• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR ISI BAB I. PENDAHULUAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "DAFTAR ISI BAB I. PENDAHULUAN"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DALAM ... i

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... iv

KATA PENGANTAR ... v

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... ix

DAFTAR ISI ... x

ABSTRAK ... xiii

ABSTRACT ... xiv

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 8

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 8

1.4 Orisinalitas Penelitian ... 9

1.5 Tujuan Penelitian ... 10

1.5.1 Tujuan Umum... 10

1.5.2 Tujuan Khusus ... 10

1.6 Manfaat Penelitian ... 11

1.6.1 Manfaat Teoritis ... 11

1.6.2 Manfaat Praktis ... 11

1.7 Landasan Teoritis ... 12

1.8 Metode Penelitian ... 20

1.8.1 Jenis Penelitian ... 20

1.8.2 Jenis Pendekatan ... 21

1.8.3 Sifat Penelitian ... 22

1.8.4 Data dan Sumber Data ... 22

(2)

1.8.5 Teknik Pengumpulan Data ... 23

1.8.6 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 24

BAB II. TINJAUAN UMUM MENGENAI DESA WISATA, RETRIBUSI DAN USAHA PARIWISATA 2.1 Pengertian Desa Wisata ... 25

2.1.1 Komponen Desa Wisata ... 28

2.1.2 Kriteria Desa Wisata ... 31

2.2 Pengertian Retribusi ... 32

2.2.1 Pengaturan Retribusi ... 35

2.2.2 Jenis-Jenis Retribusi ... 36

2.3 Pengertian Usaha Pariwisata... 41

2.3.1 Jenis-Jenis Usaha Pariwisata ... 43

2.3.2 Kedudukan Desa Wisata Dalam Usaha Pariwisata ... 46

BAB III. TINDAKAN YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH DESA WISATA DALAM MEMUNGUT RETRIBUSI USAHA PARIWISATA DI KABUPATEN BADUNG 3.1 Dasar Hukum Kedudukan Desa Wisata Dalam Memungut Retribusi Usaha Pariwisata Di Kabupaten Badung ... 49

3.2 Identifikasi Desa Wisata di Kabupaten Badung ... 53

3.2.1 Desa Wisata Sangeh Kecamatan Abiansemal ... 53

3.2.2 Desa Wisata Mengwi Kecamatan Mengwi ... 54

3.2.3 Desa Wisata Carangsari Kecamatan Petang ... 54

3.2.4 Desa Wisata Bongkasa Pertiwi Kecamatan Abiansemal ... 55

3.3 Pemungutan Retribusi Usaha Pariwisata Pada Desa Wisata Di Kabupaten Badung ... 56

(3)

3.3.1 Pemungutan Retribusi Usaha Pariwisata Pada Desa Sangeh

Kecamatan Abiansemal ... 58

3.3.2 Pemungutan Retribusi Usaha Pariwisata Pada Desa Mengwi Kecamatan Mengwi ... 63

3.3.3 Pemungutan Retribusi Usaha Pariwisata Pada Desa Carangsari Kecamatan Petang ... 66

3.3.4 Pemungutan Retribusi Usaha Pariwisata Pada Desa Bongkasa Pertiwi Kecamatan Abiansemal... 67

BAB IV. KONTRIBUSI HASIL PEMUNGUTAN RETRIBUSI USAHA PARIWISATA OLEH DESA WISATA DI KABUPATEN BADUNG TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH BADUNG 4.1 Usaha Pariwisata Pada Desa Wisata Di Kabupaten Badung ... 71

4.2 Pengaruh Retribusi Usaha Pariwisata Pada Desa Wisata Terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Badung ... 74

BAB V. PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 78

5.2 Saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 80

DAFTAR INFORMAN ... 84 LAMPIRAN-LAMPIRAN

(4)

ABSTRAK

Untuk mewujudkan pembangunan pariwisata berkelanjutan yang berbasis kerakyatan, diperlukan upaya diversifikasi daya tarik wisata yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, pelestarian seni budaya, dan pembangunan kepariwisataan yang ramah lingkungan. Salah satu pilihan tepat yang deilaksanakan Pemerintah Kabupaten Badung adalah membentuk kawasan wisata pedesaan yang dapat dijadikan daya tarik wisata yang biasa dikenal dengan Desa Wisata. Dalam penyelenggaraan kepariwisataan, khususnya Desa Wisata menurut pasal 9 ayat 2 Peraturan Bupati Badung Nomor 47 Tahun 2010 Tentang Penetapan Kawasan Desa Wisata di Kabupaten Badung disebutkan bahwa penataan dan pengelolaan kawasan desa wisata dikembangkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat di sekitar kawasan Desa Wisata. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui peningkatan pendapatan dari sektor Desa Wisata. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 3 huruf c Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan yang menjelaskan kepariwisataan berfungsi meningkatkan Pendapatan Asli Daerah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Untuk itu perlu diketahui apa tindakan yang dapat dilakukan oleh Desa Wisata dalam memungut retribusi usaha pariwisata di Kabupaten Badung.

Selain itu perlu diketahui berapa kontribusi dari pemungutan retribusi usaha pariwisata oleh Desa Wisata terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Badung.

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum empiris, yang mengkualifikasikan hukum sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati dalam kehidupan nyata. Dalam penelitian ini data dikelompokkan menjadi data primer yakni data yang diperoleh langsung dari lapangan baik dari responden maupun informan, kemudian data sekunder yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan seperti Undang-Undang dan literatur hukum lain yang terkait dengan permasalahan yang diteliti.

