9 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bab II ini berisi tentang tinjauan pustaka mengenai konsinyasi dalam KUHPerdata, konsinyasi Pengadaan Tanah dan perlindungan hukum pemegang hak atas tanah, maka diuraikan sebagai berikut:
A. Perlindungan Hukum
Negara Indonesia adalah negara hukum. Maka dari itu setiap warga negaranya berhak mendapatkan perlindungan hukum guna mencapai kesejahteraan rakyat. Hal ini tertera di dalam Ideologi Negara kita yaitu Pancasila. Sebelum mengetahui apa itu Perlindungan hukum maka, yang perlu diketahui terlebih dahulu mengenai fungsi dan tujuan Hukum. Berikut tujuan hukum menurut para ahli, menurut H.R Ridwan Tujuan dari hukum itu sendiri yakni hukum diciptakan sebagai suatu sarana atau instrument untuk mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban subyek hukum, agar masing- masing subyek hukum dapat menjalankan kewajibannya dengan baik dan mendapatkan haknya dengan wajar.1 Sedangkan menurut Kansil Hukum bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula bersendikan pada keadilan, yaitu asas keadilan dari masyarakat itu.2
Van Apeldoorn yang mengatakan bahwa tujuan hukum adalah mengatur masyarakat secara damai. Hukum menghendaki perdamaian. Perdamaian diantara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia tertentu (baik material maupun ideal), kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda dan sebagainya terhadap yang merugikannya.3
1HR Ridwan, Hukum Adsminitrasi Negara, Edisi Revisi, Raja Gravindo Persada, Jakarta, 2014, hal. 265.
2 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,1989, hal.
41.
3 LJ. Van Apeldoorn, Inleiding tot de Studie van het Naderlandse Recht, W.E.J Tjeen Willink, Zwolle, 1996, hal 9-10.
10 Hukum tidak hanya mempunyai tujuan, tetapi hukum juga memiliki fungsi. Menurut Sudikno Mertokusumo, hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia.
Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksaan hukum dapat berlangsung normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum.4 Untuk mencapai hukum tersebut agar tercapai semua tujuan dan fungsi hukum, disisi lain melindungi dari adanya pelanggaran hukum, maka perlu adanya perlindungan hukum. Pelanggaran hukum terjadi ketika subjek hukum tertentu tidak menjalankan kewajiban yang seharusnya dijalankan atau karenan melanggar hak-hak subjek hukum lain. Hukum bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula bersendikan pada keadilan, yaitu asas keadilan dari masyarakat itu 5 atau tindakan hukum pemerintah merupakan tindakan-tindakan yang berdasarkan sifatnya menimbulkan akibat hukum. Karakteristik paling penting dari tindakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah yaitu perbuatan yang bersifat sepihak.
Keputusan sebagai instrumen hukum pemerintah dalam melakukan tindakan hukum sepihak, dapat menjadi penyebab terjadinya pelanggaran hukum terhadap warga negara, apalagi dalam negara hukum modern yang memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah untuk mencampuri kehidupan, oleh karena itu diperlukan perlindungan hukum bagi warga negara terhadap tindakan hukum pemerintah.6 Ada dua macam perbuatan pemerintahan yang memungkinkan lahirnya kerugian bagi masyarakat atau bagi seseorang. Yang pertama yaitu perbuatan pemerintahan dalam bidang pembuatan peraturan perundang-undangan (regeling), yang kedua perbuatan pemerintahan dalam penerbitan keputusan (bessichikking).7 Dari pelanggaran hukum tersebut maka diperlukannya Perlindungan hukum untuk menegakkan hukum itu sendiri.
4 Sudikno Mertokusumo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Adiya Bakti, Bandung, 1993, hal.
140.
5 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hal.41
6 Ridwan HR, 2014, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 274
7 Ibid hal. 268.
11 Perlindungan hukum itu sendiri merupakan suatu yang mutlak yang dimiliki oleh subye-subyek hukum. Subyek hukum itu sendiri ada dua, subyek hukum manusia (naturelijke persoon) dan subyek badan hukum (rechtpersoon). Subyek hukum selaku pemikul hak-hak dan kewajiban-kewajiban (de dragger van de rechten en plichten), baik itu manusia (naturlijke persoon), Badan Hukum (recht persoon), maupun jabatan (ambt), dapat melakukan tindakan-tindakan hukum berdasarkan kemampuan (bekwaan) atau kewenangan (bevoegdheid) yang dimilikinya. Dalam pergaulan di tengah masyarakat, banyak terjadi hubungan hukum yang muncul sebagai akibat adanya tindakan-tindakan hukum dari subyek hukum itu. Tindakan hukum ini merupakan awal lahirnya hubungan hukum (rechtsbetrekking), yakni interaksi antar subyek hukum yang memiliki relevansi hukum atau mempunyai akibat-akibat hukum.
Agar hubungan hukum antar subyek hukum itu berjalan secara harmonis, seimbang dan adil, dalam arti setiap subyek hukum mendapatkan apa yang menjadi haknya dan menjalankan kewajiban yang dibebankan kepadanya, maka hukum tampil sebagai aturan main dalam mengatur hubungan hukum tersebut.8
Menurut Soetjipto Rahardjo Perlindungan hukum adalah upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya dan salah satu sifat sekaligus tujuan dari hukum itu sendiri adalah memberikan perlindungan kepada masyarakat. Hal itu diwujudkan dalam bentuk adanya kepastian hukum agar masyarakat dapat menikmati hak-hak yang diberikan sebagai perlindungan hukum terhadap masyarakat.9 Selain itu, ada pengertian perlindungan hukum menurut Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat manusia serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan, yang bersumber pada Pancasila dan konsep negara hukum.10
Prinsip-prinsip perlindungan hukum di Indonesia sendiri landasannya adalah Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara yang didasarkan pada konsep rechstaat
