KEUSKUPAN BOGOR DAN EKSISTENSI MISIONERNYA:
“EKARISTI,TOLERANSI DAN MODERASI HIDUP BERAGAMA, SERTA TRANSFORMASI DALAM GEREJA SINODAL”
[RD.HABEL JADERA] INTRODUKSI
Pada tanggal 1 Januari 2022, Uskup Keuskupan Bogor, Mgr. Paskalis Bruno syukur mengeluarkan surat Gembala yang bertema “Ekaristi dan Toleransi demi Transformasi dalam Gereja Sinodal”. Hal tersebut menjadi dasar Pastoral Gereja Keuskupan Bogor di tahun 2022 ini. Di tengah pandemik COVID-19 yang melanda dunia pada umumnya, Gereja Keuskupan Bogor senantiasa berupaya mewujudkan karakter misionernya untuk senantiasa “mewartakan Kabar Sukacita” [LG 17] dengan menekankan semangat pastoralnya untuk meng-counter beberapa permasalahan yang muncul selama masa pandemik tersebut.
Pertama, Ekaristi yang merupakan perjumpaan Kristus dengan manusia secara nyata menjadi salah satu tantangan berat Gereja di era COVID-19. Gereja dihadapi dengan gelombang dunia media yang secara langsung berpengaruh bagi wajah dan bentuk liturgi, secara khusus Perayaan Ekaristi. Kedua, semangat toleransi yang telah menjadi issue nasional Bangsa Indonesia. Hal ini berkaitan langsung dengan tantangan yang ketiga, yaitu Transformasi Gereja Sinodal. Konsep Gereja yang berjalan bersama menjadi satu fokus pastoral Gereja senada dengan Tema Sinode para Uskup Sedunia 2021-2023:
“For a Synodal Church: Communion, participation, mission.”
Relasi antara ketiga tema tersebut menjadi sangat penting dalam membangun semangat Pastoral di Keuskupan Bogor khususnya di tahun 2022 ini. Dasar misi dan tugas perutusan Gereja menjadi garis tengah tiga pokok pikiran tersebut. Oleh karena itu, melalui tulisan ini, penulis ingin memaparkan secara ringkas latar belakang pentingnya tiga pokok pemikiran itu dalam karya pastoral Gereja Keuskupan Bogor dan relasi antara ketiganya dalam perspektif misiologis. Toleransi dan moderasi yang didasarkan pada Ekaristi akan mewujudkan semangat Sinodal Geraja Keuskupan Bogor. Gereja yang berjalan bersama, adalah Gereja Misioner yang menekankan pentingnya perjumpaan satu sama lain.
TOLERANSI DAN MODERASI HIDUP BERAGAMA: PERSPEKTIF KEBANGSAAN
Bagi kita masyarakat Indonesia, kata toleransi menjadi suatu kata yang tak asing lagi.
Namun, toleransi seperti apa yang kita pahami dalam konteks kita sebagai masyarakat majemuk? Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata toleransi sebagai: “sifat atau sikap toleran”1. Dengan menjunjung tinggi sikap atau sifat toleran, maka dua kebudayaan [Agama] yang berbeda dapat hidup dan tumbuh bersama-sama. Kata toleransi tentunya tidak dapat berdiri sendiri. Dalam konteks budaya Indonesia, kata toleransi biasanya dipadankan dengan konteks hidup bermasyarakat, misalnya: toleransi antarumat beragama, toleransi antar budaya. Sebagai umat yang beriman kepada Tuhan Yang Mahakuasa, kita di ajak untuk menumbuhkan “sikap yang memiliki kecenderungan untuk
1 Arti Kata Toleransi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia [Online], diambil dari https://kbbi.web.id/toleransi, 05.01.22
menghargai serta memperbolehkan pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan maupun yang lainnya dari lain pihak meskipun bertentangan dengan pendirian sendiri”
[Arti toleransi menurut W. J. S. Poerwadarminto (1986)].