Adapun hasil yang diperoleh dalam penelitian ini terkait tindakan yang dapat dilakukan oleh Desa Wisata dalam memungut retribusi usaha pariwisata adalah dengan melakukan kerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Badung. Dengan adanya Surat Perjanjian Kerjasama antara Pemerintah Daerah Badung dengan Desa Wisata yang bersangkutan, Desa Wisata berhak memungut retribusi dengan tata cara yang telah diatur dalam Peraturan Bupati Badung Nomor 23 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan Retribusi Tempat Rekreasi Obyek / Daya Tarik Wisata Yang Dikerjasamakan Pemerintah Kabupaten Badung. Adapun kontribusi retribusi usaha pariwisata pada desa wisata di Kabupaten Badung terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Badung pada tahun 2013 sebesar 0,0023 %, pada tahun 2014 sebesar 0,0004 % , pada tahun 2015 sebesar 0,0033% dan pada tahun 2016 sebesar 0,0025 %.

Kata Kunci : Desa Wisata, Retribusi, Usaha Pariwisata

(5)

ABSTRACT

To realize the development of community-based sustainable tourism, it is necessary to diversify the tourist attraction oriented to improve the welfare of the community, the preservation of cultural arts, and the development of environmentally friendly tourism. One of the right choice that Badral Government regulate is to form a rural tourism area that can be used as tourist attraction commonly known as tourist village. In the implementation of tourism, especially Tourism Village according to Article 9 paragraph 2 of Regulation of Badung Regent No. 47 of 2010 on Stipulation of Village Tourism Area in Badung regency mentioned that the arrangement and management of tourist village area developed and utilized as much as possible to improve the welfare of the community, especially people around the area Tourist village. One of the efforts made is through income generation from Tourism Village sector. This is in line with the provisions of Article 3 Regional Regulation of Badung Regency No. 2 of 2012 on Tourism which explains kepariwisaatn function to increase the Original Revenue to realize the welfare of the people. For that we need to know what action can be done by the village of tourism in collecting levies of tourism business in Badung regency. In addition it is necessary to know how the contribution from the collection of retribution of tourism business by the village of tourism to the Local Revenue District Badung.

The research method used in this research is empirical law research method, which qualifies law as an empirical symptom that can be observed in real life. In this study data are grouped into primary data ie data obtained directly from the field both from respondents and informants, then secondary data obtained through literature research such as Law and other legal literature related to the problems studied.

The results obtained in this study related actions that can be done by the Tourism Village in collecting retribution of tourism business is to cooperate with the Government of Badung regency. With the Letter of Cooperation Agreement between Badung District Government and the Tourism Village concerned, Tourism Village is entitled to collect retribution with the procedure which has been regulated in Regulation of Badung Regent Number 23 Year 2016 About Procedure of Implementation of Retribution Levy of Recreation Attraction / Tourist Attraction by Government Badung regency. The contribution of tourism business in tourism village in Badung regency to Badung Regency Local Revenue in the year 2013 equal to 0,0023%, in year 2014 0.0004%, in 2015 equal to 0,0033% and in year 2016 equal to 0, 0025%

Keywords: Tourism Village, Retribution, Tourism Busine

(6)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sesuai dengan adanya peraturan otonomi daerah sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa Pemerintah Daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas yang berlaku dan tugas pembantuan.

Pemberian wewenang pemerintah pusat kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terjadinya perubahan guna mencapai kesejahteraan masyarakat melalui kualitas pelayanan yang juga melibatkan peran serta masyarakat.

Otonomi daerah memberi kewenangan pada daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerahnya sehingga fisikal daerah meningkat. Otonomi termasuk salah satu dari azas-azas umum pemerintahan Negara.1 Dalam pelaksanaan otonomi daerah, sumber keuangan yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah lebih penting dibandingkan dengan sumber-sumber diluar Pendapatan Asli Daerah, karena Pendapatan Asli Daerah dapat dipergunakan sesuai dengan prakarsa dan inisiatif daerah sedangkan bentuk pemberian pemerintah (non PAD) sifatnya lebih terikat.

Dengan penggalian dan peningkatan pendapatan asli daerah diharapkan Pemerintah Daerah juga mampu meningkatkan kemampuannya dalam penyelenggaraan urusan

1Amrah Muslimin, 1978, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, h.11.

(7)

daerah. Sehingga dengan dilaksanakanya otonomi daerah diharapkan mampu mengurangi ketergantungan daerah terhadap Pemerintah Pusat.

Pendapatan Asli Daerah merupakan Pendapatan Daerah yang bersumber dari hasil Pajak Daerah, hasil Retribusi Daerah, hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada Daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas Desentralisasi. Pemerintah Pusat dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, sebagaimana diatur dalam undang-undang pemerintahan daerah yang telah beberapa kali mengalami perubahan dan terakhir Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, maka untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, Pemerintah Pusat memberikan sumber-sumber keuangan daerah berupa sumber-sumber Pendapatan Daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 285 Undang-Undang ini yang merumuskan:

Sumber- sumber pendapatan daerah terdiri atas:

a. Pendapatan asli daerah meliputi 1) Pajak daerah;

2) Retribusi daerah;

3) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan 4) Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah;

b. Pendapatan transfer; dan

c. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.

(8)

Penyelenggaraan fungsi Pemerintahan Daerah akan terlaksana seacara optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan penerimaan sumber- sumber yang cukup kepada daerah. Semua-sumber keuangan yang melekat pada setiap urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerah menjadi sumber keuangan daerah. Daerah diberikan hak untuk mendapatkan sumber keuangannya sendiri.2

Dengan otonomi daerah, setiap daerah dapat menggali potensi yang dapat dikembangkan, sehingga perkembangan masing-masing daerah dapat meningkat pesat. Otonomi daerah memberi kewenangan pada daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerahnya agar fiskal daerah menjadi meningkat. Terdapat berbagai sektor yang dapat dikembangkan, diantaranya adalah sektor perdagangan, sektor jasa, sektor pertanian, sektor pariwisata dan lain-lain. Dengan demikian salah satu sektor yang menarik dikaji yaitu sektor pariwisata, khususnya lagi di Kabupaten Badung yang memiliki potensi sektor pariwisata cukup besar untuk dikembangkan. Dengan ketersediaan berbagai potensi pariwisata yang ada serta dukungan Pemerintah Daerah dalam bentuk regulasi sangat dimungkinkan melalui sektor pariwisata untuk meningkatkan pendapatan asli daerah Badung.