8 Ridwan HR, Loc.cit, Hal. 265.
9 Soetjipto Rahardjo, Permasalahan Hukum di Indonesia, Alumni, Bandung, 1983, Hal. 121.
10 Philipus M. Hadjon, Loc.ci, Hal. 25.
12 dan rule of the law. Dimana prinsip perlindungan hukum Indonesia menitik beratkan pada prisip perlindungan hukum pada harkat dan martabat manusia yang bersumber pada pancasila. Sedangkan prinsip perlindungan hukum terhadap tindak pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia tersebut merupakan konsep yang lahir dari sejarah barat, yang diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban oleh masyarakat dan pemerintah.11
1. Bentuk Perlindungan Hukum
Berbicara mengenai pengertian perlindungan hukum dan tujuan perlindungan hukum itu sendiri, maka untuk mencapai tujuan tersebut maka perlulah adanya bentuk nyata yang dapat diberikan oleh sebuah Negara. Menurut M. Hadjon mengatakan bahwa bentuk perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada rakyat ada dua macam, yaitu:
a. Perlindungan Hukum Preventif
Subyek hukum diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi tindakan pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak, oleh karenanya dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati- hati dalam mengambil suatu keputusan yang didasarkan pada diskresi.
Dibandingkan dengan sarana perlindungan hukum yang represif, sarana perlindungan hukum yang preventif dalam perkembangannya agak ketinggalan.
Belum banyak diatur mengenai sarana perlindungan hukum bagi rakyat yang sifatnya preventif, tetapi dalam bentuk perlindungan hukum preventif ini dapat di temui bentuk sarana preventif berupa keberatan (inspraak). Di Indonesia
11 Ibid, Hal. 38.
13 sendiri belum ada pengaturan khusus mengenai perlindungan hukum preventif.
Sedangkan perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Penanganan perlindungan hukum represif ini dilakukan oleh Pengadilan Umum dan Pengadilan Administrasi.
b. Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran. Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum dan Pengadilan Administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum ini. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasanpembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah.
Prinsip kedua yang mendasari perlindungan hukum terhadap tindak pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Dikaitkan dengan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari negara hukum. 12
2. Perlindungan Hukum Pemegang Hak Atas Tanah
Setelah mengetahui pengertian perlindungan hukum, tujuan perlindungan hukum dan bentuk perlindungan hukum yang dapat diberikan oleh Negara, maka perlu diketahui salah satu perlindungan hukum yang perlu dilindungi oleh sebuah Negara ialah perlindungan hukum mengenai hak kepemilikan seseorang. Seseorang
12 Ibid, hal. 20-30
14 mempunyai hak untuk memiliki, memanfaatkan dan menikmati dari apa yang dimilikinya. Maka jelaslah bahwa seseorang perlu dilindungi hak kepemilikannya agar tidak terjadi kesewenang-wenangan pengambilan hak milik tersebut. Seperti dalam Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi:
setiap orang berhak memiliki hak milik pribadi, dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.
Salah satu perlindungan hukum yang dilindungi dan diatur oleh Negara adalah hak kepemilikan atas tanah. Mengingat bahwa tanah merupakan salah satu objek alam yang sangat diperlukan oleh manusia untuk keberlangsungan hidupnya. Hak atas tanah dapat dimiliki oleh dua subyek yakni Badan Hukum dan orang perorangan. Maka dari itu hak kepemilikan atas tanah perlulah diatur agar tidak terjadinya sengketa mengenai hak milik satu dengan yang lain, serta memberikan kejelasan atas status tanah tersebut.
Dalam UU Pengadaan Tanah perlindungan yang diberikan bagi pemegang hak atas tanah yaitu ganti kerugian yang harus diterima oleh masyarakat selaku pemegang hak atas tanah, yang diberikan oleh Pemerintah selaku instansi yang memerlukan tanah.
Jika dalam penetapan ganti kerugian masyarakat tidak mencapai kesepakatan maka dapat mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri setempat (Pasal 38 ayat 1 UU Pengadaan Tanah). Jika pihak pemegang hak atas tanah masih merasa keberatan dengan putusan Pengadilan maka dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung paling lama 14 hari sejak putusan (Pasal 38 ayat 3 UU Pengadaan Tanah).
B. Konsinyasi Dalam KUHPerdata
Penitipan ganti rugi atau konsinyasi mulanya terjadi karena kreditur telah melakukan pelanggaran dalam sebuah perjanjian. Dimana seharusnya kreditur mau menerima pembayaran hutang dari debitur, sehingga debitur tidak dapat melaksanakan kewajibannya. Sebelum membahas mengenai konsinyasi itu sendiri. Perlu diketahui terlebih dahulu mengenai sebuah perjanjian. Perjanjian dilakukan oleh dua orang atau
15 lebih yang saling mengikatkan dirinya dalam sebuah perjanjian. Sebuah perjanjian pastilah didalamnya ada sebuah kesepakatan, kesepakatan dibuat tanpa adanya unsur paksaan.
Adapun pengertian perjanjian menurut parah ahli ialah menurut Sudikno yang mengatakan bahwa "perjanjian merupakan hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasar kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum".13 Pengertian perjanjian menurut R. Setiawan juga tidak jauh berbeda yaitu bahwa “perjanjian ialah suatu perbuatan hukum di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.14
Menurut Subekti pengertiaan perjanjian adalah suatu peristiwa di mana ada seorang berjanji kepada seorang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dari peristiwa ini, timbulah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.15
Perjanjian yang mengikat ini diperkuat dengan adanya asas konsensualisme, yaitu asas bahwa perjanjian sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya sepakat (konsensus), asas konsensualisme adalah suatu asas universal.16 Selain pengertian perjanjian menurut parah ahli, pengertian perjanjian itu sendiri menurut Pasal 1313 KUHPerdata adalah:
Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Syarat sahnya dibuatnya sebuah perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata secara garis besar ada 4 point penting yang perlu diperhatikan, yakni:
13 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1985, hal. 97-98.
14 R. Setiawan, Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya, Bina Cipta, Bandung, 1987, hal. 49.
15 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan 19, Intermasa, Jakarta, 2001, hal 1.