Sejalan dengan Pemerintah Republik Indonesia yang mencanangkan Tahun 2022 sebagai tahun toleransi, Gereja Keuskupan Bogor juga ingin menghidupi semangat moderasi hidup beragama dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satunya ialah dengan cara menjunjung tinggi nilai keberagaman. Pada Hari Toleransi Internasional, 16 November 2021, Menteri Agama RI, Yaqut Cholil Qoumas, menegaskan bahwsa
“Keragaman agama, bahasa, budaya, dan etnis bukanlah dalih untuk konflik, tetapi kekayaan umat manusia. Keragaman adalah kekayaan.2” Melalui keberagaman, kita mampu “saling mengenal dan berkolaborasi dalam kebaikan dan mewujudkan kemaslahatan bersama.”
Moderasi berasal dari kata moderatus [Latin: tidak lebih dan tidak kurang]. Dalam konteks beragama, maka, moderasi dapat diartikan sebagai suatu keadaan hidup bermasyarakat yang tidak cenderung ekstrem [meyakini bahwa hanya agama tertentu yang paling unggul dan merendahkan agama yang lain] tetapi juga tidak bersikap skeptis atau acuh tak acuh [tidak mementingkan peran agama dalam hidup bermasyakarat].
Kementrian Agama Republik Indonesia mendefiniskan moderasi beragama sebagai “cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengimplementasikan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan berlandaskan prinsip adil, berimbang dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa” [Humas Kemenag]3. Keberhasilan mengamalkan moderasi hidup beragama dalam masyarakat itu dapat dilihat melalui beberapa indikasi yaitu: komitmen kebangsaan, toleransi, anti-kekerasan, dan ramah terhadap tradisi.
TOLERANSI DAN MODERASI HIDUP BERAGAMA DALAM MAGISTERIUM GEREJA
Konsili Vatikan II menggambarkan Sikap Gereja terhadap keberadaan Agama lain [Hinduisme dan Budhisme]: “Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama- agama itu serba benar dan suci” [NA 2]. Demikian “Gereja juga menghargai umat Islam, yang menyembah Allah satu-satunya, yang hidup dan berdaulat, penuh belas kasihan dan mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, yang telah bersabda kepada umat manusia” [NA 3]. Namun di saat bersamaan, Gereja tiada hentinya mewartakan dan wajib mewartakan Kristus, yakni "jalan, kebenaran dan hidup" (Yoh 14:6).
Sikap moderasi hidup beragama secara jelas digambarkan dalam dokumen tersebut. KV II menekankan pentingnya tugas misi pewartaan Kabar Sukacita namun tetap menekankan pentingnya sikap moderat dan saling menghargai umat beriman lain.
Moderasi hidup beragama dapat dimengerti dalam konteks “Maka Gereja mendorong para putranya, supaya dengan bijaksana dan penuh kasih, melalui dialog dan kerja sama dengan para penganut agama-agama lain, sambil memberi kesaksian tentang iman serta
2 Yaqut Cholil Qoumas, diambil dari https://www.kemenag.go.id/read/selamat-hari-toleransi- internasional-keragamaan-adalah-kekayaan-3qxop 05.01.22
3 Humas Kemenag RI, diambil dari https://www.kemenag.go.id/read/hari-toleransi-internasional-menag- keragamaan-adalah-kekayaan-6vwnp 05.01.22
perihidup kristiani, mengakui, memelihara dan mengembangkan harta kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosio-budaya, yang terdapat pada mereka” [NA 2].
Paus Yohanes Paulus II dalam Enskilik Redemptoris Missio [55-57]secara jelas menekankan bahwa “Dialog antaragama merupakan bagian dari misi evangelisasi Gereja” [RM 55]. Kita hendaknya memahami dialog tanpa mengurangi makna bahwa Kristus adalah sumber keselamatan kita dan karenanya tidak terlepas dari tindakan evangelisasi. Dialog antaragama mengarah pada sharing nilai dan pengalaman hidup umat beriman [dialog kehidupan]. Melalui dialog kehidupan itu “kaum beriman dari agama-agama yang berbeda-beda bersaksi di hadapan satu sama lain di dalam kehidupan sehari-hari, tentang nilai-nilai kemanusiaan dan kerohanian mereka sendiri, dan saling menolong satu sama lain untuk hidup menurut nilai-nilai itu dengan maksud untuk membangun suatu masyarakat yang lebih adil dan lebih bersaudara” [RM 57].