Di dalam Ketentuan Umum Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan dijelaskan bahwa Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat,pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah. Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi

2Sarman, 2012, Hukum Pemerintah Daerah di Indonesia, PT Rineka Cipta, Jakarta,hlm 228.

(9)

serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan Negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha.

Sebagian besar pembangunan di Kabupaten Badung disumbang oleh sektor pariwisata. Sektor pariwisata yang merupakan penggerak perekonomian masyarakat diharapkan dapat berjalan secara berkelanjutan melalui pengembangan pariwisata kerakyatan. Untuk mewujudkan pembangunan pariwisata berkelanjutan yang berbasis kerakyatan, diperlukan upaya diversifikasi daya tarik wisata yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, pelestarian seni budaya, dan pembangunan kepariwisataan yang ramah lingkungan. Salah satu pilihan tepat adalah membentuk kawasan wisata pedesaan yang dapat dijadikan daya tarik wisata yang biasa dikenal dengan Desa Wisata.

Pemerintah Kabupaten Badung di dalam mengembangkan pembangunan kepariwisataan telah merencanakan dan melaksanakan gagasan melalui Peraturan Bupati Badung Nomor 47 Tahun 2010 tentang Penetapan Kawasan Desa Wisata di Kabupaten Badung. Sejak tahun 2010, Kabupaten Badung memiliki 11 Desa Wisata yang semuanya terletak di kawasan Badung Utara dan Badung Tengah yaitu :

(1) Banjar Karang Dalem I, Desa Bongkasa Pertiwi, Kecamatan Abiansemal;

(2) Desa Sangeh, Kecamatan Abiansemal;

(3) Banjar Sekar Mukti Pundung, Desa Pangsan, Kecamatan Petang;

(4) Banjar Kerta, Desa Petang, Kecamatan Petang;

(5) Banjar Kiadan, Desa Pelaga, Kecamatan Petang;

(10)

(6) Banjar Lawak, Desa Belok, Kecamatan Petang;

(7) Desa Carang Sari, Kecamatan Petang;

(8) Desa Baha, Kecamatan Mengwi;

(9) Desa Kapal, Kecamatan Mengwi;

(10) Desa Mengwi, Kecamatan Mengwi; dan (11) Desa Munggu, Kecamatan Mengwi.

Dalam penyelenggaraan kepariwisataan, khususnya Desa Wisata menurut pasal 9 ayat 2 Peraturan Bupati Badung Nomor 47 Tahun 2010 Tentang Penetapan Kawasan Desa Wisata di Kabupaten Badung disebutkan bahwa penataan dan pengelolaan kawasan desa wisata dikembangkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat di sekitar kawasan desa wisata. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui peningkatan pendapatan dari sektor Desa Wisata. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 3 Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan dijelaskan kepariwisataan berfungsi :

a. memenuhi kebutuhan jasmani, rohani, dan intelektual setiap wisatawan:

b. meningkatkan peran serta pelaku usaha pariwisata: dan

c. meningkatkan Pendapatan Asli Daerah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan, kepariwisataan diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, kekeluargaan, adil dan merata, keseimbangan, kemandirian, kelestarian, partisipatif, berkelanjutan, demokratis, kesetaraan, kesatuan, dan profesionalisme. Pembangunan

(11)

kepariwisataan dilakukan dengan memperhatikan keanekaragaman, keunikan, dan kekhasan budaya dan alam, serta kebutuhan manusia untuk berwisata. Pemanfaatan dan pengembangan Desa Wisata diarahkan kepada pengembangan pariwisata minat khusus yang memiliki apresiasi terhadap seni dan budaya serta menjadikan aktifitas keseharian masyarakat desa sebagai daya tarik wisata.

Selain untuk lebih banyak menarik jumlah wisatawan, pengembangan desa wisata juga memberikan dampak pemerataan pembangunan hingga tingkat desa dan mengangkat tingkat perekonomian masyarakat. Kesebelas desa wisata di Kabupaten Badung ini telah berkembang sangat pesat sebagai daya tarik wisata serta banyak dikunjungi terutama pada musim liburan baik oleh para wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara. Dengan berkembangnya kawasan daya tarik wisata tersebut, diharapkan berpengaruh terhadap perekonomian masyarakat setempat dan sebagai daya tarik wisata yang baru di KabupatenBadung.

Kabupaten Badung merupakan salah satu dari sembilan kabupaten yang ada di Bali yang memiliki Pendapatan Asli Daerah yang paling besar dibandingkan dengan kabupaten lainnya yang ada di Bali. Hal ini menyebabkan Kabupaten Badung terus berusaha mempertahankannya dengan cara mengembangkan setiap tempat yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai Daya Tarik Wisata agar menghasilkan pendapatan dan mampu memberikan kontribusi sehingga nantinya mampu dimanfaatkan untuk kesejahteraan dan kemakmuran semua masyarakatnya.

Sejak tahun 2010 Kabupaten Badung memiliki 11 Desa Wisata, yang mana pada beberapa desa diberikan hak melakukan pungutan retribusi usaha pariwisata.

(12)

Menurut Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Kepariwisataan Budaya Bali pada Bab VI tentang pembangunan daya tarik wisata, Pasal 16 mencantumkan bahwa “pengelolaan daya tarik wisata dapat dilakukan oleh Pemerintah Provinsi, Desa Pakraman, lembaga tradisional, perorangan dan badan usaha. Pada Bab IX Tentang Peran Serta Masyarakat, Pasal 24 ayat (1) mencantumkan bahwa “masyarakat berhak memperoleh kesempatan yang seluas- luasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan kepariwisataan”. Hak tersebut antara lain adalah sebagai pengelola daya tarik wisata. Pemerintah Daerah Kabupaten Badung melalui Perda Nomor 20 tahun 1994 Tentang Pengusahaan dan Retribusi Objek Wisata, memberikan kepercayaan kepada Desa Pakraman untuk terlibat secara langsung dalam pengelolaan daya tarik wisata.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Pasal 67 ayat (1) huruf c dijelaskan bahwa desa berhak mendapatkan sumber pendapatan. Pada Bab VIII tentang keuangan desa dan aset desa Pasal 72, disebutkan beberapa sumber pendapatan desa yang salah satunya adalah pendapatan asli desa yang terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli Desa.

Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 25 Tahun 2011 Tentang Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga, dari kesebelas Desa Wisata yang ada di Kabupaten Badung, Desa Sangeh menjadi salah satu obyek retribusi. Hal ini sesuai dengan ketentuan pada Pasal 8 ayat (1) dijelaskan Struktur dan besarnya tarif Retribusi ditetapkan pada obyek wisata sangeh untuk wisatawan dewasa Domestik

(13)

sebesar Rp. 10.000 per orang, wisatawan dewasa manca negara sebesar Rp. 15.000 per orang, wisatawan anak-anak domestik sebesar Rp. 5.000 per orang, dan wisatawan anak-anak manca negara sebesar Rp. 10.000 per orang. Atas dasar latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul

“KEDUDUKAN DESA WISATA DALAM MEMUNGUT RETRIBUSI USAHA PARIWISATA DI KABUPATEN BADUNG”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut di atas, rumusan permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini, adalah:

1. Apa tindakan yang dapat dilakukan oleh Desa Wisata dalam memungut retribusi usaha pariwisata di Kabupaten Badung ?

2. Berapa kontribusi dari hasil pemungutan retribusi usaha pariwisata pada Desa Wisata di Kabupaten Badung terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Badung ?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Agar penelitian ini tidak menimbulkan penafsiran yang terlalu luas dan untuk lebih terarahnya dalam melakukan penelitian ini diperlukan pembatasan ruang lingkup penelitian. Adapun ruang lingkup dalam penelitian ini, pada Kecamatan Abiansemal akan dibatasi pada Banjar Karang Dalem I, Desa Bongkasa Pertiwi dan Desa Sangeh. Pada Kecamatan Petang akan dibatasi pada Desa Carang Sari. Pada

(14)

Kecamatan Mengwi akan dibatasi pada Desa Mengwi dengan interval data empat tahun terakhir.

1.4 Orisinalitas Penelitian

Dalam rangka menghindari plagiat dalam penulisan ini, maka penulis mencantumkan beberapa karya ilmiah terdahulu yang pembahasannya berkaitan dengan Kedudukan Desa Wisata Dalam Memungut Retribusi Usaha Pariwisata Di Kabupaten Badung. Adapun daftar penelitian yang sejenis adalah sebagai berikut :

Tabel 1.1

Daftar Penelitian Sejenis

NO Judul Skripsi Penulis Rumusan Masalah

1 Peranan Retribusi Obyek Pariwisata Terhadap

Pendapatan Asli Daerah

Kabupaten Gresik (Studi Kasus Pada Wisata Religi Makam Sunan Giri di Kabupaten

Gresik)

Nur Indah Kurnia Sari (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya)

Nim: 1050013671

1. Berapa besar kontribusi retribusi pariwisata terhadap Pendapatan Asli daerah (PAD) di kabupaten Gresik

?2. Faktor-faktor apa saja yangmempengaruhi kenaikan atau penurunan dari kontribusi tersebut mulai dari tahun 2009-2013.Kabupaten Gresik?

NO Judul Skripsi Penulis Rumusan Masalah

2 Peningkatan

Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui

pengembangan

potensi obyek wisata Pantai Pangandaran di Kabupaten

Ciamis Jawa Barat

Nining Yuningsih (Mahasiswa

Fakultas Ilmu Sosial Jurusan

Hukum dan Kewarganegaraan)

Universitas Negeri Semarang)

Nim. 3414000020

1.Bagaimana upaya yang dilakukan oleh Pemda Kabupaten Ciamis dalam rangka mengembangkan potensi obyek wisata pantai Pangandaran ?

2. Faktor-faktor apa yang mendorong dan menghambat dalam pengembangan potensi obyek wisata pantai Pangandaran?

(15)

Berdasarkan tabel diatas, adapun perbedaan antara riset yang dilakukan dengan riset sebelumnya adalah pada riset sebelumnya meneliti tentang upaya Pemerintah Daerah sedangkan pada riset yang dilakukan meneliti tentang kedudukan Desa Wisata. Selanjutnya pada riset sebelumnya meneliti tentang faktor faktor yang mendorong dan menghambat dalam pengembangan obyek wisata sehingga berpengaruh pada Pendapatan Asli Daerah sedangkan pada riset yang dilakukan meneliti tentang seberapa besar kontribusi dari retribusi usaha pariwisata pada Desa Wisata terhadap Pendapatan Asli Daerah.

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan penulisan dalam skripsi ini dibedakan menjadi tujuan umum dan tujuan khusus, yaitu sebagai berikut:

1.5.1. Tujuan Umum

Tujuan Umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami tindakan yang dapat dilakukan oleh Desa Wisata dalam memungut retribusi usaha pariwisata di Kabupaten Badung. Disamping itu juga untuk mengetahui kontribusi hasil pemungutan retribusi usaha pariwisata terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Badung.

1.5.2. Tujuan Khusus

Tujuan Khusus dari penelitian ini sesuai rumusan masalah yang dibahas adalah sebagai berikut:

(16)

1. Untuk mengetahui dan menganalisis tindakan yang dapat dilakukan oleh Desa Wisata dalam memungut retribusi usaha pariwisata di Kabupaten Badung.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis kontribusi dari hasil pemungutan retribusi usahapariwisata oleh Desa Wisata terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Badung.