16 R. Subekti, Perbandingan Hukum Perdata, Cetakan 10, Pradnya Paraminta, Jakarta, 1990, hal. 44.
16 1. Adanya kesepakatan
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian 3. Objek yang diperjanjikan
4. Dilakukan secara halal.
Sebuah perjanjian dapat dibuat baik secara cuma-cuma maupun dibuat atas beban. Perjanjian cuma-cuma merupakan perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa memberikan kuntungan untuk dirinya sendiri. Namun berbeda halnya dengan perjanjian atas beban, perjanjian atas beban merupakan suatu perjanjian dimana adanya suatu keharusan dalam memberikan sesuatu atau tidak memberikan sesuatu. Konsinyasi dilakukan karena adanya sebuah perjanjian keharusan dimana di dalamnya terdapat hak dan kewajiban.
Hak menerima pembayaran dan hak melakukan pembayaram, dalam hal ini yang dimaksud adalah perjanjian hutang-piutang. Sehingga apabila ada permasalahan dimana kreditur tidak mau menerima pembayaran dari seorang debitur, maka bolehlah debitur menitipkan pembayaran tunai tersebut kepada Pengadilan Negeri, agar debitur dapat terbebas dari kewajibannya tersebut. R. Wirjono juga mengemukakan alasan yang sama terjadinya konsinyasi, menurut beliau konsinyasi terjadi karena adanya hutang piutang. Penolakan pembayaran yang bermaksud untuk melanjutkan perhubungan hukum hutang-berpihutang antara kedua belah pihak, hal ini tidak hanya menyedihkan tetapi bagi pihak yang terbeban karena kewajiban juga memberikan kerugian betul-betul kepada debitur.17 maka dengan itu KUHPerdata mengatur mengenai konsinyasi.
1. Pengertian Konsinyasi dan Alasan Terjadinya Konsinyasi Dalam KUHPerdata
Pengertian konsinyasi berasal dari bahasa Belanda yaitu dari kata consignatie yang berarti penitipan uang atau barang pada pengadilan guna pembayaran satu utang.
17 R. Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, Cetakan VIII, Mandar Maju, Bandung, 2000, hal. 134-135.
17 Penawaran pembayaran yang disusul dengan penitipan pada pengadilan membebaskan debitur asal dilakukan dengan cara-cara yang sah menurut Undang-Undang. Dalam perjanjian atau perikatan ada kalanya terjadi pihak kreditur tidak bersedia menerima pembayaran dari debitur. Keadaan demikian akan membawa kesulitan bagi debitur untuk melaksanakan kewajibannya. Untuk itu debitur dapat mengajukan aanbod van gereede betaling artinya penawaran kesiapan membayar. Apabila penawaran tersebut masih juga tidak diterima, maka uang atau barang itu dapat dikonsinyasikan.
Konsinyasi hanya mungkin dilakukan pada perikatan untuk membayar sejumlah uang atau menyerahkan barang-barang bergerak.
Konsinyasi dalam hukum perdata diatur pada Pasal 1404-1412 KUHPerdata.
Pengertian konsinyasi berdasarkan Pasal 1404 KUHPerdata, yang berbunyi:
Jika si berpiutang menolak pembayaran, maka si berhutang dapat melakukan penawaran pembayaran tunai apa yang diutangnya, dan jika si berpiutang menolaknya, menitipkan uang atau barangnya kepada pengadilan.
Penawaran yang sedemikian, diikuti dengan penitipan, membebaskan si berhutang, dan berlaku baginya sebagai pembayaran, asal penawaran itu telah dilakukan dengan cara menurut undang-undang; sedangkan apa yang dititipkan secara itu tetap atas tanggungan si berpiutang.
Undang-Undang memberi kemungkinan bagi debitur melunasi hutang perjanjian dengan jalan penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penitipan uang di Pengadilan Negeri. Dengan tindakan penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan konsinyasi, debitur telah dibebaskan dari pembayaran dengan mengakibatkan hapusnya perjanjian. Ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1381 KUHPerdata yang menentukan bahwa salah satu cara menghapuskan perjanjian ialah dengan tindakan penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan konsinyasi.18 Hal ini menjadi salah satu cara yang dapat diberikan sebagai bentuk jalan keluar bagi si berutang untuk membayar uang tunai atau barangnya tersebut kepada si berutang melalui dengan
18 M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal. 135.
18 penitipan ganti rugi kepada Pengadilan Negeri dengan alasan yang didasari pada ketidakmauan atau penolakan dari pihak berpiutang.
Menurut R. Wirjono Prodjodikoro pokok peraturan ini terletak pada Pasal 1404 ayat 2 KUHPerdata yang mengatakan, bahwa kalau pernyataan sedia membayar itu telah diikuti dengan suatu penitipan barang secara yang ditetapkan pula oleh Undang- Undang, maka bebaslah debitur dari kewajibannya dan dianggap seolah-olah telah terjadi suatu pembayaran yang sah dan juga layak bahwa dibagian penghabisan dari ayat tersebut dikatakan sejak penitipan barang itu barangnya berada di bawah tang ungan pihak-berhak.19
2. Pengaturan dan Mekanisme Konsinyasi Dalam KUHPerdata
Konsinyasi diatur di dalam Pasal 1404 sampai 1412 KUHPerdata. Seperti yang diketahui bahwa alasan terjadinya konsinyasi dikarenakan kreditur tidak mau menerima pembayaran tersebut, maka debitur dapat menitipkan pembayaran tersebut kepada Pengadilan. Penitipan kepada pengadilan mulanya harus diawali dengan adanya penawaran pembayaran. Penawaran pembayaran yang sah menurut Pasal 1405 KUHPerdata secara garis besarnya, yaitu:
1. Penerimaan pembayaran dilakukan oleh kreditur atau kuasanya.
2. Pembayaran haruslah dilakukan oleh yang berwenang.
3. Penawaran pembayaran berisikan uang pokok beserta bunganya bila di perjanjikan.
4. Adanya ketetapan waktu pembayaran.
5. Syarat yang menjadi beban terpenuhi
6. Adanya ketetapan tempat pembayaran yang disepakati.
Penawaran itu dilakukan oleh seorang Notaris atau juru sita, masing-masing disertai dua orang saksi.
