dalam materi pengantar ilmu hukum, diketahu bahwa

(17)

33 hukum dibagi atas hukum publik dan hukum privat.13 Menurut Prof.

Moeljatno:

“Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan dalam ketentuan pidana”

Bagian ke-1 dan ke-2 masuk dalam lingkup Substantive Criminal Law/Hukum Pidana Materiil. Selanjutnya untuk menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan Hukum Acara Pidana, Hukum acara pidana yang juga dikenal dengan hukum pidana formil termasuk dalam hukum public Hukum pidana materiil mengatur syarat yang menimbulkan hak penuntutan atau menghapuskan hak itu.

Begitu pula hukumannya, dengan kata lain mengatur terhadap siapa, bilamana dan bagaimana hukuman harus dijatuhkan. Sedangkan hukum pidana formil mengatur cara menjalankan hak penuntutan;

dengan kata lain menetapkan tata cara mengadili perkara pidana. 14 Sifat publik hukum acara pidana terlihat pada saat suatu tindak pidana terjadi pihak yang bertindak ialah negara melalui alat-alatnya, lebih nyata lagi di Indonesia dan Belanda karena penuntutan pidana dimonopoli oleh Negara. Seluruh definisi yang diberikan oleh para

13 Andi Hamzah, S.H., Op.Cit, hal. 9

14 Ibid. Op.Cit Hal 15

(18)

34 ahli Hukum Pidana, seperti diuraikan di atas pada dasamya adalah sama, yaitu mendefinisikan Hukum Acara Pidana merupakan:

1. Serangkaian peraturan.

2. Dibuat oleh negara (undang-undang)

3. Yang memberikan wewenang kepada aparat penegak hukum.

4. Untuk melakukan tindakan penyidikan penuntutan dan menjatuhkan

Pelaksanaan proses penyidikan, peluang-peluang untuk melakukan Penyimpangan atau penyalagunaan wewenang untuk tujuan tertentu bukan mustahil sangat dimungkinkan terjadi. Karena itulah semua ahli kriminalistik menempatkan etika penyidikan sebagai bagian dari profesionalisme yang harus dimiliki oleh seorang penyidik sebagai bagian dari profesionalisme yang harus dimiliki oleh seorang penyidik. Bahkan, apabila etika penyidikan tidak dimiliki oleh seseorang penyidik dalam menjalankan tugas -tugas penyidikan, cenderung akan terjadi tindakan sewenang-wenang petugas yang tentu saja akan menimbulkan persoalan baru.

Ruang lingkup penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang mengatur dalam undang- undang No 26 tahun 2000 pasal I angka 5. Penyelidik karena kewajibannya mempunyai wewenang menerima laporan, mencari keterangan dan barang bukti, menyuruh berhenti orang yang dicurigai

(19)

35 dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri, dan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) KUHAP, untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik dapat melakukan penangkapan. Namun untuk menjamin hak hak asasi tersangka, perintah penangkapan tersebut harus didasarkan pada bukti permulaan Barang Bukti. Penyelidikan yang dilakukan penyelidik dalam hal ini tetap harus menghormati asas praduga tak bersalah sebagaimana di sebutkan dalam penjelasan umum butir 3c KUHAP.

Penerapan asas ini tidak lain adalah untuk melindungi kepentingan hukum dan hak-hak tersangka dari kesewenang-wenangan kekuasaan para aparat penegak hukum. Selanjutnya kesimpulan hasil penyelidikan ini disampaikan kepada penyidik. kebijakan penuntutan, penuntut umumlah yang menentukan suatu perkara hasil penyidikan, apakah sudah lengkap ataukah tidak untuk dilimpahkan ke Pengadilan Negeri untuk diadili.

Hal ini diatur dalam pasal 139 KUHAP. Jika menurut pertimbangan penututan umum suatu perkara tidak cukup bukti-bukti untuk diteruskan ke Pengadilan ataukah perkara tersebut bukan merupakan suatu delik, maka penuntut umum membuat membuat suatu ketetapan mengenai hal itu (Pasal 140 ayat (2) butir b (KUHAP).