1.6 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dari skripsi ini dibedakan atas manfaat teoritis dan manfaat praktis, yaitu sebagai berikut:

1.6.1. Manfaat teoritis

Manfaat Teoritis dari penelitian ini adalah sebagai bahan atau data informasi di bidang ilmu hukum bagi mahasiswa akademisi ataupun masyarakat umum, dan sebagai upaya untuk menambah pengetahuan mengenaikedudukan Desa Wisata dalam memungut retribusi usaha pariwisata di Kabupaten Badung.Serta memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum dan Hukum Pemerintahan Daerah pada khususnya.

1.6.2. Manfaat praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan solusi yang tepat bagi Pemerintah Daerah, Desa Wisata dan Masyarakat terhadap kedudukan Desa Wisata dalam memungut retribusi usaha pariwisata di Kabupaten Badung. Serta mengetahui dan menganalisiskontribusi dari hasil pemungutan retribusi usaha pariwisata oleh desa

(17)

wisata terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Badung.

1.7 Landasan Teoritis a. Teori Negara Hukum

Sistem pemerintahan daerah di Indonesia menurut konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di dalam Pasal 18 disebutkan bahwa:

Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah Daerah Provinsi tersebut dibagi dalam beberapa Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Provinsi, Kabupaten dan Kota mempunyai Pemerintahan Daerah yang diatur dengan undang-undang. Dengan demikian penyelenggaraan Pemerintah Daerah tidak boleh mengingkari makna dari negara kesatuan. Pemerintah bagaimanapun yang dibentuk sebagai akibat adanya kekuasaan secara vertikal dari pemerintahan pusat kepada pemerintahan di daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pemerintah pusat dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berdasarkan sejarah perkembangan dan jenis-jenis Negara Hukum yang tumbuh dan berkembang pada dunia Barat, maka negara hukum yang dianut negara Indonesia tidaklah dalam artian formal, namun negara hukum dalam artian material, yang juga diistilahkan dengan kesejahteraan (welfare state) atau “negara kesejahteraan”.3 Sebagai konsekuensi Negara Indonesia berdasarkan atas hukum, maka Negara Indonesia telah berkomitmen untuk menempatkan hukum sebagai acuan

3E.Utrecht, 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, h.110.

(18)

tertinggi dalam penyelenggaraan Negara dan pemerintahanya (supremasi hukum).4 Dalam terminologi hukum ketatanegaraan sampai saat ini konsep negara yang baik dan responsive diarahkan kepada tipe negara kesejahteraan, terutama tipe negara hukum materiil yang semakin menjauh dari tipologi negara hukum sebagai penjaga malam (nachtwachterstaat) atau negara hukum formal atau formile rechtstaat. Tugas negara dalam konteks ini bukan lagi sebagai pengatur tata lalu lintas masyarakat.

Negara bukan hanya sekedar polisi, jaksa, dan hakim yang bertugas menghukum dan menindak akan tetapi tugas negara adalah menciptakan kesejahteraan sosial. Sebab itu, perkembangan umat manusia tidak berjalan sirkuler pada satu arah dan statis, namun dinamika perkembangan sejarah kemanusiaan justru menuntut seluruh instrument yang berkaitan denganya meningkat. Bahwa obsesi untuk membangun kekuatan sosial tidak bias lagi mengandalkan individu-individu yang dianggap merdeka, namun negara bertanggungjawab (accountability) untuk memelihara, menaikan dan menegakan derajat kesejahteraan sosial warganya (welfare of citizen).

Negara Hukum (state of law) bertugas untuk menciptakan kemajuan sosial bagi masyarakatnya. Dengan hukum sebagai instrumenya, maka rekayasa sosial (a tool of sosial engineering) diciptakan untuk membangun masyarakat yang sejahtera.5

Menurut Zairin Harahap, Negara Hukum merupakan negara yang menghendaki segala tindakan atau perbuatan penguasa mempunyai dasar hukum yang jelas atau ada legalitasnya baik berdasarkan hukum tertulis, maupun berdasarkan

4 Bagir Manan, 1994, Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Universitas Padjajaran, Bandung, h.18.

5Fajlurrahman Jurdi, 2016, Teori Negara Hukum, Setara Press, Malang, h.14.

(19)

hukum tidak tertulis.6

Selanjutnya menurut Abu Daud Busroh dkk, dinyatakan bahwa negara hukum adalah negara yang berdasarkan hukum. Negara yang berdasarkan hukum dalam hal ini maksudnya segala kewenangan dan tindak-tanduk alat-alat negara atau penguasa semata-mata berdasarkan atau diatur oleh hukum.7

b. Konsep Tindak Pemerintahan

Pengertian perbuatan pemerintah (bustuurhandeling) menurut Van Volenhoven adalah pemeliharaan kepentingan Negara dan rakyat secara spontan dan tersendiri oleh penguasa tinggi dan rendahan.8 Menurut Soehino, SH di dalam melakukan tugasnya, alat alat perlengkapan administrasi itu harus melakukan perbuatan-perbuatan tertentu, yang demikian ini dimaksudkan agar alat-alat perlengkapan administrasi itu dapat melakukan tugasnya dengan baik. Perbuatan alat- alat perlengkapan administrasi tadi dalam kajian hukum yang terpenting adalah perbuatan-perbuatan alat-alat perlengkapan administrasi yang bersifat yuridis, jadi merupakan suatu perbuatan hukum (dalam hubungan ini kiranya perlu diingat bahwa disamping perbuatan hukum tersebut ada perbuatan lain dari alat-alat perlengkapan administrasi yang bersifat material atau wajar, yang tergantung pada suatu kebutuhan, pada suatu waktu, dan pada suatu tempat tertentu, yang karena itu tidaklah mungkin dapat diatur sebelumnya , seperti perbaikan jalan, perbaikan jembatan dan

6 Zairin Harahap, 2010, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Pt Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.1.

7 E.Utrecht, op.cit, h.21.

8Lutfi Chakim, 2011, Perbuatan Pemerintah, URL: http://www.lutfichakim.com, diakses tanggal 13 Januari 2017.