Setelah dilakukan penawaran pembayaran tersebut maka bolehlah dilakukan penitipan pembayaran. Penitipan pembayaran yang sah menurut Pasal 1406 KUHPerdata:
19 Ibid, R. Wirjono Prodjodikoro, hal. 135.
19 1. Sebelum melakukan penitipan kepada Pengadilan Negeri,
debitur terlebih dahulu memberitahukan kepada kreditur mengenai waktu dan tempat dimana barang tersebut akan disimpan.
2. Debitur telah melepaskan barang tersebut kepada Panitera Pengadilan dan jika ada perselisihan akan mengadilinya disertai dengan Bungan sampai pada hari penitipan.
3. Dibuatnya sepucuk surat oleh Notaris atau Juru Sita diikuti dua orang saksi yang isinya mengenai mata uang, penolakan si berpiutang atau tidak datang untuk menerimanya yang akhirnya dilakukan penyimpanan sendiri.
4. Memberikan pemberitaan kepada kreditur untuk mengambil apa yang telah dititipkan oleh debitur apabila kreditur tidak datang untuk menerimanya.
Dalam hal pelaksanaan penawaran pembayaran dan penitipan pembayaran, maka biaya pelaksanaan tersebut akan ditangung oleh pihak kreditur sesuai dengan peraturan pada Pasal 1407 KUHPerdata.
Pada pelaksanaan penitipan, selama apa yang dititipkan oleh debitur belum diambil oleh kreditur, maka debitur dapat mengambil kembali apa yang dititipkan, hal ini tidak berarti membebaskan debitur dari tanggungannya, seperti yang tertera dalam Pasal 1408 KUHPerdata. Setelah apa yang dititipkan tersebut sudah mendapatkan putusan hakim, maka debitur tidak dapat lagi mengambil penitipan tersebut sekalipun mendapatkan persetujuan oleh kreditur. Akibat dari hal ini tersebut, maka debitur dinyatakan bebas dari kewajibannya. Hal ini dilihat dalam Pasal 1409 dan 1410 KUHPerdata. Namun ada hal lain yang dapat dilihat dalam peraturan konsinyasi di KUHPerdata yakni pasal 1411 dan 1412. Pasal 1411 mengatur mengenai kreditur yang tidak lagi mendapatkan pembayaran piutangnya kepada debitur apabila saat debitur mengambil kembali apa yang telah dititipkannya dan mendapatkan putusan oleh hakim, sekalipun kreditur menggunakan hak istimewanya atau hipotik yang melekat pada piutangnya. Pasal 1412 mengatur mengenai penyerahan barang yang dapat diserahkan ditempat barang itu berada atau hakim memberikan izin kepada debitur untuk menitipkan barang tersebut di tempat lain tetapi tetap dalam penguasaan hakim.
C. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum
20 Pada dasarnya Negara memiliki tujuan untuk memberikan kemakmuran kepada seluruh rakyatnya. Seperti yang tercantum dalam alinea kedua pembukaan UUD 1945, yang berbunyi
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan Rakyat Indonesia ke gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu berdaulat adil dan makmur.
Sehingga salah satu wujud yang dapat dilakukan oleh sebuah Negara dalam mencapai cita-cita tersebut adalah dengan membangun sebuah infrastruktur pembangunan untuk mempermudah bangsa tersebut dalam kehidupannnya. Agar infrastruktur tersebut dapat dibangun, maka salah satu objek penting yang dibutuhkan ialah tanah. Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang dapat dikuasai oleh Pemerintah dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyatnya, hal ini seperti yang tertuang dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi:
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalamnya dikuasi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Tanah dapat dikuasi oleh Pemerintah, namun perlu diperhatikan bahwa sebagian kepemilikan hak atas tanah dimiliki oleh masing-masing individu atau perorangan.
Hak kepemilikan masing-masing individu diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA itu sendiri yakni:
(1) Hak-hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) ialah:
(2) Hak milik,
(3) Hak Guna Usaha, (4) Hak Guna Bangunan, (5) Hak Pakai,
(6) Hak Sewa,
(7) Hak Membuka Tanah, (8) Hak Memungut Hasil Tanah, (9) Hak Memungut Hasil Hutan,
21 (10) Hak-hak lain yang tidak termaksud dalam hak-hak tersebut
diatas yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang serta hak- hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dengan pasal 53.
Pengertian hak atas tanah itu sendiri menurut Efendi merupakan hak yang memberikan kewenangan kepada yang empunya hak untuk mempergunakan atau tidak mempergunakan tanah yang di hakinya.20 Agar Pemerintah dapat memenuhi kebutuhan tanah tersebut, maka Pemerintah perlu mendapatkan tanah tersebut dari peroraangan yang memiliki hak atas tanah tersebut. Dalam hal Pemerintah ingin mendapatkan tanah tersebut, maka Pemerintah tidak dapat melakukan hal tersebut secara semena-mena. Pemerintah harus memperhatikan hak kepemilikan atas tanah tersebut. Dalam hal membutuhkan tanah, ada dua cara yang dapat dilakukan oleh Pemerintah, yaitu dengan cara Pencabutan Hak Atas Tanah dan Pengadaan Tanah yang sama-sama memiliki tujuan untuk membangun kepentingan umum. Salah satu cara yang sering dilakukan Pemerintah adalah dengan Pengadaan Tanah, guna menghormati hak kepemilikan perorangan tersebut dengan cara memberikan ganti kerugian.