Mengenai wewenang penutut umum untuk menutup perkara demi hukum seperti tersebut dalam Pasal 140 (2) butir a

(20)

36 (KUHAP).Pedoman pelaksanaan KUHAP memberi penjelasan bahwa Perkara ditutup demi hukum diartikan sesuai dengan buku I Kitab Undang-undang Hukum Pidana Bab VIII tentang hapusnya hak menuntut yang diatur dalam Pasal 76, 77 ,78 dan 82 KUHP. Penuntutan Perkara dilakukan oleh Jaksa Penuntut umum, dalam rangka pelaksanaan tugas penuntutan yang diembannya.

Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penempatan hakim. Dalam melaksanakan penuntutan yang menjadi wewenangnya, penuntut Umum segera membuat surat dakwaan berdasarkan hasil penyidikan. Dalam hal didapati oleh penuntut umum bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan peristiwa pidana atau perkara ditutup demi hukum, maka penuntut umum menghentikan penuntutan yang dituangkan dalam suatu surat ketetapan. Apabila tersangka berada dalam tahanan tahanan, sedangkan surat ketetapan telah diterbitkan maka tersangka harus segera di keluarkan dari tahanan.

Selanjutnya, surat ketetapan yang dimaksud tersebut dikeluarkan dari tahanan. Selanjutnnya, surat ketetapan yang dimaksud tersebut dibertahukan kepada tersangka. Turunan surat ketetapan tersebut disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan hakim.

Atas surat ketetapan ini maka dapat dimohon praperadilan,

(21)

37 sebagaimana diatur dalam BAB X, bagian kesatu KUHAP dan apabila kemudian didapati alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka. Tindak pidana merupakan istilah asli bahasa Belanda yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan berbagai arti diantaranya yaitu, tindak pidana, delik, perbuatan pidana, peristiwa pidana maupun perbuatan yang dapat dipidana.

Kata Strafbaar feit terdiri dari 3 kata, yakni straf, baar dan feit.

Berbagai istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan sebagai pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh, sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.

Istilah Tindak dari tindak pidana adalah merupakan singkatan dari Tindakan atau Petindak, artinya ada orang yang melakukan suatu Tindakan, sedangkan orang yang melakukan itu dinamakan Petindak.

Sesuatu tindakan dapat dilakukan oleh siapa saja tetapi dalam banyak hal sesuatu tindakan tertentu hanya mungkin dilakukan oleh seseorang dari yang bekerja pada negara atau pemerintah, atau orang yang mempunyai suatu keahlian tertentu.15

Sesuatu tindakan yang dilakukan itu haruslah bersifat melawan hukum, dan tidak terdapat dasar-dasar atau alasan-alasan yang meniadakan sifat melawan hukum dari tindakan tersebut. Setiap tindakan yang bertentangan dengan hukum atau tidak sesuai dengan

15 Ibid.hal 18

(22)

38 hukum, tidak disenangi oleh orang atau masyarakat, yang baik langsung maupun yang tidak langsung terkena tindakan tersebut.

Pada umumnya untuk menyelesaikan setiap tindakan yang sudah dipandang merugikan kepentingan umum di samping kepentingan perseorangan, dikehendaki turunnya penguasa, dan jika penguasa tidak turun tangan maka tindakan- tindakan tersebut akan menjadi sumber kekacauan yang tidak akan habis-habisnya .16