Kata toleransi dan moderasi secara eksplisit diserukan oleh Paus Benediktus XVI ketika menerima kunjungan Ad limina Konferensi Para Uskup Bangladesh tahun 2008:
“Saudara-saudaraku yang terkasih, sebagai promotor kerukunan dan perdamaian, kalian [bersama para umat] memiliki banyak hal untuk ditawarkan kepada bangsa ini. Dalam cintamu untuk negara, kalian menginspirasi toleransi, moderasi, dan pengertian. Dengan mendorong orang-orang yang memiliki nilai-nilai penting untuk bekerja sama demi kebaikan bersama, membantu mengkonsolidasikan stabilitas negara dan mempertahankannya untuk masa depan.” [Paus Benediktus XVI]4
Paus Benediktus XVI menekankan, Gereja itu katolik, sebuah komunitas yang merangkul bangsa-bangsa dari segala suku dan bahasa, tidak dibatasi pada satu kultur sosial, sistem ekonomi atau politik tertentu [lih. GS 42]. Keberadaan Gereja hendaknya ditujukan bagi
“pelayanan seluruh umat manusia, secara bebas berpartisipasi dengan membagikan rahmatnya bagi kesejahteraan seluruh umat manusia.”
Paus Fransiskus menegaskan Kembali “pastoral perjumpaan” sebagai bentuk nyata dari Gereja yang bergerak “ke luar” [EG 20-23]. Dalam perjumpaan itu, kita bertemu dengan saudara-saudari kita, baik yang seiman maupun tidak, karena “Sukacita Injil itu ditujukan bagi semua orang tanpa terkecuali [EG 23]”. Konsep hidup moderasi Paus Fransiskus semakin nyata dalam Ensiklik sosialnya, Fratelli Tutti. Paus Fransiskus merespon trend dunia masa kini yang cenderung menegasi atau mengeliminasi orang lain dengan membuktikan bahwan “kita mampu menciptakan suatu visi baru, persaudaraan dan persahabatan sosial, yang tidak hanya sebatas kata-kata” [FT 6]. Persaudaraan yang bukan hanya kata-kata itu menjadi nyata dalam konsep dialog dengan semua orang.
Paus Fransiskus mewujudkan apa yang ia sebut persaudaraan tanpa kata-kata lewat perjumpaan dengan Imam Besar Ahmad Al-Tayyeb [Abu Dhabi, 2019] yang menghasilkan Dokumen Persaudaraan Document on Human Fraternity for World Peace and Living Together, Abu Dhabi [4 February 2019]. Ia pun melakukan kunjungan Apostolik bersejarah ke Irak, 5-8 Maret 2021. Dalam pertemuan antaragama di Padang Ur, 06 Maret 2021, Paus Fransiskus menggambarkan hubungan antaragama itu dengan
4Benediktus XVI, Address of His Holiness Benedict XVI to Bishops of Bangladesh on their "ad limina"
visit Thursday, 12 June 2008, https://www.vatican.va/content/benedict-
xvi/en/speeches/2008/june/documents/hf_ben-xvi_spe_20080612_ad-limina-bangladesh.pdf 03.01.22
dua ilustrasi: “agar kita memandang ke langit dan berjalan di bumi.” Menurutnya: Surga mengajarkan kita akan pesan persatuan: Sang Ilahi mengundang kita untuk tidak pernah terpisah dari saudara-saudari kita” [Paus Fransiskus, Padang Ur, 2021]. Karena itu, moderasi hidup beragama ialah bagaimana kita menciptakan hidup beragama kita yang sejati: “menyembah Tuhan dan mencintai sesama” [Paus Fransiskus, Padang Ur, 2021].