1. Pengertian Pengadaan Tanah dan Tujuan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum
Tanah dan pembangunan merupakan dua unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam arti bahwa saling berkaitan.21. Pengadaan tanah sangat diperlukan guna menyediakan tanah untuk pembangunan demi kepentingan umum. Pengertian Pengadaan Tanah itu sendiri menurut Imam Koeswahyono bahwa:
Pengadaan Tanah sebagai perbuatan hukum yang dilakukan oleh Pemerintah untuk mendapatkan tanah bagi kepentingan tertentu dengan memberikan ganti rugi kepada
20 Efendi Perangin, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaan Dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, Rajawali, Jakarta, 1991, Hal. 229.
21 B.F. Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, Gunung Agung, Jakarta, 2004, hal. 46.
22 siempunya tanah (baik perorangan atau badan hukum)
menurut tata cara dan besaran nominal tersebut.22
selain itu ada juga pengertian Pengadaan Tanah menurut John Salindeho yaitu:
Pengadaan Tanah ialah “menyediakan tanah” dalam menyediakan tanah kita mencapai keadaan ada, karena di dalam mengupayakan, menyediakan sudah terselip arti mengadakan atau keadaan ada itu. Sedangkan dalam mengadakan tentunya kita menemukan atau tepatnya mencapai sesuatu yang tersedia, sebab sudah diadakan, kecuali tidak berbuat demikan. Jadi kedua istilah tersebut tampak berbeda, namun mempunyai arti yang menuju kepada satu pengertian (monosematic) yang dapat dibatasi kepada suatu perbuatan untuk mengadakan agar tersedia tanah bagi kepentingan pemerintah.”23
Sedangakan pengertian pengadaan tanah itu sendiri menurut Pasal 1 ayat (2) UU Pengadaan Tanah berbunyi:
Pengadaan Tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.
Pengadaan tanah juga memiliki tujuan yang terdapat pada Pasal 3 UU Pengadaan Tanah, yaitu:
Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum bertujuan menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum Pihak yang Berhak.
Kepentingan umum itu sendiri yang dimaksud Pasal 1 ayat (3) Keppres 55 Tahun 1993 adalah lapisan masyarakat. Sedangkan pengertian kepentingan umum menurut
22 Imam Koeswahyono, Artikel, Melacak Dasar Konstitusional Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Pembangunan Bagi Umum, 2008, hal. 1.
23 John Salindeho, Masalah Tanah dalam Pembangunan, Cetakan Kedu, Jakarta, Sinar Grafika, 1988, hal. 31
23 Oloan Sitorus sebagai salah satu ahli hukum mengatakan bahwa kepentingan umum untuk keperluan, kebutuhan atau kepentingan orang banyak atau tujuan yang luas.24 2. Pembangunan Dalam Pengadaan Tanah dan Prinsi-prinsip dalam
Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum
Pembangunan yang dapat dibangun oleh Pemerintah dalam Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum dapat dilihat pada Pasal 10 UU Pengadaan tanah, yang meliputi:
Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) digunakan untuk pembangunan:
a. pertahanan dan keamanan nasional;
b. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api;
c. waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya;
d. pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
e. infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;
f. pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik;
g. jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah;
h. tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
i. rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah;
j. fasilitas keselamatan umum;
k. tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah;
l. fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
m. cagar alam dan cagar budaya;
n. kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa;
o. penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa;
p. prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah;
q. prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan r. pasar umum dan lapangan parkir umum.
Dalam pembangunan Pengadaan Tanah semua itu haruslah dilakukan berdasarkan asas hukum yang digunakan sebagai landasan dalam pelaksanaan pengadaan tanah adalah yang tertera dalam Pasal 2 ayat (1) UU Pengadaan tanah yakni:
24 Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, 2004, hal. 6.
24 Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dilaksanakan
berdasarkan asas:
a. kemanusiaan;
b. keadilan;
c. kemanfaatan;
d. kepastian;
e. keterbukaan;
f. kesepakatan;
g. keikutsertaan;
h. kesejahteraan;
i. keberlanjutan; dan j. keselarasan.
Selain itu menurut Maria S.W salah seorang ahli hukum mengatakan bahwa implementasi Pengadaan Tanah juga perlu memperhatikan beberapa prinsip (asas) sebagaimana tersirat dalam peraturan Perundang-undangan dan ketentuan terkait yang mengaturnya. Adapun prinsip-prisip yang dimaksud adalah sebagai berikut:25
a. Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapa pun dan untuk keperluan apa pun harus ada landasan haknya;
b. Semua hak atas tanah secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa
c. Cara untuk memperoleh tanah yang sudah dihaki oleh seseorang/ badan hukum harus melalui kata sepakat antarpihak yang bersangkutan; dan
d. Dalam keadaan yang memaksa, artinya jalan lain yang ditempuh gagal maka Presiden memiliki kewenangan untuk melakukan pencabutan hak, tanpa persetujuan subyek hak menurut UU No. 20 Tahun 1961.
3. Pengaturan Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum
Dalam melaksanakan dan mewujudkan Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum, maka dibuatlah peraturan yang mengaturnya sebagai acuan dan tata cara
25 Maria S.W. Soemardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Buku KOMPAS, Jakarta, 2005, hal. 90-91.
25 pelaksanaan pengadaan tanah. Sebelumnya pada ketentuan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 lembaga yang digunakan dalam hal memperoleh tanah adalah pembebasan tanah. Namun dalam ini justru banyak menimbulkan pro dan kontra di dalamnya. Sehingga Presiden menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, selanjutnya disebut Keppres No. 55 Tahun 1993. Pada tanggal 3 Mei 2005 Keppres ini telah dicabut dan digantikan oleh Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, selanjutnya disebut dengan Perpres No. 36 Tahun 2005 dengan alasan bahwa Keputusan Presiden bukan termaksud jenis peraturan perundang-undangan. Setelah itu pada tanggal 5 Juni 2006, Peraturan Presiden tersebut dirubah oleh Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, selanjutnya disebut dengan Perpres No. 65 Tahun 2006.