Tindak Pidana yang dilakukan oleh seseorang yang menurut kehendaknya dan merugikan kepentingan umum atau masyarakat termasuk kepentingan perseorangan, lebih lengkapnya harus ternyata bahwa tindakan tersebut terjadi pada suatu tempat, waktu dan keadaan yang ditentukan. Artinya, dipandang dari sudut tempat, tindakan itu harus terjadi pada suatu tempat dimana ketentuan pidana Indonesia berlaku, dipandang dari sudut waktu, tindakan itu masih dirasakan sebagai suatu tindakan yang yang perlu diancam dengan pidana, dan dari sudut keadaan, tindakan itu harus terjadi pada suatu keadaan dimana tindakan itu dipandang sebagai tercela. Secara ringkas dapatlah disusun unsur-unsur dari tindak pidana, yaitu:

1.Subyek 2.Kesalahan

3.Bersikap melawan Hukum

4.Suatu tindakan aktif/pasif yang dilarang atau diharuskan oleh undang

undang dan terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana 5.Waktu, tempat dan keadaan.

Penerapan unsur-unsur tindak pidana seperti yang telah dituliskan di atas maka unsur-unsur tindak pidana atau delik sangatlah

16 Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta

(23)

39 membantu dalam kebutuhan praktek, perumusan seperti itu sangatlah memudahkan pekerjaan penegak hukum, baik sebagai peserta-pemain maupun sebagai peninjau.

Apakah suatu peristiwa telah memenuhi unsur-unsur delik yang dirumuskan dalam pasal undang-undang, maka diadakanlah penyesuaian atau pencocokan (bagian-bagian/kejadian-kejadian) dari peristiwa tersebut kepada unsur-unsur dan delik yang didakwakan, dalam hal ini unsur-unsur dari delik tersebut disusun terlebih dahulu seperti tersebut di atas.17

II.4 Kedudukan Alat Bukti dalam proses penyidikan dan penuntutan Setelah penyidikan dilakukan, penyidik menyerahkan berkas perkara kepada jaksa. Pertanyaannya, diserahkan kepada jaksa yang mana? Berkas perkara diserahkan kepada jaksa peneliti, bukan JPU.

Berdasarkan Keputusan Jaksa Agung No. 518/A/JA/11/2001 (1 November 2001) tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung No.

132/JA/11/1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana, hasil dari pemeriksaan jaksa peneliti adalah sebagai berikut:

1.P-21: pernyataan berkas perkara sudah lengkap;

2.P-18: pernyataan berkas perkara belum lengkap; dan

3.P-19: lampiran dari P-18 berisi petunjuk apa-apa saja yang harus dilengkapi, misalnya soal rekonstruksi, soal saksi ahli, dan lain-lain.

Adapun P-16 merupakan tanggapan jaksa peneliti setelah penyidik menerbitkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan

17 Ibid..Op.Cit Hal 22

(24)

40 (SPDP). P-16 merupakan Surat Perintah Penunjukkan JPU untuk mengikuti perkembangan penyidikan perkara tindak pidana.

Pada perkara korupsi, baiknya JPU

memaksimalkan pemeriksaan tambahan/penyidikan lanjutan agar berkas perkara tidak bolak-balik dari tangan penyidik ke JPU dan sebaliknya.

Dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah:

keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Menurut Martiman prodjohamidjojo mendefinisikan alat bukti sebagai berikut:

“Dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian18 Hal ini berarti bahwa di luar dari ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah”.

Atau dengan kata lain benda-benda yang dapat disita seperti yang disebutkan dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP dapat disebut sebagai barang bukti Barang bukti yang merupakan penunjang alat bukti mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam suatu perkara pidana. Tetapi kehadiran suatu barang bukti tidak mutlak dalam suatu perkara pidana, karena ada beberapa tindak pidana yang dalam proses pembuktiannya tidak memerlukan barang bukti, seperti tindak pidana penghinaan secara lisan . Menurut M. Yahya Harahap bahwa:

”Hampir semua pembuktian perkara pidana selalu bersandar kepada pemerikasaan keterangan saksi. Sekurang- kurangnya, disamping pembuktian dengan alat bukti yang

18 Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, Jakarta

(25)

41 lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.”19

Keterangan ahli juga merupakan salah satu alat bukti yang sah menurut pasal 184 ayat (1) KUHAP.