(20)

sebagainya). Kemudian perbuatan-perbuatan alat-alat perlengkapan administrasi yang bersifat yuridis, atau yang berupa perbuatan hukum tadi, ada 2 kemungkinan pengaturanya, yaitu mungkin diatur oleh hukum privat (Hukum Perdata) atau mungkin diatur oleh Hukum Publik. Dalam pembicaraan Hukum Tata Pemerintahan, yang penting adalah perbuatan alat perlengkapan administrasi yang berupa perbuatan hukum yang diatur oleh Hukum Publik. Selanjutnya perbuatan alat-alat perlengkapan administrasi yang berupa perbuatan hukum yang diatur boleh Hukum Publik itu ada 2 kemungkinan sifatnya, yaitu mungkin bersifat sepihak (eenzijdige) atau mungkin bersifat dua pihak (tweezijdige)9

Dalam melakukan aktifitasnya, Pemerintah melakukan dua macam tindakan, tindakan biasa (feitelijkehandelingen) dan tindakan hukum (rechtshandelingen).

Dalam kajian hukum, yang terpenting untuk dikemukakan adalah tindakan di dalam katagori kedua, rechtshandelingen. Tindakan hukum pemerintahan diartikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan. Tindakan pemerintahan memiliki beberapa unsur yaitu sebagai berikut :

1. Perbuatan itu dilakukan oleh aparat Pemerintah dalam kedudukannya sebagai Penguasa maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahan (bestuurs-organen) dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri;

2. Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan;

9 Soehino, 1984, Asas-Asas Hukum Tata Pemerintahan, Liberty, Yogyakarta, h.68.

(21)

3. Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum di bidang hukum administrasi;

4. Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat.

Dalam negara hukum, setiap tindakan pemerintahan harus berdasarkan atas hukum, karena dalam negara terdapat prinsip wetmatigheid van bestuur atau asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka segala macam aparat pemerintah tidak akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya. Asas legalitas menurut Sjachran Basah , berarti upaya mewujudkan duet integral secara harmonis antara paham kedaulatan hukum dan paham kedaulatan rakyat berdasarkan prinsip monodualistis selaku pilar-pilar, yang sifat hakikatnya konstitutif.

Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa setiap kewenangan pemerintah yang diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi ditentukan harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut.10 Setiap kewenangan yang dilimpahkan kepada Gubernur dalam rangka dekonsentrasi harus disertai pula dengan pembiayaan sesuai dengan setiap kewenangan yang telah dilimpahkan, didalamnya termasuk juga terhadap pembentukan peraturan daerah agar

10 Jimly Asshiddiqie, 2010, Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h.235.

(22)

tidak bertentangan dengan kewenangan yang dilimpahkan kepada pemerintah daerah.

Dengan demikian, pelaksanaan otonomi daerah tidak hanya mengalihkan beban dan tanggung jawab ke daerah, melainkan juga mengalihkan berbagai kewenangan dan hak-hak yang dikuasai oleh pusat kepada daerah.11 Jadi, pelaksanaan otonomi daerah tidak hanya mengalihkan beban serta tanggung jawab ke daerah, tetapi juga mengalihkan berbagai kewenangan dan hak-hak yang dikuasai oleh pusat kepada daerah.12

Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pada bagian penjelasan umum ditentukan : “Meskipun beberapa jenis pajak daerah dan retribusi daerah sudah ditetapkan dalam undang-undang ini.

Daerah Kabupaten/Kota diberi peluang dalam menggali potensi sumber-sumber keuanganya dengan menetapkan jenis pajak dan retribusi selain yang telah ditetapkan dan sesuai dengan aspirasi masyarakat”.

Atas dasar hal tersebut pemerintah Kabupaten Badung menetapkan Peraturan Bupati Badung Nomor 47 Tahun 2010 Tentang Penetapan Kawasan Desa Wisata di Kabupaten Badung, dimana dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 6 dijelaskan bahwa Desa Wisata adalah wilayah pelestaraian alam lingkungan ekosistim serta simpul budaya tradisional masyarakat dengan tidak menghambat perkembangan warganya untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya melalui usaha kepariwisataan. Di dalam Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 2 Tahun 2012

11Ibid.

12Ibid

(23)

Tentang Kepariwisataan, pada Bab III Prinsip Penyelenggaraan Kepariwisataan Pasal 5 dijelaskan bahwa Kepariwisataan diselenggarakan dengan prinsip :

a. Menjunjung tinggi norma agama dan nilai budaya sebagai pengejawantahan dari konsep hidup dalam keseimbangan hubungan antara manusia dan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan antara manusia, dan lingkungan (Tri Hita Karana);

b. Menjunjung tinggi hak asasi manusia, keragaman budaya, dan kearifan lokal;

c. Memberimanfaat untuk kesejahteraan rakyat, keadilan, kesetaraan, dan proporsionalitas;

d. Memelihara kelestarian alam dan lingkungan hidup.

Dengan adanya Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Kepariwisataan dan Peraturan Bupati Badung Nomor 47 Tahun 2010 Tentang Penetapan Kawasan Desa Wisata di Kabupaten Badung, maka diharapkan Pemerintah Kabupaten Badung dapat menggali potensi sumber-sumber keuanganya melalui pengembangan Desa Wisata sehingga nantinya dapat berkontribusi dalam menunjang Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Badung. Dengan digalinya sumber- sumber keuangan melalui pengembangan Desa Wisata nantinya diharapkan dapat pula diperuntukan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat.

c. Konsep Pendapatan Asli Daerah

Pendapatan asli daerah (PAD) merupakan semua penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sektor

(24)

pendapatan daerah memegang peranan yang sangat penting, karena melalui sektor ini dapat dilihat sejauh mana suatu daerah dapat membiayai kegiatan pemerintah dan pembangunan daerah.13

Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah Pasal 1 angka 18 bahwa “Pendapatan asli daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) mutlak harus dilakukan oleh Pemerintah Daerah agar mampu untuk membiayai kebutuhannya sendiri, sehingga ketergantungan Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Pusat semakin berkurang dan pada akhirnya daerah dapat mandiri. Adapun sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagaimana datur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Pasal 285, yaitu:

1) hasil pajak daerah;

2) hasil retribusi daerah;

3) hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan 4) lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.

d. Konsep Retribusi

Istilah retribusi olehKamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai pungutan uang oleh pemerintah (kota praja dansebagainya) sebagai balas jasa.