Pada Tahun 2012 dibentuk dan di sahkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum pada tanggal 14 Januari 2012 dan disusul dengan peraturan pelaksananya pada tanggal 14 Agustus 2012 yaitu Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, selanjutnya disebut dengan Perpres No. 71 Tahun 2012. Peraturan pelaksana tersebut juga mendapat perubahan sebanyak empat kali. Perubahan kedua atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 adalah Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2014 kemudian dirubah kembali pada perubahan ketiga yaitu Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2015 dan yang terakhir perubahan keempat ialah Peraturan Presiden 148 Tahun 2015 Tentang Perubahan Ke Empat atas Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaran Pembangunan Bagi Kepentingan Umum.
Adapun peraturan Pengadaan Tanah selain UU Pengadaan Tanah dan peraturan pelaksananya, maka ada tambahan-tambahan peraturan yang mendukungnya, yaitu peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah yang kemudian
26 mendapat perubahan menjadi Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 2015. Ada juga peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan dan Penitipan Ganti Kerugian Ke Pengadilan Negeri Dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
4. Tahap-Tahap Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum
Sebelum memasuki tahap-tahap Pengadaan Tanah, perlu diketahui cara Pemerintah untuk mendapatkan tanah tersebut dengan memutuskan kepemilikan pemegang hak atas tanah atau yang disebut dengan pelepasan hak atas tanah.
Pengertian pelepasan hak itu sendiri menurut Pasal 1 ayat (9) UU Pengadaan Tanah, adalah:
Kegiatan pemutusan hubungan hukum dari pihak yang berhak kepada negara melalui Lembaga Pertanahan.
Tahap-tahap pelaksanaan Pengadaan Tanah ditentukan oleh UU Pengadaan Tanah.
Ada empat tahap dalam dalam malaksanakan pengadaan tanah, yaitu:
a. Perencanaan
Intansi yang memerlukan tanah harus membuat perencanaan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Perencanaan Pengadaan Tanah yang dimaksud diatur dalam Pasal 15 ayat (1), (2), (3) dan (4) UU Pengadaan Tanah, yaitu:
(1) Perencanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) disusun dalam bentuk dokumen perencanaan Pengadaan Tanah, yang paling sedikit memuat:
a. Maksud dan tujuan rencana pembangunan;
b. Kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan Rencana Pembangunan Nasional dan Daerah;
c. Letak tanah;
d. Luas tanah yang dibutuhkan;
e. Gambaran umum status tanah;
f. Perkiraan waktu pelaksanaan Pengadaan Tanah;
27 g. Perkiraan jangka waktu pelaksanaan pembangunan;
h. Perkiraan nilai tanah; dan i. Rencana penganggaran.
(2) Dokumen perencanaan Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan studi kelayakan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dokumen perencanaan Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Instansi yang memerlukan tanah.
(4) umen perencanaan Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada.
b. Persiapan
Selanjutnya tahap persiapan. Persiapan yang dimaksud dalam hal ini sebagaimana tertera pada Pasal 16 ayat (1) UU Pengadaan Tanah, yaitu:
Instansi yang memerlukan tanah bersama pemerintah provinsi berdasarkan dokumen perencanaan Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 melaksanakan:
a. pemberitahuan rencana pembangunan;
b. pendataan awal lokasi rencana pembangunan; dan c. Konsultasi Publik rencana pembangunan.
Persiapan pelaksanaan dilakukan oleh Gubernur wilayah tersebut, setelah itu Gubernur membentuk tim dalam pelaksanaan. Hal ini diatur dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2) Perpres No. 148/2015 sebagai peraturan pelaksanaan tersebut, yakni:
(1) “Gubernur melaksanakan tahapan kegiatan Persiapan Pengadaan Tanah setelah menerima dokumen perencanaan Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2).
(2) Dalam melaksanakan tahapan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur membentuk Tim Persiapan dalam waktu paling lama 2 (dua) hari kerja sejak dokumen perencanaan Pengadaan Tanah diterima secara resmi oleh Gubernur.”
28 Dalam proses persiapannya, Pemerintah terlebih dahulu melakukan pemberitahuan rencana pembangunan kepada masyarakat baik langsung maupun tidak langsung, dengan tujuan agar masyarakat mengetahui bahwa akan ada pembangunan untuk kepentingan umum yang akan di laksanakan oleh Pemerintah. Selanjutnya Pemerintah melakukan pendataan baik itu pendataan subjek yang akan terkena dampak maupun objek dalam pengadaan tanah. Pendataan tersebut dilakukan paling lama 30 hari kerja, sejak diberitahukannya rencana pembangunan, sehingga data tersebut digunakan dalam konsultasi publik. Hal ini sesuai dengan peraturan Pasal 18 ayat (1) sampai ayat (3) UU Pengadaan Tanah yang dimaksud sebagai berikut:
(1) Pendataan awal lokasi rencana pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b meliputi kegiatan pengumpulan data awal Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah.
(2) Pendataan awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak pemberitahuan rencana pembangunan.
(3) Hasil pendataan awal lokasi rencana pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai data untuk pelaksanaan Konsultasi Publik rencana pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf c.
Maksud dan tujuan konsultasi publik dapat dilihat pada Pasal 19 ayat (1) sampai ayat (6) UU Pengadaan Tanah, yakni:
(1) Konsultasi Publik rencana pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) dilaksanakan untuk mendapatkan kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari Pihak yang Berhak.
(2) Konsultasi Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan Pihak yang Berhak dan masyarakat yang terkena dampak serta dilaksanakan di tempat rencana pembangunan Kepentingan Umum atau di tempat yang disepakati.
(3) Pelibatan Pihak yang Berhak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan melalui perwakilan
29 dengan surat kuasa dari dan oleh Pihak yang Berhak
atas lokasi rencana pembangunan.
(4) Kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam bentuk berita acara kesepakatan.
(5) Atas dasar kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Instansi yang memerlukan tanah mengajukan permohonan penetapan lokasi kepada gubernur.
(6) Gubernur menetapkan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya pengajuan permohonan penetapan oleh Instansi yang memerlukan tanah.