Mengenai pengertian dari keterangan saksi dilihat dalam pasal 184 KUHAP yang menerangkan bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan disidang pengadilan. Pasal tersebut tidak mnjelaskan siapa yang disebut ahli dan apa itu keterangan ahli. Dalam KUHAP seperti alat bukti keterangan saksi dan keterangan ahli, alat bukti surat hanya diatur dalam satu pasal yaitu Pasal 187, yang berbunyi surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c20, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah:

1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabatat umum yang berwenang atau dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu.

2. Surat yang dibuat menurut ketentuan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksanan yang menjadi tanggungjawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan 3. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat

berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya

4. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

Dalam KUHAP, alat bukti petunjuk dapat dilihat dalam Pasal 188, yang berbunyi sebagai berikut:

19 M. Yahya Harahap. Hukum Acara Pidana, 2002

20 Undang-undang No 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pasal 184 ayat 1

(26)

42 1. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiaan, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi sesuatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

2. Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh

dari:

a. Ketrangan saksi;

b. Surat;

c. Keterangan terdakwa.

3. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim denga arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksian berdasarkan hati nuraninya.

Mengenai keterangan terdakwa diatur dalam KUHAP pada Pasal 189 yang berbunyi sebagai berikut:21

1. Keterangan terdakwa ialah apa yang terdkwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.

2. Keteranga terdakwa yang diberikan diluar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.

3. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.

4. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia

bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Keterangan terdakwa sebagai alat bukti tidak perlu sama atau terbentur pengakuan. Semua keterangan terdakwa hendaknya didengar, apakah itu berupa penyangkalan, pengakuan ataupun pengakuan sebagaian dari perbuatan atau keadaan.

21 Ibid

(27)

43 Suatu tindak pidana dikatakan sudah memiliki cukup bukti sepertinya tergantung pada masing-masing pihak yang berwenang dalam setiap tingkat proses hukum sebagaimana diatur KUHAP.

Apabila penyidik berpendapat kasus yang ditangani dipandang sudah cukup bukti, maka penyidik melimpahkan kepada penuntut umum.

Dan apabila penuntut umum memandang berkas perkara yang dilimpahkan penyidik kepadanya ternyata dinilai tidak cukup bukti, maka Penuntut Umum akan menerbitkan Surat Penghentian Penuntutan Perkara (SP3). Namun sebaliknya, apabila penuntut umum memandang berkas perkara yang diterimanya dari penyidik sudah cukup bukti, maka Penuntut Umum akan membuat surat dakwaan dan melimpahkan perkara tersebut ke Pengadilan untuk diperiksa dan diadili. Hakim pada pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara yang dilimpahkan penuntut umum menilai tidak cukup bukti, maka terdakwa akan bebaskan dari dakwaan penuntut umum, tetapi sebaliknya bila hakim yang menyidangkan perkara dimaksud menilai perkara dimaksud dipandang sudah cukup bukti, maka terdakwa akan dijatuhi hukuman.22

Rangkaian uraian soal cukup bukti seperti yang dikemukakan di atas, maka perihal adanya bukti yang cukup sehingga sesesorang yang diduga keras melakukan tindak pidana dapat ditahan ternyata bersifat relative. KUHAP tidak mengatur apa ukuran dari bukti yang

22 Jurnal.srigunting, system pembuktian dalam hukum pidana, dalam http://jurnalsrigunting.wordpress.com/2012/12/22/ diakses tanggal 12 juli 2017

(28)

44 cukup itu pada setiap tingkatan proses yang dilalui. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh seorang tersangka adalah dengan melakukan praperadilan, namun upaya prapedilan itu tidak bisa dilakukan seorang terdakwa yang ditahan ketika perkaranya sudah dilimpahkan kepada pengadilan.