EKARISTI DAN TRANSFORMASI GEREJA SINODAL
Ekaristi merupakan suatu perjumpaan yang paling real antara Tuhan dan manusia.
Bahkan, Paus Fransiskus menyebut peristiwa Yesus yang memecahkan roti itu sebagai sebuah gesture par excellence5 [Tindakan yang sempurna]. Dalam Ekaristi, kita diberikan kesempatan secara istimewa untuk berjumpa dengan Yesus yang menyerahkan diri-Nya bagi kita agar kita lahir kembali. Perjumpaan dengan Yesus dalam ekaristi itulah yang menjadi daya penggerak transformasi hidup yang mendalam. Kita semakin diingatkan bahwa Ekaristi adalah sumber dan puncak hidup beriman umat Kristiani [LG 11].
Tahun Ekaristi hendaknya dipahami sebagai suatu kesempatan untuk menghadirkan katekese yang intensif dan mendalam tentang Ekaristi itu sendiri6. Katekese ekaristis itu hendaknya mencakup:
1. Pendalaman biblis yang berkaitan dengan misteri Ekaristi dari berbagai dimensi, baik dalam Perjanjian Lama maupun tentang penetapan Ekaristi
2. Katekese yang mencakup Tradisi Gereja yang mencakup Bapa-bapa Gereja, perkembangan Magisterium, secara khusus Konsili Trente, Konsili Vatikan II sampai pada Katekismus Gereja Katolik.
3. Mistagogi yang berisi penjelasan dan pembelajaran mendalam akan misteri ekaristi yang dirayakan.
4. Peningkatan devosi-devosi ekaristis seperti para santo santa [Ecclesia de Eucharistia, 62]
Dengan menjalankan katekese ekaristis secara mendalam, kita diharapkan memperoleh pemahaman yang lengkap dan mendalam pula tentang ekaristi. Sehingga berani pula mengambil singkap transformasi seperti para murid Emaus yang menyadari kehadiran Yesus dan “terbukalah mata mereka dan mereka mengenal Dia” [Luk 24:31].
Kita pun harus sampai pada transformasi itu. Karena perjumpaan dengan Yesus, kita berani untuk “bangun dan terus kembali ke Yerusalem” [Luk 24:33]. Dan kemudian bersaksi atas Kebangkitan Kristus: “Sesungguhnya Tuhan telah bangkit dan telah menampakkan diri kepada Simon” [Luk 24:34].
Ekaristi tidak hanya menjadi sumber dan puncak dari kehidupan iman kristiani kita. Gereja yang sinodal juga terbentuk dan bertumbuh dalam Ekaristi7. Paus Fransiskus
5 Paus Fransiskus, Homily, https://www.vatican.va/content/francesco/en/homilies/2021/documents/papa- francesco_20210606_omelia-corpusdomini.html
6 Congregation for Divine Worship and the Discipline of the Sacraments, The Year of the Eucharist, Suggestions and Proposals, 2, diambil dari
https://www.vatican.va/roman_curia/congregations/ccdds/documents/rc_con_ccdds_doc_20041014_anno -eucaristia_en.html#1.%20Reference%20Chart
7 International Theological Commission, Sinodality in the life and mission of the Church, 47 diambil dari https://www.vatican.va/roman_curia/congregations/cfaith/cti_documents/rc_cti_20180302_sinodalita_en.
html#_edn52 06.01.22
menegaskan bahwa sinodalitas “merupakan dimensi esensial Gereja”, dalam artian bahwa
“apa yang Tuhan minta dari kita dalam arti tertentu telah hadir dalam kata sinode8. Sinode sendiri berasal dari Bahasa Yunani Kuno yang digunakan dalam Tradisi Gereja [terdiri dari preposisi συν (with) dan kata benda όδός (path), yang mengindikasikan suatu tempat Umat Allah berjalan bersama. Maka, Ekaristi menjadi sumber dan kekuatan serta tempat kita sebagai umat Allah berjalan bersama menuju Sang Pencipta. Namun, di lain pihak, Ekaristi pun dapat menjadi sumber kekuatan kita untuk berjalan bersama dengan saudara- saudara sebangsa dan setanah air.