Sehingga jelas bahwa konsultasi publik dapat dikatakan juga dengan musyawarah. Dimana dalam konsultasi publik memerlukan kesepakatan dalam penentuan objek serta subjek yang terkena dampak Pengadaan Tanah dengan subjek yang melakukan pengadaan tanah. Dalam konsultasi publik ini juga diatur mengenai jangka waktu dalam pelaksanaannya yaitu 60 hari kerja dan apabila dalam konsultasi publik tersebut tidak terdapat kesepakatan, maka dilakukan konsultasi ulang dengan pihak yang keberatan paling lama 30 hari kerja, sesuai dengan Pasal 20 ayat (1) dan (2) UU Pengadaan Tanah, sebagai berikut:
(1) Konsultasi Publik rencana pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dilaksanakan dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kerja.
(2) Apabila sampai dengan jangka waktu 60 (enam puluh) hari kerja pelaksanaan Konsultasi Publik rencana pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat pihak yang keberatan mengenai rencana lokasi pembangunan, dilaksanakan Konsultasi Publik ulang dengan pihak yang keberatan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.
Apabila konsultasi ulang tersebut masih belum mendapatkan kesepakatan atau masih ada pihak yang keberatan, maka Gubernur akan membetuk tim untuk melakukan pengkajian ulang lokasi tersebut. Tim tersebut mempunyai
30 tugas sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (4) UU Pengadaan Tanah, yakni:
Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bertugas:
a. menginventarisasi masalah yang menjadi alasan keberatan;
b. melakukan pertemuan atau klarifikasi dengan pihak yang keberatan; dan
c. membuat rekomendasi diterima atau ditolaknya keberatan.
Kemudian setelah tim melakukan kajian tersebut, tim yang ditugaskan dapat memberikan surat rekomendasi diterima atau ditolaknya keberatan perencanaan lokasi tersebut dalam waktu 14 hari kerja terhitung sejak diterimanya permohonan oleh Gubernur. Setelah mengeluarkan surat rekomendasi tersebut, maka akan diberikan kepada Gubernur yang kemudian, Gubernur akan mengeluarkan surat keputusan diterima atau ditolaknya keberatan perencanaan lokasi tersebut.
Gubernur yang mengeluarkan surat ditolaknya keberatan perencanaan tersebut, maka perencanaan lokasi tersebut menjadi tetap. Namun apabila Gubernur menerima penolakan keberatan tersebut maka, Gubernur memberitahu kepada instasi yang memerlukan tanah untuk mengajukan rencana lokasi di tempat lain. Dalam hal ini sesuai dengan peraturan yang diatur di dalam Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) UU Pengadaan Tanah, yakni:
(1) Dalam hal ditolaknya keberatan atas rencana lokasi pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (6), gubernur menetapkan lokasi pembangunan.
Dalam hal diterimanya keberatan atas rencana lokasi pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (6), gubernur memberitahukan kepada Instansi yang memerlukan tanah untuk mengajukan rencana lokasi pembangunan di tempat lain.
(2) Apabila dalam surat ditolaknya keberatan tersebut yang dikeluarkan oleh Gubernur masih ada yang keberatan dalam keputusan tersebut, maka pihak yang terkena
31 dampak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN). PTUN dapat memutuskan ditolaknya atau Pihak yang keberatan terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Mahkamah Agung wajib memberikan putusan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan kasasi diterima.
Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap menjadi dasar diteruskan atau tidaknya Pengadaan Tanah bagi pembangunan untuk Kepentingan Umum.
c. Pelaksanaan Pengadaan Tanah
Setelah melakukan penetapan lokasi, instansi yang memerlukan tanah akan melanjutkan tahap selanjutnya, yaitu tahap pelaksanaan pengadaan tanah.
Tahap pelaksanaan Pengadaan Tanah secara garis besarnya berdasarkan Pasal 27 ayat (2) UU Pengadaan Tanah dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Inventarisasi dan Identifikasi
a) dilakukan untuk pengukuran dan pemetaan bidang tanah;
b) Inventarisasi dan Identifikasi dilakukan selama 30 hari kerja.
c) Hasil investarisasi dan identifikasi diumumkan di kantor desa atau kelurahan, kantor kecamatan dan tempat pengadaan tanah dilakukan.
d) Dalam hal tidak menerima hasil inventarisasi dan identifikasi, maka pihak yang berhak dapat mengajukan keberatan kepada Lembaga Pertanahan.
2. Penilaian Ganti Kerugian
Ganti kerugian dikenal dalam Pengadaan Tanah sebagai upaya bentuk Pemerintah dalam menghormati hak kepemilikan atas tanah. Ganti kerugian memiliki pengertian menurut Pasal 1 Ayat (10) UU Pengadaan Tanah yaitu
penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah.
32 Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penilaian ganti kerugian yakni:
a) Orang/ Lembaga yang berhak memberikan Penilaian Tanah dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan oleh seorang yang ditunjuk dan mempunyai sertifikat izin oleh panitia pelaksanaan pengadaan tanah, sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (11) UU Pengadaan Tanah, yakni:
Pertanahan, yang selanjutnya disebut Penilai, adalah orang perseorangan yang melakukan penilaian secara independen dan profesional yang telah mendapat izin praktik penilaian dari Menteri Keuangan dan telah mendapat lisensi dari Lembaga Pertanahan untuk menghitung nilai/harga objek pengadaan tanah.
b) Penilaian ganti rugi harus dilihat berdasarkan Pasal 33 UU Pengadaan Tanah, yakni:
Penilaian besarnya nilai Ganti Kerugian oleh Penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dilakukan bidang per bidang tanah, meliputi:
a. tanah;
b. ruang atas tanah dan bawah tanah;
c. bangunan;
d. tanaman;
e. benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau f. kerugian lain yang dapat dinilai.
c) Penilaian ganti kerugian yaitu apabila tanah tersebut memiliki sedikit sisa yang tidak dapat lagi difungsikan, maka pemilik hak atas tanah dapat meminta ganti rugi tersebut dengan besar yang sama atau secara utuh. Bentuk besarnya ganti kerugian tersebut akan disampaikan oleh Lembaga Pertanahan dengan berita acara. Bentuk besarnya ganti rugi yang akan dinilai tersebut menjadi bahan yang dibawa pada saat musyawarah.