Sehingga, meskipun soal bukti yang cukup itu masih relative sifatnya pada saat perkara seorang terdakwa diperiksa didepan pengadilan, tetapi terdakwa tidak bisa berbuat banyak atas penahanan yang dilakukan hakim terhadap dirinya, sementara perihal bukti yang cukup itu baru akan ditemukan setelah pemeriksaan perkara selesai dilaksanakan.Sempit ruang gerak seorang tersangka atau terdakwa untuk mengetahui dan menguji bahwa penahanan terhadap dirinya oleh yang berwenang karena diduga keras sebagai pelaku tindak pidana sudah memiliki bukti yang cukup.

Bahkan dalam upaya praperadilan pun, upaya tersangka melakukan perlawanan terhadap penahan dirinya, seringkali terbentur ketika dilakukan upaya pembuktian atas bukti yang cukup itu. Dalam hubungan, upaya tersangka melakukan pembuktian terhadap ada atau tidak adanya bukti yang cukup itu seringkali tersandung alasan pemohon praperadilan sudah memasuki materi perkara. Mencermati rumusan Pasal 21 ayat (1) KUHAP, mau tidak mau pemeriksaan pra peradilan atas penahanan tentu akan bersentuhan dengan materi

(29)

45 perkara, karena soal adanya bukti yang cukup itu tidak terpisahkan dari perkara.

Jadi pemeriksaan pra peradilan terhadap penahanan sesungguhnya tidak hanya sebatas sah atau tidak sahnya penahanan secara formalitas. Dalam praktek yang sering dikemukakan dalam kaitannya dengan penahanan seorang tersangka adalah berdasarkan dua alat bukti yang sah sebagai acuan minimal. 23

Penyidik atau penuntut umum harus sudah memiliki keyakinan yang kuat, bahwa dua alat bukti atau lebih yang dipunyainya sebagai dasar untuk melakukan penahanan terhadap tersangka. Dan tersangka sendiri tentu untuk meyakinkan dirinya, bahwa penahanan yang dilakukan terhadap dirinya sudah didasarkan penyidik atau penuntut umum atas adanya alat bukti yang sah menurut hukum. Sekaligus melakukan pengujian terhadap keabsahan secara materil terhadap alat bukti yang dijadikan dasar penahanan dan bukan sekedar pengujian formalitas terhadap alat bukti terkait. Dalam konteks ini harus pula dibedakan antara alat bukti dengan barang bukti. Maka karena rumusan berdasarkan bukti yang cukup sebagai dasar untuk melakukan penahanan mengacu pada kuantitas alat bukti, maka alat bukti itu semestinya diuji kualitasnya sebagai alat bukti yang sah secara hukum.

23 Ibid.hal 25

(30)

46

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya berdasarkan hasil pengujian sampel air dapat diketahui kondisi perairan Sungai Belawan sudah tercemar logam berat, terutama unsur Hg, Cd, dan Pb.Disarankan

(kalau aturan di Berkah Lestari itu beda dengan aturan pada umumnya mbak, ya tidak ketat seperti di perusahaan, pokoknya enak tidak memberatkan. Misalnya tidak bisa

Oleh sebab itu, diwajibkan bagi orang yang beriman untuk membersihkan diri dari perilaku syirik dan tradisi khurafat (Ridha, VII, 1947, p. Alhasil dari beberapa

Berdasarkan nilai resistivitas dapat dilakukan penelitian untuk mengetahui penyebaran lindi yang dipengaruhi hidrogeologi di sekitar TPA Gampong Jawa dengan memanfaatkan

Untuk mengatasi hal itu, maka sungai-sungai tersebut akan dievaluasi kapasitasnya dengan debit rencana periode ulang 25 tahunan (Q25) yang disertai kondisi pasang. Analisis

[r]

 Keislaman seseorang terbatal (murtad) apabila dia melakukan perkara yang membatalkan dua kalimah syahadah seperti berfahaman ateis (tidak percaya akan kewujudan Tuhan),

NO TENTANG AMANAT PENANGGUNG