13 Halim Abdul, 2004, Akuntansi Keuangan Daerah, Salemba Empat, Jakarta, h.96.

(25)

Sementara itu dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah juga disebutkan bahwa pengertian Retribusi Daerah adalah:

" Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan. ".

Pada prinsipnya retribusi sama dengan pajak. Namun, unsur-unsur pengertian pajak berbeda dengan retribusi. Adapun yang membedaannya adalah bahwa imbalan atau kontra-prestasi dalam retribusi langsung dapat dirasakan oleh pembayar. Unsur- unsur yang melekat dalam retribusi antara lain :

1. Pungutan retribusi harus berdasarkan undang-undang;

2. Pungutannya dapat dipaksakan;

3. Pemungutannya dilakukan oleh Negara;

4. Digunakan sebagai pengeluaran masyarakat umum;

5. Imbalan atau prestasi dapat dirasakan secara langsung oleh pembayar retribusi.

e. Konsep Desa Wisata

Untuk mewujudkan pembangunan pariwisata berkelanjutan yang berbasis kerakyatan, diperlukan upaya diversifikasi daya tarik wisata yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, pelestarian seni budaya, dan pembangunan kepariwisataan yang ramah lingkungan. Salah satu pilihan tepat adalah membentuk kawasan wisata pedesaan yang dapat dijadikan daya tarik wisata yang biasa dikenal dengan Desa Wisata.

(26)

Pariwisata berbasis masyarakat identik dengan pembangunan pariwisata berkelanjutan dan sering dikaitkan dengan pariwisata alternatif. Konsep pembangunan berbasis masyarakat sangat berbeda dengan yang dinamakan pembangunan konvensional. Model top-down dianggap telah melupakan konsep dasar pembangunan itu sendiri sehingga kehidupan rakyat tidak semakin meningkat, tetapi malah dirugikan, bahkan termarginalisasi di lingkungan miliknya sendiri.14

Pembangunan pariwisata berkelanjutan dapat dicapai apabila tingkat pemanfaatan berbagai sumber daya tidak melampaui kemampuan regenerasi sumber daya tersebut. Selanjutnya dikatakan bahwa prinsip-prinsip pembangunan pariwisata berkelanjutan adalah :

1. Menjaga kualitas lingkungan.

2. Memberikan keuntungan bagi masyarakat lokal dan wisatawan.

3. Menjaga hubungan antara pariwisata dan lingkungan.

4. Menjaga keharmonisan antara masyarakat lokal, kebutuhan wisatawan, dan lingkungan.

5. Menciptakan kondisi yang dinamis yang disesuaikan dengan carrying capasity.

6. Semua stakeholders harus bekerjasama didasari oleh misi yang sama untuk merealisasikanpembangunan berkelanjutan.15

14 Made Suniastha Amerta, 2017, “Pengembangan Pariwisata Alternatif Di Desa Pakraman Jasri Kelurahan Subagan Kabupaten Karangasem”, Ringkasan Disertasi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Denpasar, h.6.

15 Ibid, h.7.

(27)

Menurut Suwantoro, Desa Wisata adalah suatu wilayah pedesaan yang menawarkan keseluruhan suasana yang mencerminkan keaslian pedesaan, baik tata ruang, arsitektur bangunan, maupun pola kehidupan sosial budaya masyarakat, adat istiadat keseharian. Disamping itu mampu menyediakan komponen-komponen kebutuhan pokok wisatawan, seperti akomodasi, makanan dan minuman, cendera mata dan atraksi-atraksi wisata. Jadi konsep Desa Wisata disini adalah suatu pariwisata yang tidak bertujuan untuk mengubah wajah desa (penataan ruang desa), melainkan mengemas kondisi eksisting di pedesaan agar memiliki daya tarik wisata yang khas dan produk wisata yang khas.16

1.8 Metode Penelitian 1.8.1 Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian Yuridis-Empiris. Jenis penelitian ini merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mendapatkan kebenaran dengan membandingkan aturan yang ada dengan pelaksanaannya atau kenyataan dalam masyarakat (dasollen dan dassein).17 Dalam hal ini, maksudnya yaitu mengamati tentang kedudukan Desa Wisata dalam memungut retribusi usaha pariwisata serta kontribusi dari hasil pemungutan retribusi usaha pariwisata terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Badung.

16 Ibid.

17 Johan Nasution, Bahder, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, h.

36.

(28)

1.8.2 Jenis Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan fakta (The Fact Approach), pendekatan perundang-undangan (The Statue Approach), dan

pendekatan konseptual (The Conseptual Approach). Pendekatan fakta (The Fact Approach) dilakukan dengan melihat keadaan nyata di wilayah penelitian.

Pendekatan perundang-undangan (The Statue Approach) dilakukan dengan kajian terhadap undang-undang yang dikaitkan dengan permasalahan yang ada di lapangan.

pendekatan konseptual (The Conseptual Approach) beranjak dari pandangan- pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.18

Pendekatan fakta ini, merupakan data primer yang diperoleh dalam penelitian di lapangan, sedangkan data penelitian sekunder diperoleh melalui pendekatan perundang-undangan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkutpaut dengan isu hukum yang sedang ditangani, dalam penelitian ini terkait dengan tindakan yang dapat dilakukan Desa Wisata dalam memungut retribusi usaha pariwisata dan kontribusi dari hasil pemungutan retribusi usaha pariwisata terhadap Pendapatan Asli Daerah kabupaten Badung.