Dengan semangat ekaristi, kita dimampukan untuk menghidupi prinsip sinodalitas dalam setiap level kehidupan di Keuskupan Bogor. Prinsip sinodalitas adalah “tindakan Roh dalam persekutuan Tubuh Kristus dan dalam perjalanan misioner Umat Allah”9. Prinsip sinodalitas mengejawantahkan karakter peziarah Gereja. SInodalitas dihayati di dalam Gereja dalam konteks misi perutusannya10.
PENUTUP
“Pada hakekatnya Gereja peziarah bersifat misioner”, Ecclesia peregrinans natura sua missionaria est [AG 2]. Gereja Keuskupan Bogor secara aktif menghayati karakter misioner Gereja universal itu. Secara khusus di tahun 2022 ini, Uskup Keuskupan Bogor, Mgr. Paskalis Bruno Syukur mengajak kita setiap umat beriman untuk mengambil bagian dalam tugas misioner Gereja, “pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala mahkluk” [Mrk 16:15] lewat tiga hal penting: penghayatan tentang Ekaristi sebagai pusat hidup kristiani, toleransi dan moderasi hidup beragama sebagai perwujudan karakter kebangsaan yang adalah tindikan misi [missio ad extra] kita dan transformasi Gereja sinodal sebagai perwujudan transformasi misioner Gereja [mission ad intra].
Toleransi dan moderasi hidup beragama menjadi satu hal yang penting di tahun 2022 ini. Sejalan dengan apa yang dicanangkan Pemerintah Republik Indonesia [Tahun 2022 sebagai Tahun Toleransi], kita sekalian diajak untuk sungguh mempraktikkan cara moderasi hidup beragama dalam setiap konteks kehidupan kita. Gereja Universal mengajak kita untuk merenungkan Sinodalitas Gereja: Umat Allah yang berjalan bersama. Moderasi hidup beragama dalam konteks kebangsaan terwujud dalam penghayatan prinsip-prinsip sinodalitas Gereja, memandang semua orang sebagai sahabat dan saudara [Fratelli Tutti] yang bersama menuju Sang Ilahi. Berjalan bersama berarti memuji Allah sekaligus mencintai sesama. Itu semua dapat terwujud jika kita sungguh- sungguh menghayati Tuhan yang hadir dalam Ekaristi.
Roma, 6 Januari 2022 Salam Misioner, RDHJ
8 Ibid., 1.
9 Ibid., 46.
10 Ibid., 55.
DAFTAR BACAAN:
Dokumen Konsili Vatikan II Ad Gentes
Lumen Gentium Nostra Aetate Magisterium Paus
YOHANES PAULUS II, Redemptoris Missio, 1990 FRANSISKUS, Evangelii Gaudium, 2013
FRANSISKUS, Fratelli Tutti, 2020 Dokumen Congregasi
CONGREGATION FOR DIVINE WORSHIP AND THE DISCIPLINE OF THE SACRAMENTS, The Year of the Eucharist, Suggestions and Proposals, 15 Oktober 2004
INTERNATIONAL THEOLOGICAL COMMISSION, Sinodality in the life and mission of the Church, 17 Oktober 2015
Website
https://kbbi.web.id/toleransi, 05.01.22
https://www.kemenag.go.id/read/selamat-hari-toleransi-internasional-keragamaan- adalah-kekayaan-3qxop 05.01.22
https://www.kemenag.go.id/read/hari-toleransi-internasional-menag-keragamaan- adalah-kekayaan-6vwnp 05.01.22
https://www.vatican.va/roman_curia/congregations/ccdds/documents/rc_con_ccdds_doc _20041014_anno-eucaristia_en.html#1.%20Reference%20Chart
https://www.vatican.va/roman_curia/congregations/cfaith/cti_documents/rc_cti_201803 02_sinodalita_en.html#_edn52 06.01.22