33 d) Bentuk ganti kerugian yang dapat Pemerintah berikan sesuai ketentuan
Pasal 36 UU Pengadaan tanah, yaitu:
a. uang;
b. tanah pengganti;
c. permukiman kembali;
d. kepemilikan saham; atau
e. bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.
e) Bentuk pemberian ganti rugi tersebut dapat diberikan sesuai dengan kesepakatan dari pemegang hak atas tanah dan yang membutuhkan tanah. Pemberian ganti rugi tersebut dilakukan dengan cara musyawarah yang dilakukan dalam waktu 30 hari kerja sejak hasil penilaian tersebut disampaikan. Sehingga apabila hasil dari musyawarah tersebut mencapai kesepakatan, maka hasil tersebut akan dimasukan ke dalam berita acara. Namun pada kenyataan pemberian ganti kerugian melalui musyawarah tidak selamanya melewati proses yang mudah. Proses yang tidak mudah tersebut ialah proses dimana dalam penilaian ganti rugi tidak tercapainya kesepakatan. Sehingga ini akan menyulitkan Pemerintah dalam melaksanakan kegiatan Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum.
3. Musyawarah Penetapan Ganti Kerugian
Lembaga pertanahan melakukan musyawarah dengan pihak yang berhak setelah menerima hasil penilaian dari penilai untuk menetapkan bentuk dan atau besarnya ganti kerugian. Hasil dari musyawarah yang disepakati tersebut menjadi dasar pemberian ganti kerugian kepada pihak pemegang hak atas tanah dan dimuat di dalam berita acara kesepakatan.
Dalam proses penetapan ganti rugi yang tidak tercapainya kesepakatan, maka pemegang hak atas tanah diberikan satu kebijakan atau upaya hukum
34 yang dapat dilakukan, yakni dengan proses pengajuan keberatan kepada Pengadilan Negeri setempat yang diberikan waktu 14 hari kerja setelah musyawarah tersebut dilakukan. Hal ini telah tertera di dalam Pasal 38 ayat (1) UU. Pengadaan Tanah sebagai berikut:
Dalam hal tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian, Pihak yang Berhak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri setempat dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah musyawarah penetapan Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1).
Setelah pengajuan keberatan pada Pengadilan Negeri dilakukan, Hakim dalam Pengadilan Negeri tersebut harus memberikan keputusan paling lama 30 hari sejak diterimanya pengajuan keberatan tersebut, hal ini berdasarkan pada Pasal 38 ayat (2) UU Pengadaan Tanah. setelah keputusan Hakim dari Pengadilan Negeri tersebut dikeluarkan dan dinyatakan ditolak keberatan tersebut, maka upaya selanjutnya yang dapat dilakukan oleh pemegang hak atas tanah ialah pengajuan kasasi kepada Mahkamah Agung. Hal ini di atur di dalam Pasal 38 ayat (3) UU.
Pengadaan Tanah, yaitu:
Pihak yang keberatan terhadap putusan pengadilan negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Dalam hal ini Mahkamah Agung juga harus memberikan keputusan dalam waktu 30 hari sejak diterimanya pengajuan keberatan tersebut. Pengajuan keberatan melalui kasasi, merupakan suatu upaya terakhir yang dapat dilakukan oleh pemegang hak atas tanah. Sehingga keputusan dari Mahkamah Agung merupakan keputusan mutlak atau keputusan berkekuatan hukum tetap. Dalam hal ini setelah mendapatkan keputusan tersebut, maka pemilik hak atas tanah melakukan pelepasan dan
35 penyerahan hasil bukti kepemilikan hak atas tanah yang sah menurut hukum disertai dengan penerimaan ganti kerugian. Namun apabila pemegang hak atas masih belum mau menerima biaya ganti rugi tersebut, maka Pemerintah akan melakukan penitipan uang ganti rugi kepada Pengadilan Negeri setempat.
4. Pemberian Ganti Kerugian
Pemberian ganti kerugian akan diberikan kepada yang berhak berdasarkan hasil penilaian yang ditetapkan berdasarkan musyawarah sebagaimana ditetapkan di dalam Pasal 41 ayat (1) UU Pengadaan tanah. Bentuk pemberian ganti kerugian dapat diberikan menjadi dua yaitu pemberian langsung karena dasar kesepakatan atau pemberian tidak langsung yang disebabkan oleh beberapa faktor sehingga Pemerintah akan menitipkan uang ganti kerugian kepada Pengadilan Negeri setempat, hal ini yang dikenal dengan konsinyasi.
Setelah pemberian ganti rugi berupa langsung maupun tidak langsung telah dilakukan, maka pihak pemegang hak atas tanah harus mengalihkan hak kepemilikannya kepada Pemerintah dan hak kepemilikan tersebut menjadi hapus. Pasal 43 ayat (1) UU Pengadaan Tanah membuktikan hal tersebut, dengan bunyi sebagai berikut:
Pada saat pelaksanaan pemberian Ganti Kerugian dan Pelepasan Hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf a telah dilaksanakan atau pemberian Ganti Kerugian sudah dititipkan di pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), kepemilikan atau Hak Atas Tanah dari Pihak yang Berhak menjadi hapus dan alat bukti haknya dinyatakan tidak berlaku dan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.
36 5. Penyerahan Hasil
Tahap terakhir yang dilakukan oleh instansi yang memerlukan tanah ialah penyerahan hasil. Penyerahan hasil yang dimaksud merupakan hasil dari penetapan besarnya objek tanah yang diperlukan yang akan dialihkan dari pihak yang memiliki tanah dengan yang membutuhkan tanah, sehingga menjadi dasar besarnya ganti kerugian tersebut untuk dipakai menjadi bahan dilaksanakannya musyawarah.