1.8.3 Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif yang bersifat menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala dengan gejala lain dalam

18 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, h. 97.

(29)

masyarakat.19 Sehingga dalam penelitian ini akan difokuskan pada penggambaran atau pemaparan khususnya mengenai kedudukan desa wisata dalam memungut retribusi usaha pariwisata di Kabupaten Badung serta kontribusi dari hasil pemungutan retribusi usaha pariwisata terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Badung.

1.8.4 Data dan Sumber Data

Pada penulisan dan penelitian ini, adapun data yang digunakan adalah bersumber dari:

1. Data primer, yakni data yang diperoleh langsung dari sumber utama di lapangan, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama di lapangan baik dari responden maupun informan, dimana data tersebut berasal dari observasi atau pengamatan secara langsung ke tempat kejadian dan melalui wawancara. Informan bisa di artikan sebagai seseorang atau lebih yang memberikan informasi kepada tentang segala hal yang berkaitan dengan subjek penelitian.20 Responden adalah seseorang atau lebih yang dapat memberikan tanggapan atas pertanyaan yang diajukan peneliti kepadanya lewat daftar pertanyaan.21 Dalam hal ini pihak- pihak yang mengetahui atau sebagai informan terkait kedudukan Desa Wisata dalam memungut retribusi usaha

19 Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 81.

20 Ade Saptomo, 2009, Pokok pokok metodologi Penelitian Hukum Empiris Murni, Jakarta Trisakti, Jakarta, h.81.

21Ibid, h. 82.

(30)

pariwisata di Kabupaten Badung serta kontribusi dari hasil pemungutan retribusi usaha pariwisata terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Badung.

2. Sumber Data Sekunder atau data kepustakaan yaitu data yang diperoleh dari tangan kedua atau dengan kata lain data yang bukan berasal dari sumber utama, yang dalam hal ini berasal dari peraturan perundang-undangan terkait dengan permasalahan, selain itu juga berasal dari literatur – literatur buku, kamus hukum, website, media massa, dan lain sebagainya.

1.8.5 Teknik Pengumpulan Data

Menurut Soerjono Soekanto, dalam penelitian lazimnya dikenal tiga jenis pengumpul data, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi, wawancara atau interview.22 Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini ialah teknik wawancara (interview) dan studi kepustakaan.

Teknik wawancara dilakukan bukan sekedar bertanya kepada seseorang melainkan juga dibarengi dengan pertanyaan-pertanyaan yang diperuntukkan kepada narasumber atau informan, pertanyaan itu dirancang untuk mendapatkan jawaban- jawaban yang relevan dengan masalah penelitian ini, hal tersebut dilakukan agar hasil wawancara nantinya memiliki nilai validitas. Dalam penelitian ini wawancara dilakukan kepada narasumber di Desa wisata Kabupaten Badung, Dinas Pendapatan Daerah/Pasedahan Agung Kabupaten Badung dan Dinas Pariwisata Kabupaten

22 Soerjono Soekanto, 1990, Ringkasan Metodelogi Penelitian Hukum Empiris, Cet. Ke-1, IND-HILL-CO, Jakarta, h. 114.

(31)

Badung. Penelitian akan dilakukan di Desa wisata, Dinas Pendapatan Daerah/Pasadahan Agung dan Dinas Pariwisata Kabupaten Badung.

1.8.6 Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Setelah data ini dikumpulkan dan dicari kebenarannya dalam hubungannya dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini, kemudian data ini dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif. Pada penelitian dengan teknik analisis kualitatif atau analisis deskriptif, maka keseluruhan data yang terkumpul dari data primer maupun sekunder akan diolah dan dianalisis dengan cara menyusun data secara sistematis, digolongkan ke dalam pola dan tema, dikategorikan dan diklasifikasikan, dihubungkan antara satu dengan yang lainnya, dilakukan interpretasi untuk memahami makna data dalam situasi sosial, dan dilakukan penafsiran dari perspektif peneliti setelah memahami keseluruhan kualitas data dan proses analisis tersebut dilakukan terus menerus sejak pencarian data di lapangan dan berlanjut terus hingga pada tahap analisis, kemudian dilakukan analisis secara kualitatif, kemudian data akan disajikan secara deskriptif, kualitatif dan sistematis.23

23 Fakultas Hukum Universitas Udayana, op.cit, h. 88.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pemeriksaan struktur mikro pelat Zr-4 Gambar 1 memperlihatkan bahwa baik penampang tegak lurus arah rol maupun searah dengan arah rol tidak tampak perbedaan yang mencolok

bahan dan alat yang akan digunakan dalam pembel- ajaran, (4) Peneliti membuat kelompok yaitu 8 anak setiap kelompok, pada tiap kelompok ada 1 anak yang sudah bisa atau pandai

Kesepakatan bersama yang dibuat antara PT Pelindo II Cabang Cirebon dengan perusahaan Bongkar Muat batu Bara atau pelaku usaha lainnya akan penulis dalami dari

4< ◆ ◆ Kagcbkbtj ugtuh Kagcbkbtj ugtuh kagcjlagtjejhbsj lbg kagcjlagtjejhbsj lbg karukushbg kbsbibo karukushbg kbsbibo tagtbgc fdyah 0 ljkagsj tagtbgc fdyah 0 ljkagsj ◆

Kesuburan tanah yang mulai menurun serta pengetahuan dan sikap petani yang masih mempertahankan kebiasaan, menyebabkan sulitnya masyarakat dalam menerapkan inovasi

bahwa dengan telah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler

Beberapa mahasiswa mulai mengangkat tema anatomi dengan melihat serta membandingkan an- tara jenis satu dengan yang lain sebagai data pen- dukung untuk

besar maupun perusahaan kecil dapat melakukan transaksi antar pihak berelasi. Hal tersebut dikarenakan dalam perkembangannya, praktek transfer pricing dimanfaatkan